Masalah Rektor dan Semangat Akademik
Muhammad Nasir
Baramulo kalam!
Sekitar Mei 2006 yang lalu, kampus IAIN Imam Bonjol terasa panas. Suasana itu tidak ada sangkut pautnya dengan peringatan sewindu reformasi yang diperingati hampir seluruh kampus di Indonesia. Menurut banyak orang, hal itu disebabkan tidak jelasnya nasib rektor IAIN pascapemilihan Desember 2005 lalu. Boleh dikata, jiwa zaman pada waktu itu adalah keresahan warga kampus tanpa rektor definitif. Terutama mahasiswa yang akan wisuda mulai khawatir, siapa yang akan menandatangani ijazah mereka.
Dalam suasana yang seperti itu pula IAIN sempat diramaikan isu berkembangnya pemikiran liberal yang diusung oleh Jaringan Islam Liberal (JIL). Lembaga yang mengusung semangat pembaharuan pemikiran keagamaan yang dipimpin Ulil Abshar Abdalla dituduh telah mendanai berbagai aktivitas ilmiah di IAIN Imam Bonjol Padang.
Cerita bermula dari seminar bertajuk "Agama, Budaya Kekerasan dan Demokrasi" kerjasama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Pusat Pengkajian Hukum dan Budaya (PPHB) IAIN Imam Bonjol Padang, Senin (5/6/2006). Seminar yang mempresentasikan hasil penelitian PPIM UIN Jakarta tersebut menjadi ajang orasi menentang pemakalah yang dianggap melecehkan agama (Islam). Muhammad Taufik, Staf Pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang dalam makalahnya "Agama dan Budaya Kekerasan" secara ekstrim mengungkapkan ada "perselingkuhan" antara agama dengan kekerasan. Alhasil Taufik dituduh kaki tangan JIL bahkan anti agama.
Tuduhan yang membabi buta itu telah membuat sebagian ormas Islam Sumatera Barat gerah dan berupaya untuk mengingatkan IAIN. Tak kurang, ormas Islam yang ditengarai "berhaluan keras" seperti Forum Penegak Syari'at Islam (FPSI) Sumatera Barat, Forum Tokoh Peduli Syari'at Sumbar, Paga Nagari Sumbar, dan Majelis Mujahidin Sumbar maresek panja kampus IAIN di Lubuk Lintah. Termasuk kritikan pedas dari kalangan mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang yang menamakan dirinya Gerakan Mahasiswa Peduli IAIN.
Berikutnya, dalam momen kuliah umum dengan topik “Rekonstruksi Fiqih Wanita.” bersama Dr. Elly Maliki Cendekiawan Islam Indonesia yang muqimah di Qatar (Selasa 27/6/06), Dr. Makmur Syarif, Pembantu Rektor I dituduh telah melecehkan al Qur’an. Padahal Doktor Ushul Fikih (Islamic Jurisprudence) itu hanya bercerita tentang pelecehan al-Qur’an yang terjadi di PTAIN lain yang ia kutip dari sebuah majalah. Keesokan harinya Makmur Syarif dihadiahi demo, dihujat sebagai penista al-Qur’an. Lagi-lagi ia dituduh kaki tangan JIL dan penganut “Sepilis“.
Mengatasi hal ini, Rektor IAIN Imam Bonjol Pada masa itu, Prof. Dr. H. Maidir Harun merasa perlu menjelaskan bahwa tidak ada Jaringan Islam Liberal (JIL) di kampus itu. Bahkan lembaga yang mengusung pemikiran liberalpun tidak dijumpai di IAIN Imam Bonjol. (Singgalang 3 Juli 2006).
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat, Buya H. Mas'oed Abidin pun merasa terpancing bahkan curiga ada pemikiran liar di IAIN. "Selama ini yang terjadi di IAIN adanya pemikiran-pemikiran yang lepas kontrol dan tidak menguntungkan bagi Islam. Kalau sudah hilang raso jo pareso, akan membuat seseorang liar. Liar dalam akhlak dan liar dalam akidah," ujarnya.( Haluan, 1 Agustus 2006)
Setelah itu, Prof. Dr. Nasrun Haroen pada saat dikukuhkan kembali menjadi Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Sumatera Barat periode 2005-2010, menyatakan, "para dosen IAIN yang mengikuti Strata-2 (master) dan Strata-3 (philosophy of doctor/Ph.D), baik di Barat (pendidikan tinggi di Amerika atau Eropa) maupun di Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (sebelumnya Institut Agama Islam negeri/ IAIN Syarif Hidayatullah) cenderung "menjadi orientalis dan atau digunakan oleh para orientalis" (Padang Ekspres, 8 Agustus 2006).
Begitu juga Ketua MUI Pusat Dr. H. Yunahar Ilyas Lc, MA, saat pembukaan Musda MUI Sumbar Minggu (6/8) malam, mengatakan, sejak beberapa tahun terjadi pengiriman para dosen IAIN studi ke Barat dan cenderung orientalis - bahkan di-using orientalis untuk studi Islam. Pernyataan ini digunakan oleh segelintir warga kampus IAIN untuk bahan bakar kisruh kursi rektor. Entah untuk maksud apa, tuduhan sekuler, liberal, orientalis ditujukan, kepada beberapa dosen IAIN Imam Bonjol yang tidak senada dengan arus utama pendemo.
Pro kontra muncul di antara warga kampus IAIN Imam Bonjol. Namun sedikit banyaknya, pro-kontra ini telah memicu berbagai pandangan miring terhadap kampus.
Hikmah penting yang dapat diambil dari polemik itu bagi Masyarakat Minangkabau adalah, bahwa analisa keislaman tumbuh subur di antara dua kelompok yang berseteru itu. Dampak lebih jauh dari debat dan polemik itu telah merangsang animo orang Minangkabau untuk giat melakukan studi yang lebih intensif mengenai ilmu-ilmu ke-Islaman
Peristiwa yang muncul di Surat Kabar tidak dapat ditarik kembali. Orang yang telah terlanjur membacanya bukanlah pembaca pasif tanpa kemampuan membuat pencitraan terhadap IAIN yang dibacanya. Bisa saja ia aktif dan merdeka menilai yang baik dan mengambilnya dan menolak yang buruk, memprotes opini yang tidak disenangi.
*catatan lama (2006)
Muhammad Nasir
Foto: Persma.org |
Sekitar Mei 2006 yang lalu, kampus IAIN Imam Bonjol terasa panas. Suasana itu tidak ada sangkut pautnya dengan peringatan sewindu reformasi yang diperingati hampir seluruh kampus di Indonesia. Menurut banyak orang, hal itu disebabkan tidak jelasnya nasib rektor IAIN pascapemilihan Desember 2005 lalu. Boleh dikata, jiwa zaman pada waktu itu adalah keresahan warga kampus tanpa rektor definitif. Terutama mahasiswa yang akan wisuda mulai khawatir, siapa yang akan menandatangani ijazah mereka.
Dalam suasana yang seperti itu pula IAIN sempat diramaikan isu berkembangnya pemikiran liberal yang diusung oleh Jaringan Islam Liberal (JIL). Lembaga yang mengusung semangat pembaharuan pemikiran keagamaan yang dipimpin Ulil Abshar Abdalla dituduh telah mendanai berbagai aktivitas ilmiah di IAIN Imam Bonjol Padang.
Cerita bermula dari seminar bertajuk "Agama, Budaya Kekerasan dan Demokrasi" kerjasama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Pusat Pengkajian Hukum dan Budaya (PPHB) IAIN Imam Bonjol Padang, Senin (5/6/2006). Seminar yang mempresentasikan hasil penelitian PPIM UIN Jakarta tersebut menjadi ajang orasi menentang pemakalah yang dianggap melecehkan agama (Islam). Muhammad Taufik, Staf Pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang dalam makalahnya "Agama dan Budaya Kekerasan" secara ekstrim mengungkapkan ada "perselingkuhan" antara agama dengan kekerasan. Alhasil Taufik dituduh kaki tangan JIL bahkan anti agama.
Tuduhan yang membabi buta itu telah membuat sebagian ormas Islam Sumatera Barat gerah dan berupaya untuk mengingatkan IAIN. Tak kurang, ormas Islam yang ditengarai "berhaluan keras" seperti Forum Penegak Syari'at Islam (FPSI) Sumatera Barat, Forum Tokoh Peduli Syari'at Sumbar, Paga Nagari Sumbar, dan Majelis Mujahidin Sumbar maresek panja kampus IAIN di Lubuk Lintah. Termasuk kritikan pedas dari kalangan mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang yang menamakan dirinya Gerakan Mahasiswa Peduli IAIN.
Berikutnya, dalam momen kuliah umum dengan topik “Rekonstruksi Fiqih Wanita.” bersama Dr. Elly Maliki Cendekiawan Islam Indonesia yang muqimah di Qatar (Selasa 27/6/06), Dr. Makmur Syarif, Pembantu Rektor I dituduh telah melecehkan al Qur’an. Padahal Doktor Ushul Fikih (Islamic Jurisprudence) itu hanya bercerita tentang pelecehan al-Qur’an yang terjadi di PTAIN lain yang ia kutip dari sebuah majalah. Keesokan harinya Makmur Syarif dihadiahi demo, dihujat sebagai penista al-Qur’an. Lagi-lagi ia dituduh kaki tangan JIL dan penganut “Sepilis“.
Mengatasi hal ini, Rektor IAIN Imam Bonjol Pada masa itu, Prof. Dr. H. Maidir Harun merasa perlu menjelaskan bahwa tidak ada Jaringan Islam Liberal (JIL) di kampus itu. Bahkan lembaga yang mengusung pemikiran liberalpun tidak dijumpai di IAIN Imam Bonjol. (Singgalang 3 Juli 2006).
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat, Buya H. Mas'oed Abidin pun merasa terpancing bahkan curiga ada pemikiran liar di IAIN. "Selama ini yang terjadi di IAIN adanya pemikiran-pemikiran yang lepas kontrol dan tidak menguntungkan bagi Islam. Kalau sudah hilang raso jo pareso, akan membuat seseorang liar. Liar dalam akhlak dan liar dalam akidah," ujarnya.( Haluan, 1 Agustus 2006)
Setelah itu, Prof. Dr. Nasrun Haroen pada saat dikukuhkan kembali menjadi Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Sumatera Barat periode 2005-2010, menyatakan, "para dosen IAIN yang mengikuti Strata-2 (master) dan Strata-3 (philosophy of doctor/Ph.D), baik di Barat (pendidikan tinggi di Amerika atau Eropa) maupun di Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (sebelumnya Institut Agama Islam negeri/ IAIN Syarif Hidayatullah) cenderung "menjadi orientalis dan atau digunakan oleh para orientalis" (Padang Ekspres, 8 Agustus 2006).
Begitu juga Ketua MUI Pusat Dr. H. Yunahar Ilyas Lc, MA, saat pembukaan Musda MUI Sumbar Minggu (6/8) malam, mengatakan, sejak beberapa tahun terjadi pengiriman para dosen IAIN studi ke Barat dan cenderung orientalis - bahkan di-using orientalis untuk studi Islam. Pernyataan ini digunakan oleh segelintir warga kampus IAIN untuk bahan bakar kisruh kursi rektor. Entah untuk maksud apa, tuduhan sekuler, liberal, orientalis ditujukan, kepada beberapa dosen IAIN Imam Bonjol yang tidak senada dengan arus utama pendemo.
Pro kontra muncul di antara warga kampus IAIN Imam Bonjol. Namun sedikit banyaknya, pro-kontra ini telah memicu berbagai pandangan miring terhadap kampus.
Hikmah penting yang dapat diambil dari polemik itu bagi Masyarakat Minangkabau adalah, bahwa analisa keislaman tumbuh subur di antara dua kelompok yang berseteru itu. Dampak lebih jauh dari debat dan polemik itu telah merangsang animo orang Minangkabau untuk giat melakukan studi yang lebih intensif mengenai ilmu-ilmu ke-Islaman
Peristiwa yang muncul di Surat Kabar tidak dapat ditarik kembali. Orang yang telah terlanjur membacanya bukanlah pembaca pasif tanpa kemampuan membuat pencitraan terhadap IAIN yang dibacanya. Bisa saja ia aktif dan merdeka menilai yang baik dan mengambilnya dan menolak yang buruk, memprotes opini yang tidak disenangi.
*catatan lama (2006)
No comments:
Post a Comment