Oleh: Muhammad Nasir
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang
“Masalah-masalah baru yang menggembirakan tidak ada. Kita terus saja menghadapi jalan turun. Penghidupan semakin hari semakin sulit, kemelaratan meningkat terus. Dalam menghadapi lebaran harga beras memuncak...(Mohammad Hatta, 1964)
Setiap zaman selalu saja menyisakan keluh kesah pertanda beratnya kehidupan. Agaknya ini konsekwensi logis dari kotradiksi realitas yang serba dua (binner reality). Bacalah surat Bung Hatta, orang besar negeri ini yang ia tulis kepada sahabatnya Anak Agung Gede Agung SH pada 10 Februari 1964, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini.
Membaca keluhan Hatta di atas, kita seolah-olah dihadapkan pada kRata Penuhenyataan sekarang nyaris persis sama. Apakah hukum logika “sejarah pasti berulang” sedang menemukan pembenarannya (self fulfilling prophecy) atau memang bangsa ini sedang dihinggapi penyakit lupa atau seperti orang tua pikun yang berkali-kali kehilangan tongkat?
Beras mahal, harga kebutuhan pokok melonjak bahkan banyak yang hulang dari pasaran, listrik selalu “pudur”, masalah-masalah bertumbuhan seperti jamur di musim hujan. Jika ditanya keadaan hari ini kepada kepala keluarga yang menghuni rumah-rumah di seluruh tanah air, dipastikan keluhan-keluhan serupa Hatta itu muncul berebutan. Entahlah, proklamator saja mengeluh.
Jalan turun yang dimaksud Bung Hatta di atas bukanlah dalam pengertian “kaji menurun” dalam kearifan Minangkabau. Tetapi pernyataan itu menunjukkan anjloknya kesehatan bangsa seperti kesehatan seseorang yang kian hari kian drastis menurun. Sayangnya beberapa keberhasilan yang diperoleh era reformasi tertutupi dengan kegagalan memenuhi standar minimal kebutuhan rakyat.
Lalu, bagaimana memahami keluh kesah rakyat itu?
Kedaulatan Rakyat
Julukan proklamator bukanlah omongkosong sejarah jikalau hanya kebetulan saja Bung Hatta ikut menandatangani teks proklamasi yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945. Jauh-jauh ia telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Simaklah pidatonya dalam Kongres Menentang Imperialisme dan penindasan kolonial di Brussel 1927. Ia mengatakan:
“Setelah Indonesia dapat mencapai Kemerdekaan sepenuhnya, sebaiknya bentuk negara (staatvorm) adalah Negara Federal (statenbond) atau Negara Kesatuan (bondstaat). Susunan pemerintahannya harus kuat dari bawah dengan tujuan mendidik rakyat mengatur pemerintahan negara secara demokratis yang bersendi Kedaulatan Rakyat sepenuhnya, kuat dan berwibawa.” (Meutia Hatta:1981)
Kini Indonesia sudah merdeka selama 63 tahun. Bentuk negara pun sudah final dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara prosedural Indonesiapun sudah mendapatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, terutama sejak tumbangnya rezim pseudo-demokrasi Orde Baru. Hanya saja pemerintahan yang kuat dan rakyat yang berdaulat dan berwibawa masih jauh dari harapan.
63 tahun memang usia yang muda untuk Indonesia dalam membangun peradaban yang besar. Apalagi riwayat peradaban Indonesia tidaklah tunggal, tetapi terfragmentasi dalam beberapa peradaban kecil seperti Kutai Kartanegara, Majapahit, Sriwijaya dan mungkin Aceh Darussalam. Kesemua peradaban itu boleh jadi merupakan diaspora puak Melayu menuju supremacy peradaban.
Kini, dalam suasana peringatan kemerdekaan RI ke-63, bangsa Indonesia mendapat pesta baru berupa karnaval partai politik menuju Pemilihan Umum 2009 dan beberapa perhelatan Pemilihan Kepala Daerah. Kasat mata, peristiwa tersebut memang suatu upaya mendidik rakyat sekaligus menunjukkan kedaulatan rakyat dalam politik dengan tema demokrasi. Tetapi sepertinya itu belum cukup karena hanya terbatas pada kedaulatan politik.
Lebih jauh dari itu Bung Hatta yang seorang pendidik dan ekonom handal tentu bermaksud mencerdaskan rakyat dan membangun kedaulatan ekonomi, pangan, kesehatan menuju kesejahteraan sosial. Memang tak pantas juga disesali hasrat politik bangsa ini yang begitu besar hingga harus mendesain seremonial pesta politik dengan instrumen yang berbelit, waktu yang lama dan biaya yang luar biasa besar jelang pesta demokrasi 2009.
Tetapi paling tidak harus ada seremonial besar, instrumen yang handal serta biaya yang juga besar untuk membangun kedaulatan ekonomi dan kedaulatan sosial. Misalnya, mempersiapkan rakyat untuk berdaulat secara ekonomi, handal dalam menyediakan pangan dan terampil mengurus masyarakat dan kesehatan dirinya.
Maka, tujuan kemerdekaan yang terpenting seperti dipidatokan Bung Hatta di atas adalah membangun kedaulatan rakyat supaya kuat dan berwibawa. Bayangkan saja seorang pengemis kurus, kumal dan tak berwibawa sebagai contoh karakter dominan bangsa Indonesia, tentu tidak ada yang sudi.
Seremoni Pagan
Jelaslah, jika proklamator saja mengeluh bagaimana itu mungkin rakyat biasa yang sedang sedang menurun derajat kesejahteraannya tidak menyumpah serapahi keadaan? Hanya saja telinga elit saja kurang awas menangkap suara-suara sumbang itu. Dalam bahasa Tan Malaka ternyata Indonesia belum merdeka 100%.
Proklamasi 17 Agustus 1945 jika dimaknai lebih dalam tidak lebih dari kemerdekaan politik yang diperjuangkan berdarah-darah. Sayangnya begitu politik mendapatkan kemenangan, obat bagi anak bangsa yang kebanyakan sanak keluarganya mati bergelimpangan tidak memadai bahkan terabaikan.
Kekhawatiran terbesar adalah, jika kemenangan politik ini diingat sebagai model bagi kaum politisi, maka jangan harap bangsa Indonesia bangkit dari tekanan imperialisme. Banyak contoh untuk tabiat buruk seperti ini, misalnya begitu banyak elit negara yang memenangkan politik secara resmi sehingga lupa membangun kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi dan sosial.
Pada saat kemerdekaan diperingati untuk ke-63 kalinya, keadaan makin memburuk. Lalu bagaimana harus memaknai peringatan ini sebagai satu peristiwa penting perjalanan bangsa Indonesia?
Peringatan Kemerdekaan bukanlah ephos kepahlawanan dan unjuk patriotisme semata. Peringatan sejatinya dijadikan alat ukur sejauh mana kemerdekaan itu dapat ditingkatkan dari masa kemasa. Mengingat keluhan yang banyak berkembang akhir-akhir ini, mestinya ada kesimpulan bahwa kemerdekaan Indonesia di usianya yang ke-63 mengalami terjun bebas ke titik nadir.
Filosof sejarah terkenal Ibnu Khaldun mengatakan, peradaban itu menjalani masa hidup layaknya manusia. Lahir, tumbuh berkembang, dewasa kemudian silam (mati). Pada usia ke-63, sepertinya Indonesia terjun ke jurang dalam usia yang terlalu muda. Mudah-mudahan saja, situasi sekarang ini tidak menjadi pertanda berakhirnya masa depan Indonesia.
Yang perlu diingat, kemerdekaan itu harus dikembalikan ke makna asalnya, jauh dari perbudakan dan keterhimpitan. Jika tidak, maka seremonial peringatan kemerdekaan tidak lebih sama dengan ritus pagan kaum animis yang berlomba-lomba menuhankan kejayaan leluhur. Sayang sekali, jika bangsa ini kembali ke ritus yang menjadi akar sosial bangsa ini semenjak zaman batu. [MN]
No comments:
Post a Comment