24 July 2019

Orang-orang Minang dalam catatan J.C Boelhouwer (1831-1834)


Orang-orang Minang
dalam catatan J.C Boelhouwer (1831-1834)
Oleh Muhammad Nasir


Tentang J.C. Boelhouwer
Letnan I Infanteri Joannis Cornelis (J.C) Boelhouwer adalah tentara Belanda yang pernah bertugas sebagai Komandan Sipil dan Milter di Pariaman, Sumatera Barat (Civiele en Militaire Kommandant van Pariaman). Dr. Suryadi Sunuri[i] menulis bahwa ia bertugas di Pariaman selama kurang lebih tiga tahun (1831-1834) dan menjabat Komandan sipil dan militer hanya satu tahun. J.C. Boelhouwer lahir pada 14 Mei 1809 di Didam Nederland dan meninggal di Leiden Provinsi Zuid Holland pada 10 Januari 1883 dalam usia 72 tahun.

Pokok pembahasan tentang Boelhouwer yang akan dibahas di sini adalah pandangan dan catatannya tentang orang Minagkabau terutama di daerah Rantau Minagkabau yaitu Pariaman dan Pasaman, serta beberapa daerah di Tanah Batak. Catatan itu ia tuangkan dalam bukunya “Kenang-kenangan di Sumatera Barat selama tahun-tahun 1831-1834. Judul asli: Herrineringen van mijn verblijf op Sumatera Weskust gedurende 1831-1834. Penerbit, Lembaga Kajian Gerakan Paderi 1803-1838, Padang, 2009.  


JC Boelhouwer termasuk jajaran tentara Belanda yang bertugas di “Indonesia” yang menulis catatan selama bertugas. Catatannya selama bertugas Hindia Belanda terutama dalam tulisan yang akan dibahas di sini adalah daerah Minangkabau alias Sumatera Barat.

Sebagaimana sudah ditulis di atas, ia adalah Komandan Sipil dan Militer di Pariaman, Sumatera Barat (Civiele en Militaire Kommandant van Pariaman) selama 1831-1834. Ia bertugas dalam rangkaian aksi untuk memadamkan perlawananan rakyat selama perang Padri di Minangkabau.

Catatan ini sangat menarik dan ringan, sekaligus menunjukkan sikap humanis dari seorang serdadu yang berada di garis depan dalam pertempuran. Sikap ini menurut Suryadi dalam tulisan pengantar untuk buku Boelhouwer ini karena ia adalah pejabat militer tingkat menengah ke bawah yang tentu saja lebih sering berada di lapangan dan banyak bergaul dengan penduduk pribumi di mana ia ditugaskan. Boelhouwer pun tak segan-segan makan bajamba tanpa sendok dan garpu bersama para pemimpin pribumi.

Namun, lepas dari sosok J.C. Boelhouwer ini, penulis ingin menyajikan beberapa cerita tentang orang-orang Minangkabau dari berbagai sisi yang ditulis oleh Belanda. Meskipun akan ditemukan keganjilan-keganjilan, namun tetap saja penting, karena Boelhouwer adalah orang yang hidup sezaman dengan orang-orang yang ia ceritakan.
Banda urang kami bandakan,
banda urang ampek koto,
gubalo itiak ka batupalano
Kaba urang kami kabakan,
duto urang kami ndak sato,
diambiak sajo nan paguno
                     
Orang Nareh tidak mempunyai air untuk orang Eropa![ii]
JC Boelhoewer bercerita, suatu waktu ia pulang berburu di daerah sekitar setengah jam perjalanan dari Padang. Ia ditemani seorang tabib (dokter) yang sama-sama datang dengannya dari Batavia. Saat perjalanan pulang mereka kehausan dan bertemu dengan pribumi (orang pariaman?) dan meminta sebuah kelapa dari pohon yang ada di dekat rumahnya. Tetapi penduduk pribumi itu tidak mau dan mengatakan “tidak!” Tabib yang bersama Boelhouwer kembali berkata, “Kalau tidak boleh kelapa, berilah saya air minum sedikit”.  Pribumi itu tetap menjawab “tidak!”. Lalu tabib itu mengambil batok kelapa dan mengulurkan uang satu rupiah. Pribumi itu lalu mengisi batok itu dengan air dan meminumnya sendiri. Uang yang diulurkan sama sekali tak diacuhkan.

Melihat keadian tersebut, Boelhouwer menyadari bahwa betapa bencinya penduduk Minangkabau kepada Belanda. Terutama di daerah Naras yang kepercayaan diri penduduknya baru saja naik berlipat-lipat. Dua bulan sebelum kejadian yang diceritakan di atas, telah terjadi pertempuran antara pihak Belanda dengan penduduk setempat. Pertempuran itu menimbulkankan kematian yang banyak di pihak tentara Belanda.

Sikap paling kongkrit tentang sikap pribumi tersebut dapat dilihat dari jawaban yang diberikan oleh pribumi itu. “Kalau tuan mau kelapa, panjatlah sendiri. Saya tidak mempunyai air untuk orang Eropa!”

Nah…! 

Perbedaan Orang Pribumi (Melayu) dan Orang Padri[iii]

Boelhouwer sepertinya membagi orang Minangkabau sesuai dengan kepentingan tugasnya dengan sebutan orang pribumi (Melayu) dan orang Padri. Pembagian itu agak aneh karena, Boelhouwer menyebutkan orang Padri itu sebenarnya orang melayu juga.

Katanya, “orang Padri adalah orang pribumi, tetapi kira-kira 50 tahun yang lalu seorang pemuka agama yang kembali dari Mekah memberi penerangan bahwa agama yang dianut sekarang sudah menyimpang dari yang seharusnya dan banyak bercampur dengan agama berhala, karena itu harus diperbaiki.” Lebih lanjut, Boelhouwer menjelaskan asal usul kata Padri;  “pemuka agama dalam bahasa Melayu dinamakan penduduk Padri.”

Lalu apa beda orang melayu dengan Padri? Berikut penjelasannya:

Dalam segala hal, orang Padri berbeda dengan orang Melayu. Pakaiannya lebih sopan, ia malu bercelana pendek seperti orang Melayu. Celananya sampai ke mata kaki [ternyata tidak itsbal]. Bagian atas ditutup dengan kain, kepala yang botak ditutup dengan sorban putih, janggut dibiarkan panjang.”

“perempuan-perempuan memakai kudung yang hanya mempunyai lobang untuk mata. Seluruh badan ditutup dengan kain hitam. Orang Padri sangat cemburu terhadap istri mereka, karena itu kita hanya menemukan anak dan perempuan-perempuan tua saja. Orang Padri hanya beristri seorang saja, jadi tidak seperti orang Melayu, kecuali pemimpin mereka. Tasbih tidak pernah dilupakan dan begitu juga sembahyang.”

Bersambung...




[i] Dr Suryadi Sunuri adalah Ajo Pariaman yang menjadi Dosen dan Peneliti di Universiteit Leiden, Belanda. 
[ii] Hal 30
[iii] Hal 33

No comments: