09 October 2020

Adat Minangkabau

Muhammad Nasir

 

1.    Pengertian Adat

Adat berasal dari kata Arab yang berarti berulang, dan fenomena alam yang datang berulang dijadikan adat.[i] Tetapi ada juga yang menyebut dari bahasa Sanskerta. Misalnya M Rasjid Manggis Dt Radjo Panghoeloe menyebutkan adat berasal dari kata Sanskerta yang terbentuk dari kata “a” dan “dato”. “A” artinya tidak dan “dato” artinya sesuatu yang berfat tak benda.[ii] Jadi, adat pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang tidak bersifat kebendaan. Kata adat dalam kamus bahasa adalah aturan, perbuatan dan sebagainya yang lazim  diturut atau dilakukan sejak dahulu kala atau kebiasaan, cara (kelakuan dan sebagainya) yang  sudah menjadi kebiasaan.[iii] Sesuatu yang dapat di ambil dari dua pendapat yang menjelaskan asal kata di atas adalah bahwa adat mengandung arti “kebiasaan”  dan “tidak benda”. Kedua pendapat diatas sekaligus menjadi dasar untuk mengatakan bahwa pembicaraan tentang adat berkisar sekitar kebiasaan-kebiasaan yang sifatnya tidak benda.

Ahli hukum adat Prof. Dr. Hazairin yang menyatakan bahwa adat adalah kesusilaan dan di dalam adat termuat endapan kesusilaan berupa kaidah-kaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.[iv] Sejalan dalam pengertian ini Muzamil (2014) menyatakan bahwa adat adalah rasa malu yang ditimbulkan oleh karena berfungsinya sistem nilai dalam masyarakat Adat yang bersangkutan atau karena upaya-upaya lain yang pada akhirnya akan mengenai orang yang bersangkutan apabila ia tidak mematuhi hukum yang ada. Dengan kata lain, kekuatan mengikat hukum Adat adalah kesadaran hukum anggota masyarakat adat yang bersangkutan.[v]

Di Minangkabau, Adat disebut dengan Adaik yang artinya aturan hidup orang Minang yang menganut garis kekerabatan ibu (matrilineal) yang telah ditetapkan oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katamangguangan.[vi] Dalam pemahaman tambo disebut  dengan istilah Adat lamo pusako usang (adat dan pusaka lama)[vii] yang diwarisi turun-temurun dari Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan. [viii]Dari ungkapan adat ini, dapat diketahui, bahwa adat itu mengandung makna turun temurun diperdapat dari kata “pusako”.

Pengertian adat lainya menurut adat minangkabau adalah segala yang terkait dengan hukum alam yang merupakan kebiasaan-kebiasaan (fenomena) yang lazim terjadi di alam. Segala yang terjadi di alam ini menjadi inspirasi untuk menyusun falsafah adat Minangkabau.[ix] Falsafah ini kemudian dikenal masyarakat dengan ungkapan Alam Talambang Jadi Guru (Alam terkembang/ terhampar men jadi guru)

Pengertian adat di Minangkabau juga mencakup susunan organisasi pemerintahan yang mengatur  kehidupan anggota masyarakat yang biasa disebut anak kemanakan di dalam nagari.[x] Dari segi pemerintahan tradisional Minangkabau, adat Minangkabau mengenal dua basis organisasi pemerintahan, yaitu organisasi yang berbasis kelompok kerabat genealogis jalur ibu (matrilinieal) dan organisasi pemerintahan yang berbasis teritorial, yaitu Nagari. Dari jalur kekerabatan, urut organisasinya dari yang terbawah adalah rumah tanggo, paruik, kaum, dan suku. Sementara organisasi Nagari merupakan kesatuan politik supra suku atau lebih tepatnya dapat disebut dengan federasi suku yang membentuk teritorial nagari.[xi]

Beberapa pengertian di atas menunjukkan bahwa adat pada hakikatnya adalah kebiasaan, norma, institusi sosial, kode tingkah laku yang hidup di masyarakat. Semua kelompok pengertian yang diuraikan tersebut, secara sistematis disusun oleh pendahulu masyarakat Minangkabau dalam bentuk susunan adat yang khas, disebut dengan adat nan ampek (adat yang empat). Adat nan Ampek itu terdiri dari Adat nan Sabana Adat, Adat nan Diadatkan, Adat nan Teradat dan Adat Istiadat. Penjelasan lebih rinci akan diuraikan setelah ini.

 

2.    Adat nan Ampek

Ada beberapa istilah yang sering digunakan oleh literatur Minangkabau untuk menyatakan pembagian adat Minangkabau. Ada yang mengunakan istilah kategori[xii] dan ada yang menggunakan  tingkatan.[xiii] Ada pula yang menyebut bahwa adat Minangkabau itu satu (tunggal) namun berisi empat bagian.[xiv] Meskipun ada perbedaan dalam penyebutan namun penjelasan terhadap keempat adat yang dimaksud tidak banyak perbedaan mendasar. Keempat adat itu adalah Adat nan Sabana Adat, Adat nan Diadatkan, Adat nan Teradat dan Adat Istiadat.

 

a.         Adat nan Sabana Adat

Adat nan Sabana Adat (adat yang sebenarnya) adalah  aturan dasar atau falsafah yang mendasari kehidupan suku Minang yang berlaku turun temurun tanpa ditentukan oleh waktu, tempat dan keadaan sebagaimana disebut dalam pepatah adat nan indak lakang dek paneh (tidak kering karena diterpa panas), nan indak lapuak dek hujan (tidak lapuk karena tertimpa hujan).[xv]Jika ada keinginan atau paksaan keras untuk mengubahnya, maka keadaan tak akan berubah. Disebutkan dengan istilah dicabuik indak mati, diasak indak layua (dicabut tidak mati. dipindahkan tidak layu).[xvi]

Adat nan sabana adat dalam pengertian di atas dipahami orang Minangkabau sebagai hukum alam yang merupakan falsafah hidup mendasar  masyarakat Minangkabau. Hukum alam semisal adat api mambaka (adat api membakar), adat aia mambasahi (adat air membasahi), adat ayam bakukuak (adatnya ayam berkokok), adat pisau malukoi (adatnya pisau melukai), dan sebagainya. Semua kenyataan yang berlaku di alam itu berlaku di seluruh alam Minangkabau bahkan di seluruh hamparan bumi. Oleh sebab hukum alam ini berlaku universal, maka adat nan sabana adat dihukum sebagai adat sabatang panjang (adat universal). Karena itu adat sabana adat dijadikan sebagai patron dalam menyusun adat, karena dinilai sebagai bentuk kewarasan. Bagi orang Minangkabau yang mengingkari kenyataan alam ini dinilai bukan lagi manusia paripurna, dan dengan sendirinya tereliminasi sebagai orang Minangkabau.

Dengan masuknya agama Islam ke Minangkabau, maka ajaran Islam dimasukkan dalam kategori adat nan sabana adat, dan diakui sebagai suatu hal yang tak mungkin berubah, Inilah yang kemudian dijadikan pedoman dalam menyusun tata cara mengatur kehidupan manusia. Hal ini terlihat dalam penjelasan adat nan sabana adat yang diuraikan oleh Syekh Sulaiman al Rasuly (1871-1970). Dalam tulisannya Pertalian Adat dan Syara’ (1939), ulama bergelar Inyiak Caduang itu menulis:

Adapun yang dinamakan nan sebenar adat ialah beberapa peraturan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada rasul-Nya Muhammad SAW dan disampaikan kepada umatnya dan diajarkan oleh guru-guru kepada muridnya. Itulah yang dinamakan sepanjang syara’ yang tersebut dalam kitabullah. Di situlah diambil sah-batal, halal-haram, sunat dan fardhu dst.[xvii]

Penjelasan yang sama juga dapat ditemui dalam pantun yang dihimpun oleh N.M. Rangkoto dari khazanah sastra lisan masyarakat Minangkabau sebagai berikut:

Nyatonyo adat ampek parkaro  (adapun adat ada empat perkara)

partamo adat sabana adat (pertama adat yang sebenarmya)

Dijadikan Tuhan mukaluaknyo (Tuhan menjadikan makhluk-Nya) 

mamakai tando manurut sipat (memakai tanda menurut sifat)[xviii]

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kosmologi Minangkabau, adat nan sabana adat merupakan bentuk adat yang bersumber dari tuhan (Allah SWT) baik berupa makhluk ciptaan-Nya maupun dalam bentuk agama Islam yang juga bersumber dari Allah SWT. Dapat pula dipahami dari penjelasan ini bahwa ada dua periode yang menunjukkan perubahan definisi terhadap Adat nan Sabana Adat, yaitu periode pra Islam yang menjadikan fenomena alam sebagai bentuk adat nan sabana adat, dan periode Islam yang telah memberikan penjelasan bahwa struktur dan alam semesta mempunyai sejarah, yaitu berasal dari pencipta alam (Allah SWT).

 

b.         Adat nan Diadatkan

Adat nan teradat adalah peraturan yang diterima dari Datuak Ketemanggungan dan Datuak Perpatih nan Sabatang. Menurut Syekh Sulaiman al Rasuli kedua tokoh itulah yang mula-mula menggagas peraturan berupa cupak nan duo, kato nan ampek, dan undang nan ampek.[xix]

Profil kedua datuak yang disebut di atas masih kontroversi hingga sekarang.[xx] Namun masyarakat Minangkabau meyakini bahwa mereka berdualah yang menyusun peraturan adat Minangkabau pertama kali. Datuak Katumangguangan menyusun sistem pemerintahan adat Koto Piliang yang otokratis dan Datuak Parpatiah nan Sabatang menyusun sistem pemerintahan adat yang demokratis atau konfederatif.[xxi]

Meskipun ada perbedan sistem adat yang digagas oleh kedua tokoh ini, masyarakat Minangkabau menerima kehadiran kedua sistem ini secara bersamaan dan berjalan berbarengan (coexistence). Kedua sistem ini selanjutnya disebut dengan barih balabeh semacam hukum untuk urusan ketatanegaraan. Sebagai bentuk penghormatan kepada kedua datuk itu, masyarakat Minangkabau pada umumnya menyebut kedua tokoh itu dengan satu tarikan nafas, tidak memisahkan dan tidak meninggi-merendahkan salah seorang dari keduanya.[xxii] Pembahasan mendalam terhadap kedua sistem kelarasan pemerintahan ini akan di bahas ada poin berikutnya.

Adat nan diadatkan bertujuan untuk mempertahankan dan melanjutkan Minangkabau. Yang termasuk dalam kategori Adat Nan diadatkan ini adalah pertama, silsilah keturunan adalah menurut garis kerabat ibu (matrilineal). Kedua, aturan perkawinan hanya dapat dilangsungkan dengan pihak di luar kesukuannya (perkawinan eksogami) di mana suami tinggal bersama lingkungan kaum atau keluarga si isteri (matrilokal). Ketiga, harta pusaka tinggi yang turun-temurun menurut garis kekerabatan ibu, dan menjadi milik kolektif dari jurainya, yang tidak boleh  diperjualbelikan, kecuali tidak ada lagi ahli warisnya (punah). Keempat, Falsafah Alam Takambang jadi guru dijadikan landasan utama pendidikan alamiah dan rasional.[xxiii]

Status Adat nan Diadatkan dalam adat Minangkabau hampir sama dengan Adat nan Sabana Adat dengan penjelasan bahwa adat ini tidak “boleh” diubah dan berlaku di seluruh alam Minangkabau. Penyebabnya adalah keempat hal yang disebut di atas merupakan penciri utama adat Minangkabau. Jika hal ini diubah, maka Minangkabau diyakini tidak ada lagi, karena kehilangan cirinya dan tidak dapat lagi disebut dengan Minangkabau.

 

c.         Adat nan Teradat

            Adat Nan Teradat merupakan hasil kesepakatan penghulu-penghulu dalam suatu nagari berdasarkan pada pokok-pokok hukum yang telah dituangkan oleh nenek moyang (Datuak Perpatiah Nan Sabatang dan Datuak Ketumanggungan) dalam pepatah-petitih Adat. Di sini berlaku hukum lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Seperti aturan adat tentang perkawinan dan pengangkatan penghulu, pada umumnya sama di seluruh alam Minangkabau. tetapi tatacara pelaksanaan adat perkawinan itu sendiri dapat berbeda-beda di setiap nagari sesuai dengan hukum lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannyo. Tata cara pelaksanaan inilah yang diputuskan berdasarkan kusyawarah kerapatan penghulu-penghulu di suatu nagari.

            Begitu pula peresmian sako (gelar pusaka) kaum atau penghulu, ada nagari yang memotong kerbau, ada yang memotong jawi (sapi) ada dengan membayar uang adat ke nagari yang bersangkutan. Semuanya adalah aturan pelaksanaan dari peresmian satu gelar pusaka kaum (sako) yang diambil keputusannya melalui musyawarah mufakat. Adapun pokok-pokok hukumnya tetap mengacu kepada aturan Adat nan Sabatang Panjang.[xxiv]

Termasuk kategori Adat Nan Teradat adalah kebiasaan seseorang  dalam kehidupan masyarakat yang boleh ditambah atau dikurangi dan bahkan boleh ditinggalkan,[xxv] selama tidak menyalahi landasan berpikir orang Minangkabau, yaitu alua jo patuik (alur dan patut), raso jo pareso (perasaan dan logika), dan musyawarah-mufakat.

 

d.        Adat Istiadat

Adat Istiadat adalah peraturan-peraturan yang juga dibuat oleh penghulu-penghulu di suatu nagari melalui musyawarah mufakat sehubungan dengan sehubungan dengan kesukaan anak nagari seperti kesenian, olah raga, pencak silat randai, talempong, pakaian laki-laki, pakaian wanita, barang-barang bawaan (hantaran) ke rumah mempelai, begitupun helat jamu meresmikan sako, marawa, tanggo, gaba-gaba, pelaminan dan sebagainya. Untuk adat istiadat ini juga berlaku pepatah yang berbunyi :

Lain lubuak lain ikannyo,

lain padang lain balalangnyo,

lain nagari lain adatnyo (istiadatnyo)

 

Adat istiadat ini hukumnya boleh dilaksanakan dan boleh ditinggalkan. Pelaksanaannya mesti melihat keadaan dan mempertimbangkan tertib, sopan dan malu dalam masyarakat. misalnya, bila ada anggota masyarakat yang meninggal, tidak patut dalam keadaan tersebut anak nagari menyelenggarakan acara hiburan, misalnya acara basaluang. Hal itu dianggap sebagai tindakan yang indak bataratik (tidak memenuhi tata tertib).[xxvi]

 



[i] Zubir Rasyad, Ranah dan Adat Minangkabau, Jakarta: Agra Wirasanda, 2009, hlm. 53

[ii] M. Rasjid Manggis Dt. Radjo Panghoeloe, Sejarah Ringkas dan Adatnya, Jakarta: Mutiara Sumber Widia, 1987, hlm. 145

[iii] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, hlm.11

[iv] Lihat Hazairin, Pergolakan Penyesuaian Adat Kepada Hukum Islam (1952)

[v] Mawardi Muzamil, Anis Mashdurohatun, Perbandingan Sistem Hukum (Hukum Barat, Adat dan Islam). Semarang: Madina, 2014, hlm.68

[vi] Gouzali Saydam, Kamus Lengkap bahasa Minang (Bagian Pertama), Padang: PPIM, 2004, hlm.3

[vii] Zubir Rasyad, Op.Cit.,52

[viii] Nama Datuk Perpatih nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan hidup terus di Minangkabau sebagai perumus adat (hukum) "Bodi Caniago dan Koto Piliang. Ingatan tentang ini telah menjadi fakta sosial (mentifact)

[ix] A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta: Grafiti Press., 1984, hlm. 57  

[x] Zikri Darussamin, Integrasi Kewarisan Adat Melayu-Riau dengan Islam, P3M UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Jurnal Sosial Budaya, Vol 11, No 2 (2014), hlm. 148

[xi] Elizabeth E Graves, Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX-XX, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007.

[xii] A.A. Navis menggunakan istilah kategori, lihat AA.Navis, Op.Cit., hlm. 88-89. Demikian pula Gouzali Saydam,  Loc.cit.

[xiii] Edison M.S., Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Bukittinggi: Kristal Multimedia,2010, hlm. 139

[xiv] M. Rasjid Manggis, Op.cit. hlm.160

[xv] Edison, Op.Cit., h. 40

[xvi] AA. Navis, Op.cit., hlm.89

[xvii] Syekh Sulaiman al Rasuli, Pertalian Adat dan Syara' di Minangkabau. Alih Tulisan, Hamdan Izmy, Jakarta: Ciputat Press, 2003, hlm. 4

[xviii] N.M Rangkoto, Pantun Adat Minangkabau, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1982, hlm.36

[xix] Syekh Sulaiman al Rasuli, Op.Cit., hlm. 5

[xx] Salah satu situs yang disebut sebagai sumber sejarah tentang kedua tokoh ini adalah situs Batu Batikam di Dusun Tuo Limo Kaum, Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar. Informasi ringkas tentang situs ini dapat dibaca di https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/batu-batikam-dan-pembuktian-dua-tokoh-minangkabau/, diakses tanggal 12 September 2020

[xxi] Untuk uraian lebih luas dapat dibaca di A. Dt.Batuah, dan A Dt. Madjoindo, Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka, 1959

[xxii] M. Rasjid Manggis, Op.Cit., 236

[xxiii] Edison M.S., Op.Cit.,  hlm.139

[xxiv] Marsadis Dt. Sutan Mamad, Tokoh Adat Sungai Pagu, Wawancara, Sabtu, 17 November 2018

[xxv] M. Rasjid Manggis, Op.Cit.,hlm. 161

[xxvi] Z. Katik Mangkuto, tokoh masyarakat Agam, Wawancara via Telpon, 12 September 2020

No comments: