23 May 2019

Kebenaran di Era Pascakebenaran


Muhammad Nasir

Sumber: Ethical Journalism Network
Pengetahuan (knowledge) adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari berpikir. Berpikir adalah pembeda (differentia/ fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Sebenarnya itulah  kehebatan manusia dan "barangkali" keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya.

Namun, segala yang diketahui sekarang tak boleh buru-burudipercayai. Segala sesuatu harus diragukan (de omnibus dubitandum) kata Rene Descartes. Sehingganya, semua yang diketahui harus melewati serangkaian ujian sesuai kriteria-kriteria yang disusun sebagai acuan memperoleh kebenaran.

Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia? Bagaimana manusia berpengetahuan? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran?


Berikut lima macam teori kebenaran sebagai cara manusia memperoleh kebenaran. Sifat kebenarannya adalah relatif atau nisbi. Dalam iman Islam, kebenaran absolut atau kebenaran mutlak berasal dari Tuhan yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu. Alam dan kehidupan merupakan sumber kebenaran yang tersirat dari tuhan untuk dipelajari dan diobservasi guna kebaikan umat manusia. Orang Minangkabau objektifikasi yang menghasilkan kebenaran relative ini dikenal dengan istilah “Alam Takambang Jadi Guru.

Adapun teori kebenaran yang akan diurai adalah sebagai berikut:
  1. Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth). Menurut teori ini kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Contoh: “Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta”. Teori ini dikembangkan oleh Aristoteles (384-322 S.M) dan dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970). Teori ini dianut oleh mazham realisme dan materialism.
  2. Teori Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory of Truth). Menurut teori ini, kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Pernyataan akan dianggap benar apabila sesuai dan konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang sudah dianggap benar. Contoh: Semua manusia akan mati. Tono adalah Manusia, Tono akan mati.  Teori ini digagas oleh Plato (427-347 SM), dilanjutkan oleh Aristoteles (384-322 S.M) dan dikembangkan oleh GWF Hegel (1770-1831) dan FH Bradley (1864-1924).  A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut.
  3. Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth).  Menurut teori ini “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”. Kata kunci teori ini adalah: kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequencies). Pendukung aliran pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan (Titus, 1987:241)
  4. Teori Struktural Paradigmatik. Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view oleh Ziauddin Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. 
  5. Teori Performatik. Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.(Sumber: Lies Sudibyo, Filsafat Ilmu, Deepublish, 2014)

Kebenaran era Post Truth
Post-truth disinyalir merupakan penyesuaian dari kata 'truthiness' yang kali pertama diciptakan Stephen Colbert dan terpilih sebagai Word of the Year tahun 2005 menurut American Dialect Society (Ben Zimmer, 2010). Kata truthiness sendiri memiliki arti yang hampir serupa, yakni informasi yang dianggap atau dirasakan sebagai sesuatu yang mendekati kebenaran. Oleh sebab itu ditambahkanlah imbuhan '-y' dalam kata dasar 'truthy' atau '-ish' dalam kata 'truthish'. Penambatan partikel 'post-' di depan bukan dimaknai dalam dimensi waktu, melainkan bentuk pengikisan makna ortodoks atau 'kemurnian' kata yang dimaksud.

Kebenaran ala era post-truth populer dalam politik dunia. Oleh sebab itu politik pada satu decade terakhir sering disebut dengan politik pascakebenaran. Politik pascakebenaran (disebut juga politik pascafakta) adalah budaya politik yang perdebatannya lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan. Selain itu, poin topik pidato ditegaskan berkali-kali tanpa mendengarkan balasan yang berbobot. Pascakebenaran berbeda dengan kebiasaan menantang dan mencari kelemahan kebenaran. Pascakebenaran justru menempatkan kebenaran di posisi kedua.

Politik pasca fakta didup di dunia pasca fakta (postfaktische Welt).  Di dunia pasca fakta, kebenaran tak lagi penting. Yang dicari adalah kehebohan sesaat. Politisi bisa memenangkan pemilu bukan karena ia berpijak pada nilai-nilai kebenaran, melainkan karena ia mampu menghibur massa dengan kebohongan, kehebohan dan isu remeh temeh yang dangkal. (Reza AA Wattimena, https://rumahfilsafat.com )

Meski pascakebenaran dianggap sebagai masalah modern, ada kemungkinan bahwa ini sudah lama menjadi bagian dari kehidupan politik, tetapi kurang terkenal sebelum kehadiran Internet. Dalam novel Nineteen Eighty-Four, George Orwell membayangkan sebuah negara yang mengganti catatan sejarah setiap hari agar pas dengan tujuan propaganda saat itu.

Pada awalnya, politik pascakebenaran berkembang di perpolitikan Amerika Serikat, Australia, Britania Raya, Cina, India, Jepang, Rusia, Catalonia, Spanyol, dan Turki. Politik pascakebenaran/pascafakta ini didorong oleh ledakan siklus berita 24 jam, keseimbangan palsu dalam laporan berita, dan pemasyarakatan media sosial. Ilustrasi menarik tentang situasi ini dapat dibaca di 

Pada tahun 2016, "post-truth" terpilih sebagai Oxford Dictionaries' Word of the Year] karena merebak semasa referendum Brexit dan liputan media mengenai pilpres A.S. Bagaimana di Indonesia?




No comments: