Cerita Bang
Covid Sejenak Setelah Kematiannya
Cerpen Muhammad Nasir
Jam 23.50 WIB jelang tengah malam rumahku diketuk
seseorang. Aku belum tidur. Sejak isya tadi aku masih asyik menggerayangi layar
sentuh handphoneku. Dari balik jendela
kuintip, rupanya ada bujang tanggung berusia limabelas tahun. Selepas pintu rumahku terkuak, kulihat
wajahnya ragu-ragu. Sepertinya ia ingin bicara, tapi tak tahu apa yang ingin ia
bicarakan. Sebab ia terpana saja menatap mataku. Baiklah, aku saja yang akan
bertanya.
“Ada apa, Dodo Armando?” sapaku perlahan.
Buyung atung itu bernama Dodo Armando anak
tetanggaku Covid Coperfield. Meskipun sudah aku tanya, ia belum menjawab juga.
Ia masih terlihat ragu-ragu apa yang akan ia katakan. Matanya sebentar-sebentar
melihat ke rumahnya, dua petak rumah jaraknya dari rumahku. Kemudian ia kembali
menatapku. Kali ini ia menggaruk-garuk alis mata kirinya.
“Ada apa denganmu Dodo? Ada perlu apa tengah malam
begini?” kembali kuulangi pertanyaanku. Kali ini Dodo sudah siap dengan
jawabannya.
“Ibuku menyuruh aku ke sini. Tapi... begini sajalah
Om. Tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku berharap Om mau ke rumahku segera,”
jawab Dodo.
Dodo lega setelah berhasil berkata-kata. Namun
setelah berkata, ia terlihat gelisah. Aku paham. Pasti ada yang penting. Aku
tak ingin membayangkan sesuati yang tak jelas. Akhirnya kukabulkan permintaan
Dodo dengan mengangguk berulang-ulang. Dodok kusuruh saja pulang segera,
“Ya, ya, ya. Baiklah Dodo. Kau pulanglah duluan. Om
akan segera ke rumahmu.
Aku bergegas ke dalam rumah. Segera ku loloskan
sarungku dan menggantinya dengan celana panjang. Ku raih handphone ku, kubawa
serta ke rumah Covid Coperfield. Dari pintu pagarku, ku lihat Dodo berdiri di
pintu pagar rumahnya. Sepertinya ia ingin memastikan bahwa aku akan segera
datang ke rumahnya. Setelah aku terlihat berjalan ke rumahnya, ia segera masuk
ke dalam rumah. Pintu ia biarkan terbuka lebar. Semua lampu di rumah itu
terlihat menyala.
Dengan rasa penasaran aku segera masuk. Aku tak
ingin menduga-duga. Di tengah rumah terlihat Dodo dan dua adiknya termenung
bersama-sama. Wajah mereka terlihat cemas dan tegang.
“Ibu di dalam bersama ayah. Ibu terlihat menangis
Om,” kata Dodo.
“Hmm... ada apa?” tanyaku
“Om, masuk saja. Kamar itu, yang pintunya terbuka,”
tunjuk Dodo
Aku segera menuju kamar yang ditunjuk Dodo. Sedikit
sungkan, kuarahkan langkahku ke kamar itu. Terlihat Vida alias Siti Covida
Lara, istri Covid menangis tersedu-sedu. Ia melihat kehadiranku dan memintaku
segera masuk ke kamarnya.
“Bang, Long. Masuklah. Ini... ini Bang Covid.
Lihatlah!” katanya dengan cemas.
Aku segera masuk ke kamar itu. Covid terlihat
terbaring. Matanya setengah terbuka. Tangannya menggenggam erat handphone
miliknya.
“Apa yang terjadi Vida?” tanyaku.
“Bang Covid tadi sesak napas. Aku tak tahu, sebab
aku di ruang tengah bersama anak-anak. Tiba-tiba aku dengar ia menyebut-nyebut
nama Bang Long. Bang Long... bang Long... panggilkan bang Looong! Aku terkejut
dan segera berlari ke kamar. Aku lihat dia tersengal-sengal. Makanya ku suruh
saja Dodo menjemput abang,” katanya
“Baiklah, aku jemput mobil dulu,” kataku.
“Tidak Bang. Pakai mobil kami saja!” Vida
mengangsur kontak mobil ke tanganku.
Sebelum berangkat ke rumah sakit, aku telpon dokter
Reyhan, tetangga kami yang tinggal di Blok F7. Mana tahu ia tidak dinas malam.
Tak menunggu lama, dokter Reyhan tiba di rumah Vida. Syukurlah, ia ada di
rumah.
“Inna Lillahi. Bang Covid sudah pergi,
Vida!” ucap dokter Reyhan lirih.
Vida meraung keras. Ia memanggil nama Covid
berulang-ulang. Ketiga anaknya ikut masuk ke kamar. Mereka semua
bertangis-tangisan.
“Bang, Long. Tak usahlah ke rumah sakit. Bang Covid
sudah tiada. Kecuali Kak Vida ingin memastikan sebab kepergiannya. Minimal
visum.” kata dokter Rehan sambil melirik Vida.
“Bang Long, bantulah menutup matanya,” kata dokter
Reyhan.
Sambil membaca do’a, akupun segera mengusap mata
Bang Covid. Sekali usap, belum juga mengatup. Kubaca lagi do’a itu. Belum juga.
Tiga, empat hingga kali ketujuh barulah mata itu terkatup sebelah kanan. Aku
berdebar-debar. Tadinya, setiap aku usap, ia seperti mendelik ke arahku.
Sekarang yang sebelah kiri menutup sedikit, seperti mengintip ke arahku. Segera
aku berpaling dan keluar dari kamar.
“Sebaiknya, kita panggil tetangga yang lain. Bang
Covid sebaiknya kita baringkan di tengah rumah,” kataku untuk menghilangkan
kegugupanku usai berjuang menutup mata Bang Covid. Aku segera menuju halaman,
menelpon beberapa orang tetangga.
Malam itu juga, rumah Bang Covid menjadi ramai.
Para tetangga yang masih terjaga segera berdatangan. Begitupula yang sebelumnya
sudah tertidur. Sebagiannya berjaga-jaga di teras rumah. Sebagian lagi,
terutama yang perempuan terlihat duduk bersama Vida yang masih sedu sedan. Kadang terlihat ia menangis sambi mengangkat
telpon genggamnya. Ibu-ibu terlihat memijit-mijit punggung Vida.
Tubuh Bang Covid sudah dibujurkan di tengah rumah.
Beralas selembar kasur. Tubuhnya diselimuti beberapa lapis kain panjang, batik
coklat tua. Berganti-gantian tamu yang datang malam itu menyingkap wajah Bang
Covid.
Bang Covid sudah tiada. Tutup usia pada umur 45
tahun. Berakhirlah riwayat tokoh muda harapan bangsa itu. Seorang pengusaha
muda yang baik hati, suka menolong. Ia juga politisi muda cemerlang yang
sedikit narsis. Mungkin tidak sedikit, tapi benar-benar narsis.
***
Kamis pagi itu, cuaca terlihat mendung. Rumah Bang
Covid mulai ramai. Beberapa blok jalan di komplek sudah mulai dikondisikan
untuk parkir para pelayat. Sejak pagi, mobil-mobil pengantar papan bunga keluar
masuk dan berpapasan dengan kendaraan para para pelayat.
Sejak pintu gerbang
komplek perumahan sudah berjejer papan
bunga ucapan duka cita. Papan bunga ketua partai politik yang dimasuki Covid
dan papan bunga gubernur tepat di depan pintu pagar rumah Covid yang bagus.
Jelang tengah hari, papan bunga itu sudah kuyup diguyur hujan tipis-tipis yang
turun semenjak jam sembilan pagi.
Sebagai “orang berbaun” dan tokoh muda yang sedang
naik daun, kematian Covid terlihat istimewa. Orang-orang tumpah ruah datang
melayat. Menyatakan duka lalu pergi.
Sebagian terlihat bercakap-cakap dengan
gembira. Bukan mempercakapkan kematian Covid memang. Tapi sepertinya mereka
sedang reuni atau temu bahagia antar sahabat yang lama tak jumpa. Jejeran papan
bunga andai tak dibaca apa isinya terlihat seperti suasana pesta. Indah dan
berwarna-warni. Rumah Covid tidak seperti rumah duka, namun seperti open house
pejabat lebaran hari kedua.
Tengah hari, hujan turun dengan lebatnya. Gubernur
yang tadinya ingin berpidato melepas kematian Covid sudah berlalu menjelang
zuhur tiba. Tapi ia sudah meninggalkan beberapa pejabat propinsi untuk
menyampaikan pidato gubernur, andai acara melepas jenazah jadi juga
dilaksanakan. Sengaja ia panggil beberapa orang pejabat untuk mewakilinya.
Berjaga-jaga, menjaga nama gubernur.
“Kalian atur saja, siapa yang akan memberi
sambutan. Jika ada di antara kalian yang akan pergi, boleh-boleh saja. Tapi,
satu di antara kalian tetap harus tinggal!” pesan gubernur kepada para
pejabatnya itu. Pesan yang mengandung perintah disertai ancaman lewat tatapan
mata.
Pukul dua hujan berhenti. Udara kembali cerah
disinari matahari yang mulai membungkuk ke arah barat. Pemakaman berlangsung
khidmat. Siti Covida Lara, istri tercintanya terlihat anggun dibalut busana
hitam-hitam, khas perempuan kaya yang
sedang berduka. Matanya yang murung tertutupi oleh kacamata hitam lebar.
Tanda-tamda kesedihan hanya dapat diduga dari hidungnya yang memerah.
Berulangkali Vida mengusap-usap hidungnya dengan sapu tangan. Tangisnya kadang
diisyaratkan dengan kedua bahunya yang berguncang-guncang.
Hari ini aku merasa lelah. Usai jenazah tertanam,
aku bergegas pulang. Sejak malam aku tak sempat tidur. Hanya memicing-micingkan
mata saja di kursi yang disediaan untuk pelayat. Tak banyak tamu agung yang melayat mengenal dan menyapaku. Tapi aku
harus tetap di sana sebagai tetangga yang baik. Bahkan keluarga dan kerabat
Covd ataupun Vida sama sekali mengabaikan aku. Ya, sudahlah.
Kicau burung di area pemakan mulai kentara. Aroma
dan suasana pemakaman umum mulai terasa. Aku berdebar-debar. Di belakangku, dua
anak muda berjalan sambil berbincang-bincang.
“Enak sekali menjadi orang mati. Pidato di
pemakaman tadi semuanya mengaku bersaksi bahwa Bang Covid orang baik,” kata
salah seorang di antara mereka.
“Boleh jadi baik,” kata yang seorang lagi.
“Tapi aku tadi melihat di pohon kamboja raksasa
itu, dua orang malaikat tersenyum masam,
duduk menjuntai sambil membolak-balik buku catatannya.” Anak muda yang pertama
bicara tadi melanjutkan ucapannya.
“Husy... tak boleh begitu. Selagi masih di area
pemakaman, derap sepatumu itu masih dapat didengar bang Covid. Apalagi ucapanmu
itu!” kata yang seorang lagi menasehati. Entah benar-benar menasehati entah tidak, ya entahlah.
Sesampai di rumah aku mandi, berwuduk dan langsung
tertidur. Hidup ini memang misteri. Kematian adalah kejadian yang tak dapat
disangka-sangka.
***
Sore itu, Covid Coperfield datang dengan wajah sendu.
Aku sedang duduk di beranda depan. Minum kopi sambil membaca-baca pesan di akun
whatsapp ku. Kemilau cahaya sore menimpa dedaunan yang masih basah. Langit
kekuning-kuningan. Indah namun menyimpan aura yang aneh. Mendebarkan.
“Duduklah, Vid!” aku menggeser sebuah kursi ke arah
Covid.
Covid segera duduk. Badannya yang terlihat lemas ia
onggokkan begitu saja di atas kursi. Ia meremas-remas rambutnya dengan kedua
tangan. Kemudian ia menyapu muka dengan kedua telapak tangannya. Ia melepaskan
desahnya lewat hembusan nafasnya yang berat.
“Hhhh... kematian yang tak pernah kuduga bang.”
Covid segera membuka suara. Mukanya tertunduk ke lantai. Ia terlihat seperti
orang kalah. Pasrah meski tak terlihat seperti kecewa.
Aku kaget. Aku baru sadar bahwa Covid baru saja
dikuburkan jelang Salat Ashar tadi. Tanganku dingin dan kaku. Antara percaya
dan tak percaya. Namun, sambil menjemput kenyataan yang sebenarnya, aku coba
menjaga perasaan Covid yang sedang kalut itu. Dengan hati-hati aku meberi
respon.
“Benar, Vid. Kukira kau sudah meninggal tadi malam.
Maaf, rasanya baru tadi kau dimakamkan.”
Covid masih menekurkan kepala. Sejenak ia terdiam.
Akupun merasa serba tak menentu.
“Ya, abang tak perlu minta maaf. Aku memang sudah mati. Tadi aku
minta dikembalikan sejenak ke dunia. Aku perlu handphoneku dan aku hanya ingin
menyaksikan apa yang terjadi setelah kematianku. Sepertinya orang itu adalah
malaikat. Dua malaikat yang amat mirip dengan wajahku itu memandangku dengan
aneh, kemudian mereka saling menatap. Salah seorang dari mereka berkata
kepadaku...”
“Waktumu tak banyak. Kembalilah ke rumahmu. Setelah
itu kamu akan segera terbaring lagi di sini,” kata malaikat itu.
Aku mendengar suara Covid seperti datang dari dunia
yang jauh. Aku berkeringat dingin. Perkataannya berdenging-denging di
telingaku.
Covid lalu bercerita panjang tentang apa yang
diingatnya awal mula kematiannya. Mulai saat ia memanggil-manggil namaku saat
sekarat. Setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi. Pengakuannya, apakah ia
dimandikan, dikafani atau dishalatkan ia tak tahu.
Kemudian ia mulai merasakan sesuatu yang aneh saat
ia diusung di keranda kematian. Hatinya terasa kosong. Ia dapat melihat langit
yang sangat luas. Semakin lama semakin luas hingga ia merasa hanya sebutir biji
sawi.
Mendadak ia menjadi sedih dan ia mulai menangis. Ia menangisi sesuatu
yang ia sendiri tak paham. Menurut Covid, itulah kali pertama ia menangis
seusai nyawanya dicabut.
Lalu ia melirik ke arah iring-iringan pengantar
jenazah. Istri, anak-anak dan kerabat dekatnya dapat ia pandangi satu persatu.
Wajah mereka terlihat sedih. Beberapa di
antara mereka berjalan berurai air mata.
“Untuk ini aku juga menangis. Tentu saja ada
alasannya. Aku mencintai mereka. Berpisah dengan mereka tentulah sesuatu yang
menyesakkan. Di sinilah aku menangis untuk kedua kalinya” kata Covid sambil
menegadah ke arah langit. Ia sepertinya menggenangi bolamatanya dengan air
matanya sendiri. Syukurlah ia tak menatapku.
“Bang Long, apa kau masih dapat mendengarkanku?”
tiba-tiba Covid menepuk pahaku.
Aku tersentak kaget. Aku seperti disengat ikan
baronang. Terus terang, aku mulai gemetar. Dengan tergagap-gagap aku menjawab:
“Iya, Vid. Berceritalah. A..aku masih
mendengarkanmu.”
Covid Coperfield kembali melanjutkan ceritanya.
“Bang Long, aku menangis untuk yang ketiga kalinya.
Aku melihat di antara pengantarku ada yang terlihat bahagia. Tepatnya
biasa-biasa saja. Sepertinya tak ada yang mereka sedihkan. Meskipun mereka
terlihat tulus, mereka hanyalah manusia-manusia yang sedang menjalankan fardhu
kifayahnya. Di sela-sela prosesi pemakamanku, mereka masih sempat menanyakan
kabar masing-masing, keadaan keluarga dan usaha-usaha yang sedang mereka tekuni
untuk kehidupan. Aku memahami tindakan mereka. Ya. mereka tak punya alasan
untuk bersedih”
Covid mulai mengusap matanya yang basah. Sejenak ia
menerawang. Sampai kemudian ia kembali
bercerita. Curhat orang mati.
“Bang Long, kesedihan itu seperti hujan tadi siang.
Sebentar turun, sebentar berhenti. Kemudian panas mentari sore datang
menghangatkan. Kemudian hujan lagi. Itulah yang dapat kulihat. Aku sempat
mampir sebentar ke rumah. Di rumah kulihat istriku yang tadinya menangis bisa
juga tertawa-tawa dengan kerabat dan kawan-kawan dekatnya. Begitu mereka pergi,
istriku menangis lagi. Tadi kulihat Vida dengan ketiga anak kami berpelukan di
kamar. Kepada anak-anak kami Vida berkata:
“Ayah kalian orang baik. Banyak yang datang
melayat. Mulai dari gubernur, para pengusaha kaya, orang-orang ternama di kota
ini semunya datang menyatakan bela sungkawa. Ibu merasa puas. Mereka yang
menganggap kita sebelah mata, sekarang ternganga. Kita bukanlah orang biasa,
anak-anakku.”
“Bang Long, saat Vida bercerita seperti itu, aku
melihat ada berlembar-lembar rasa bahagia menyelip dalam tangisnya. Aku baru
sadar, bahwa perasaan orang hidup itu campur aduk saja. Ketika mereka
berkumpul-kumpul, sedih dan gembira datang bergandengan. Tapi sudahlah, aku anggap saja itu sebagai pelipur lara bagi
mereka yang sedang berduka,” ujarnya sambil tersenyum.
Kali ini senyum Covid Coperfield terlihat aneh.
Tapi bagiku terlihat menyeramkan. Ia menyeringai seperti merencanakan sesuatu
yang jahat. Aku bergidik ngeri. Aku merasa seperti ingin buang air besar.
Perutku terasa mengembang.
Covid Coperfield, sambil menyeringai melanjutkan
ceritanya. Seringainya mengesankan rasa bangga.
“Bang Long, tadi aku sempai melihat isi telepon
genggamku. Smartphone ku. Telpon itu ada digenggaman istriku. Ia terlihat
sedang membalas ungkapan dukacita yang disampaikan oleh entah siapa saja di
akun-akun medsosku. Facebook, Twitter, Whatsapp, IG dan lain-lain.
"Aku puas
bang. Tak ada yang memaki kematianku. Foto-foto ku dihias demikian rupa dengan
kalung bunga kematian. Foto-foto itu viral ke mana-mana. Setidaknya, aku
berharap itulah tanda-tanda husnul khatimah. Aku bahagia.”
Covid terlihat bahagia sekali. muka pucatnya mulai gak bercahaya. Tak lama, ia kembali bertutur.
"Bang Long, Terus-terang aku memang narsis bang.
Hari-hari selama aku memiliki akun media sosial memang selalu kuhabiskan
melihat respon positif netizen terhadap apapun yang aku posting. Terus terang,
satu saja respon negatif yang diberikan netizen, membuat darahku menggelegak.
Aku marah. Itulah yang terjadi tadi malam, sampai dadaku sesak. Sekarangpun aku
masih merasakan hawa marah di rongga dadaku. Heh, siapa dia yang berani
menghinaku?” kata Covid sambil mendelik marah. Kali ini wajahnya benar-benar
terlihat seram.
Tak ingin berlama-lama menyaksikan keseraman itu,
aku coba mengalihkan kemarahannya. Memberi pertanyaan dengan terbata-bata.
“Vid, aku ingin tahu, mengapa kau panggil namaku
saat kau sakaratul maut? Kemudian saat aku berusaha menutup matamu, aku merasa
kesulitan. Bahkan di kali yang ketujuh, mata kirimu masih terbuka sebagian
seperti mengintip ke arahku.”
Ah, tiba-tiba aku menyesal menanyakan itu. Ibarat
rollet Rusia, pertanyaan itu ibarat berjudi dengan sebutir peluru yang bisa
saja merengkahkan benakku. Sungguh, aku sedang menunggu jawaban yang baik-baik
saja.
Mendengar pertanyaan itu Covid Coperfield tertawa
ringan, seperti dipaksakan. Tawa yang mengandung kesedihan.
“Hehe... jangan khawatir bang. Kau orang baik. Spontan
saja, namamu yang segera ku ingat. Kau bisa menyetir. Waktu itu, aku masih
berharap diobati di rumah sakit. Dadaku terasa sesak. Hanya kaulah di komplek
ini yang mau bergaul dengan ku dengan tulus tanpa memandang status baik-buruk
pribadiku."
Covid tersenyum kepadaku. Matanya berusaha mencari bola mataku. tapi aku sedang berpura-pura meraih cangkir kopi.
"Sedangkan, kenapa mataku tak dapat terpejam, karena aku masih
membayangkan orang yang menghinaku di akun facebook ku. Huhh! Kurang ajar
sekali dia. Sampai tadipun masih kubuka smartphone ku untuk melihat siapakah
orang yang menyebabkan kematianku. Sayang sekali, ribuan respon netizen tentang
kematianku membuatku kesulitan menemukan profil orang biadab itu. Huuhh!”
Prankkk!
Tiba-tiba Covid Coperfield membanting gelas kopiku
yang sudah hampir kosong. Badanku terasa ringan, nyawaku seakan terbang. Bersamaan dengan itu, petir menggelegar.
Terdengar suara berat dari kejauhan.
“Hey, anak Adam. Waktumu sudah habis. Bukannya
menghitung bekal apa yang akan kau bawa ke alam baka, malah kau minta kembali
untuk menjemput smartphone mu. Baguuus....!”
Kilat kembali menyambar. Kali ini menyambar tubuh
Covid Coperfield yang cengengesan di dekatku. Tubuhnya meledak dan percikan
cairan hangat dan dingin mengenai muka ku. Aku ikut terpental. Azan Maghrib
bernada serak mendayu, menyelip di antara desir hujan di atas atap. Langit terlihat terang-terang kopi jalang. [MN]
Padang, 22 November 2020