Oleh: Muhammad Nasir
Amrozi cs meminta dihukum pancung kepada Kejaksaan Tinggi Bali. Permintaan itu berkaitan dengan eksekusi mati yang akan segera dilaksanakan kepada pelaku Bom Bali jelang Ramadhan 1429 H tahun ini. Permintaan itu mendadak membuat sebagian besar warga Indonesia bergidik ngeri. Gila!
Seiring dengan permintaan Amrozi cs, sebuah surat singkat masuk ke email saya. Seorang teman mengungkapkan,
“Sadis! Amrozi minta dihukum pancung. Bukankah itu hukum primitif pada saat peradaban belum semaju sekarang. Bayangkan, tebasan golok atau apapun senjatanya akan membuat darah muncrat dari batang leher si gila itu. Apakah itu sebuah permintaan atau sensasi belaka. Tak terbayang, jika ideology Amrozie cs menang, ada banyak kepala orang bersalah yang dipancung. Bumi berdarah-darah!”
Begitulah, persoalan bagaimana eksekusi dilaksanakan menjadi problem tersendiri bagi umat Islam. Terutama bagi yang mengusung penegakan syari’at Islam dalam artian penerapan hukum Islam secara simbolik plus menghidupkan tradisi hukuman cara lama seperti potong tangan, cambuk, dera atau dilempar dengan batu.
Setidaknya permintaan Amrozi itu bagi umat Islam terkesan menakutkan dan terkebelakang. Apalagi bagi orang non muslim yang terlanjur phobia terhadap Islam dengan segala tata aturannya.
Yang jelas, Amrozi dihukum mati karena problem khilafiyah, dan ia pun meminta dihukum mati dengan cara yang khilafiyah pada saat khilfiyah (kontroversi) hokum mati sedang hangat-hangatnya. Harapannya tentu saja agar persoalan khilafiyah ini tidak berdarah-darah dan berujung pada tindakan saling menghukum mati.
Hukuman Mati Sepanjang Sejarah
Socrates (469-399 SM) memiliki nama panggilan “Lalat” karena dia suka menyengat orang untuk berpikir jernih tentang mereka sendiri. Akhir hidupnya adalah hukuman mati yang dijatuhkan pada pengadilan oleh hakim Athena atas dasar dua tuduhan utama yaitu kekafiran dan merusak para pemuda Athena. Padahal dia bukanlah seorang yang dogmatis, apalagi otoriter akan tetapi kehadirannya di tengah-tengah warga Athena benar-benar membuat mereka gelisah karena ia selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membongkar asumsi-asumsi kemapanan tujuan hidup manusia dan membuat mereka dilanda kebingungan atas kenaifan pengetahuan mereka.
Kejadian itu juga mengingatkan kita pada pertikaian yang terjadi di masa silam antara faksi A’isyah dan Mu’awiyah yang bermula dari tuntutan yang mereka tujukan kepada faksi khalifah Ali bin Abi Thâlib r.a. karamaLlâh wajhah, untuk segera mengungkap pelaku pembunuhan khalifah Utsmân bin ‘Affân r.a., yang berujung dengan perang dan pembunuhan. Korban terbanyak dari aksi pembunuhan yang diawali perselisihan pendapat (ikhtilâf) ini adalah mereka yang berupaya untuk menerapkan ajaran Islam yang “hidup” dan kelak disebut sûfî.
Para penguasa al-Muwahhidûn di Afrika Utara mengancam akan menyiksa para sufi yang mereka curigai menggerakkan para pengikut tharîqah untuk mengadakan perlawanan terhadap rejim penguasa yang merupakan para bigot atau politico-jurist-theologian yang ortodok dan intoleran. Para sufi menganggap rejim ini sebagai perampas kekuasaan Islam dan pelanggar syarî‘ah Syihâb ad-Dîn Yahyâ bin Habasy bin Amirak Suhrawardî yang dijuluki al-Maqtûl atau asy-Syâhid, wafat dibunuh atas perintah al-Mâlik az-Zâhir.
Kekejaman Bani Umayyah dan Abbasiyah telah banyak menelan korban di kalangan yang berupaya keras untuk menegakkan Tauhîd dan menolak kemungkaran. Ibn Qasî yang dibunuh pada 546 H/1151 M, Ibn Barrajân dan Ibn al-‘Arîf yang konon diracuni oleh gubernur Afrika Utara, ‘Alî ibn Yûsuf, setelah dikurung dalam penjara selama beberapa tahun. Ibn Taimiyyah dipenjara selama bertahun-tahun. Al-Hallâj, seorang sufi besar, digantung dan dibunuh oleh rejim ini secara sadis, hingga bagian-bagian tubuhnya terpotong-potong.
Hukuman mati sepanjang sejarah memang tidak selalu identik dengan Islam. Bahkan Negara dengan gelar kampiun demokrasi dan penjunjung tinggi HAM pun saat ini masih melaksanakan hukuman mati. Ringkasnya, hukuman mati merupakan ekspresi manusia dalam menjatuhkan hukuman terhadap orang yang bersalah. Agama ataupun peradaban manusia yang tak berlandaskan agama hanya mencari cara bagaimana dan dengan alat teknis pengeksekusian itu dilakukan.
Hukuman Mati karena Ikhtilaf
Eksekusi mati akhir-akhir ini menjadi topic yang hangat diperdebatkan, apalagi semenjak beberapa terhukum mati dieksekusi seperi Dukun “AS”, Rio Martil dan beberapa orang lainnya. Pro kontra sontak muncul kepermukaan dalam kerangka debat tersebut.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu yang lalu juga kembali menegaskan bahwa hukuman mati masih relevan dilaksanakan dan sesuai dengan syari’at Islam. Tujuannya tidak lain untuk memenuhi rasa keadilan dan untuk memelihara jiwa manusia. Namun MUI menggarisbawahi bahwa hukuman mati bukan pilihan utama, kecuali keputusan final. Seseorang dapat saja bebas dari hukuman mati bila ada kemurahan hati dalam bentuk maaf dan perdamaian dari ahli waris korban.
Tetapi bagi pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan penolakan dengan alasan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup dan hukuman mati bukanlah cara yang terpuji untuk memenuhi rasa keadilan ataupun menimbulkan efek jera. Di samping itu, kesan sadistis tidak dapat dihilangkan dari hukuman mati tersebut.
Terlepas dari kontroversi hukuman mati tersebut, fenomena lainnya yang patut diwaspadai adalah perlombaan memberikaran hukuman mati dalam bentuk fatwa-fatwa mati terhadap lawan yang berbeda pendapat. Sejarah telah memberikan contoh yang patut direnubgkan bersama-sama, seperti kasus Socrates dan beberapa ilmuwan dan pemikir Islam sepanjang sejarah.
Indonesia pun tak luput dalam sejarah eksekusi mati. Misalnya betapa banyak perbedaan pendapat pada masa Orde Lama yang dieksekusi mati dengan berbagai cara. Begitupun pada masa Orde Baru yang tidak toleran terhadap perbedaan. Para korban entah kapan dieksekusi.
Di era reformasi sekarang kita mendadak ngeri dengan kosa kata “halal darahnya”, murtadin layak dihukum pancung, ayau seperti . Fatwa hukuman mati bagi aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dilontorkan FKUI beberapa waktu lalu. [23/08/2008]
Amrozi cs meminta dihukum pancung kepada Kejaksaan Tinggi Bali. Permintaan itu berkaitan dengan eksekusi mati yang akan segera dilaksanakan kepada pelaku Bom Bali jelang Ramadhan 1429 H tahun ini. Permintaan itu mendadak membuat sebagian besar warga Indonesia bergidik ngeri. Gila!
Seiring dengan permintaan Amrozi cs, sebuah surat singkat masuk ke email saya. Seorang teman mengungkapkan,
“Sadis! Amrozi minta dihukum pancung. Bukankah itu hukum primitif pada saat peradaban belum semaju sekarang. Bayangkan, tebasan golok atau apapun senjatanya akan membuat darah muncrat dari batang leher si gila itu. Apakah itu sebuah permintaan atau sensasi belaka. Tak terbayang, jika ideology Amrozie cs menang, ada banyak kepala orang bersalah yang dipancung. Bumi berdarah-darah!”
Begitulah, persoalan bagaimana eksekusi dilaksanakan menjadi problem tersendiri bagi umat Islam. Terutama bagi yang mengusung penegakan syari’at Islam dalam artian penerapan hukum Islam secara simbolik plus menghidupkan tradisi hukuman cara lama seperti potong tangan, cambuk, dera atau dilempar dengan batu.
Setidaknya permintaan Amrozi itu bagi umat Islam terkesan menakutkan dan terkebelakang. Apalagi bagi orang non muslim yang terlanjur phobia terhadap Islam dengan segala tata aturannya.
Yang jelas, Amrozi dihukum mati karena problem khilafiyah, dan ia pun meminta dihukum mati dengan cara yang khilafiyah pada saat khilfiyah (kontroversi) hokum mati sedang hangat-hangatnya. Harapannya tentu saja agar persoalan khilafiyah ini tidak berdarah-darah dan berujung pada tindakan saling menghukum mati.
Hukuman Mati Sepanjang Sejarah
Socrates (469-399 SM) memiliki nama panggilan “Lalat” karena dia suka menyengat orang untuk berpikir jernih tentang mereka sendiri. Akhir hidupnya adalah hukuman mati yang dijatuhkan pada pengadilan oleh hakim Athena atas dasar dua tuduhan utama yaitu kekafiran dan merusak para pemuda Athena. Padahal dia bukanlah seorang yang dogmatis, apalagi otoriter akan tetapi kehadirannya di tengah-tengah warga Athena benar-benar membuat mereka gelisah karena ia selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membongkar asumsi-asumsi kemapanan tujuan hidup manusia dan membuat mereka dilanda kebingungan atas kenaifan pengetahuan mereka.
Kejadian itu juga mengingatkan kita pada pertikaian yang terjadi di masa silam antara faksi A’isyah dan Mu’awiyah yang bermula dari tuntutan yang mereka tujukan kepada faksi khalifah Ali bin Abi Thâlib r.a. karamaLlâh wajhah, untuk segera mengungkap pelaku pembunuhan khalifah Utsmân bin ‘Affân r.a., yang berujung dengan perang dan pembunuhan. Korban terbanyak dari aksi pembunuhan yang diawali perselisihan pendapat (ikhtilâf) ini adalah mereka yang berupaya untuk menerapkan ajaran Islam yang “hidup” dan kelak disebut sûfî.
Para penguasa al-Muwahhidûn di Afrika Utara mengancam akan menyiksa para sufi yang mereka curigai menggerakkan para pengikut tharîqah untuk mengadakan perlawanan terhadap rejim penguasa yang merupakan para bigot atau politico-jurist-theologian yang ortodok dan intoleran. Para sufi menganggap rejim ini sebagai perampas kekuasaan Islam dan pelanggar syarî‘ah Syihâb ad-Dîn Yahyâ bin Habasy bin Amirak Suhrawardî yang dijuluki al-Maqtûl atau asy-Syâhid, wafat dibunuh atas perintah al-Mâlik az-Zâhir.
Kekejaman Bani Umayyah dan Abbasiyah telah banyak menelan korban di kalangan yang berupaya keras untuk menegakkan Tauhîd dan menolak kemungkaran. Ibn Qasî yang dibunuh pada 546 H/1151 M, Ibn Barrajân dan Ibn al-‘Arîf yang konon diracuni oleh gubernur Afrika Utara, ‘Alî ibn Yûsuf, setelah dikurung dalam penjara selama beberapa tahun. Ibn Taimiyyah dipenjara selama bertahun-tahun. Al-Hallâj, seorang sufi besar, digantung dan dibunuh oleh rejim ini secara sadis, hingga bagian-bagian tubuhnya terpotong-potong.
Hukuman mati sepanjang sejarah memang tidak selalu identik dengan Islam. Bahkan Negara dengan gelar kampiun demokrasi dan penjunjung tinggi HAM pun saat ini masih melaksanakan hukuman mati. Ringkasnya, hukuman mati merupakan ekspresi manusia dalam menjatuhkan hukuman terhadap orang yang bersalah. Agama ataupun peradaban manusia yang tak berlandaskan agama hanya mencari cara bagaimana dan dengan alat teknis pengeksekusian itu dilakukan.
Hukuman Mati karena Ikhtilaf
Eksekusi mati akhir-akhir ini menjadi topic yang hangat diperdebatkan, apalagi semenjak beberapa terhukum mati dieksekusi seperi Dukun “AS”, Rio Martil dan beberapa orang lainnya. Pro kontra sontak muncul kepermukaan dalam kerangka debat tersebut.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu yang lalu juga kembali menegaskan bahwa hukuman mati masih relevan dilaksanakan dan sesuai dengan syari’at Islam. Tujuannya tidak lain untuk memenuhi rasa keadilan dan untuk memelihara jiwa manusia. Namun MUI menggarisbawahi bahwa hukuman mati bukan pilihan utama, kecuali keputusan final. Seseorang dapat saja bebas dari hukuman mati bila ada kemurahan hati dalam bentuk maaf dan perdamaian dari ahli waris korban.
Tetapi bagi pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan penolakan dengan alasan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup dan hukuman mati bukanlah cara yang terpuji untuk memenuhi rasa keadilan ataupun menimbulkan efek jera. Di samping itu, kesan sadistis tidak dapat dihilangkan dari hukuman mati tersebut.
Terlepas dari kontroversi hukuman mati tersebut, fenomena lainnya yang patut diwaspadai adalah perlombaan memberikaran hukuman mati dalam bentuk fatwa-fatwa mati terhadap lawan yang berbeda pendapat. Sejarah telah memberikan contoh yang patut direnubgkan bersama-sama, seperti kasus Socrates dan beberapa ilmuwan dan pemikir Islam sepanjang sejarah.
Indonesia pun tak luput dalam sejarah eksekusi mati. Misalnya betapa banyak perbedaan pendapat pada masa Orde Lama yang dieksekusi mati dengan berbagai cara. Begitupun pada masa Orde Baru yang tidak toleran terhadap perbedaan. Para korban entah kapan dieksekusi.
Di era reformasi sekarang kita mendadak ngeri dengan kosa kata “halal darahnya”, murtadin layak dihukum pancung, ayau seperti . Fatwa hukuman mati bagi aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dilontorkan FKUI beberapa waktu lalu. [23/08/2008]
No comments:
Post a Comment