Muhammad Nasir
1. Pengertian Adat
Adat berasal dari kata Arab yang berarti berulang, dan fenomena
alam yang datang berulang dijadikan adat.[i]
Tetapi ada juga yang menyebut dari bahasa Sanskerta. Misalnya M Rasjid Manggis
Dt Radjo Panghoeloe menyebutkan adat berasal dari kata Sanskerta yang terbentuk
dari kata “a” dan “dato”. “A” artinya tidak dan “dato” artinya sesuatu yang
berfat tak benda.[ii] Jadi,
adat pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang tidak bersifat kebendaan. Kata
adat dalam kamus bahasa adalah aturan, perbuatan dan sebagainya yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala atau
kebiasaan, cara (kelakuan dan sebagainya) yang
sudah menjadi kebiasaan.[iii]
Sesuatu yang dapat di ambil dari dua pendapat yang menjelaskan asal kata di
atas adalah bahwa adat mengandung arti “kebiasaan” dan “tidak benda”. Kedua pendapat diatas
sekaligus menjadi dasar untuk mengatakan bahwa pembicaraan tentang adat
berkisar sekitar kebiasaan-kebiasaan yang sifatnya tidak benda.
Ahli hukum adat Prof. Dr. Hazairin yang menyatakan bahwa adat adalah kesusilaan dan di dalam adat termuat endapan kesusilaan berupa kaidah-kaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.[iv] Sejalan dalam pengertian ini Muzamil (2014) menyatakan bahwa adat adalah rasa malu yang ditimbulkan oleh karena berfungsinya sistem nilai dalam masyarakat Adat yang bersangkutan atau karena upaya-upaya lain yang pada akhirnya akan mengenai orang yang bersangkutan apabila ia tidak mematuhi hukum yang ada. Dengan kata lain, kekuatan mengikat hukum Adat adalah kesadaran hukum anggota masyarakat adat yang bersangkutan.[v]
Di Minangkabau, Adat disebut dengan Adaik yang artinya
aturan hidup orang Minang yang menganut garis kekerabatan ibu (matrilineal)
yang telah ditetapkan oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak
Katamangguangan.[vi] Dalam
pemahaman tambo disebut dengan istilah Adat
lamo pusako usang (adat dan pusaka lama)[vii]
yang diwarisi turun-temurun dari Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk
Katumanggungan. [viii]Dari
ungkapan adat ini, dapat diketahui, bahwa adat itu mengandung makna turun
temurun diperdapat dari kata “pusako”.
Pengertian adat lainya menurut adat minangkabau adalah segala yang
terkait dengan hukum alam yang merupakan kebiasaan-kebiasaan (fenomena) yang
lazim terjadi di alam. Segala yang terjadi di alam ini menjadi inspirasi untuk
menyusun falsafah adat Minangkabau.[ix]
Falsafah ini kemudian dikenal masyarakat dengan ungkapan Alam Talambang Jadi
Guru (Alam terkembang/ terhampar men jadi guru)
Pengertian adat di Minangkabau juga mencakup susunan organisasi
pemerintahan yang mengatur kehidupan
anggota masyarakat yang biasa disebut anak kemanakan di dalam nagari.[x]
Dari segi pemerintahan tradisional Minangkabau, adat Minangkabau mengenal dua
basis organisasi pemerintahan, yaitu organisasi yang berbasis kelompok kerabat
genealogis jalur ibu (matrilinieal) dan organisasi pemerintahan yang berbasis
teritorial, yaitu Nagari. Dari jalur kekerabatan, urut organisasinya dari yang
terbawah adalah rumah tanggo, paruik, kaum, dan suku. Sementara organisasi
Nagari merupakan kesatuan politik supra suku atau lebih tepatnya dapat disebut
dengan federasi suku yang membentuk teritorial nagari.[xi]
Beberapa pengertian di atas menunjukkan bahwa adat pada hakikatnya
adalah kebiasaan, norma, institusi sosial, kode tingkah laku yang hidup di
masyarakat. Semua kelompok pengertian yang diuraikan tersebut, secara
sistematis disusun oleh pendahulu masyarakat Minangkabau dalam bentuk susunan
adat yang khas, disebut dengan adat nan ampek (adat yang empat). Adat
nan Ampek itu terdiri dari Adat nan Sabana Adat, Adat nan Diadatkan, Adat nan
Teradat dan Adat Istiadat. Penjelasan lebih rinci akan diuraikan setelah ini.
2.
Adat
nan Ampek
Ada beberapa istilah yang sering digunakan oleh literatur
Minangkabau untuk menyatakan pembagian adat Minangkabau. Ada yang mengunakan
istilah kategori[xii] dan
ada yang menggunakan tingkatan.[xiii]
Ada pula yang menyebut bahwa adat Minangkabau itu satu (tunggal) namun berisi
empat bagian.[xiv]
Meskipun ada perbedaan dalam penyebutan namun penjelasan terhadap keempat adat
yang dimaksud tidak banyak perbedaan mendasar. Keempat adat itu adalah Adat nan
Sabana Adat, Adat nan Diadatkan, Adat nan Teradat dan Adat Istiadat.
a.
Adat nan Sabana
Adat
Adat
nan Sabana Adat (adat yang sebenarnya) adalah
aturan dasar atau falsafah yang mendasari kehidupan suku Minang yang
berlaku turun temurun tanpa ditentukan oleh waktu, tempat dan keadaan
sebagaimana disebut dalam pepatah adat nan indak lakang dek paneh (tidak
kering karena diterpa panas), nan indak lapuak dek hujan (tidak lapuk
karena tertimpa hujan).[xv]Jika
ada keinginan atau paksaan keras untuk mengubahnya, maka keadaan tak akan
berubah. Disebutkan dengan istilah dicabuik indak mati, diasak indak layua (dicabut
tidak mati. dipindahkan tidak layu).[xvi]
Adat
nan sabana adat dalam pengertian di atas dipahami orang Minangkabau sebagai hukum
alam yang merupakan falsafah hidup mendasar
masyarakat Minangkabau. Hukum alam semisal adat api mambaka (adat
api membakar), adat aia mambasahi (adat air membasahi), adat ayam
bakukuak (adatnya ayam berkokok), adat pisau malukoi (adatnya pisau
melukai), dan sebagainya. Semua kenyataan yang berlaku di alam itu berlaku di
seluruh alam Minangkabau bahkan di seluruh hamparan bumi. Oleh sebab hukum alam
ini berlaku universal, maka adat nan sabana adat dihukum sebagai adat
sabatang panjang (adat universal). Karena itu adat sabana adat dijadikan
sebagai patron dalam menyusun adat, karena dinilai sebagai bentuk kewarasan.
Bagi orang Minangkabau yang mengingkari kenyataan alam ini dinilai bukan lagi
manusia paripurna, dan dengan sendirinya tereliminasi sebagai orang
Minangkabau.
Dengan
masuknya agama Islam ke Minangkabau, maka ajaran Islam dimasukkan dalam
kategori adat nan sabana adat, dan diakui sebagai suatu hal yang tak mungkin
berubah, Inilah yang kemudian dijadikan pedoman dalam menyusun tata cara
mengatur kehidupan manusia. Hal ini terlihat dalam penjelasan adat nan sabana
adat yang diuraikan oleh Syekh Sulaiman al Rasuly (1871-1970). Dalam tulisannya
Pertalian Adat dan Syara’ (1939), ulama bergelar Inyiak Caduang itu menulis:
Adapun
yang dinamakan nan sebenar adat ialah beberapa peraturan yang diturunkan oleh
Allah SWT kepada rasul-Nya Muhammad SAW dan disampaikan kepada umatnya dan
diajarkan oleh guru-guru kepada muridnya. Itulah yang dinamakan sepanjang
syara’ yang tersebut dalam kitabullah. Di situlah diambil sah-batal,
halal-haram, sunat dan fardhu dst.[xvii]
Penjelasan
yang sama juga dapat ditemui dalam pantun yang dihimpun oleh N.M. Rangkoto dari
khazanah sastra lisan masyarakat Minangkabau sebagai berikut:
Nyatonyo
adat ampek parkaro (adapun
adat ada empat perkara)
partamo
adat sabana adat (pertama adat yang sebenarmya)
Dijadikan
Tuhan mukaluaknyo (Tuhan menjadikan makhluk-Nya)
mamakai
tando manurut sipat (memakai tanda menurut sifat)[xviii]
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kosmologi Minangkabau, adat nan
sabana adat merupakan bentuk adat yang bersumber dari tuhan (Allah SWT)
baik berupa makhluk ciptaan-Nya maupun dalam bentuk agama Islam yang juga bersumber
dari Allah SWT. Dapat pula dipahami dari penjelasan ini bahwa ada dua periode
yang menunjukkan perubahan definisi terhadap Adat nan Sabana Adat, yaitu
periode pra Islam yang menjadikan fenomena alam sebagai bentuk adat nan sabana
adat, dan periode Islam yang telah memberikan penjelasan bahwa struktur dan
alam semesta mempunyai sejarah, yaitu berasal dari pencipta alam (Allah SWT).
b.
Adat nan
Diadatkan
Adat
nan teradat adalah peraturan yang diterima dari Datuak Ketemanggungan dan
Datuak Perpatih nan Sabatang. Menurut Syekh Sulaiman al Rasuli kedua tokoh
itulah yang mula-mula menggagas peraturan berupa cupak nan duo, kato
nan ampek, dan undang nan ampek.[xix]
Profil
kedua datuak yang disebut di atas masih kontroversi hingga sekarang.[xx]
Namun masyarakat Minangkabau meyakini bahwa mereka berdualah yang menyusun
peraturan adat Minangkabau pertama kali. Datuak Katumangguangan menyusun sistem
pemerintahan adat Koto Piliang yang otokratis dan Datuak Parpatiah nan Sabatang
menyusun sistem pemerintahan adat yang demokratis atau konfederatif.[xxi]
Meskipun
ada perbedan sistem adat yang digagas oleh kedua tokoh ini, masyarakat
Minangkabau menerima kehadiran kedua sistem ini secara bersamaan dan berjalan
berbarengan (coexistence). Kedua sistem ini selanjutnya disebut dengan barih
balabeh semacam hukum untuk urusan ketatanegaraan. Sebagai bentuk
penghormatan kepada kedua datuk itu, masyarakat Minangkabau pada umumnya
menyebut kedua tokoh itu dengan satu tarikan nafas, tidak memisahkan dan tidak
meninggi-merendahkan salah seorang dari keduanya.[xxii]
Pembahasan mendalam terhadap kedua sistem kelarasan pemerintahan ini akan di
bahas ada poin berikutnya.
Adat
nan diadatkan bertujuan untuk mempertahankan dan melanjutkan Minangkabau. Yang
termasuk dalam kategori Adat Nan diadatkan ini adalah pertama,
silsilah keturunan adalah menurut garis kerabat ibu (matrilineal). Kedua,
aturan perkawinan hanya dapat dilangsungkan dengan pihak di luar kesukuannya
(perkawinan eksogami) di mana suami tinggal bersama lingkungan kaum atau
keluarga si isteri (matrilokal). Ketiga, harta pusaka tinggi yang
turun-temurun menurut garis kekerabatan ibu, dan menjadi milik kolektif dari
jurainya, yang tidak boleh
diperjualbelikan, kecuali tidak ada lagi ahli warisnya (punah). Keempat,
Falsafah Alam Takambang jadi guru dijadikan landasan utama pendidikan alamiah
dan rasional.[xxiii]
Status
Adat nan Diadatkan dalam adat Minangkabau hampir sama dengan Adat nan
Sabana Adat dengan penjelasan bahwa adat ini tidak “boleh” diubah dan berlaku
di seluruh alam Minangkabau. Penyebabnya adalah keempat hal yang disebut di
atas merupakan penciri utama adat Minangkabau. Jika hal ini diubah, maka
Minangkabau diyakini tidak ada lagi, karena kehilangan cirinya dan tidak dapat
lagi disebut dengan Minangkabau.
c.
Adat nan
Teradat
Adat
Nan Teradat merupakan hasil kesepakatan penghulu-penghulu dalam suatu nagari
berdasarkan pada pokok-pokok hukum yang telah dituangkan oleh nenek moyang
(Datuak Perpatiah Nan Sabatang dan Datuak Ketumanggungan) dalam pepatah-petitih
Adat. Di sini berlaku hukum lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Seperti aturan adat tentang perkawinan dan pengangkatan penghulu, pada umumnya
sama di seluruh alam Minangkabau. tetapi tatacara pelaksanaan adat perkawinan
itu sendiri dapat berbeda-beda di setiap nagari sesuai dengan hukum lain
padang lain belalang, lain lubuk lain ikannyo. Tata cara pelaksanaan inilah
yang diputuskan berdasarkan kusyawarah kerapatan penghulu-penghulu di suatu
nagari.
Begitu
pula peresmian sako (gelar pusaka) kaum atau penghulu, ada nagari yang
memotong kerbau, ada yang memotong jawi (sapi) ada dengan membayar uang adat ke
nagari yang bersangkutan. Semuanya adalah aturan pelaksanaan dari peresmian
satu gelar pusaka kaum (sako) yang diambil keputusannya melalui musyawarah
mufakat. Adapun pokok-pokok hukumnya tetap mengacu kepada aturan Adat nan
Sabatang Panjang.[xxiv]
Termasuk
kategori Adat Nan Teradat adalah kebiasaan seseorang dalam kehidupan masyarakat yang boleh
ditambah atau dikurangi dan bahkan boleh ditinggalkan,[xxv]
selama tidak menyalahi landasan berpikir orang Minangkabau, yaitu alua jo
patuik (alur dan patut), raso jo pareso (perasaan dan logika), dan
musyawarah-mufakat.
d.
Adat Istiadat
Adat Istiadat adalah peraturan-peraturan yang juga dibuat oleh
penghulu-penghulu di suatu nagari melalui musyawarah mufakat sehubungan dengan
sehubungan dengan kesukaan anak nagari seperti kesenian, olah raga, pencak
silat randai, talempong, pakaian laki-laki, pakaian wanita, barang-barang
bawaan (hantaran) ke rumah mempelai, begitupun helat jamu meresmikan sako,
marawa, tanggo, gaba-gaba, pelaminan dan sebagainya. Untuk adat istiadat ini
juga berlaku pepatah yang berbunyi :
Lain
lubuak lain ikannyo,
lain
padang lain balalangnyo,
lain
nagari lain adatnyo (istiadatnyo)
Adat
istiadat ini hukumnya boleh dilaksanakan dan boleh ditinggalkan. Pelaksanaannya
mesti melihat keadaan dan mempertimbangkan tertib, sopan dan malu dalam
masyarakat. misalnya, bila ada anggota masyarakat yang meninggal, tidak patut
dalam keadaan tersebut anak nagari menyelenggarakan acara hiburan, misalnya
acara basaluang. Hal itu dianggap sebagai tindakan yang indak bataratik (tidak
memenuhi tata tertib).[xxvi]
[i] Zubir Rasyad, Ranah
dan Adat Minangkabau, Jakarta: Agra Wirasanda, 2009, hlm. 53
[ii] M. Rasjid
Manggis Dt. Radjo Panghoeloe, Sejarah Ringkas dan Adatnya, Jakarta:
Mutiara Sumber Widia, 1987, hlm. 145
[iii] Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, hlm.11
[iv] Lihat
Hazairin, Pergolakan Penyesuaian Adat Kepada Hukum Islam (1952)
[v] Mawardi
Muzamil, Anis Mashdurohatun, Perbandingan Sistem Hukum (Hukum Barat, Adat
dan Islam). Semarang: Madina, 2014, hlm.68
[vi] Gouzali
Saydam, Kamus Lengkap bahasa Minang (Bagian Pertama), Padang: PPIM,
2004, hlm.3
[vii] Zubir Rasyad, Op.Cit.,52
[viii] Nama Datuk
Perpatih nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan hidup terus di Minangkabau
sebagai perumus adat (hukum) "Bodi Caniago dan Koto Piliang. Ingatan
tentang ini telah menjadi fakta sosial (mentifact)
[ix]
A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta:
Grafiti Press., 1984, hlm. 57
[x] Zikri
Darussamin, Integrasi Kewarisan Adat Melayu-Riau dengan Islam, P3M UIN
Sultan Syarif Kasim Riau, Jurnal Sosial Budaya, Vol 11, No 2 (2014), hlm. 148
[xi] Elizabeth E Graves, Asal-usul Elite
Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX-XX, Jakarta:Yayasan
Obor Indonesia, 2007.
[xii] A.A. Navis
menggunakan istilah kategori, lihat AA.Navis, Op.Cit., hlm. 88-89.
Demikian pula Gouzali Saydam, Loc.cit.
[xiii] Edison M.S.,
Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau, Budaya dan Hukum Adat di
Minangkabau, Bukittinggi: Kristal Multimedia,2010, hlm. 139
[xiv] M. Rasjid
Manggis, Op.cit. hlm.160
[xv] Edison, Op.Cit.,
h. 40
[xvi] AA. Navis, Op.cit.,
hlm.89
[xvii]
Syekh Sulaiman al Rasuli, Pertalian Adat dan Syara' di Minangkabau. Alih
Tulisan, Hamdan Izmy, Jakarta: Ciputat Press, 2003, hlm. 4
[xviii] N.M Rangkoto, Pantun
Adat Minangkabau, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah, 1982, hlm.36
[xix] Syekh Sulaiman
al Rasuli, Op.Cit., hlm. 5
[xx] Salah satu
situs yang disebut sebagai sumber sejarah tentang kedua tokoh ini adalah situs
Batu Batikam di Dusun Tuo Limo Kaum, Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar.
Informasi ringkas tentang situs ini dapat dibaca di https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/batu-batikam-dan-pembuktian-dua-tokoh-minangkabau/, diakses
tanggal 12 September 2020
[xxi] Untuk uraian
lebih luas dapat dibaca di A. Dt.Batuah, dan A Dt. Madjoindo, Tambo
Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka, 1959
[xxii] M. Rasjid
Manggis, Op.Cit., 236
[xxiii] Edison M.S., Op.Cit.,
hlm.139
[xxiv] Marsadis Dt.
Sutan Mamad, Tokoh Adat Sungai Pagu, Wawancara, Sabtu, 17 November 2018
[xxv] M. Rasjid
Manggis, Op.Cit.,hlm. 161
[xxvi] Z. Katik
Mangkuto, tokoh masyarakat Agam, Wawancara via Telpon, 12 September 2020
No comments:
Post a Comment