06 May 2019

Konsepsi Alam Minangkabau

Oleh Muhammad Nasir
Pengajar Kebudayaan Minangkabau
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang

Ada beberapa istilah yang tersedia dalam sejarah peradaban manusia untuk
menyebut bumi tempat bermukimnya atau wilayah geografisnya. Ada yang
menggunakan istilah tanah (land). Dengan istilah ini terciptalah frasa Tanah Jawa,
Tanah atau Tano Batak. Tanah Gayo-Alas (Dataran Tinggi Gayo, Aceh), Tanah
Jawa, Tanah Pasundan, Tanah Rencong (Pesisir Barat Aceh). Tanah Rencong
dalam pemahaman sementara penulis adalah julukan yang berangkat dari kekhasan
yang iconic,yaitu Rencong sebagai senjata tradisional Aceh.

Ada juga yang menggunakan istilah bumi. Misalnya Bumi Sriwijaya dan Bumi Sikerei
(Mentawai). Bumi Sikerei sebagaimana penyebutan Tanah Rencong di Aceh
bukanlah mengandung makna tanah secara langsung, namun sebuah julukan yang
diberikan berdasarkan kekhasan yang iconic, yaitu Sikerei, dukun, penguasa magi
dan tokoh spiritual masyarakat Suku Mentawai.



Di negeri-negeri Eropa juga tersedia istilah father land atau mother land. Dengan
demikian, tanah menjadi satu petunjuk ke arah ciri kebudayaan yang meletakkan
penguasaan dan pengelolaan atas tanah sebagai sesuatu yang penting baik dalam
status sebagai tanah asal, tanah tempat kembali dan pusat supremasi kebudayaan.

Orang Minangkabau memopulerkan penyebutan Alam untuk menyebut wilayah
geografisnya. Selain itu, Alam dalam tradisi Minangkabau juga terbaca sebagai
sebuah konsepsi yang tidak hanya sebatas geografis dan wilayah territorial. Lalu,
bagaimana konsepsi Alam Minangkabau menurut pengetahuan yang diwariskan
melalui tuturan adat dan percakapan harian masyarakat Minangkabau serta
pengetahuan yang bersumber dari kepustakaan yang menulis tentang Minangkabau?

Konsepsi Alam

Pengertian “alam” dalam kamus umum bahasa Indonesia (W.J.S. Poerwadarminta),
mengemukakan alam dalam pengertian dunia, misalnya: alam semesta, syah alam.
Selain itu alam juga dapat diartikan sebagai pengertian geografis yaitu daerah atau
negeri, misalnya Alam Minangkabau. Dalam pemahaman umum sekarang ini
(terutama orang luar Minangkabau), kata Minangkabau sering diidentikkan dengan
kata Sumatera Barat. Padahal secara subtantif keduanya mempunyai makna yang
berbeda.

Daerah geografis Minangkabau tidak sepenuhnya merupakan bagian
daerah propinsi Sumatera Barat (Mansoer,1970). Sedangkan Minangkabau adalah
teritorial menurut kultur Minangkabau yang daerahnya jauh lebih luas dari Sumatra
Barat sebagai salah satu propinsi (Hakimy,1994).
Lalu, apa makna Alam bagi masyarakat Minangkabau? kemungkinan jawabannya
paling tidak dapat diperiksa dari pengetahuan-pengetahuan yang diwariskan melalui
pergaulan harian yang berbasis tuturan lisan, baik tuturan yang dikutip dari tambo
yang diselipkan melalui percakapan harian mereka, maupun dari kosa kata dan
makna konteks si penutur ketika menggunakan diksi alam ini.

Alam dalam pengertian pertama adalah pengertian non materi, yaitu mengandung
makna pandangan hidup, cara pandang tentang dunia (worldview, weltanschauung)
ide, gagasan, wawasan, ajaran, adat, hukum, peraturan-peraturan dan sebagainya.
Untuk kategori makna yang ini, A.A. Navis (1984) menyebutnya sebagai pengertian
filosofis.

Dalam percakapan harian sering digunakan istilah baalam laweh (ber-alam luas).
Istilah ini sama sekali tidak berbau geografis dan teritori. Misalnya, Pangulu baalam
laweh – bapadang data. Dalam versi lain bapadang leba. Artinya, seorang penghulu,
pimpinan adat itu harus berpikiran, berwawasan luas dan berpadang atau berhati
lapang. Penghulu merupakan pantulan dari masyarakat (anak kamanakan) yang
dipimpinnya. Oleh sebab itu frasa baalam laweh juga berlaku untuk seluruh orang-
orang Minangkabau.

Buku “Alam Pikiran Yunani” adalah salah satu contoh pengguanaan kata alam dalam
makna pemikiran. Buku ini ditulis oleh Mohammad Hatta (Bung Hatta) pria
Minangkabau yang menjadi Proklamator Kemerdekan Republik Indonesia sekaligus
menjadi Wakil Presiden pertama Indonesia saat ia dibuang ke Digoel tahun 1934.
Dapat diduga diksi Alam Pikiran merupakan jejak tradisi Minangkabau dalam sosok
Hatta.

Selanjutnya, secara bergantian, kata alam juga sering digunakan oleh penutur asli
Minangkabau untuk berbagai keperluan. Misalnya,ungkapan itulah hukum alam
Minangkabau (itulah hukum [adat] Minangkabau).

Alam dalam pengertian kedua adalah pengertian wilayah geografis dan teritorial.
Alam dalam pengertian wilayah adalah wilayah tempat bermukimnya suku bangsa
Minangkabau. Wilayah ini dibagi kepada tiga kawasan yang menunjukkan asal
hunian, daerah pengembangan dan daerah batas pengaruh. Untuk semua kategori
wilayah ini, orang Minangkabau menyebut wilayahnya dengan Alam Minangkabau.

Kawasan pertama adalah asal hunian dapat ditemukan dalam tuturan adat berbentuk
pantun yang populer di dalam buku ajar Minangkabau di sekolah-sekolah Sumatera
Barat kontemporer. Orang Minangkabau menyebut Gunuang Marapi sebagai daerah
asalnya. Dari mano titiak palito, dari telong nan batali, dari mano asa niniak muyang
kito, dari puncak gunuang marapi

Selanjutnya kawasan kedua sebagai pengembangan hunian. Kawasan ini disebut
dengan Luhak atau Luak. Luhak secara bergantian sering dipadankan dengan kata
Darek (darat) yang merujuk kepada struktur hunian yang merupakan daratan di
dataran tinggi dengan struktur tanah yang berbukit yang dibelah oleh lembah-lembah
yang dialiri sungai-sungai kecil. Kebanyakan sungai ini tak dapat dialiri kapal
penumpang, kecuali hanya sampan kecil yang kerap disebut biduak. Namun secara
umum, biduak bukanlah moda transportasi pengangkut orang, Selain itu Luhak juga
disebut dengan ranah. Secara serampangan kata ranah digunakan oleh orang
Minangkabau kontemporer untuk seluruh wilayah Minangkabau. mereka
menyebutnya Ranah Minang.

Penulis asing kerap menyebut Luhak dengan sebutan Pedalaman Minangkabau. Hal
ini terlihat dalam literatur yang membahas revolusi Paderi di Minangkabau sepanjang
akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 hingga berhenti di tahun 1838. Disebut
pedalaman karena ditulis dari perspektif penulis yang meletakkan gerbang laut
Sumatera (pantai Timur dan pantai barat) sebagai pintu masuk dan titik luar
Minangkabau. Lebih khusus, di era kolonialisme Belanda, hampir keseluruhan
wilayah luhak disebut sebagai Padangsche Bovenlanden (Padang Darat).

Selanjutnya Luhak sebagai kawasan pengembangan pemukiman ini dibagi kepada
tiga luhak, yaitu Pertama Luhak Tanah Datar disebut juga Luhak nan Tuo. Kedua
Luhak Agam atau Luhak nan Tangah, Ketiga Luhak Limapuluahkoto atau Luhak nan
Bungsu. Ketiga Luhak ini disebut dengan Luhak Nan Tigo. Oleh Elizabeth E. Graves
(1981) disebut sebagai daerah inti atau pusat Minangkabau (core region/center of
Minangkabau)

Kawasan terakhir adalah kawasan batasan pengaruh yang disebut dengan daerah
rantau. Secara umum, semua daerah yang di luar wilayah luhak adalah rantau.
Namun, pengertian ini terasa ambisius dan tidak memberikan batasan yang jelas

sebagai wilayah geografis. Disebut daerah batas pengaruh karena daerah ini
meskipun menarik garis asal usul dari Luhak, namun praktik bermasyarakat dan
perkembangan asal penduduk dalam taraf tertentu amat berbeda. Oleh Graves,
Rantau disebut sebagai front landen, daerah batas pengaruh kebudayaan
Minangkabau. Oleh Belanda sebagian besar rantau di pesisir barat disebut dengan
Padangsche Benedenlanden (Padang laut/pesisir pantai).

Dalam Tambo Alam, Datoek Toeah (1969) menuliskan bahwa daerah pengaruh
Minangkabau mencakup wilayah huniah suku Talang Mamak di sehiliran sungai
Indragiri Riau, Kerinci Sungai Ngiang dan beberapa daerah di Jambi. Selain daerah
pengaruh, ia juga menyebut daerah taklukkan yaitu Kampar Kiri, Kampar Kanan,
Rokan, Batanghari, Sungai Pagu, Pasaman, Rao, Siak dan Pakanbaru.

Namun beberapa kategori daerah yang disebut Dt. Toeah di atas, secara
administrasi wilayah oleh banyak penulis dikategorikan berdasarkan arah mata angin,
yaitu Rantau Timur dan Rantau Barat. Ada juga yang menggunakan istilah rantau hilir
dan rantau mudiak. Satu kawasan lagi yag sering disebut adalah daerah ikua darek
kapalo rantau (ekor darat kepala rantau, perbatasan daerah luhak dan rantau).
Sejatinya meski ini merupakan kategori yang dipertahankan sebagai wilayah ketiga
oleh beberapa penulis Minangkabau, wilayah ini lebih berorientasi kepada
kekhususan penerapan hukum adat.

Kesatuan Konstruksional

Berdasarkan uraian di atas, bahwa Alam Minangkabau itu merupakan kesatuan
konstruksional antara gagasan dan kesadaran atas wilayah. Kesatuan ini diikat
dalam kredo Alam Takambang Jadi Guru. Alam geografis merupakan sumber belajar
(learning resources). Alam geografis inilah pusako (warisan budaya bendawi) orang
Minangkabau. Alam Pikir merupakan alam yang sebenarnya. Dan ianya adalah sako
alias warisan budaya tak benda (WBTB), software yang menggerakkan kebudayaan
Minangkabau..

Tambo, sebagai salahsatu sumber pengetahuan kebudayaan Minangkabau dibagi
menjadi dua bagian berdasarkan konsepsi tentang alam yang dua ini. Bagian
pertama adalah tambo alam yang berisi wawasan geografis dan tambo adat yang
berisi landasan filosofis, landasan operasional dan landasan kontinuitas adat
Minangkabau.

Jika ada yang patut dicemasi kehilangannya oleh orang Minangkabau, maka itu
adalah kehilangan ide (hilang aka) dan hilangya wilayah (dalam skala kecil, hilangnya
ulayat). Sako tagak di ateh pusako.[*]

No comments: