09 May 2019

Pengantar Tasawuf (1)


Oleh Muhammad Nasir


                                                                                                Para Sufi Awal
Sumber Foto: Duta Islam
Tasawuf atau Sufistik adalah tema baru dalam peradaban Islam, terutama terkait posisinya dalam gerakan keagamaan Islam. Gerakan ini muncul pada abad ke-2 hijriah dan masa ini adalah periode awal Daulah Abbasiyah. Muhammad Abd Mun’im Khafaji menulis bahwa orang yang pertama kali digelari sufi adala Abu Hasyim al Shufi[1] (wafat tahun 150H/761M) adapun generasi awal yang membicarakan tentang sufi adalah Abu Hamzah al Shufi. Petunjuk tentang ini dapat disimak dari kalimat sapaan Imam Ahmad bin Hanbal kepada Abu Hamzah tatkala ia menanyakan tentang suatu hal, “Apa pendapatmu tentang masalah itu hai “Sufi?” Menurut Reynold Allen Nicholson, orang yang pertama digelari “sufi” adalalah Jabir bin Hayyan. Jabir dikenal juga dengan nama Jabir al Shufi[2].


Asal Kata Sufi
Menurut Imam al Qusyairi sufi tidak dapat dicarikan qiyas atau asal katanya, yang jelas “Shufi” itu hanyalah gelar.[3] Namun, meskipun demikian, beberapa penulis tetap mengupayakan penelusuran tentang asal-usul (derivasi/ Isytiqaq) kata Sufi. Di antaranya:
a.     Kata Shufah. Ada yang mengatakan bahwa Sufi berasal dari kata shufah, atau kalimat Sufi ini dinisbahkan kepada kata Shufah, yaitu penamaan terhadap seseorang yang menyendiri untuk beribadah kepada Allah SWT di Baitul Haram (Masjid al Haram). Nama orang itu adalah al Ghus ibn Murr.[4] Penulis lain yang mengemukakan pendapat yang sama dengan ini antara lain Ibn al Jauzy, Al Zamakhsyary, Fairuz Abadi dan lain-lain.
b.    Ada yang menyebutkan sufi dinisbatkan kepada saf pertama dalam shalat jama’ah (al Shaf al Awwal fi al Shalah).[5]  Pendapat ini merujuk kepada pendapat al Qusyairi bahwa kata sufi berasal dari kata shaff (barisan) untuk menunjukkan bahwa kaum sufi ini kecendrungan hatinya kepada Allah SWT berada dalam barisan pertama. Tetapi menurut Al Qusyairi, pendapat ini tidak ada kaitannya dengan makna yang shahih menurut bahasa.

c.     Dinisbahkan kepada Ahl Al Shuffah. Ahli Shuffah dalam sejarah Islam dikenal sebagai orang-orang yang tinggal di beranda Masjid Nabawy. Orang-orang ini terdiri dari orang-orang faqir yang tak memiliki keluarga dan tempat tinggal yang layak.[6] Pendapat ini sangat riskan dan berlawanan dengan visi dakwah nabi SAW tentang pengentasan kemiskinan dan ajaran tentang pembentukan keluarga. Lebih tepat dikatakan bahwa Ahl Shuffah ini membiarkan dirinya menjadi fakir dan tak terobsesi dengan harta. Namun, lagi-lagi kata ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan makna shufi yang sahih menurut kaidah derivasi.

d.    Ada juga yang menyebutkan bahwa Sufi merupakan sinonim/muradif dari kata Sophos (yunani). Tetapi pendapat ini ditolak oleh Thouluck dan Noldeke.[7]
e.     Dinisbatkan dari kata Shuf (wol). Penisbatan ini menurut al Yafi’ie disebabkan kebiasaan para sufi memakai pakaian dari wol atau bulu domba. Bahan pakaian dari wol pada zaman dahulu menunjukkan sifat rendah hati (tawadhu’). Selain itu, pakaian berbahan wol merupakan pakaian para nabi terdahulu. Menurut Hasan Ibrahim Hasan, asal kata ini mendekati benar, karena kata Shuf dapat ditemukan dalam bahasa Arab. Sejalan dengan bahasa Arab, dalam bahasa Persia juga dikenal kata “Basynimabus” yang berarti pakaian dari bahan wol yang dipakai oleh kaum sufi Persia[8]

Dari lima pendapat di atas dapt disimpulkan bahwa point a-d tidak dapat menunjukkan derivasi atau asal usul kata secara lughawy, namun hanya dapat dikategorikan sebagai qiyas dan bahkan lebih tepat lagi disebut dengan gelar  (al Laqb). Kecuali pendapat terakhir yang menisbatkan kepada kata Shuf (wol). Shuf adalah kata yang ada dalam kamus arab. Secara faktual, pakaian wol (libas al Shufi) lebih mendukung karena dari dari segi istilah cocok, dan orang-orang yang biasa menggunakan pakaian wol adalah kaum sufi. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) menyatakan pendapat yang sama. Kata Shufi tidak dapat dicari asal-usulnya dari bahasa Arab. Tidak akan ada wazan yang sesuai. Namn ia dapat dinisbahkan kepada pakaian wol yang biasa dipakai kaum sufi. Adapun kata tasawuf menurutnya berasal dari bab Tafa’ul, dengan makna menjadi (shairurah).[9]

Sebab Munculnya Tasawuf
1.     Pengaruh Kerahiban (kependetaan) Nasrani. Dalam dunia pengajaran kerahiban Kristen dikenal kebiasaan menyepi (‘uzlah) sebagaimana dipraktikkan dalam dunia tasawuf Islam. Kebiasaan rahib Kristen biasanya menyepi atau menjauh dari masyarakatnya untuk beribadah. Pendapat ini diyakini oleh R.A. Nicholson, ia bahkan menyatakan bahwa rahbaniyah nasrani ini ditemukan dasar nashnya dalam al Qur’an yaitu dalam surat al Hadid-27[10] Namun, pendapat ini ditolak oleh Noldeke. Meski kebiasaan rahib nasrani ini popular di kalangan umat Islam, namun nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan bahwa tidak ada status kerahiban dalam Islam (La Rahbaniyah fi al Islam). Lebih lanjut diterangkan bahwa Islam punya tradisi sendiri yang diamalkan oleh para sahabat, yaitu tradisi zuhud, dan amat musykil bagi orang Islam untuk merujuk peribadatan dari agama lain.

2.     Pengaruh Filsafat Yunani. Nicholson juga mengaitkan tasawuf dengan tradisi filsafat Yunani, yaitu pemikiran Aristoteles dari ajaran neo platonisme mazhab Prophyrus dan Proclus. Nicholson mencatat bahwa kitab Theologia Aristoteles menyebar dalam bahasa Arab sekitar tahun 840 M.karena itu ia menyatakan bahwa pemikiran neoplatonisme pada tahun tersebut sudah menyebar dan popular di kalangan umat Islam. Namun, sebagai catatan, bahwa pendapat Nicholson di atas terbatas pada penyebaran tasawuf irfani (tasawuf falsafi)
3.     Bersambung… 







[1] Muhammad Abd. Al Mun’im Khafaji, Al Adab fi al Turatsi al Shufi, hal.14
[2] Reynold A. Nicholson, Fii al Tashawuf al Islamy wa al Tarikhihi, Lajnah al Ta’liif wa al Tarjamah wa al Nasyr, 1966
[3] Khafaji, hal. 23
[4] Fathiyah al Nabrawy, Tarikh al Nazhm wa Al Hadharah al Islamiyah, Kairo, Dar el Ma’arif, 1981, hal. 203
[5] Muhammad Ghalab, al Tashawuf al Muqaran, Kairo, Nahdhah al Mishr wa Mathba’atuha, t.t., hal 27
[6] Ibrahim Basyuni, Nasy’at al Tashawuf al Islamy, Mesir, Dar al Ma’arif, 1969, hal.10
[7] Muhammad Ghalab, hal. 28
[8] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam, Kairo, al Maktabah al Nahdhah al Mishriyah, 1979, 220
[9] HAMKA, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1994, hal. 86-87
[10] Nicholson, 45

No comments: