Oleh Muhammad Nasir
Para Sufi Awal
Sumber Foto: Duta Islam |
Tasawuf atau
Sufistik adalah tema baru dalam peradaban Islam, terutama terkait posisinya
dalam gerakan keagamaan Islam. Gerakan ini muncul pada abad ke-2 hijriah dan
masa ini adalah periode awal Daulah Abbasiyah. Muhammad Abd Mun’im Khafaji
menulis bahwa orang yang pertama kali digelari sufi adala Abu Hasyim al Shufi[1] (wafat tahun 150H/761M)
adapun generasi awal yang membicarakan tentang sufi adalah Abu Hamzah al Shufi.
Petunjuk tentang ini dapat disimak dari kalimat sapaan Imam Ahmad bin Hanbal kepada
Abu Hamzah tatkala ia menanyakan tentang suatu hal, “Apa pendapatmu tentang
masalah itu hai “Sufi?” Menurut Reynold Allen Nicholson, orang yang pertama
digelari “sufi” adalalah Jabir bin Hayyan. Jabir dikenal juga dengan nama Jabir
al Shufi[2].
Asal Kata Sufi
Menurut Imam al
Qusyairi sufi tidak dapat dicarikan qiyas atau asal katanya, yang jelas “Shufi”
itu hanyalah gelar.[3]
Namun, meskipun demikian, beberapa penulis tetap mengupayakan penelusuran
tentang asal-usul (derivasi/ Isytiqaq) kata Sufi. Di antaranya:
a.
Kata
Shufah. Ada yang mengatakan bahwa Sufi berasal dari kata shufah, atau kalimat
Sufi ini dinisbahkan kepada kata Shufah, yaitu penamaan terhadap seseorang yang
menyendiri untuk beribadah kepada Allah SWT di Baitul Haram (Masjid al Haram).
Nama orang itu adalah al Ghus ibn Murr.[4] Penulis lain yang mengemukakan
pendapat yang sama dengan ini antara lain Ibn al Jauzy, Al Zamakhsyary, Fairuz
Abadi dan lain-lain.
b.
Ada
yang menyebutkan sufi dinisbatkan kepada saf pertama dalam shalat jama’ah (al
Shaf al Awwal fi al Shalah).[5] Pendapat ini merujuk kepada pendapat al
Qusyairi bahwa kata sufi berasal dari kata shaff (barisan) untuk menunjukkan
bahwa kaum sufi ini kecendrungan hatinya kepada Allah SWT berada dalam barisan
pertama. Tetapi menurut Al Qusyairi, pendapat ini tidak ada kaitannya dengan
makna yang shahih menurut bahasa.
c.
Dinisbahkan
kepada Ahl Al Shuffah. Ahli Shuffah dalam sejarah Islam dikenal sebagai
orang-orang yang tinggal di beranda Masjid Nabawy. Orang-orang ini terdiri dari
orang-orang faqir yang tak memiliki keluarga dan tempat tinggal yang layak.[6] Pendapat ini sangat riskan
dan berlawanan dengan visi dakwah nabi SAW tentang pengentasan kemiskinan dan
ajaran tentang pembentukan keluarga. Lebih tepat dikatakan bahwa Ahl Shuffah
ini membiarkan dirinya menjadi fakir dan tak terobsesi dengan harta. Namun,
lagi-lagi kata ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan makna shufi yang
sahih menurut kaidah derivasi.
d.
Ada
juga yang menyebutkan bahwa Sufi merupakan sinonim/muradif dari kata Sophos
(yunani). Tetapi pendapat ini ditolak oleh Thouluck dan Noldeke.[7]
e.
Dinisbatkan
dari kata Shuf (wol). Penisbatan ini menurut al Yafi’ie disebabkan kebiasaan
para sufi memakai pakaian dari wol atau bulu domba. Bahan pakaian dari wol pada
zaman dahulu menunjukkan sifat rendah hati (tawadhu’). Selain itu, pakaian
berbahan wol merupakan pakaian para nabi terdahulu. Menurut Hasan Ibrahim
Hasan, asal kata ini mendekati benar, karena kata Shuf dapat ditemukan dalam
bahasa Arab. Sejalan dengan bahasa Arab, dalam bahasa Persia juga dikenal kata
“Basynimabus” yang berarti pakaian dari bahan wol yang dipakai oleh kaum sufi
Persia[8]
Dari lima pendapat
di atas dapt disimpulkan bahwa point a-d tidak dapat menunjukkan derivasi atau
asal usul kata secara lughawy, namun hanya dapat dikategorikan sebagai qiyas
dan bahkan lebih tepat lagi disebut dengan gelar (al Laqb). Kecuali pendapat terakhir
yang menisbatkan kepada kata Shuf (wol). Shuf adalah kata yang ada dalam kamus
arab. Secara faktual, pakaian wol (libas al Shufi) lebih mendukung karena dari
dari segi istilah cocok, dan orang-orang yang biasa menggunakan pakaian wol
adalah kaum sufi. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) menyatakan pendapat
yang sama. Kata Shufi tidak dapat dicari asal-usulnya dari bahasa Arab. Tidak akan
ada wazan yang sesuai. Namn ia dapat dinisbahkan kepada pakaian wol yang biasa
dipakai kaum sufi. Adapun kata tasawuf menurutnya berasal dari bab Tafa’ul, dengan
makna menjadi (shairurah).[9]
Sebab Munculnya
Tasawuf
1.
Pengaruh
Kerahiban (kependetaan) Nasrani. Dalam dunia pengajaran kerahiban Kristen
dikenal kebiasaan menyepi (‘uzlah) sebagaimana dipraktikkan dalam dunia
tasawuf Islam. Kebiasaan rahib Kristen biasanya menyepi atau menjauh dari
masyarakatnya untuk beribadah. Pendapat ini diyakini oleh R.A. Nicholson, ia
bahkan menyatakan bahwa rahbaniyah nasrani ini ditemukan dasar nashnya dalam al
Qur’an yaitu dalam surat al Hadid-27[10] Namun, pendapat ini
ditolak oleh Noldeke. Meski kebiasaan rahib nasrani ini popular di kalangan umat
Islam, namun nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan bahwa tidak ada status
kerahiban dalam Islam (La Rahbaniyah fi al Islam). Lebih lanjut diterangkan
bahwa Islam punya tradisi sendiri yang diamalkan oleh para sahabat, yaitu
tradisi zuhud, dan amat musykil bagi orang Islam untuk merujuk peribadatan dari
agama lain.
2.
Pengaruh
Filsafat Yunani. Nicholson juga mengaitkan tasawuf dengan tradisi filsafat
Yunani, yaitu pemikiran Aristoteles dari ajaran neo platonisme mazhab Prophyrus
dan Proclus. Nicholson mencatat bahwa kitab Theologia Aristoteles menyebar
dalam bahasa Arab sekitar tahun 840 M.karena itu ia menyatakan bahwa pemikiran
neoplatonisme pada tahun tersebut sudah menyebar dan popular di kalangan umat
Islam. Namun, sebagai catatan, bahwa pendapat Nicholson di atas terbatas pada
penyebaran tasawuf irfani (tasawuf falsafi)
3.
Bersambung…
[1]
Muhammad Abd. Al Mun’im Khafaji, Al Adab fi al Turatsi al Shufi, hal.14
[2]
Reynold A. Nicholson, Fii al Tashawuf al Islamy wa al Tarikhihi, Lajnah
al Ta’liif wa al Tarjamah wa al Nasyr, 1966
[3]
Khafaji, hal. 23
[4]
Fathiyah al Nabrawy, Tarikh al Nazhm wa Al Hadharah al Islamiyah, Kairo,
Dar el Ma’arif, 1981, hal. 203
[5]
Muhammad Ghalab, al Tashawuf al Muqaran, Kairo, Nahdhah al Mishr wa
Mathba’atuha, t.t., hal 27
[6]
Ibrahim Basyuni, Nasy’at al Tashawuf al Islamy, Mesir, Dar al Ma’arif,
1969, hal.10
[7]
Muhammad Ghalab, hal. 28
[8]
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam, Kairo, al Maktabah al Nahdhah al
Mishriyah, 1979, 220
[9]
HAMKA, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta, Pustaka
Panjimas, 1994, hal. 86-87
[10] Nicholson, 45
No comments:
Post a Comment