Orang-orang Minang
dalam catatan J.C Boelhouwer (1831-1834)
Oleh Muhammad Nasir
Tentang J.C. Boelhouwer
Letnan I Infanteri Joannis Cornelis
(J.C) Boelhouwer adalah tentara Belanda yang pernah bertugas sebagai Komandan
Sipil dan Milter di Pariaman, Sumatera Barat (Civiele en Militaire Kommandant van Pariaman). Dr. Suryadi Sunuri[i]
menulis bahwa ia bertugas di Pariaman selama kurang lebih tiga tahun
(1831-1834) dan menjabat Komandan sipil dan militer hanya satu tahun. J.C.
Boelhouwer lahir pada 14 Mei 1809 di Didam Nederland dan meninggal di Leiden
Provinsi Zuid Holland pada 10 Januari 1883 dalam usia 72 tahun.
Pokok pembahasan tentang
Boelhouwer yang akan dibahas di sini adalah pandangan dan catatannya tentang
orang Minagkabau terutama di daerah Rantau Minagkabau yaitu Pariaman dan
Pasaman, serta beberapa daerah di Tanah Batak. Catatan itu ia tuangkan dalam
bukunya “Kenang-kenangan di Sumatera
Barat selama tahun-tahun 1831-1834. Judul asli: Herrineringen van mijn verblijf op Sumatera Weskust gedurende 1831-1834.
Penerbit, Lembaga Kajian Gerakan Paderi 1803-1838, Padang, 2009.
JC Boelhouwer termasuk jajaran
tentara Belanda yang bertugas di “Indonesia” yang menulis catatan selama
bertugas. Catatannya selama bertugas Hindia Belanda terutama dalam tulisan yang
akan dibahas di sini adalah daerah Minangkabau alias Sumatera Barat.
Sebagaimana sudah ditulis di
atas, ia adalah Komandan Sipil dan Militer di Pariaman, Sumatera Barat (Civiele en Militaire Kommandant van Pariaman)
selama 1831-1834. Ia bertugas dalam rangkaian aksi untuk memadamkan
perlawananan rakyat selama perang Padri di Minangkabau.
Catatan ini sangat menarik dan
ringan, sekaligus menunjukkan sikap humanis dari seorang serdadu yang berada di
garis depan dalam pertempuran. Sikap ini menurut Suryadi dalam tulisan pengantar
untuk buku Boelhouwer ini karena ia adalah pejabat militer tingkat menengah ke
bawah yang tentu saja lebih sering berada di lapangan dan banyak bergaul dengan
penduduk pribumi di mana ia ditugaskan. Boelhouwer pun tak segan-segan makan
bajamba tanpa sendok dan garpu bersama para pemimpin pribumi.
Namun, lepas dari sosok J.C.
Boelhouwer ini, penulis ingin menyajikan beberapa cerita tentang orang-orang
Minangkabau dari berbagai sisi yang ditulis oleh Belanda. Meskipun akan ditemukan
keganjilan-keganjilan, namun tetap saja penting, karena Boelhouwer adalah orang
yang hidup sezaman dengan orang-orang yang ia ceritakan.
Banda urang kami bandakan,
banda urang ampek koto,
gubalo itiak ka batupalano
Kaba urang kami kabakan,
duto urang kami ndak sato,
diambiak sajo nan paguno
Orang Nareh tidak mempunyai air untuk orang Eropa![ii]
JC Boelhoewer bercerita, suatu
waktu ia pulang berburu di daerah sekitar setengah jam perjalanan dari Padang.
Ia ditemani seorang tabib (dokter) yang sama-sama datang dengannya dari
Batavia. Saat perjalanan pulang mereka kehausan dan bertemu dengan pribumi
(orang pariaman?) dan meminta sebuah kelapa dari pohon yang ada di dekat
rumahnya. Tetapi penduduk pribumi itu tidak mau dan mengatakan “tidak!” Tabib
yang bersama Boelhouwer kembali berkata, “Kalau tidak boleh kelapa, berilah
saya air minum sedikit”. Pribumi itu
tetap menjawab “tidak!”. Lalu tabib itu mengambil batok kelapa dan mengulurkan
uang satu rupiah. Pribumi itu lalu mengisi batok itu dengan air dan meminumnya
sendiri. Uang yang diulurkan sama sekali tak diacuhkan.
Melihat keadian tersebut,
Boelhouwer menyadari bahwa betapa bencinya penduduk Minangkabau kepada Belanda.
Terutama di daerah Naras yang kepercayaan diri penduduknya baru saja naik berlipat-lipat.
Dua bulan sebelum kejadian yang diceritakan di atas, telah terjadi pertempuran
antara pihak Belanda dengan penduduk setempat. Pertempuran itu menimbulkankan
kematian yang banyak di pihak tentara Belanda.
Sikap paling kongkrit tentang
sikap pribumi tersebut dapat dilihat dari jawaban yang diberikan oleh pribumi
itu. “Kalau tuan mau kelapa, panjatlah sendiri. Saya tidak mempunyai air untuk
orang Eropa!”
Nah…!
Perbedaan Orang Pribumi (Melayu) dan Orang Padri[iii]
Boelhouwer sepertinya membagi orang
Minangkabau sesuai dengan kepentingan tugasnya dengan sebutan orang pribumi
(Melayu) dan orang Padri. Pembagian itu agak aneh karena, Boelhouwer
menyebutkan orang Padri itu sebenarnya orang melayu juga.
Katanya, “orang Padri adalah
orang pribumi, tetapi kira-kira 50 tahun yang lalu seorang pemuka agama yang
kembali dari Mekah memberi penerangan bahwa agama yang dianut sekarang sudah
menyimpang dari yang seharusnya dan banyak bercampur dengan agama berhala,
karena itu harus diperbaiki.” Lebih lanjut, Boelhouwer menjelaskan asal usul
kata Padri; “pemuka agama dalam bahasa
Melayu dinamakan penduduk Padri.”
Lalu apa beda orang melayu dengan
Padri? Berikut penjelasannya:
Dalam segala hal, orang Padri
berbeda dengan orang Melayu. Pakaiannya lebih sopan, ia malu bercelana pendek
seperti orang Melayu. Celananya sampai ke mata kaki [ternyata tidak itsbal]. Bagian atas ditutup dengan kain, kepala
yang botak ditutup dengan sorban putih, janggut dibiarkan panjang.”
“perempuan-perempuan memakai
kudung yang hanya mempunyai lobang untuk mata. Seluruh badan ditutup dengan
kain hitam. Orang Padri sangat cemburu terhadap istri mereka, karena itu kita
hanya menemukan anak dan perempuan-perempuan tua saja. Orang Padri hanya beristri
seorang saja, jadi tidak seperti orang Melayu, kecuali pemimpin mereka. Tasbih
tidak pernah dilupakan dan begitu juga sembahyang.”
Bersambung...
No comments:
Post a Comment