12 October 2025

Positivisme Konservatif dalam Studi Sejarah

Muhammad Nasir

Positivisme konservatif merupakan salah satu fondasi metodologis paling berpengaruh dalam tradisi penulisan sejarah modern. Aliran ini meyakini bahwa sejarah dapat dijelaskan secara ilmiah, objektif, dan empiris, sebagaimana ilmu-ilmu alam (Comte, 1851). Ia lahir pada abad ke-19, ketika sains sedang mengalami kemajuan pesat dan menjadi model bagi semua bentuk pengetahuan. Dalam pandangan positivisme, fakta adalah satu-satunya dasar pengetahuan yang sahih, dan tugas sejarawan adalah menyingkap kebenaran masa lalu berdasarkan bukti yang dapat diverifikasi.


Namun, di balik keteguhan ideal ilmiah itu, positivisme konservatif juga menyisakan sejumlah persoalan metodologis, terutama ketika pendekatan ini diterapkan dalam konteks penelitian mahasiswa tingkat sarjana (S1). Tulisan ini akan mengulas warisan pemikiran positivisme konservatif, kritik terhadap batasan temporal dan peristiwa, serta tantangan yang muncul dalam praktik penulisan sejarah bagi sejarawan pemula.

28 September 2025

Perti dan Tantangan Abad ke-21

Muhammad Nasir

Sekretaris Yayasan Tarbiyah Islamiyah Sumbar


Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) adalah organisasi Islam yang lahir dan tumbuh dalam kultur Minangkabau yang tenang, berwibawa, dan penuh kehati-hatian. Dalam sejarahnya, Perti berjodoh dengan tradisi Sunni Syafi’i yang ihtiyath (berhati-hati) dalam memahami hukum, berlandaskan pada prinsip kehati-hatian yang menolak sikap tergesa-gesa. Watak ini membuat Perti tampil layaknya air tenang, penuh kedalaman, namun kadang justru dianggap tidak cukup menghanyutkan arus perubahan. Padahal, ketenangan tidak boleh ditafsirkan sebagai kelambanan, apalagi kebekuan.


Zaman terus berubah. Musim berganti. Pendidikan, dakwah, dan kerja-kerja sosial sebagai core issues Perti harus tetap menyesuaikan diri dengan dinamika zaman. Pepatah Minang mengingatkan: “sakali aia gadang, sakali tapian barubah”—sekali air membesar, sekali tepian berganti. Artinya, perubahan adalah keniscayaan, dan organisasi yang lahir dari rahim masyarakat Minangkabau ini dituntut untuk mampu membaca arah zaman, agar tidak ditinggalkan oleh generasinya.

Surau dan Tradisi Keulamaan

Salah satu akar kekuatan Perti terletak pada tradisi surau. Sejak abad ke-17, surau telah menjadi institusi pendidikan dan pusat transmisi ilmu keislaman di Minangkabau, tempat berlangsungnya pengajaran kitab kuning, tarekat, serta pembinaan adab dan akhlak (Dobbin, 1983). Surau bukan hanya lembaga keagamaan, tetapi juga lembaga sosial yang membentuk pola pikir dan kepribadian masyarakat Minangkabau. Perti lahir dengan membawa spirit surau itu: mengintegrasikan pendidikan agama dengan kehidupan sosial, serta menjadikan ulama sebagai pusat otoritas moral.

Namun, realitas abad ke-21 berbeda. Modernisasi pendidikan dan globalisasi pengetahuan menempatkan surau tradisional di persimpangan jalan. Kitab kuning yang dulu menjadi sumber utama pengajaran kini harus bersanding dengan literatur akademik kontemporer, teknologi digital, dan wacana global. Bahkan, otoritas ulama sebagai pemegang kebenaran tunggal mulai dipertanyakan oleh generasi muda yang terbiasa dengan budaya kritis media sosial (Azra, 2004).

Di titik ini, Perti dituntut untuk menghadirkan tafsir baru atas tradisi keulamaan. Tarekat yang dulu menjadi ruang spiritual harus dipahami kembali sebagai potensi besar dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual generasi muda. Kitab kuning yang dahulu hanya dipelajari dengan metode bandongan atau sorogan bisa diperkaya dengan pendekatan blended learning, sehingga tidak tercerabut dari tradisi namun tetap relevan dengan kebutuhan zaman.

Tantangan Abad ke-21

Kehidupan abad ke-21 ditandai oleh percepatan perubahan sosial, teknologi digital, globalisasi ekonomi, dan krisis lingkungan. Di Indonesia, perkembangan Internet of Things, kecerdasan buatan, serta media sosial telah mengubah pola komunikasi dan gaya hidup masyarakat. Generasi muda Minangkabau kini hidup dalam ruang virtual, lebih dekat dengan gawai daripada surau.

Fakta empiris menunjukkan, lebih dari 77% penduduk Indonesia telah terhubung dengan internet pada 2023 (APJII, 2023). Akses digital ini menciptakan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, dakwah dan pendidikan Islam dapat menjangkau audiens yang lebih luas melalui platform digital. Di sisi lain, banjir informasi juga melahirkan disinformasi dan radikalisasi yang kerap bersembunyi di balik retorika agama.

Fenomena ini sejalan dengan konsep “digital natives” yang diperkenalkan oleh Prensky (2001), yakni generasi yang sejak lahir telah berinteraksi dengan teknologi digital, sehingga memiliki cara belajar, berkomunikasi, dan memahami dunia yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi Perti abad ke-21 termasuk di dalamnya: mereka mencari ilmu melalui YouTube, berdiskusi di forum daring, dan belajar kitab tidak hanya di surau fisik, tetapi juga melalui aplikasi digital.

Di sisi lain, lembaga-lembaga riset global menunjukkan perbedaan orientasi religius antar-generasi. Pew Research Center (2018) mencatat adanya “age gap in religion” di banyak negara, di mana generasi muda cenderung kurang terikat pada ritual tradisional dibanding generasi tua. Meski konteks Indonesia berbeda, gejala ini juga terasa: semakin banyak anak muda yang menginginkan pendekatan agama yang lebih relevan dengan isu-isu kontemporer, seperti lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan keadilan sosial.

Langkah Konkret Perti

Sebagai organisasi keagamaan dan sosial, Perti perlu mengembangkan strategi konkret untuk menjawab tantangan-tantangan itu. Pertama, dalam bidang pendidikan, Perti harus menghidupkan kembali tradisi surau dengan format baru. Surau abad ke-21 tidak semata bangunan fisik, melainkan juga digital surau yang bisa menjadi ruang belajar daring. Campbell dan Tsuria (2021) menyebut fenomena ini sebagai digital religion, yaitu praktik keagamaan yang berlangsung di ruang digital, baik dalam bentuk pengajaran kitab online, kajian via Zoom, maupun komunitas virtual yang memelihara identitas keagamaan.

Kedua, dalam bidang dakwah, Perti harus memperkuat literasi digital ulama dan da’i. Tradisi retorika khutbah di mimbar masjid perlu disandingkan dengan kemampuan berdakwah melalui media sosial, podcast, atau kanal YouTube. Hal ini sesuai dengan temuan Howe dan Strauss (2000) tentang karakteristik generasi milenial—dan kini generasi Z—yang lebih mudah terhubung melalui media digital interaktif daripada komunikasi satu arah. Dengan cara ini, ulama Perti tetap dapat menjaga otoritas moralnya di ruang publik baru yang kini diperebutkan oleh berbagai ideologi.

Ketiga, dalam bidang sosial, Perti dapat mengembangkan gerakan filantropi yang berbasis komunitas. Tradisi gotong royong Minangkabau dan semangat badoncek (patungan) bisa diadaptasi menjadi platform crowdfunding digital untuk membiayai pendidikan anak-anak yatim, bantuan kesehatan, maupun penanggulangan bencana. Nurmandi dan Kim (2020) menunjukkan bahwa inovasi digital dalam filantropi Islam di Indonesia telah meningkatkan partisipasi publik dalam kegiatan sosial, memperluas jangkauan bantuan, dan memperkuat legitimasi organisasi Islam di mata generasi muda.

Keempat, dalam bidang keulamaan, Perti perlu memfasilitasi integrasi tarekat dengan psikologi modern. Ritual zikir, khalwat, dan suluk dapat dilihat bukan sekadar ibadah ritual, tetapi juga sebagai praktik penguatan kesehatan mental, ketenangan jiwa, dan resiliensi spiritual. Hal ini relevan dengan kebutuhan generasi muda yang sering mengalami krisis identitas dan tekanan psikologis akibat kompetisi global.

Menyemai Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Perti memiliki modal historis dan kultural yang kuat. Surau, kitab kuning, tarekat, dan tradisi ulama adalah warisan yang tidak boleh ditinggalkan. Namun warisan ini tidak boleh diperlakukan sebagai museum, melainkan harus dihidupkan kembali dengan tafsir baru. Kekuatan tradisi harus berjalan seiring dengan kecakapan abad ke-21: literasi digital, kolaborasi lintas disiplin, kemampuan komunikasi global, dan kepekaan terhadap isu lingkungan.

Dalam perspektif ini, generasi Perti Sumatera Barat abad ke-21 tidak boleh terjebak pada nostalgia, tetapi harus menjadikan tradisi sebagai energi pembaruan. Tradisi ibarat akar yang menjaga identitas, sementara kecakapan abad ke-21 adalah cabang dan daun yang tumbuh merespons cahaya zaman. Tanpa akar, pohon akan tumbang; tanpa cabang dan daun, pohon tidak akan berkembang.

Dengan demikian, Perti dipanggil untuk menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara surau tradisional dengan ruang digital, antara kitab kuning dengan literatur modern, antara tarekat dengan psikologi kontemporer. Ketenangan Perti bukanlah kelambanan, melainkan kedalaman yang memberi arah. Seperti air tenang yang menghidupi sawah dan ladang, Perti harus menjadi aliran yang memberi kehidupan bagi masyarakat Minangkabau di era global.

---

Daftar Bacaan

APJII. (2023). Laporan Survei Internet APJII 2023. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.

Azra, A. (2004). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana.

Campbell, H. A., & Tsuria, R. (2021). Digital Religion: Understanding Religious Practice in Digital Media. London: Routledge.

Dobbin, C. (1983). Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847. London: Curzon Press.

Howe, N., & Strauss, W. (2000). Millennials Rising: The Next Great Generation. New York: Vintage Books.

Nurmandi, A., & Kim, S. (2020). Islamic philanthropy and digital innovation in Indonesia. Journal of Islamic Accounting and Business Research, 11(9), 2009–2027.

Pew Research Center. (2018). The Age Gap in Religion Around the World. Washington, DC: Pew Research Center.

Prensky, M. (2001). Digital natives, digital immigrants. On the Horizon, 9(5), 1–6.

06 September 2025

Nasib Haji Rakyat Kecil

 Muhammad Nasir


Mereka cukup lewat jalur lobi, konspirasi Ormas, atau kedekatan dengan pejabat—seolah ibadah haji adalah fasilitas eksklusif yang bisa dinegosiasikan. Ini bukan hanya ketidakadilan, ini penghinaan terhadap warga kecil yang sabar menabung.


Amak saya kini berusia 73 tahun. Berdasarkan estimasi keberangkatan haji dari Kementerian Agama, beliau baru akan diberangkatkan pada tahun 2030—artinya sekitar usia 78 tahun. Itu usia yang sudah sangat renta, memaksa saya membayangkan bagaimana beliau akan menunaikan rukun haji yang menuntut fisik dan ketegaran—dalam kondisi yang melemah di makan usia.

Sementara itu, saya menyaksikan dengan penuh kemarahan bahwa ada oknum yang melompati antrean—bukan karena sabar menunggu dengan resmi, tetapi karena mereka memiliki akses. Mereka cukup lewat jalur lobi, konspirasi Ormas, atau kedekatan dengan pejabat—seolah ibadah haji adalah fasilitas eksklusif yang bisa dinegosiasikan. Ini bukan hanya ketidakadilan, ini penghinaan terhadap warga kecil yang sabar menabung.

15 August 2025

Perang Paderi dalam Tinjauan Fikih Siyasah

 Muhammad Nasir

Pengajar Sejarah Minangkabau UIN Imam Bonjol Padang


Perang Paderi yang terjadi di Minangkabau pada awal abad ke-19 merupakan salah satu babak penting dalam sejarah sosial-politik Indonesia. Konflik ini bermula dari perbedaan pandangan antara kelompok yang mengedepankan pemurnian ajaran Islam dan kelompok yang mempertahankan adat sebagai bagian integral dari identitas Minangkabau. Kaum Paderi terinspirasi dari semangat pembaruan yang mereka temui saat menunaikan ibadah haji di Mekkah dan Madinah, sedangkan Kaum Adat berpegang pada tradisi yang telah mengakar kuat dalam sistem sosial, termasuk pola kekerabatan matrilineal.

Perselisihan tersebut pada awalnya bersifat internal dan terbatas di wilayah Minangkabau. Namun, ketegangan meningkat hingga memunculkan pertikaian bersenjata. Situasi semakin kompleks ketika Belanda ikut campur, awalnya atas undangan sebagian pihak yang menginginkan penyelesaian konflik, namun kemudian intervensi itu berujung pada perluasan kontrol kolonial. Akhirnya, perang ini berkembang menjadi konflik yang memadukan dimensi agama, adat, politik, dan perjuangan melawan penjajahan.



12 August 2025

Mengapa Debat Masalah Khilafiyah Tidak Pernah Usai?

Muhammad Nasir

 

"Fanatisme mazhab tanpa ilmu adalah kebodohan yang dibungkus kesalehan."- Yusuf al-Qaradawi (w. 2022) dalam al-Sahwah al-Islamiyyah

 

  

Pak, mengapa masalah khilafiyah yang sepertinya sudah selesai dibahas dan ditulis dalam berjilid-jilid kitab oleh ulama dan cendekiawan hebat di abad ke-9 masih saja dipertentangkan orang zaman sekarang? tanya seorang mahasiswa. Anda, benar. Tetapi, yang mempertentangkan itu bukan Anda yang sudah tercerahkan, ‘kan? Tetapi orang minim literasi, a-historis dan tidak bijaksana.

Pertanyaan itu muncul setelah berdiskusi panjang tentang sejarah perbedaan pendapat dalam Islam, di kelas kuliah Teosofi, Prodi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang, sekitar tahun 2019. Pertanyaan itu mungkin terkesan sederhana, tetapi sangat penting untuk dijawab.


Sejak era para imam mujtahid seperti Abu Hanifah (w. 767 M), Malik bin Anas (w. 795 M), al-Syafi‘i (w. 820 M), dan Ahmad bin Hanbal (w. 855 M), dunia Islam sudah kaya dengan dialektika hukum dan teologi. Perbedaan ini tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari metode ijtihad, konteks sosial-budaya, dan interaksi dengan sumber-sumber pengetahuan yang beragam. Bahkan dalam banyak kasus, perbedaan itu sudah mereka dokumentasikan dan sepakati batas-batasnya sehingga tetap menjadi bagian dari kekayaan khazanah, bukan pemicu perpecahan.

Namun, di abad ke-21, kita justru melihat fenomena aneh: perdebatan yang seharusnya berada di ruang akademis dan kitab klasik, kembali dibawa ke ranah publik dengan nada saling menyesatkan. Orang-orang menghidupkan kembali polemik lama tanpa memahami landasan epistemologisnya, bahkan seringkali memotong kutipan atau mengutip tanpa konteks.

13 July 2025

Karbala 680: Sebuah Perlawanan

Muhammad Nasir
Pengajar Sejarah Peradaban Islam


Karbala tidak harus dilihat sebagai kutukan sejarah politik Islam, melainkan sebagai kritik internal yang sangat kuat terhadap sistem politik yang kehilangan nuraninya —Muhammad Nasir


Pada tahun 680 M atau 61 Hijriah, umat Islam dikagetkan oleh sebuah peristiwa tragis yang mengguncang fondasi moral dan politik Islam. Peristiwa itu bukan semata tentang pertempuran di padang Karbala, melainkan tentang keberanian seorang tokoh agama dan cucu Nabi, Husain bin Ali, dalam menghadapi kekuasaan yang ia anggap tak sah dan tak bermoral. Husain menolak berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah. 


Penolakan Husain terhadap kekhalifahan Yazid bin Muawiyah tidak muncul tiba-tiba. Penolakan ini berakar pada prinsip dasar keadilan, legitimasi moral, serta tanggung jawab etis terhadap umat, di mana kekuasaan bukanlah warisan turun-temurun, tetapi amanah yang mesti dijalankan dengan adil.

Setelah wafatnya Muawiyah, Yazid ditunjuk sebagai khalifah oleh ayahnya. Langkah ini menandai awal dari perubahan besar dalam struktur politik Islam. Jika pada masa Khulafaur Rasyidin kekuasaan ditentukan melalui musyawarah dan baiat masyarakat, maka kini kekuasaan diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk dinasti. Bagi Husain, hal ini bertentangan dengan semangat Islam awal yang menekankan akhlak, legitimasi moral, dan kepemimpinan yang bertanggung jawab (Madelung, 1997, hlm. 245–250).

Penolakan Husain terhadap baiat kepada Yazid bersifat terbuka dan konsisten. Ia menyatakan dalam salah satu suratnya bahwa ia tidak keluar untuk menciptakan kerusakan atau kezaliman, tetapi untuk menuntut perbaikan umat kakeknya, Nabi Muhammad. Dalam kata-katanya, “Aku tidak keluar untuk mencari kekuasaan atau keangkuhan. Aku keluar untuk menegakkan amar makruf dan nahi mungkar” (al-ṬabarÄ«, 1989, hlm. 19). Kalimat ini menunjukkan betapa penolakan Husain bukan karena ambisi politik, tetapi karena krisis moral yang ia lihat dalam pemerintahan yang sedang berjalan.