26 April 2025

Di Bawah Kuasa Aplikasi

Muhammad Nasir
WNI Asli Terverifikasi dan Memiliki NIK

Begitu benarlah adanya. Warga negara hampir-hampir dipaksa untuk memiliki Android canggih demi menjalankan berbagai aplikasi pokok yang tidak dapat tidak — tak boleh HP kentang. Sesakit-sakitnya, Anda harus bisa buka aplikasi JKN, dan tak boleh lupa password-nya, kalau tak ingin kesal lalu meninggal saat mengambil antrian online. Tapi, tak apalah. Mungkin negara melihat kita ini sudah maju dan harus mengelola hidup secara digital, bahkan meski dompet digital lebih sering kosong daripada terisi.

Sekarang, tidak cukup hanya menjadi warga negara yang baik dan taat bayar pajak. Anda juga harus menjadi pengguna aktif dari berbagai aplikasi nasional yang menandai eksistensi Anda dalam sistem. Ada IKD, Identitas Kependudukan Digital, sebagai bentuk baru dari KTP yang tidak bisa dilaminating, tidak bisa disimpan di dompet, dan hanya bisa diakses jika Anda tidak lupa PIN atau tidak kehabisan baterai. Ada pula Mobile JKN, yang menjadi portal utama urusan kesehatan Anda—dari pendaftaran, antrian, sampai klaim, semua tergantung seberapa cepat Anda mengklik sebelum servernya lelah. SATUSEHAT Mobile, aplikasi yang dulunya pelacak pandemi, kini berubah menjadi buku rapor digital tubuh Anda, yang sayangnya, belum tentu dibaca tenaga medis jika aplikasinya sedang tidak kompatibel.

Login ke aplikasi-aplikasi ini adalah pengalaman spiritual tersendiri. Di era ini, masuk ke akun bukan hanya persoalan ingat password. Anda harus melewati berbagai tahap sakral: password yang tidak boleh sederhana, PIN yang diminta setelah password, OTP yang kadang datang lima menit setelah kita menyerah, bahkan autentikasi biometrik yang gagal jika wajah Anda sedang kusut atau pencahayaan kurang. Salah satu aplikasi bahkan menolak saya karena “wajah tidak dikenali,” padahal saya hanya pakai masker di siang bolong. Login bukan lagi pintu masuk, tapi penjaga gerbang yang menentukan apakah Anda cukup sah untuk menerima layanan negara. Seakan-akan, dalam dunia digital ini, kita tak lagi cukup hanya dengan KTP; kita harus terus membuktikan eksistensi, ulang tahun demi ulang tahun.

Belum lagi Cek Bansos, aplikasi yang menjanjikan transparansi, tapi lebih sering membuat orang merasa diuji: “Apakah saya cukup miskin untuk diakui algoritma negara?” Lalu datang INApas, sang penyelamat masa depan yang katanya akan menjadi kunci utama semua pintu layanan publik. Untuk saat ini, ia masih dalam tahap awal: tampilkan QR code, simpan data diri, dan sabar menunggu fitur-fitur lainnya muncul sambil sistemnya terus diuji coba.

Di atas kertas, semua ini adalah bentuk kemajuan. Negara ingin pelayanan cepat, efisien, tanpa tatap muka yang melelahkan. Tapi dalam realitas harian, ini adalah bentuk baru seleksi sosial. Siapa yang memorinya penuh, RAM-nya kecil, sinyalnya lemah, atau lupa password—ia tersingkir dari sistem. Warga lansia yang tak pernah kenal OTP, atau petani yang sinyalnya hanya muncul saat badai petir—mereka bukan tidak mau terlibat, mereka hanya tersesat dalam dunia digital yang dibangun tanpa panduan.

Yang lebih menggelikan, meskipun semua sudah “serba aplikasi,” di lapangan masih saja ada kantor yang petugasnya minta fotokopi KTP, KK, ijazah, akta lahir, dan surat keterangan dari RT, RW, bahkan tanda tangan lurah yang sedang rapat entah di mana. Di depan meja pelayanan terpampang poster besar bertuliskan “LAYANAN DIGITAL 100%” — tapi petugasnya masih mengancing map plastik sambil bertanya, “Ini yang asli mana ya, Bu?”

Kini bahkan tempat kerja tak kalah cerewet. Edaran terbaru dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) mewajibkan multi-factor authentication (MFA) untuk seluruh ASN. Login ke portal kepegawaian kini tak hanya soal password, tapi juga verifikasi ke perangkat lain yang sedang dicas di rumah. Belum lagi aplikasi absensi digital, presensi lokasi, layanan perizinan, dan pelaporan kinerja harian. Semua harus login, semua harus sinkron. Maka bertambahlah beban: tidak hanya warga negara harus mengunduh aplikasi untuk layanan publik, tetapi juga untuk bekerja, berbelanja, isi BBM, bahkan masuk ke tempat wisata.

Betapa banyak uang yang telah dikeluarkan rakyat demi bisa menjalankan semua ini: ganti HP, beli kuota, perpanjang data, pasang fingerprint. Semua demi satu hal: bisa tetap terlihat oleh negara. Pada akhirnya, Android kita bukan lagi sekadar alat komunikasi. Ia adalah etalase kehidupan administratif, tempat semua aplikasi mengklaim hak atas ruang penyimpanan, notifikasi, dan kadang-kadang, ketenangan hidup kita.

Namun, di tengah semua keluhan ini, kita harus merenungkan satu hal: apakah semua ini benar-benar kemajuan? Di dunia yang makin terhubung ini, apakah ada cara lain untuk menyeimbangkan antara efisiensi digital dan aksesibilitas untuk semua lapisan masyarakat? Apakah mungkin ada tempat bagi mereka yang tidak mengikuti arus zaman ini, atau apakah mereka akan tersisih dalam bayang-bayang aplikasi yang terus berkembang?

Dan begitulah, di bawah kuasa aplikasi, kita semua sedang belajar menjadi warga yang taat tidak hanya pada hukum, tetapi juga pada notifikasi. Kita tidak lagi hanya perlu mengingat Pancasila, tapi juga email recovery dan pertanyaan keamanan. Sebab dalam republik digital ini, hidup Anda tidak lengkap sebelum Anda berhasil verifikasi akun.

No comments: