06 April 2025

Generic Descriptive Intoleransi yang Tak Disadari: Upaya Perumusan Konsep dan Perilaku

Muhammad Nasir

Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang


Pendahuluan

Dalam banyak diskursus publik, intoleransi sering kali dibingkai sebagai sesuatu yang eksplisit: ujaran kebencian, penyerangan terhadap rumah ibadah, pelarangan atribut keagamaan, atau diskriminasi terang-terangan terhadap kelompok minoritas. Pola ini membentuk persepsi umum bahwa intoleransi hanya hadir ketika kekerasan terjadi secara fisik, verbal, atau kebijakan yang secara langsung membatasi hak kelompok lain. Padahal, intoleransi juga dapat beroperasi secara sunyi, melalui mekanisme sosial dan kultural yang tidak kentara, namun berdampak luas dan sistemik.

Intoleransi yang tak disadari muncul dalam bentuk-bentuk yang tidak mudah diidentifikasi: kebijakan yang tampak netral tapi bias, norma sosial yang dianggap universal padahal berasal dari nilai-nilai kelompok dominan, atau praktik-praktik keseharian yang mengecualikan tanpa harus secara terbuka melarang. Karena sifatnya yang tersamar dan sering kali disepakati bersama tanpa resistensi, bentuk intoleransi semacam ini jauh lebih sulit dikenali, diprotes, dan dikoreksi. Ia tidak membunyikan alarm, tetapi justru menetap dalam struktur sosial sebagai bagian dari “kebiasaan baik” atau “kewajaran bersama.”


Tulisan ini bertujuan untuk merumuskan deskripsi generik—deskriptif namun konseptual—atas beberapa istilah kunci yang dapat membantu memahami dan mengidentifikasi praktik-praktik intoleransi yang bekerja secara halus ini. Ada lima istilah utama yang ditawarkan sebagai lensa analitis: intoleransi laten, toleransi semu, hegemon(i) sunyi, bias terinstitusikan, dan eksklusi terselubung. Kelimanya tidak dimaksudkan sebagai kategori yang tertutup, tetapi sebagai konsep kerja yang bisa diuji, dikembangkan, atau direvisi dalam berbagai konteks sosial-budaya dan kebijakan publik.

Pendekatan ini menolak penyederhanaan intoleransi semata-mata sebagai sikap individu yang bersifat emosional atau ekstrem. Sebaliknya, ia menggeser fokus ke struktur sosial, norma budaya, dan desain institusional yang sering kali tanpa sadar mereproduksi ketimpangan dan eksklusi. Dengan demikian, tulisan ini juga mengajak pembaca untuk lebih kritis terhadap klaim-klaim netralitas, objektivitas, atau universalitas yang kerap menyelimuti praktik sosial dominan.

Dengan pengembangan kelima istilah ini, tulisan ini diharapkan dapat menjadi kontribusi awal dalam mengidentifikasi dan menganalisis praktik-praktik intoleransi tak kasat mata yang justru beroperasi paling stabil dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, kerangka ini juga dapat menjadi dasar refleksi dalam perumusan kebijakan inklusif serta strategi pendidikan sosial yang benar-benar menghargai keberagaman, bukan sekadar merayakannya secara simbolik.


Intoleransi Laten

Intoleransi laten mengacu pada bentuk intoleransi yang tersembunyi di bawah permukaan wacana publik dan praktik sosial. Ia tidak menampilkan diri sebagai pelarangan langsung atau kekerasan verbal, namun bekerja secara implisit melalui struktur sosial dan disposisi kolektif. Dalam studi psikologi sosial, Glick dan Fiske (2001) menjelaskan fenomena ambivalent sexism, yakni bentuk seksisme halus yang justru hadir dalam ekspresi yang tampak positif, seperti proteksi berlebihan terhadap perempuan. Dengan analogi serupa, intoleransi laten hadir sebagai bentuk “perlindungan” terhadap identitas nasional, namun pada dasarnya menolak pluralisme sejati. Istilah ini juga bersifat dinamis, karena suatu bentuk intoleransi dapat bergerak dari laten menjadi eksplisit dalam konteks krisis sosial-politik. Contohnya dapat dilihat dalam konteks Myanmar, di mana selama bertahun-tahun kebijakan negara tidak menyebut-nyebut etnis Rohingya secara terbuka, tetapi secara struktural mengabaikan hak-hak mereka hingga kemudian memuncak dalam kekerasan terbuka pada 2017.


Toleransi Semu

Konsep toleransi semu merujuk pada situasi di mana mayoritas tampak mengizinkan keberadaan kelompok minoritas, tetapi hanya sejauh minoritas tersebut tidak menggoyahkan dominasi normatif mayoritas. Dalam kerangka ini, toleransi menjadi sebuah strategi kuasa, bukan bentuk penghargaan atas keberagaman. Herbert Marcuse (1965), dalam esainya Repressive Tolerance, mengkritik bentuk toleransi liberal yang justru memperkuat status quo dengan membiarkan ekspresi minoritas tanpa memberikan kekuatan transformasional. Toleransi semu sering ditemukan dalam retorika negara yang mengklaim keberagaman sebagai kekayaan, namun secara kebijakan tetap mempertahankan sistem yang berpihak pada satu kelompok etnis atau agama. Contohnya dapat dilihat di Indonesia pasca-reformasi, di mana retorika Bhinneka Tunggal Ika tetap dikedepankan, tetapi beberapa kebijakan pendidikan dan kependudukan masih berbasis pada standar mayoritas.


Hegemoni Sunyi

Istilah hegemon(i) sunyi terinspirasi dari teori hegemoni Antonio Gramsci (1971), yang menjelaskan bagaimana dominasi kultural bekerja bukan dengan represi, melainkan melalui persetujuan (consent) yang dibangun lewat institusi pendidikan, media, dan agama. Hegemoni sunyi merujuk pada dominasi budaya mayoritas yang berlangsung secara tidak mencolok—ia tidak diwajibkan secara hukum, namun diterima secara sosial sebagai “normal.” Bahasa nasional, pakaian yang dianggap sopan, atau cara menyapa yang dianggap “beradab” sering kali merupakan representasi tunggal dari budaya dominan. Ketika minoritas mengikuti praktik-praktik tersebut, mereka tak hanya “beradaptasi,” tetapi sering kali juga terpaksa menginternalisasi struktur dominasi. Contoh hegemon(i) sunyi dapat dilihat dalam sistem pendidikan di Thailand yang menstandarkan bahasa Thai sebagai bahasa utama, sementara komunitas Melayu-Patani di selatan menghadapi keterbatasan dalam mempertahankan bahasa dan identitas budaya mereka.


Bias Terinstitusikan

Bias terinstitusikan adalah bentuk bias yang telah melekat dalam struktur hukum, kebijakan, dan praktik kelembagaan sehingga menghasilkan ketimpangan sistemik tanpa memerlukan niat buruk individu. Fenomena ini sejalan dengan konsep institutional discrimination dalam sosiologi (Feagin, 1977), yang merujuk pada sistem sosial yang secara sistematis merugikan kelompok tertentu, meskipun aturan formal tampak netral. Contohnya dapat ditemukan dalam sistem pendidikan yang hanya menggunakan bahasa mayoritas sebagai medium pengajaran, sehingga menghambat akses pendidikan bermutu bagi komunitas bahasa minoritas. Bias ini juga tercermin dalam pembatasan akses politik bagi kelompok minoritas melalui syarat-syarat administratif yang tampaknya netral. Di Malaysia, misalnya, sistem kuota masuk universitas dan preferensi terhadap bumiputera sering kali menimbulkan ketimpangan akses bagi komunitas Tionghoa dan India.


Eksklusi Terselubung

Konsep eksklusi terselubung mengacu pada proses pengecualian yang dilakukan secara tidak langsung dan sering kali disamarkan sebagai efisiensi administratif, netralitas hukum, atau kebutuhan nasional. Dalam banyak kasus, minoritas etnis atau agama tidak secara eksplisit dilarang untuk berpartisipasi, tetapi mereka terhalang oleh aturan-aturan yang menuntut penyesuaian terhadap nilai-nilai mayoritas. Iris Marion Young (1990) menyebut proses ini sebagai cultural imperialism, yaitu situasi ketika satu kelompok mendefinisikan standar pengalaman manusia, dan kelompok lain dianggap menyimpang. Eksklusi terselubung dapat terjadi melalui kurikulum nasional yang tidak mengakomodasi sejarah lokal, atau melalui praktik kepegawaian yang mensyaratkan keseragaman identitas. Dalam konteks India, sistem identifikasi nasional seperti Aadhaar cenderung menguntungkan kelompok dominan Hindu, sementara kelompok Dalit dan suku-suku adat menghadapi kesulitan administratif yang menyebabkan keterpinggiran dalam akses layanan.

---

Kelima istilah di atas setidaknya dapat membantu menjelaskan praktik-praktik intoleransi yang halus dan tidak kasat mata, tetapi juga membuka ruang untuk kritik terhadap klaim “netralitas” dalam sistem sosial. Dalam masyarakat yang kompleks dan multietnis, intoleransi yang tidak disadari dapat berdampak lebih panjang dan sistemik daripada bentuk-bentuk intoleransi yang terbuka. Oleh karena itu, penting bagi akademisi, pembuat kebijakan, dan publik luas untuk tidak berhenti pada retorika toleransi, tetapi juga mengevaluasi struktur sosial dan simbol-simbol publik yang secara diam-diam mereproduksi ketimpangan kultural.


Daftar Pustaka

Feagin, J. R. (2006). Systemic racism: A theory of oppression. Routledge.

Feagin, J. R., & Feagin, C. B. (2012). Racial and ethnic relations (9th ed.). Pearson.

Glick, P., & Fiske, S. T. (2001). Ambivalent sexism. In M. P. Zanna (Ed.), Advances in experimental social psychology (Vol. 33, pp. 115–188). Academic Press. https://doi.org/10.1016/S0065-2601(01)80005-8

Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks (Q. Hoare & G. N. Smith, Eds. & Trans.). International Publishers.

Marcuse, H. (1965). Repressive tolerance. In R. P. Wolff, B. Moore Jr., & H. Marcuse (Eds.), A critique of pure tolerance (pp. 81–117). Beacon Press.

Sowell, T. (2018). Discrimination and disparities (2nd ed.). Basic Books.

Young, I. M. (1990). Justice and the politics of difference. Princeton University Press.

No comments: