06 May 2019

Akulturasi Islam di Indonesia


Muhammad Nasir
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang



Kata Sidi Gazalba (1968), sejarah Indonesia sejak duapuluh abad terakhir adalah sejarah akulturasi. Perubahan kebudayaan berlangsung lama dari kebudayaan bersahaja menjadi kebudayaan bercorak baru yang lebih rumit. 
Dari abad pertama masehi hingga abad ke dua belas, kebudayaan Hindu datang dan terjadilah proses penyesuaian (adaptasi). Lambat laun terbentuklah corak kebudayaan Nusantara-Hindu. Sestelahnya, pada abad ke-12 datanglah agama Islam ke nusantara. Terjadi pula akulturasi yang melahirkan kebudayaan Nusantara Islam. Saat akulturasi kebudayaan nusantara dengan Islam berjalan, datang lagi kebudayaan barat ke nusantara pada abad ke-16. Kontestasi kebudayaan Nusantara-Islam dan Nusantara-Barat terus berlanjut sampai sekarang. Berkejar-kejaran dan saling berebut pengaruh.


Islam dengan karakter amar ma’ruf nahi munkarnya selalu agresif untuk memperbaiki apa yang dirasa kurang sesuai dengan ajaran agama Islam. Amar ma’ruf utamanya digerakkan oleh lembaga pendidikan dan organisasi massa (ormas) Islam, nahi munkar pada umumnya digerakkan oleh ormas Islam.

Kebudayaan barat demikian pula. Kebudayaan barat secara simbolis mewakili ide-ide renaisans yang tumbuh di eropa di penghujung abad pertengahan. Bersamaan dengan gerakan renaisans yang digotong oleh ilmuan, dunia eropa secara politis sedang mendapatkan momentum mengelana dunia. Sebagian besarnya berujung kepada pencaplokan wilayah, kolonisasi dan penjajahan. Agen kebudayaan barat lainnya yang tercatat agresis adalah adalah perusahaan yang memproduksi dan memasarkan produk serta perusahaan permodalan dan pembiayaan (finance).

Istilah "budaya Barat" digunakan sangat luas untuk merujuk pada warisan norma-norma sosial, nilai-nilai etika, adat istiadat, keyakinan agama, sistem politik, artefak budaya khusus, serta teknologi. “Sebagian besar rangkaian tradisi dan pengetahuan tersebut pada umumnya telah dikumpulkan dalam kanon Barat,” kata Eduardo Duran (1995).

Karena itu, dapat dimengerti mengapa sesuatu yang terasosiasi dengan Islam begitu agresif dan menjadi partisipan aktif dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia, begitu pula dengan unsur-unsur kebudayaan barat terutama yang terkait sains dan teknologi.

Pemeluk agama Islam yang sedang berjuang menguatkan kebudayaan Nusantara Islam biasanya memberi catatan penolakan terhadap warisan norma-norma sosial, nilai-nilai etika, adat istiadat, keyakinan agama, sistem politik, artefak budaya khusus dari kebudayaan barat. Unsur sains dan teknologi dapat diterima, karena itu adalah bagian dari sistem kebudayaan universal yang dapat sama-sama dipelajari dan saling dipertukarkan.

Oleh sebab itu, umat Islam tercatat tak mempermasalahkan produk barat dan membelinya dengan sukarela. Kritik terhadap teknologi justru berkisar sekitar nilai guna dan cara-cara pendistribusian melalui kegiatan perdagangan yang tak sesuai dengan kaidah perdagangan dalam Islam. Misalnya soal kapitalisme dan aspek-aspek pemerolehan keuntungan yang dianggap tidak sah (haram).

Hubungan antar Kebudayaan     

Kebudayaan asli Indonesia adalah kebudayaan yang bersahaja. Kebudayaan Indonesia dibentuk dengan interaksi yang ramah dengan alam sekitarnya. Namun setelah berkenalan dengan banyak unsur kebudayaan luar (asing), terjadi perubahan yang luar biasa. Menjadi rumit dan mengundang konflik hingga sekarang. Apalagi kebudayaan asli Indonesia yang disebut dengan kebudayaan lokal berjumlah ratusan yang tersebar di banyak pulau di nusantara. Hingga akhirnya apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional itu masih serupa embrio yang terus berkembang ke arah bentuk yang sukar diprediksikan.

Hubungan antar kebudayaan adalah perkenalan, kata Gazalba (1968). Perkenalan antar kebudayaan memiliki faktor kendali yang disebut oleh Gazalba dengan adaptasi dan adoptasi.  Koentjaraningrat (1980) mengatakan hubungan antar kebudayaan adalah saling belajar, terutama pada bagian unsur kebudayaan yang universal, seperti sains dan teknologi.

Adaptasi adalah proses yang mudah-mudah sukar, yaitu proses kesediaan (kesukarelaan) menerima unsur kebudayaan lain yang bernilai baik sembari bersedia pula berdamai dengan diri saat harus menghilangkan nilai-nilai dalam kebudayaan asli yang tak begitu berguna.

Adoptasi adalah proses yang lebih berat dan berpotensi konflik antar kebudayaan karena harus menghancurkan kebudayaan asli dan meninggalkan bekasnya dalam ingatan. Adoptasi dapat dipandang sebagai penyusupan (infiltrasi) atau penetrasi kebudayaan. Dalam proses adoptasi, biasanya kekuasaan menjadi entitas yang menentukan. Dalam kondisi tertentu prosesnya mesti melalui paksaan


Akulturasi Islam
Akulturasi ada dalam ajaran dan ada anjurannya dalam Islam, karena ia merupakan sebuah keniscayaan. “kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal” (Q.S. Al Hujurat:13) Ayat ini mengandung makna bahwa sudah menjadi fitrah manusia bersuku-suku berbangsa-bangsa. Dengan sendirinya, Islam mengakui kesatuan umat manusia dalam kesatuan sosial yang bermacam-macam. Termasuk dalam ikatan kebudayaan.

Maksud saling mengenal pada ayat di atas tentu saja tak terbatas pengenalan fisik, warna kulit, jenis rambut dan bentuk mata saja. Tetapi lebih dari itu, mengenal potensi apa yang ada pada bangsa-bangsa (baca: kebudayaan) lain. Pengelompokan manusia tersebar di berbagai wilayah dengan hasil alam yang berbeda. Untuk memperoleh hasil alam itu akan muncul keahlian yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, muncullah kegiatan pertukaran barang (barter), jual beli, alihteknologi/ keterampilan dan sebagainya.  Semua kegiatan ini, konsekwensinya adalah akulturasi.

Akulturasi Islam meniscayakan upaya perbaikan pelbagai aspek kehidupan manusia. Mulai dari aspek ide, tindakan dan benda-benda keperluan manusia. Pada semua aspek itu, dilekatkan  nilai yang bersumber dari teks keagamaan dan fatwa-fatwa ulama yang digali dari sumber-sumber otoritatif. Oleh sebab itu, Islam selain meniscayakan akulturasi, juga memberikan syarat (filter) berupa nilai-nilai acuan dari proses mengenal, menilai, memilih dan mengadaptasi kebudayaan lain.

Nilai kebudayaan manusia dalam konteks ayat di atas tidak terletak pada tinggi rendahnya tingkat kebudayaan manusia. Namun sesuai dengan ujung ayat tersebut dijelaskan bahwa nilai itu diletakkan pada manusia sebagai pencipta produk kebudayaan. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling taqwa.” (QS. Alhujurat:13)

Betapapun tingginya produk manusia (kebudayaan), kata akhirnya masih terletak pada nilai manusia, sumber produk itu, demikian pendapat Gazalba. Sekarang dapat dipahami mengapa (umat) Islam yang berpegang teguh pada teks keagamaan (al Qur’an dan Hadis) begitu nyinyir terhadap perubahan kebudayaan yang digerakkan oleh globalisasi.

Umat Islam, misalnya tidak menolak peralatan hidup serupa televisi, handphone, aneka aplikasi android sebagai produk kebudayaan barat yang tinggi. Itu dapat diperoleh melalui transaski jual beli.  Penolakan berlaku terhadap  norma-norma sosial, nilai-nilai, etika, adat istiadat, keyakinan agama, sistem politik, artefak budaya khusus dari kebudayaan barat. Begitu!

*telah dimuat di hariankhazanah Padang
  kamis, 2 Mei 2019

No comments: