Oleh: Muhammad Nasir
Peneliti Magistra Indonesia Padang
Kemiskinan Yang Menyejarah
Kemiskinan merupakan kosa kata abadi sepanjang sejarah manusia. Oleh sebab itu, menghapuskan kemiskinan seolah-olah menjadi utopia bahkan bisa dianggap menghapuskan sejarah manusia itu sendiri. Jika demikian adanya, apakah program pengentasan kemiskinan yang saat ini diperlombakan oleh para pemimpin dan calon-calon pemimpin sesuatu yang mustahil? Tunggu dulu.
Logika tersebut semestinya tidak membuat orang khawatir dan lantas apatis terhadap janji-janji dan program-program pengentasan kemiskinan yang ditawarkan oleh siapa saja. Apalagi jelang pemilu beberapa waktu ke depan. Sebab, meminjam teori dialektika Hegel yang ditekniskan oleh Karl Marx, ternyata sejarah dapat juga diartikan sebagai proses dialektis (atau mungkin pertarungan) antara kelas orang miskin dan orang kaya.
Persoalannya terletak pada kemampuan orang miskin untuk keluar dari situasi yang menyedihkan tersebut. Begitu juga, seberapa kuat orang-orang kaya dapat mempertahankan kekayaannya tersebut. Dan benarlah perumpamaan Melayu, "hidup ibarat roda pedati, sekali di atas sekali di bawah". Perumpamaan ini memberi isyarat bahwa sejarah itu bergerak secara siklus.
Tetapi tentu saja orang tidak semua orang mau hidup dalam siklus. Pertaruhannya terlalu mahal dan menghadirkan kecemasan pada setiap putarannya. Karena itu alur hidup kesejarahan manusia bisa saja diubah, tidak melulu berputar, namun bagaimana menjadikan hidup ini bergerak secara linear dan berpacu menuju pencapaian kemajuan yang berarti (progressive).
Indonesia, yang dibaca secara pesimis konon bertabur dengan kemiskinan. Sekilas memang benar, tetapi kemiskinan itu mestinya diartikan dan diurai lagi secara rinci. Hal ini diperlukan supaya penanganan kemiskinan tepat sasaran dan hasilnya dapat diukur.
Yang Termiskinkan
Secara konseptual, Islam memiliki dua kata yang merujuk kepada orang miskin: faqir dan masakin. Istilah faqir merujuk pada kondisi di mana seseorang sudah dalam posisi hopeless (putus asa) untuk berkarya, karena apapun yang dilakukan ia akan tetap miskin. Kecenderungan orang seperti ini sudah tidak mau berkarya lagi, sehingga langkah yang dilakukan adalah meminta-minta sebagai sebuah budaya.
Sedangkan masakin merujuk pada kondisi di mana seseorang telah bersusah payah bekerja keras, namun hasil usaha tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Namun orang tersebut tidak berputus asa untuk bekerja, karena putus asa merupakan langkah dari setan. (Yusuf Qardhawy,1996)
Kedua model itu pasti ada di Indonesia. Begitu banyak pengemis di negeri ini, menggantungkan harapan dari belas kasihan orang. Beberapa waktu yang lalu, ada ibu yang membunuh anak-anaknya dan dirinya sendiri karena putus asa (faqir). Bagaimana itu terjadi? Apa ada kaitannya dengan dengan negara dan kepemimpinan bangsa?
Kemiskinan dan Peran Pemimpin
Wacana kemiskinan di negeri ini setelah dihantam bertubi-tubi oleh berbagai bencana memang menguat signifikan. Tiba-tiba saja, kesalahan ini diarahkan kepada para pemimpin yang dianggap tidak becus mengurus rakyat. Bolehlah kalau memamng demikian adanya. Tetapi makna lainnya yang dapat diserap di balik itu, ternyata rakyat masih berharap kepada pemimpin untuk mengatasi kemiskinan. Hanya saja, kesalahan yang ditimpakan kepada pemimpin itu tidak lebih dari wujud kekecewaan pada masa-masa sulit.
Meminjam teori Arnold J Toynbee (1889-1975) dalam magnum opus-nya A Study of History (London, 1961), menyatakan sejarah hidup manusia akan selalu diwarnai oleh pasang surut. Gelombang kecemasan publik di tengah masa sulit itu akan selalu memunculkan entah pribadi maupun kelompok yang disebut minoritas kreatif (creative minority).
Dalam bahaya kemiskinan yang menggejala saat ini, sejarah manusia harus diselamatkan dari kehancuran total oleh seseorang atau suatu kelompok yang disebut minoritas kreatif (creative minority). Oleh sebab itu, ke depan yang dicari itu adalah pemimpin yang kreatif dan memiliki program-program kreatif untuk menanggulangi kemiskinan. Siapa yang terlihat kreatif secara meyakinkan, akan diberi kesempatan oleh sejarah untuk menjadi pemimpin. Apakah oranh seperti itu ada?
Jawabannya tentu saja ada. Negara bertugas memberikan perlindungan lahir batin terhadap warganya. Program negara harus bergerak di atas semangat perlindungan dan kasih sayang. Karena itu, mesti ada pemimpin yang mengerti negara dan punya rasa perlindungan dan kasih sayang terhadap rakyatnya.
Jadi model-model kefakiran dan kemiskinan di Indonesia itu tidak boleh diperparah lagi dengan lemahnya institusi negara dan tidak pekanya perasaan kasih sayang pemimpin. Jika hal ini masih terjadi, maka kefakiran dan kemiskinan itu tidak hanya persoalan nasib, tetapi lebih jauh akibat dimiskinkan oleh negara dan pemimpinnya. Jadi rakyat-rakyat yang menderita sekarang ini adalah mereka-mereka yang termiskinkan.
Akhirnya, terma kemiskinan, negara dan kepemimpinan adalah persoalan kepekaan, kasih sayang dan perlindungan. Karena itu pemimpin yang dicari adalah pemimpin kreatif dan punya hati nurani. Hanya yang punya hati nurani yang bisa bicara dari hati ke hati dan mampu mendengar hati nurani rakyat [*]
Padang, 08 May 2008
No comments:
Post a Comment