Muhammad Nasir
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang
Pagi itu aku membuka WhatsApp dengan santai, berharap hanya menemukan ucapan sisa-sisa Idulfitri yang manis dan ringan, atau romansa berita mayor Teddy yang menggemaskan. Tapi pesan yang masuk justru membuatku terdiam. “Maaf Pak, saya masih di kampung, belum bisa hadir kuliah. Mohon dispensasi ya, Pak. Maaf juga belum sempat bikin tugas.”
Lalu pesan serupa dari beberapa mahasiswa lain: permohonan maaf, permintaan izin, keluhan situasi, dan sedikit harapan agar dosen mereka bisa memahami dan bersimpati. Yang lainnya pesan mohon izin sedang sakit, dan eh... masalah keluarga (sekalian aja masalah rumah tangga, ngab).
Haha, akhirnya, dua kelas hari ini pun terpaksa batal. Padahal sudah pakai baju baru untuk ngajar hari ini.
***
Aku menghela napas. Aku pikir urusan maaf lahir batin sudah selesai lewat stiker-stiker lucu atau reel Instagram bertema Idulfitri yang dikirim sejak malam takbiran. Ternyata belum. Justru kini, setelah gema takbir mereda, pesan-pesan maaf justru datang beruntun—tapi bukan karena dosa sosial atau kesalahan batin, melainkan karena belum siap hadir di ruang kelas.
Aku tidak marah. Tapi aku lelah. Lebih tepatnya, sedih. Melayanglah ingatanku ke ruang kelas mereka sebelum hari raya.
Aku merasa seperti sedang berdiri di depan etalase patung lilin Madame Tussauds (walau belum pernah ke sana, wkwkwk...). Aku membayangkan ada ratusan wajah muda, tampak sempurna dari luar—gaya kekinian, kulit bersih, bibir sering tersenyum, lengkap dengan gimmick fashion generasi Z.
Tapi ketika aku memanggil, menyapa, mengajak berdialog… hening. Hanya bola mata yang menggelinding pelan, dan bibir yang kadang bergerak, tapi hatinya entah di mana.
Menunggu patung-patung lilin itu mencair, seperti dalam film anime ketika mantra kehidupan perlahan mengalir dalam sosok beku dan tanpa jiwa, lalu mereka bangkit—berlari, tertawa, bahkan bertarung demi kebenaran yang diyakini. Begitulah harapanku: mereka akan menari, bukan dengan pedang atau sihir, tapi dengan akal sehat dan hati yang kuat.
Tentu, tidak semua begitu. Tapi cukup banyak yang demikian hingga membuatku bertanya-tanya: apakah aku yang gagal membangkitkan gairah belajar? Kalau iya, nanti kalau uangku cukup aku ingin menjadi pedagang kelontong saja, agar punya cukup waktu untuk memancing dan touring ke kampung-kampung.
Ataukah ini memang zamannya? Zaman yang disebut oleh Jean Twenge (2017) sebagai era "iGen"—generasi yang lahir setelah 1995, yang tumbuh dengan smartphone, media sosial, dan ketergantungan pada koneksi digital, bukan relasi manusia.
Mereka lebih cemas, lebih sensitif, dan lebih rentan. Twenge menyebut bahwa meningkatnya tingkat depresi, kecemasan, bahkan keinginan bunuh diri pada remaja dan mahasiswa di Amerika meningkat tajam seiring dengan meningkatnya penggunaan media digital.
Di Indonesia? Aku belum menemukan data serinci itu, tapi gejalanya terasa. Dari cara mereka berbicara yang serba hati-hati, cepat minta maaf, gampang merasa diserang. Dari kebiasaan minta dispensasi dan simpati atas hal-hal yang dulu dianggap sepele.
"Pak, saya belum bisa presentasi hari ini, boleh minggu depan, ya pak? Saya belum siap, pak"
Aku hanya bisa menjawab pelan dalam hati: "Nak, hidup ini tak pernah benar-benar menyediakan "waktu siap" untuk kita. Tapi kalau kau tunggu siap, bisa-bisa kereta lewat dan kau belum juga naik." Ya, begitulah akhirnya cara mengendalikan emosi.
Tapi bagaimana cara mahasiswa mengendalikan emosi? Daniel Goleman (1995), pakar kecerdasan emosional, pernah menulis bahwa kemampuan memahami, mengelola emosi, dan bertahan dalam tekanan adalah inti dari pendidikan karakter. Tapi pendidikan kita lebih sibuk dengan ujian pilihan ganda daripada mengajarkan daya tahan jiwa.
Rhenald Kasali dalam bukunya Disruption (2017) juga menyinggung pentingnya membangun mental tangguh dalam menghadapi zaman yang terus berubah. Ia menyebut bahwa generasi masa kini perlu diajak keluar dari zona nyaman, diajak menantang diri, bukan dimanja dengan pemakluman yang tak habis-habis.
Tapi bagaimana bisa? Di hadapanku kini adalah generasi strawberry—tampak manis, cantik, memesona, tapi mudah memar. Salah sedikit, patah semangat. Ditegur pelan, merasa dibenci. Dikasih nilai rendah, menghilang dari peredaran.
Tentu saja aku tidak ingin menertawakan atau meremehkan mereka. Aku bukan musuh mereka. Aku bukan monster penghisap semangat. Aku hanyalah seorang pengajar, yang datang ke kelas membawa semangat dan harapan. Meski kadang harus pulang dengan keheningan dan ruang kosong.
Karena sekali lagi, mereka ini bukan musuh. Mereka adalah generasi yang akan menggantikan kita, entah sebagai guru, peneliti, pemimpin daerah, atau penulis undang-undang. Dan kalau hari ini mereka masih bingung dan lemah, ya wajar. Dulu kita juga pernah muda dan merepotkan—cuma zaman saja yang beda rasa.
Maka aku terus mencoba: mengajar, menegur, membimbing, dan kadang—menghibur diri sendiri. Karena kalau tidak bisa ketawa, bisa gila. Dan kalau aku tidak percaya pada masa depan mereka, buat apa aku ada di ruang kelas ini?
“Pak, saya malu salah bicara di depan kelas.”
“Nak,” kataku sambil tersenyum, “aku ini sudah sering salah di hadapan mahasiswa. Tapi justru karena itulah aku bisa berdiri di sini dengan lebih percaya diri. Salah itu bukan kutukan, tapi pintu belajar.”
Aku percaya, di balik pesan-pesan mohon izin dan permintaan dispensasi itu, ada niat baik. Mungkin memang belum matang. Tapi bukan berarti gagal. Mereka hanya sedang mencari jalan, kadang dengan ragu, kadang sambil menyeka air mata yang tak terlihat.
Dan tugasku bukan hanya sebagai dosen pengampu mata kuliah, tapi juga penjaga api kecil dalam diri mereka agar jangan sampai padam. Agar suatu hari nanti, mereka bisa berdiri tegak bukan karena diberi dispensasi, tapi karena menemukan daya tahan dari dalam diri sendiri.
Kuat-kuat, nak. Waras waraslah diriku. Baju baru yang kukenakan untuk mengajar hari ini sengaja kutumpahi kopi agar ada alasan untuk membukanya.
(Padang, 8 April 2025)
No comments:
Post a Comment