19 April 2025

Geger Bhumi Agung Sepehi

 Muhammad Nasir


Pada masa silam, ketika angin perubahan menggoyang Tanah Sembilan Wali, tersiar kisah geger yang menggetarkan para petinggi Bhumi Agung Sepehi. Negeri ini, yang disebut pula Bumi Jawawut hingga Negeri Dewi Persik, menjadi saksi perebutan trah, nasab mulia, dan otoritas keagamaan. 


Kisah ini, bagaikan benang kusut dalam sulaman kebesaran Jawa, melibatkan kiyai, habib, dan petinggi yang berlomba menegaskan keabsahan di hadapan leluhur dan rakyat. Bhumi Agung Sepehi pun berguncang oleh ambisi dan sengketa, membuat geleng-geleng orang-orang dari negeri-negeri tetangga Nuswantoro.

Di jantung Bumi Jawawut, trah dan wangsa ibarat mahkota tak kasat mata. Bangsawan kraton, keturunan Mataram hingga Pasundan, berlomba mengukuhkan silsilah sebagai pewaris kejayaan leluhur. Dalam Babad Tanah Jawi, trah menjadi tanda keagungan, menautkan darah raja dengan dewa, menautkan darah raja dengan dewa-dewi mitologi Negeri Dewi Persik. 

Namun, legitimasi wangsa tak hanya soal darah, melainkan kuasa atas tanah dan rakyat. Petinggi Tanah Sembilan Wali, yang mengaku keturunan Prabu Siliwangi atau Sultan Agung, kerap berselisih, saling klaim pewaris tunggal kebesaran. Di desa-desa, bupati dan ulama lokal mengukir silsilah mulia, mengaitkan diri dengan Sunan Kalijaga. Legitimasi ini menguasai hati rakyat, namun tuduhan silsilah rekayasa mulai mencuat.

Di tengah geger perebutan trah, angin dari Yaman membawa habib keturunan Baalawi ke pesisir Tanah Sembilan Wali. Mereka, zuriah Rasulullah SAW melalui Husain bin Ali, dihormati sebagai pembawa ilmu dan keberkahan, sebagaimana tercatat dalam Serat Centhini. Namun, nasab mulia mereka memicu sengketa di Bumi Jawawut. Sebagian kiyai, keturunan Wali Songo, mempertanyakan keabsahan nasab Baalawi, merujuk Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia karya si Imaduddin Utsman al-Bantani. 

Polemik ini membelah Nahdlatul Ulama, dengan tuduhan manipulasi sejarah Kesultanan Banten atau Banjar. Para habib membela diri dengan kitab as-Syajarah al-Mubarokah dan pengakuan ulama seperti KH Hasyim Asy’ari. Ketegangan ini, bagaikan bara yang tersulut pada 10 Agustus 2024 di Karawang, menjadi metafora sengketa yang membakar hati, ketika kiyai dan muhibbin habaib saling berhadapan dalam luka jiwa dan kata. 

Geger ini bikin geleng-geleng negeri-negeri tetangga Nuswantoro, termasuk negeri-negeri vasal yang tak mengerti mengapa mereka tiba-tiba tergabung dalam federasi itu, dan seperti dipaksa mengakui sengketa ini sebagai masalah nasional. Padahal, bagi mereka, ini hanyalah masalah di pusat Bhumi Agung Sepehi.

Perebutan otoritas keagamaan antara kiyai dan habib membakar Bhumi Agung Sepehi. Kiyai, pewaris pesantren dan Wali Songo, menjaga Tanah Sembilan Wali dengan ilmu fiqih dan tasawuf. Sementara habib mendirikan majelis ta’lim di pesisir Negeri Dewi Persik, menarik ribuan pengikut dengan karisma nasab mulia. Konflik mencuat ketika habib dituduh “mengaburkan” sejarah, seperti klaim Sultan Maulana Hasanuddin sebagai Baalawi. 

Kiyai seperti KH Marzuki Mustamar menolak “Ba’alawinisasi” yang menggerus identitas NU. Habib seperti Habib Ali Alatas menegaskan kontribusi mereka melalui ijazah keilmuan. Pertarungan ini bukan hanya soal ilmu, melainkan pengaruh atas rakyat Bumi Jawawut.

Di puncak geger, sengkarut ijazah palsu mencoreng petinggi Bhumi Agung Sepehi. Gelar habib, modal otoritas religius, menjadi incaran di Tanah Sembilan Wali. 

Termasuk kasus pelaku berinisial JMW yang ditangkap karena memalsukan sertifikat nasab melalui situs bodong, mengatasnamakan Rabithah Alawiyah. Pelaku meraup Rp18 juta dari korban yang ingin menyandang gelar habib di Negeri Dewi Persik. Rabithah Alawiyah menegaskan verifikasi nasab hanya memerlukan Rp50 ribu, namun godaan gelar mulia mendorong pemalsuan dokumen. 

Bhumi Agung Sepehi, tanah subur namun rawan perpecahan, tercermin dalam geger ini. Perebutan trah, sengketa nasab Baalawi, pertarungan kiyai-habib, dan ijazah palsu bagaikan badai di Tanah Sembilan Wali. PBNU berupaya meredam polemik melalui dialog, dengan KH Yahya Cholil Staquf menyerukan penghentian sengketa nasab sebagai kemungkaran. 

Namun, bara perselisihan masih membara di Bumi Jawawut. Negeri-negeri tetangga Nuswantoro, yang turut menyaksikan geger ini, kesulitan membantu menyelesaikan, sebab mereka punya konsep penyelesaian sendiri: kehadiran Satrio Piningit atau Ratu Adil. Tetapi, tentang siapa sosok Satrio dan Ratu Adil itu sendiri kerap memicu geger baru, rebutan baru.

Trah, sekali lagi, menjadi pangkal sengketa! Seperti dalam Serat Sastra Gending, Negeri Dewi Persik adalah cermin: agung namun rapuh oleh nafsu. Akankah Tanah Sembilan Wali menemukan damai, ataukah geger ini terus membayangi Bhumi Agung Sepehi? "Entah sampai kapan, tiada yang dapat memperhitungkan," kata pujangga internasional Mpu Ebiet G. Ade! 


Catatan Akhir: 

Wahai para pembaca, janganlah sepenuhnya percaya pada kisah ini, sebab babad ini bercampur antara bayang sejarah dan imaji sang pencerita. Anggaplah ia sebagai cermin untuk merenung, sambil menanti geger ijazah Pak Jokowi usai. 

No comments: