Muhammad Nasir
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Imam Bonjol Padang
Kata Sidi Gazalba (1968), sejarah Indonesia sejak
duapuluh abad terakhir adalah sejarah akulturasi. Perubahan kebudayaan
berlangsung lama dari kebudayaan bersahaja menjadi kebudayaan bercorak baru
yang lebih rumit.
Dari abad pertama masehi hingga abad ke dua belas,
kebudayaan Hindu datang dan terjadilah proses penyesuaian (adaptasi). Lambat
laun terbentuklah corak kebudayaan Nusantara-Hindu. Sestelahnya, pada abad
ke-12 datanglah agama Islam ke nusantara. Terjadi pula akulturasi yang
melahirkan kebudayaan Nusantara Islam. Saat akulturasi kebudayaan nusantara
dengan Islam berjalan, datang lagi kebudayaan barat ke nusantara pada abad
ke-16. Kontestasi kebudayaan Nusantara-Islam dan Nusantara-Barat terus
berlanjut sampai sekarang. Berkejar-kejaran dan saling berebut pengaruh.
Islam dengan karakter amar ma’ruf nahi munkarnya
selalu agresif untuk memperbaiki apa yang dirasa kurang sesuai dengan ajaran
agama Islam. Amar ma’ruf utamanya digerakkan oleh lembaga pendidikan dan
organisasi massa (ormas) Islam, nahi munkar pada umumnya digerakkan oleh ormas
Islam.
Kebudayaan barat demikian pula. Kebudayaan barat secara
simbolis mewakili ide-ide renaisans yang tumbuh di eropa di penghujung abad
pertengahan. Bersamaan dengan gerakan renaisans yang digotong oleh ilmuan,
dunia eropa secara politis sedang mendapatkan momentum mengelana dunia.
Sebagian besarnya berujung kepada pencaplokan wilayah, kolonisasi dan
penjajahan. Agen kebudayaan barat lainnya yang tercatat agresis adalah adalah
perusahaan yang memproduksi dan memasarkan produk serta perusahaan permodalan
dan pembiayaan (finance).
Istilah "budaya Barat" digunakan sangat
luas untuk merujuk pada warisan norma-norma sosial, nilai-nilai etika, adat
istiadat, keyakinan agama, sistem politik, artefak budaya khusus, serta
teknologi. “Sebagian besar rangkaian tradisi dan pengetahuan tersebut pada umumnya
telah dikumpulkan dalam kanon Barat,” kata Eduardo Duran (1995).
Karena itu, dapat dimengerti mengapa sesuatu yang
terasosiasi dengan Islam begitu agresif dan menjadi partisipan aktif dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia, begitu pula dengan unsur-unsur
kebudayaan barat terutama yang terkait sains dan teknologi.
Pemeluk agama Islam yang sedang berjuang menguatkan
kebudayaan Nusantara Islam biasanya memberi catatan penolakan terhadap warisan
norma-norma sosial, nilai-nilai etika, adat istiadat, keyakinan agama, sistem
politik, artefak budaya khusus dari kebudayaan barat. Unsur sains dan teknologi
dapat diterima, karena itu adalah bagian dari sistem kebudayaan universal yang
dapat sama-sama dipelajari dan saling dipertukarkan.
Oleh sebab itu, umat Islam tercatat tak
mempermasalahkan produk barat dan membelinya dengan sukarela. Kritik terhadap
teknologi justru berkisar sekitar nilai guna dan cara-cara pendistribusian
melalui kegiatan perdagangan yang tak sesuai dengan kaidah perdagangan dalam
Islam. Misalnya soal kapitalisme dan aspek-aspek pemerolehan keuntungan yang
dianggap tidak sah (haram).
Hubungan antar Kebudayaan
Kebudayaan asli Indonesia adalah kebudayaan yang
bersahaja. Kebudayaan Indonesia dibentuk dengan interaksi yang ramah dengan
alam sekitarnya. Namun setelah berkenalan dengan banyak unsur kebudayaan luar
(asing), terjadi perubahan yang luar biasa. Menjadi rumit dan mengundang
konflik hingga sekarang. Apalagi kebudayaan asli Indonesia yang disebut dengan
kebudayaan lokal berjumlah ratusan yang tersebar di banyak pulau di nusantara.
Hingga akhirnya apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional itu masih serupa
embrio yang terus berkembang ke arah bentuk yang sukar diprediksikan.
Hubungan antar kebudayaan adalah perkenalan, kata
Gazalba (1968). Perkenalan antar kebudayaan memiliki faktor kendali yang
disebut oleh Gazalba dengan adaptasi dan adoptasi. Koentjaraningrat (1980) mengatakan hubungan
antar kebudayaan adalah saling belajar, terutama pada bagian unsur kebudayaan
yang universal, seperti sains dan teknologi.
Adaptasi adalah proses yang mudah-mudah sukar,
yaitu proses kesediaan (kesukarelaan) menerima unsur kebudayaan lain yang
bernilai baik sembari bersedia pula berdamai dengan diri saat harus
menghilangkan nilai-nilai dalam kebudayaan asli yang tak begitu berguna.
Adoptasi adalah proses yang lebih berat dan
berpotensi konflik antar kebudayaan karena harus menghancurkan kebudayaan asli
dan meninggalkan bekasnya dalam ingatan. Adoptasi dapat dipandang sebagai
penyusupan (infiltrasi) atau penetrasi kebudayaan. Dalam proses adoptasi, biasanya
kekuasaan menjadi entitas yang menentukan. Dalam kondisi tertentu prosesnya
mesti melalui paksaan
Akulturasi Islam
Akulturasi ada dalam ajaran dan ada anjurannya
dalam Islam, karena ia merupakan sebuah keniscayaan. “kami jadikan kamu
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal” (Q.S. Al Hujurat:13) Ayat
ini mengandung makna bahwa sudah menjadi fitrah manusia bersuku-suku
berbangsa-bangsa. Dengan sendirinya, Islam mengakui kesatuan umat manusia dalam
kesatuan sosial yang bermacam-macam. Termasuk dalam ikatan kebudayaan.
Maksud saling mengenal pada ayat di atas tentu saja
tak terbatas pengenalan fisik, warna kulit, jenis rambut dan bentuk mata saja.
Tetapi lebih dari itu, mengenal potensi apa yang ada pada bangsa-bangsa (baca:
kebudayaan) lain. Pengelompokan manusia tersebar di berbagai wilayah dengan
hasil alam yang berbeda. Untuk memperoleh hasil alam itu akan muncul keahlian
yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, muncullah kegiatan pertukaran barang
(barter), jual beli, alihteknologi/ keterampilan dan sebagainya. Semua kegiatan ini, konsekwensinya adalah
akulturasi.
Akulturasi Islam meniscayakan upaya perbaikan
pelbagai aspek kehidupan manusia. Mulai dari aspek ide, tindakan dan
benda-benda keperluan manusia. Pada semua aspek itu, dilekatkan nilai yang bersumber dari teks keagamaan dan
fatwa-fatwa ulama yang digali dari sumber-sumber otoritatif. Oleh sebab itu,
Islam selain meniscayakan akulturasi, juga memberikan syarat (filter) berupa
nilai-nilai acuan dari proses mengenal, menilai, memilih dan mengadaptasi
kebudayaan lain.
Nilai kebudayaan manusia dalam konteks ayat di atas
tidak terletak pada tinggi rendahnya tingkat kebudayaan manusia. Namun sesuai
dengan ujung ayat tersebut dijelaskan bahwa nilai itu diletakkan pada manusia
sebagai pencipta produk kebudayaan. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kamu adalah yang paling taqwa.” (QS. Alhujurat:13)
Betapapun tingginya produk manusia (kebudayaan),
kata akhirnya masih terletak pada nilai manusia, sumber produk itu, demikian
pendapat Gazalba. Sekarang dapat dipahami mengapa (umat) Islam yang berpegang
teguh pada teks keagamaan (al Qur’an dan Hadis) begitu nyinyir terhadap
perubahan kebudayaan yang digerakkan oleh globalisasi.
Umat Islam, misalnya tidak menolak peralatan hidup
serupa televisi, handphone, aneka aplikasi android sebagai produk kebudayaan
barat yang tinggi. Itu dapat diperoleh melalui transaski jual beli. Penolakan berlaku terhadap norma-norma sosial, nilai-nilai, etika, adat
istiadat, keyakinan agama, sistem politik, artefak budaya khusus dari
kebudayaan barat. Begitu!
No comments:
Post a Comment