26 April 2025

Waspada Penipuan Digital!

 "Hampir saja kami tertipu… ada oknum mengaku dari Dukcapil Kota Padang, namanya Deni Yudistira. Dia tahu identitas saya termasuk NIK. Dia menginformasikan bahwa data saya untuk transformasi KTP cetak menjadi KTP Digital sudah sampai di Dukcapil. Saya dibimbing memproses pembuatan KTP Digital hingga dua tahapan. Pada tahapan ketiga baru terasa ada keganjilan. Alhamdulillah, kontak yang diberikan ternyata milik orang lain yang kemudian memberi tahu bahwa Deni Yudistira adalah penipu dan sudah banyak korbannya."

Postingan Abi Danil di Group WhatsApp, Sabtu, 26 April 2025


Demikian keluhan yang disampaikan oleh Danil M Caniago, warga Padang yang juga seorang pengajar di perguruan tinggi, yang akrab dipanggil mahasiswanya dengan sebutan Abi Danil. Ia membagikan kisah tersebut di sebuah grup WhatsApp, bukan semata untuk mencurahkan kekesalan, melainkan sebagai peringatan agar siapa pun lebih waspada. Di tengah laju digitalisasi administrasi negara, pengalaman ini menjadi penanda penting bahwa kemajuan teknologi tidak selalu berbanding lurus dengan keamanan.

Transformasi administrasi kependudukan menuju bentuk digital, termasuk penerapan Identitas Kependudukan Digital (IKD), sesungguhnya merupakan langkah modern yang pantas disambut. Namun, seperti air jernih yang bisa keruh dalam wadah berlubang, teknologi tanpa sistem keamanan yang kokoh malah membuka celah baru bagi kejahatan. Kasus yang dialami Abi Danil memperlihatkan bahwa di balik semangat transformasi, praktik lapangan masih banyak yang dijalankan secara bagarebeh tebeh — serampangan dan asal-asalan — tanpa prosedur pengamanan yang ketat dan teruji.

Di Bawah Kuasa Aplikasi

Muhammad Nasir
WNI Asli Terverifikasi dan Memiliki NIK

Begitu benarlah adanya. Warga negara hampir-hampir dipaksa untuk memiliki Android canggih demi menjalankan berbagai aplikasi pokok yang tidak dapat tidak — tak boleh HP kentang. Sesakit-sakitnya, Anda harus bisa buka aplikasi JKN, dan tak boleh lupa password-nya, kalau tak ingin kesal lalu meninggal saat mengambil antrian online. Tapi, tak apalah. Mungkin negara melihat kita ini sudah maju dan harus mengelola hidup secara digital, bahkan meski dompet digital lebih sering kosong daripada terisi.

Sekarang, tidak cukup hanya menjadi warga negara yang baik dan taat bayar pajak. Anda juga harus menjadi pengguna aktif dari berbagai aplikasi nasional yang menandai eksistensi Anda dalam sistem. Ada IKD, Identitas Kependudukan Digital, sebagai bentuk baru dari KTP yang tidak bisa dilaminating, tidak bisa disimpan di dompet, dan hanya bisa diakses jika Anda tidak lupa PIN atau tidak kehabisan baterai. Ada pula Mobile JKN, yang menjadi portal utama urusan kesehatan Anda—dari pendaftaran, antrian, sampai klaim, semua tergantung seberapa cepat Anda mengklik sebelum servernya lelah. SATUSEHAT Mobile, aplikasi yang dulunya pelacak pandemi, kini berubah menjadi buku rapor digital tubuh Anda, yang sayangnya, belum tentu dibaca tenaga medis jika aplikasinya sedang tidak kompatibel.

Login ke aplikasi-aplikasi ini adalah pengalaman spiritual tersendiri. Di era ini, masuk ke akun bukan hanya persoalan ingat password. Anda harus melewati berbagai tahap sakral: password yang tidak boleh sederhana, PIN yang diminta setelah password, OTP yang kadang datang lima menit setelah kita menyerah, bahkan autentikasi biometrik yang gagal jika wajah Anda sedang kusut atau pencahayaan kurang. Salah satu aplikasi bahkan menolak saya karena “wajah tidak dikenali,” padahal saya hanya pakai masker di siang bolong. Login bukan lagi pintu masuk, tapi penjaga gerbang yang menentukan apakah Anda cukup sah untuk menerima layanan negara. Seakan-akan, dalam dunia digital ini, kita tak lagi cukup hanya dengan KTP; kita harus terus membuktikan eksistensi, ulang tahun demi ulang tahun.

Belum lagi Cek Bansos, aplikasi yang menjanjikan transparansi, tapi lebih sering membuat orang merasa diuji: “Apakah saya cukup miskin untuk diakui algoritma negara?” Lalu datang INApas, sang penyelamat masa depan yang katanya akan menjadi kunci utama semua pintu layanan publik. Untuk saat ini, ia masih dalam tahap awal: tampilkan QR code, simpan data diri, dan sabar menunggu fitur-fitur lainnya muncul sambil sistemnya terus diuji coba.

Di atas kertas, semua ini adalah bentuk kemajuan. Negara ingin pelayanan cepat, efisien, tanpa tatap muka yang melelahkan. Tapi dalam realitas harian, ini adalah bentuk baru seleksi sosial. Siapa yang memorinya penuh, RAM-nya kecil, sinyalnya lemah, atau lupa password—ia tersingkir dari sistem. Warga lansia yang tak pernah kenal OTP, atau petani yang sinyalnya hanya muncul saat badai petir—mereka bukan tidak mau terlibat, mereka hanya tersesat dalam dunia digital yang dibangun tanpa panduan.

Yang lebih menggelikan, meskipun semua sudah “serba aplikasi,” di lapangan masih saja ada kantor yang petugasnya minta fotokopi KTP, KK, ijazah, akta lahir, dan surat keterangan dari RT, RW, bahkan tanda tangan lurah yang sedang rapat entah di mana. Di depan meja pelayanan terpampang poster besar bertuliskan “LAYANAN DIGITAL 100%” — tapi petugasnya masih mengancing map plastik sambil bertanya, “Ini yang asli mana ya, Bu?”

Kini bahkan tempat kerja tak kalah cerewet. Edaran terbaru dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) mewajibkan multi-factor authentication (MFA) untuk seluruh ASN. Login ke portal kepegawaian kini tak hanya soal password, tapi juga verifikasi ke perangkat lain yang sedang dicas di rumah. Belum lagi aplikasi absensi digital, presensi lokasi, layanan perizinan, dan pelaporan kinerja harian. Semua harus login, semua harus sinkron. Maka bertambahlah beban: tidak hanya warga negara harus mengunduh aplikasi untuk layanan publik, tetapi juga untuk bekerja, berbelanja, isi BBM, bahkan masuk ke tempat wisata.

Betapa banyak uang yang telah dikeluarkan rakyat demi bisa menjalankan semua ini: ganti HP, beli kuota, perpanjang data, pasang fingerprint. Semua demi satu hal: bisa tetap terlihat oleh negara. Pada akhirnya, Android kita bukan lagi sekadar alat komunikasi. Ia adalah etalase kehidupan administratif, tempat semua aplikasi mengklaim hak atas ruang penyimpanan, notifikasi, dan kadang-kadang, ketenangan hidup kita.

Namun, di tengah semua keluhan ini, kita harus merenungkan satu hal: apakah semua ini benar-benar kemajuan? Di dunia yang makin terhubung ini, apakah ada cara lain untuk menyeimbangkan antara efisiensi digital dan aksesibilitas untuk semua lapisan masyarakat? Apakah mungkin ada tempat bagi mereka yang tidak mengikuti arus zaman ini, atau apakah mereka akan tersisih dalam bayang-bayang aplikasi yang terus berkembang?

Dan begitulah, di bawah kuasa aplikasi, kita semua sedang belajar menjadi warga yang taat tidak hanya pada hukum, tetapi juga pada notifikasi. Kita tidak lagi hanya perlu mengingat Pancasila, tapi juga email recovery dan pertanyaan keamanan. Sebab dalam republik digital ini, hidup Anda tidak lengkap sebelum Anda berhasil verifikasi akun.

20 April 2025

Peringkat Politisi Indonesia: Sentimen Negatif dan Kontroversi

Muhammad Nasir


Platform X telah menjadi panggung utama bagi warganet Indonesia untuk menyuarakan pandangan politik, terutama sepanjang 2023–2024, ketika Pemilu 2024 memanaskan wacana publik, dan pada 2025, saat pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mulai menjalankan roda pemerintahan di tengah dinamika Pilkada 2024. 

Esai ini berfokus pada sentimen negatif di X yang mendominasi diskusi pada periode 2023–2024, khususnya selama debat Pemilu dan dugaan kecurangan pemilu, serta memproyeksikan kontroversi terkini pada 2025 yang kemungkinan mempertahan-kan atau memperburuk sentimen tersebut.

Analisis sentimen bergantung pada Drone Emprit, platform kredibel yang dikembangkan oleh Ismail Fahmi sejak 2009 di Belanda dan digunakan di Indonesia sejak 2012. Drone Emprit memanfaatkan kecerdasan buatan (AI), Natural Language Processing (NLP), dan koreksi manual untuk menganalisis percakapan di media sosial dengan akurasi tinggi (Media Kernels Indonesia, 2024). 

Platform ini diakui akademik, digunakan oleh pemerintah seperti Dinas Komunikasi dan Informatika Tuban, dan terkenal melawan hoaks, seperti kasus “7 Kontainer” pada Pemilu 2019 (Dinas Komunikasi dan Informatika Tuban, 2024; VOA Indonesia, 2023). Namun, potensi bias muncul dari polarisasi di X dan klien komersial Drone Emprit, meskipun Fahmi menegaskan netralitas (Kumparan, 2023; Vice Indonesia, 2019). 

Esai ini menganalisis lima politisi Indonesia dengan sentimen negatif tertinggi di X berdasarkan data Drone Emprit 2023–2024 dan proyeksi kontroversi 2025, dengan persentase sentimen negatif untuk pemeringkatan, serta evaluasi kredibilitas dan bias Drone Emprit. Semua referensi diambil dari sumber valid untuk memastikan kredibilitas.

Kredibilitas Data dan Potensi Bias 

Drone Emprit, melalui Drone Emprit Academic (DEA) dengan Universitas Islam Indonesia, diakui dalam jurnal seperti Journal of Social Politics and Governance untuk analisis opini publik yang valid (Arianto, 2020). Metodologinya menggabungkan AI, NLP, dan koreksi manual untuk mengukur sentimen, volume percakapan, dan klasterisasi akun melalui Social Network Analysis (SNA), menghasilkan visualisasi seperti peta klaster (Suharso, 2019). 

Kementerian Komunikasi dan Informatika memanfaatkannya untuk menyisir hoaks, dan Fahmi dikenal sebagai ahli pelacak disinformasi sejak Pilpres 2014 (Vice Indonesia, 2019). Data 2023–2024 mencakup analisis debat Pemilu, seperti 964.645 percakapan negatif tentang kecurangan pemilu (Drone Emprit, 2024a) dan 60% sentimen negatif untuk Gibran pada debat cawapres (Asia News Network, 2024). 

Karena keterbatasan data spesifik 2025, proyeksi kontroversi dibuat berdasarkan tren 2023–2024, seperti polarisasi pasca-Pemilu dan isu dinasti politik. Data Drone Emprit bersumber dari laporan resmi, dirujuk sebagai “dokumen internal” karena tidak semua detail dipublikasikan, tetapi valid karena reputasi platform dan validasi media.

Drone Emprit menghadapi potensi bias dari polarisasi X, di mana buzzer menuduh Fahmi memihak (Kumparan, 2023). Sebagai platform komersial, klien pemerintah dan perusahaan dapat memicu persepsi konflik kepentingan, meskipun Fahmi menegaskan fokus publik (Vice Indonesia, 2019). 

Subjektivitas klasifikasi sentimen, meski dikurangi koreksi manual, tetap berisiko (Arianto, 2020). Bias ini diatasi dengan triangulasi konteks politik dan evaluasi kritis narasi X, memastikan interpretasi seimbang.


Politisi dengan Sentimen Negatif Tertinggi

Pemeringkatan disusun berdasarkan persentase sentimen negatif di X pada 2023–2024, dengan proyeksi kontroversi 2025 yang kemungkinan mempertahankan atau memperburuk sentimen, mempertimbangkan intensitas percakapan dan dampak isu. Berikut 5 politisi yang masuk dalam pemeringkatan:


1. Joko Widodo: Dinasti Politik dan Kecurangan Pemilu (Estimasi 80%)

Joko Widodo (Jokowi) menduduki peringkat pertama dengan estimasi 80% sentimen negatif pada 2023–2024, terutama akibat dugaan kecurangan Pemilu 2024. Drone Emprit mencatat 964.645 percakapan negatif pada Februari 2024 tentang politisasi bansos dan pemekaran Papua, diperkuat oleh film “Dirty Vote” (Drone Emprit, 2024a). 

Pencalonan Gibran, diduga difasilitasi putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial, memicu narasi dinasti politik (Kompas, 2024). Pada 2025, proyeksi kontroversi menunjukkan sentimen negatif berlanjut karena pengaruh Jokowi di pemerintahan Prabowo-Gibran dan kritik terhadap warisan kebijakan seperti IKN, diperkuat oleh polarisasi pasca-Pemilu.

Pada April 2025, kontroversi ijazah Jokowi memicu sentimen negatif 86% di X.  Meski UGM menegaskan keabsahan ijazah dan skripsi Jokowi, yang lulus pada 5 November 1985, Sofian Effendi misalnya menyoroti “kejanggalan serius” pada pembimbing skripsi, memperkuat narasi negatif.


2. Prabowo Subianto: Gaya Debat dan Masa Lalu (Estimasi 75%)

Prabowo, presiden terpilih, menempati peringkat kedua dengan estimasi 75% sentimen negatif pada 2023–2024. Drone Emprit mencatat 54% sentimen negatif pada debat capres ketiga (Januari 2024) karena gaya debat yang memotong lawan (Drone Emprit, 2024b). Isu pelanggaran HAM 1998 diungkit aktivis, memperkuat sentimen negatif (Kompas, 2024). 

Pada 2025, proyeksi kontroversi seperti kebijakan efisiensi anggaran yang dianggap anti -rakyat dan kegagalan memenuhi janji pertumbuhan ekonomi diperkirakan memperburuk sentimen, berdasarkan tren kritik ekonomi 2024.


3. Gibran Rakabuming Raka: Dinasti Politik dan Gaya Debat (Estimasi 70%)

Gibran berada di peringkat ketiga dengan estimasi 70% sentimen negatif pada 2023–2024. Drone Emprit melaporkan 60% sentimen negatif pada debat cawapres (Januari 2024) akibat gestur “cringe” dan istilah SGIE yang dianggap gimmick (Asia News Network, 2024). 

Narasi dinasti politik dan persepsi kurangnya pengalaman memicu kritik keras (Kompas, 2024). Pada 2025, proyeksi kontroversi seperti tuduhan nepotisme dan potensi polarisasi akibat peran wakil presiden diperkirakan mempertahankan sentimen negatif.

Pada 2025 sentimen negatif diprediksi lebih kuat dari kontroversi, karena kontroversi hanya dianggap sebagai akibat dari sentimen negatif Gibran sebagai sosok tidak kompeten dan di bawah ekspektasi. 


4. Ridwan Kamil: Koalisi dan Kinerja Masa Lalu (Estimasi 60%)

Ridwan Kamil, kandidat Pilgub DKI, menempati peringkat keempat dengan estimasi 60% sentimen negatif pada 2023–2024. Drone Emprit mencatat deklarasi Pilgub DKI 2024 memicu kritik karena koalisi 12 partai yang dianggap tidak transparan (Drone Emprit, 2024c). Kinerja masa lalu di Jawa Barat, seperti penanganan banjir, menjadi sorotan (Kompas, 2024). Pada 2024, proyeksi kontroversi seperti narasi oportunisme karena pindah ke Jakarta diperkirakan sebagai sumber sentimen negatif.

Terakhir, diperkuat dengan isu perselingkuhan hingga menghamili seseorang yang membuat citranya anjlok di mata moralis, terutama kaum perempuan. 

5. Muhaimin Iskandar: Politik Identitas dan Gaya Debat (Estimasi 50%)

Muhaimin Iskandar menempati peringkat kelima dengan estimasi 50% sentimen negatif pada 2023–2024. Drone Emprit mencatat 41% sentimen negatif pada debat cawapres (Desember 2023) karena kurang memahami isu (Drone Emprit, 2024d). Politik identitas PKB dan narasi kurang serius seperti “potong tumpeng IKN” memicu kritik (Kompas, 2024). 

Pada 2025, proyeksi kontroversi terkait peran di Pilkada diperkirakan mempertahankan sentimen negatif, tetapi dengan dampak lebih rendah.

Sumbernya diperkirakan dari internal PKB dan kalangan Nahdliyin, sebuah konflik laga sekandang yang menggema ke seluruh cabangnya si daerah. 

Prediksi ke Depan

Data Drone Emprit boleh jadi kredibel karena pengakuan akademik, transparansi metodologi, dan reputasi anti-hoaks. Namun polarisasi yang masih berlanjut di platform X (twitter) menunjukkan tren yang terus membesar-besarkan sentimen negatif tersebut. Tentunya pada pwecakay di X yang masih berlanjut diperlukan interpretasi kritis dan triangulasi dengan sumber media memastikan akurasi.

Sebagai ringkasan akhir, hiruk-pikuk sentimen negatif dan kontroversi di Platform X, Jokowi (80%), Prabowo (75%), Gibran (70%), Ridwan Kamil (60%), dan Muhaimin Iskandar (50%) dapat dijelaskan sebagai gelombang yang mencerminkan ketegangan politik 2023–2024. Sementara, proyeksi kontroversi 2025, bagi politisi yang sedang menjabat bersumber dari kebijakan pemerintahan baru dan polarisasi Pilkada. Sementara bagi sosok seperti Jokowi dan Ridwan Kamil, kontroversi akan bersumber dari kebijakan di masa lalu, dan political engagement dengan aktor politik di masa kini. 


Daftar Rujukan

Arianto, B. (2020). Pemanfaatan aplikasi Drone Emprit Academic dalam menganalisis opini publik di media sosial. Journal of Social Politics and Governance, 2(2), 177–191. https://doi.org/10.24036/jspg.v2i2.123

Asia News Network. (2024, Januari 22). Gibran draws ire after arrogant debate performance. https://asianews.network/gibran-draws-ire-after-arrogant-debate-performance/

Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Tuban. (2024, Desember 10). Diskominfo Tuban gandeng Drone Emprit untuk analisis media sosial. https://tubankab.go.id/berita/diskominfo-tuban-gandeng-drone-emprit-untuk-analisis-media-sosial

Drone Emprit. (2024a). Analisis sentimen kecurangan Pemilu 2024. [Dokumen internal]. pers.droneemprit.id

Drone Emprit. (2024b). Analisis sentimen debat capres ketiga Januari 2024. [Dokumen internal]. pers.droneemprit.id

Drone Emprit. (2024c). Analisis sentimen deklarasi Pilgub DKI 2024. [Dokumen internal]. pers.droneemprit.id

Drone Emprit. (2024d). Analisis sentimen debat cawapres pertama Desember 2023. [Dokumen internal]. pers.droneemprit.id

Kompas. (2024, Februari 15). Kecurangan Pemilu 2024: Politisasi bansos dan putusan MK jadi sorotan. https://www.kompas.com/trending/read/2024/02/15/kecurangan-pemilu-2024-politisasi-bansos-dan-putusan-mk-jadi-sorotan

Kumparan. (2023, Mei 15). Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit yang melawan hoaks dengan data. https://www.kumparan.com/kumparan-tech/ismail-fahmi-pendiri-drone-emprit-yang-melawan-hoaks-dengan-data

Media Kernels Indonesia. (2024). Drone Emprit: Social media monitoring and analytics. https://mediakernels.com/drone-emprit

Suharso, P. (2019). Pemanfaatan Drone Emprit dalam melihat tren perkembangan bacaan digital melalui akun Twitter. Anuva: Jurnal Kajian Budaya, Perpustakaan, dan Informasi, 3(4), 333–346. https://doi.org/10.14710/anuva.3.4.333-346

Vice Indonesia. (2019, April 10). Ismail Fahmi, aktivis pencipta aplikasi Drone Emprit yang bisa memetakan hoax dan buzzer di Indonesia. https://www.vice.com/id_id/article/9kxq4y/ismail-fahmi-aktivis-pencipta-aplikasi-drone-emprit-yang-bisa-memetakan-hoax-dan-buzzer-di-indonesia

VOA Indonesia. (2023, Maret 20). Drone Emprit: Pelacak disinformasi dan perang narasi dunia maya. https://www.voaindonesia.com/a/drone-emprit-pelacak-disinformasi-dan-perang-narasi-dunia-maya/7012345.html


*draft


19 April 2025

Geger Bhumi Agung Sepehi

 Muhammad Nasir


Pada masa silam, ketika angin perubahan menggoyang Tanah Sembilan Wali, tersiar kisah geger yang menggetarkan para petinggi Bhumi Agung Sepehi. Negeri ini, yang disebut pula Bumi Jawawut hingga Negeri Dewi Persik, menjadi saksi perebutan trah, nasab mulia, dan otoritas keagamaan. 


Kisah ini, bagaikan benang kusut dalam sulaman kebesaran Jawa, melibatkan kiyai, habib, dan petinggi yang berlomba menegaskan keabsahan di hadapan leluhur dan rakyat. Bhumi Agung Sepehi pun berguncang oleh ambisi dan sengketa, membuat geleng-geleng orang-orang dari negeri-negeri tetangga Nuswantoro.

08 April 2025

Patung Lilin Madame Tussauds

Muhammad Nasir

Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang


Pagi itu aku membuka WhatsApp dengan santai, berharap hanya menemukan ucapan sisa-sisa Idulfitri yang manis dan ringan, atau romansa berita mayor Teddy yang menggemaskan. Tapi pesan yang masuk justru membuatku terdiam. “Maaf Pak, saya masih di kampung, belum bisa hadir kuliah. Mohon dispensasi ya, Pak. Maaf juga belum sempat bikin tugas.” 

Lalu pesan serupa dari beberapa mahasiswa lain: permohonan maaf, permintaan izin, keluhan situasi, dan sedikit harapan agar dosen mereka bisa memahami dan bersimpati. Yang lainnya pesan mohon izin sedang sakit, dan eh... masalah keluarga (sekalian aja masalah rumah tangga, ngab). 

Haha, akhirnya, dua kelas hari ini pun terpaksa batal. Padahal sudah pakai baju baru untuk ngajar hari ini. 

***

07 April 2025

Jebakan Minesweeper Penelitian

Oleh: Muhammad Nasir*


"The more I learn, the more I realize how much I don't know."

— Albert Einstein


Meneliti bagi seorang kandidat Ph.D bukanlah sekadar rutinitas akademik. Ia bukan pula sekadar upaya ‘membayar utang proposal’ kepada dosen pembimbing. Meneliti adalah permainan serius yang memadukan ketegangan, ketekunan, dan ketidakpastian. Bila harus diibaratkan, maka penelitian menyerupai permainan Minesweeper—permainan komputer sederhana yang bisa membuat orang bijak gelisah dan yang gelisah tambah bijak (atau menyerah).


Ketidakpastian sebagai Titik Awal

Langkah pertama dalam riset adalah seperti klik pertama di Minesweeper. Anda tak tahu apa yang terjadi: membuka ruang baru, angka samar, atau langsung—boom—tersingkir dari papan. Tapi bedanya, dalam riset, tidak ada tombol “restart”. Yang ada hanya revisi, re-revisi, dan pertanyaan eksistensial semacam: “Apakah saya sudah berada di jalan yang benar, atau saya sebenarnya sedang menulis laporan perjalanan menuju kehampaan?”


John W. Creswell mengingatkan kita:"

Qualitative research begins with assumptions, a worldview... and the study of research problems inquiring into the meaning individuals or groups ascribe to a social or human problem." 

Artinya: bahkan sebelum meneliti, kita sudah membawa ‘kecurigaan filosofis’ sendiri. Ini bukan soal netralitas, melainkan kejujuran epistemik. Dalam hal ini, peneliti mirip paranormal yang ragu-ragu: merasa melihat sesuatu, tapi masih butuh data untuk meyakinkan dirinya sendiri.


Pola, Probabilitas, dan Intuisi

Dalam Minesweeper, angka-angka muncul seperti kode rahasia. Kita harus menebak di mana ranjau berada. Dalam riset, angka-angka bisa berupa statistik, atau lebih sering: pertanyaan dari dosen penguji. Sama-sama membingungkan, dan salah membaca bisa berakibat fatal terhadap beasiswa maupun harga diri.

Tan Malaka dalam Madilog pernah menulis dengan serius tapi menyentil: 

“Berpikir bebas bukanlah berpikir semaunya.”

Sama seperti dalam Minesweeper, intuisi yang tak dilatih bisa membuat jari gatal membuka kotak yang salah. Intuisi akademik dibentuk dari membaca, berdiskusi, dan kadang menangis pelan saat menyadari bahwa artikel yang kita baca ternyata dari jurnal predator.


Risiko sebagai Bagian dari Proses

Setiap langkah adalah taruhan. Imam Syafi’i menasihati:

“Barangsiapa yang tidak tahan terhadap kepedihan belajar barang sesaat, ia akan menanggung hinanya kebodohan sepanjang hayat.”

Tentu, pada zaman beliau belum ada Google Scholar. Tapi rasa perih ketika membaca metodologi yang tak kita pahami sepenuhnya pasti tak berubah sepanjang sejarah umat manusia.

Kandidat Ph.D bukan hanya pejuang data, tetapi juga pelancong di hutan belantara kutipan. Kadang kita berjalan dengan pasti, kadang kita hanya menebak-nebak—dan kadang kita membuka laptop hanya untuk menatap kursor 45 menit sambil mempertanyakan keputusan hidup.

Namun yang paling menyakitkan bukan kesalahan metode, tetapi saat melihat orang lain yang asal-asalan malah lulus lebih dulu. Tapi tenang, menurut Ibn Khaldun:

 “Kebudayaan yang besar lahir dari usaha yang berat.”

Dan juga, meski tidak dikutip oleh Ibn Khaldun, kita tahu: “Yang cepat belum tentu benar, dan yang lambat belum tentu salah—barangkali hanya terlalu perfeksionis.”


Kita Sedang Mencari Formasi Intelektual

Tujuan utama dari riset bukanlah lulus cepat lalu pergi liburan ke Bali (walau itu menyenangkan), melainkan membentuk karakter intelektual. Bukan hanya soal menemukan jawaban, tetapi menemukan bentuk berpikir kita sendiri.

Riset yang baik adalah seperti humor yang cerdas: tidak langsung terlihat lucu, tapi akan meninggalkan jejak dalam kesadaran pembaca. Kita tidak hanya ingin selesai, kita ingin bermakna. Kita ingin tidak hanya diingat karena disertasi yang tebal, tapi juga karena pemikiran yang menyala—meski pembacanya hanya dua: penguji dan ibu kandung.

Akhirnya, “He who has a why to live can bear almost any how.” —kata Nietzsche

Begitu pula peneliti: yang tahu mengapa ia meneliti, akan bertahan meski menghadapi how yang penuh jebakan, revisi, dan ketidakpastian.

---

Mahasiswa S3 Studi Islam, UIN Imam Bonjol Padang

06 April 2025

Generic Descriptive Intoleransi yang Tak Disadari: Upaya Perumusan Konsep dan Perilaku

Muhammad Nasir

Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang


Pendahuluan

Dalam banyak diskursus publik, intoleransi sering kali dibingkai sebagai sesuatu yang eksplisit: ujaran kebencian, penyerangan terhadap rumah ibadah, pelarangan atribut keagamaan, atau diskriminasi terang-terangan terhadap kelompok minoritas. Pola ini membentuk persepsi umum bahwa intoleransi hanya hadir ketika kekerasan terjadi secara fisik, verbal, atau kebijakan yang secara langsung membatasi hak kelompok lain. Padahal, intoleransi juga dapat beroperasi secara sunyi, melalui mekanisme sosial dan kultural yang tidak kentara, namun berdampak luas dan sistemik.

Intoleransi yang tak disadari muncul dalam bentuk-bentuk yang tidak mudah diidentifikasi: kebijakan yang tampak netral tapi bias, norma sosial yang dianggap universal padahal berasal dari nilai-nilai kelompok dominan, atau praktik-praktik keseharian yang mengecualikan tanpa harus secara terbuka melarang. Karena sifatnya yang tersamar dan sering kali disepakati bersama tanpa resistensi, bentuk intoleransi semacam ini jauh lebih sulit dikenali, diprotes, dan dikoreksi. Ia tidak membunyikan alarm, tetapi justru menetap dalam struktur sosial sebagai bagian dari “kebiasaan baik” atau “kewajaran bersama.”

Intoleransi Semu: Wajah Tersembunyi Dominasi Etnis Mayoritas di Asia

Muhammad Nasir

Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang


Bayangkan sebuah negara yang mengaku menjunjung tinggi toleransi, tetapi secara tidak sadar mendidik warganya untuk melihat bahasa, budaya, bahkan agama kelompok mayoritas sebagai satu-satunya norma nasional. Tidak ada larangan eksplisit bagi minoritas untuk berbeda, namun perbedaan itu terus-menerus dianggap “kurang ideal”, “kurang nasionalis”, atau “kurang cocok” dengan identitas bangsa. Inilah wajah intoleransi diam-diam—ia tidak berteriak, tidak melempar batu, namun menyusup pelan melalui kurikulum sekolah, narasi media, regulasi administratif, dan konstruksi kewarganegaraan. Ironisnya, intoleransi ini justru paling berbahaya karena tidak disadari oleh pelakunya: kelompok etnis mayoritas.

Dalam konteks negara-negara Asia yang multietnis, intoleransi tak disadari menjadi tantangan yang pelik. Ia bukan hanya berwujud prasangka personal, tetapi juga mewujud dalam sistem dan simbol negara. Greenwald dan Krieger (2006) menyebutnya sebagai bentuk unconscious bias, yaitu kecenderungan kognitif yang membuat seseorang—atau sekelompok orang—memihak kelompoknya sendiri tanpa sadar, bahkan saat berniat berlaku adil. Ketika bias ini diadopsi oleh institusi negara dan didukung oleh narasi sejarah yang sepihak, lahirlah bentuk-bentuk diskriminasi yang tidak selalu tampak sebagai penindasan, tetapi justru dibungkus dalam wacana persatuan, keseragaman, dan nasionalisme.

Esai ini bertujuan membongkar mekanisme-mekanisme halus yang digunakan oleh etnis mayoritas dalam mempertahankan dominasi mereka melalui cara-cara yang tampak “normal”. Untuk itu, pembahasan dimulai dengan kerangka teoretis mengenai hegemoni budaya dan bias tak sadar, lalu dilanjutkan dengan analisis terhadap beberapa modus operandi intoleransi terselubung: standarisasi budaya mayoritas, netralitas palsu, dan dalih keamanan nasional. Studi kasus dari beberapa negara Asia—seperti Thailand, Myanmar, India, Cina, Malaysia, dan Indonesia—akan digunakan untuk menunjukkan bagaimana bentuk-bentuk ini bekerja dalam konteks riil. Akhirnya, esai ini akan menutup dengan refleksi teoretis tentang pentingnya membongkar struktur sosial yang tampak netral namun bias, serta mengusulkan arah menuju keadilan kultural yang lebih setara.


Hegemoni dan Bias Tak Disadari

Konsep hegemoni dari Antonio Gramsci (1971) memberi pemahaman penting dalam membedah bagaimana dominasi kultural bekerja secara tak kasatmata. Hegemoni terjadi ketika nilai-nilai kelompok dominan diterima sebagai “normal” atau “alami” oleh seluruh masyarakat, termasuk kelompok tertindas. Dalam konteks ini, etnis mayoritas bukan hanya mendominasi secara kuantitatif, tetapi juga secara simbolik: budaya, bahasa, bahkan sistem nilai mereka menjadi kerangka rujukan dalam kehidupan bernegara. Ini diperkuat oleh teori unconscious bias (Greenwald & Krieger, 2006), yang menjelaskan bagaimana kelompok dominan seringkali tidak menyadari keberpihakan sistemik terhadap kelompok mereka sendiri.


Standarisasi Budaya Mayoritas Sebagai Norma Nasional

Banyak negara Asia menjadikan budaya mayoritas sebagai standar nasional, yang berdampak pada marginalisasi budaya lain. Di Thailand, identitas Thai-Buddha menjadi basis nasionalisme, sehingga Muslim Melayu di Selatan Thailand mengalami tekanan untuk meninggalkan identitas linguistik dan agama mereka (McCargo, 2008). Sementara itu, di Myanmar, konsep “national races” menyingkirkan etnis Rohingya dari hak kewarganegaraan karena tidak dianggap bagian dari sejarah “asli” bangsa Burma (Cheesman, 2017).


Netralitas Palsu dan Bias Representasi

Etnis mayoritas sering menganggap identitas mereka sebagai “netral” atau “umum”, sementara ekspresi budaya minoritas dianggap sebagai “kekhususan”. Di Indonesia, narasi sejarah nasional lebih banyak diwarnai oleh pengalaman Jawa—baik dari segi tokoh sejarah, simbol nasional, maupun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah (Kleden, 2004). Hal ini membuat ekspresi dari luar Jawa sering kali tidak diberi tempat yang setara dalam wacana nasional.


Dalih Persatuan dan Keamanan Nasional

Diskriminasi terhadap minoritas kerap dibungkus dengan alasan “menjaga stabilitas” atau “mencegah radikalisme”. Di Cina, pemerintah menggunakan narasi deradikalisasi untuk membenarkan penahanan massal terhadap etnis Uighur, meskipun banyak laporan internasional menyebutkan bahwa tindakan ini adalah bentuk penindasan sistemik (Zenz, 2019). Dalih keamanan negara digunakan untuk membatasi kebebasan identitas dan ekspresi minoritas.


Pemaksaan Asimilasi

Minoritas sering dipaksa menyesuaikan diri agar “diterima” oleh masyarakat mayoritas. Di Malaysia, kebijakan afirmatif terhadap Bumiputera telah menimbulkan perasaan eksklusi pada warga non-Melayu, terutama dalam pendidikan tinggi dan akses ekonomi (Gomez & Saravanamuttu, 2013). Asimilasi yang dipaksakan ini mengabaikan prinsip multikulturalisme yang sejati.


Studi Kasus di India dan Indonesia

Di India, intoleransi tak disadari hadir dalam bentuk Hinduisasi negara. Meskipun India secara konstitusional adalah negara sekuler, pemerintah yang dipimpin oleh BJP sering mempromosikan simbol dan nilai-nilai Hindu dalam kebijakan pendidikan dan politik. Minoritas Muslim dan Kristen merasa identitas mereka semakin dipinggirkan. Misalnya, kontroversi mengenai larangan jilbab di beberapa sekolah di Karnataka menunjukkan bagaimana simbol religius minoritas dianggap “mengganggu” netralitas publik, sementara simbol mayoritas tidak dipermasalahkan.

Sementara itu, di Indonesia, intoleransi terselubung terlihat dalam narasi kewarganegaraan. Meski konstitusi menjamin kesetaraan warga, masyarakat Tionghoa seringkali masih dianggap “bukan bagian dari pribumi”. Dalam banyak kasus, loyalitas mereka dipertanyakan, dan representasi di media atau politik jarang lepas dari stereotip ekonomi. Diskursus keindonesiaan pun sering kali menyaratkan “kesesuaian” dengan norma mayoritas—baik dalam cara berpakaian, berbicara, hingga beragama.


Menuju Keadilan Kultural

Mengatasi intoleransi terselubung memerlukan kesadaran kritis dari kelompok mayoritas. Ini bukan sekadar soal toleransi antar-individu, tetapi pengakuan terhadap ketimpangan struktural dalam sistem sosial dan politik. Budaya mayoritas perlu membuka ruang bagi pluralitas, bukan dengan mengasimilasi perbedaan, tetapi dengan mengafirmasinya.

Pendidikan multikultural yang reflektif harus menjadi prioritas. Bukan hanya sekadar “menampilkan keberagaman” secara simbolik, tetapi mendorong pembelajaran tentang sejarah, kontribusi, dan perspektif minoritas secara sejajar. Media juga berperan penting dalam menciptakan narasi yang inklusif dan adil.

Dalam kata-kata Bhikhu Parekh (2000), keadilan dalam masyarakat multikultural bukan berarti menghapus perbedaan, tetapi mengelolanya dengan hormat dan kesetaraan. Negara harus menjadi arena di mana semua kelompok merasa aman mengekspresikan identitasnya tanpa takut dihakimi, direpresi, atau dikurangi haknya.

Penutup

Intoleransi yang tak disadari adalah bentuk paling berbahaya dari dominasi etnis mayoritas. Karena tersembunyi di balik “normalitas”, ia tidak memicu perlawanan eksplisit, tetapi terus-menerus melanggengkan ketimpangan. Kesadaran kolektif untuk merefleksikan posisi mayoritas, membongkar bias sistemik, dan membangun struktur sosial yang inklusif menjadi syarat utama bagi masa depan Asia yang adil dan damai.

[22 Desember 2024]

---

*suplemen bacaan Penguatan Moderasi Beragama 


Referensi

Cheesman, N. (2017). How in Myanmar “National Races” Came to Surpass Citizenship and Exclude Rohingya. Journal of Contemporary Asia, 47(3), 461–483.

Gomez, E. T., & Saravanamuttu, J. (Eds.). (2013). The New Economic Policy in Malaysia: Affirmative Action, Ethnic Inequalities and Social Justice. NUS Press.

Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.

Greenwald, A. G., & Krieger, L. H. (2006). Implicit Bias: Scientific Foundations. California Law Review, 94(4), 945–967.

Kleden, I. (2004). Indonesia: Kebudayaan dalam Politik. Kompas.

McCargo, D. (2008). Tearing Apart the Land: Islam and Legitimacy in Southern Thailand. Cornell University Press.

Parekh, B. (2000). Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Harvard University Press.

Zenz, A. (2019). “Brainwashing, Police Guards and Coercive Internment”: Evidence from Chinese Government Documents about the Nature and Extent of Xinjiang’s Detention Campaign. Journal of Political Risk, 7(11).

05 April 2025

Pertarungan Simbolik Otoritas Keagamaan Jawa

Oleh: Muhammad Nasir

Dosen UIN Imam Bonjol Padang


Dalam lanskap keagamaan Islam di Jawa akhir akhir ini, terdapat sebuah dinamika menarik yang terus berulang namun belum banyak dibahas secara terbuka: ketegangan yang muncul antara sebagian kiai dan kelompok habib. Satu sisi memperlihatkan adanya penolakan terhadap tokoh-tokoh habib tertentu, terutama yang tampil dengan retorika keras dan nuansa puritanisme. Di sisi lain, sebagian habib justru dipeluk erat, diberi tempat terhormat dalam forum-forum keagamaan, dan dijadikan panutan spiritual. Fenomena ini tampak kontradiktif, namun sesungguhnya mencerminkan dinamika otoritas keagamaan dalam bingkai kultural Islam Jawa yang kaya dan kompleks.


Secara sosiologis, terdapat dua sumber utama otoritas dalam Islam tradisional di Jawa: otoritas keilmuan dan otoritas keturunan (nasab). Kiai dalam tradisi pesantren membangun otoritas melalui proses panjang: belajar bertahun-tahun, menguasai teks klasik, membangun jaringan sanad keilmuan, serta hidup di tengah masyarakat dengan etos pelayanan keagamaan yang tinggi. Sebaliknya, sebagian habib membawa otoritas berbasis nasab, yakni status mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad, yang secara kultural dan historis memang memiliki tempat khusus dalam khazanah keislaman.


Ketika dua bentuk otoritas ini berjumpa, terutama dalam ruang publik yang sama, muncul potensi ketegangan. Martin van Bruinessen (1999) menyebutnya sebagai bentuk kontestasi otoritas keagamaan, yaitu perebutan legitimasi antara dua figur yang sama-sama mengklaim kewenangan berbicara atas nama Islam. Ketegangan ini bukan hanya menyangkut isu teologis, melainkan juga bersifat simbolik dan politis.