15 June 2025

LPDP: Antara Finansial, Reputasi, dan Nasionalisme

Muhammad Nasir

Non Awardee LPDP


Ini bukan jalur bebas hambatan seperti tol Hutama Karya. Ini sirkuit Catalunya: penuh tikungan, tekanan, dan kecepatan. Butuh mental, strategi, dan konsistensi.

—tankari 


Mau tahu berapa penerimaan bulanan atau tahunan awardee LPDP luar negeri? Pertanyaan itu kerap muncul dengan nada penasaran, seolah ingin mengintip rahasia dapur para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di universitas-universitas terbaik dunia. Maka mari kita buka secara lugas. Rata-rata awardee LPDP luar negeri menerima dana hidup bulanan sebesar USD 1.500 hingga 2.500 tergantung kota dan negara tujuan. 

Misalnya, di London seorang awardee bisa mendapat sekitar GBP 1.200–1.500 per bulan, setara sekitar Rp 25–30 juta. Di New York, angka itu bisa mencapai USD 2.000 per bulan atau sekitar Rp 30 juta. Dalam setahun, angka itu berarti berkisar Rp 300 hingga 450 juta. Jumlah itu belum termasuk biaya kuliah penuh, tiket pesawat PP, visa, asuransi kesehatan, dana buku, tunjangan tesis/disertasi, bahkan dana kedatangan yang setara dua bulan living allowance. 

Jika semua dikalkulasi secara kasar, satu orang awardee bisa mengelola fasilitas pembiayaan negara hingga lebih dari setengah miliar rupiah per tahun.


13 June 2025

Papan Bunga untuk Pak Saridjo

 Muhammad Nasir


Masih terngiang-ngiang di sepanjang jalan percakapan orang-orang di rumah Pak David tadi. Antara ingin ketawa atau mendongkol aku. Ketawa, karena memang itu pantas untuk bahan tertawaan. Mendongkol karena itulah kenyataan yang harus kuhadapi: bekerja total demi penghasilan pada orang yang sebenarnya tidak benar-benar aku senangi. Bukan karena ia buruk, tetapi karena terlalu sulit berakrab-akrab dengannya. 

Hanya karena itu adalah mata air yang harus kujaga, agar kehidupan keluargaku terus berlanjut.

Pak Saridjo bukan orang baru dalam dunia kekuasaan. Ia memulai karier sebagai kepala seksi bidang pertanian di kantor kecamatan, lalu naik perlahan menjadi camat, kepala dinas, hingga dua periode menjadi anggota DPRD kabupaten. 

Meski tak pernah terlalu menonjol, ia dikenal rajin hadir dalam rapat dan pandai berbaur dengan siapa saja. Rekam jejaknya bersih, atau setidaknya, tak tercemar secara resmi. Namanya lumayan harum di kalangan generasi tua yang masih percaya pada idealisme awal reformasi.

"Mengapa Pak Saridjo masih ingin menjabat?"

"Mungkin karena ia butuh papan bunga yang banyak di hari kematiannya!"

No Pain No Gain

Muhammad Nasir


Setelah berdiskusi berjam-jam dengan adik-adik aktivis mahasiswa, saya akhirnya luluh juga. Awalnya saya enggan. Mereka meminta saya menuliskan alasan-alasan kenapa mahasiswa perlu berorganisasi, katanya biar mereka bisa lebih mudah membagikannya ke teman-teman mereka.

“Biar kami bisa lebih mudah share ke teman-teman mahasiswa, bang!” ujar mereka. 

Saya sempat menjawab setengah bercanda, “Enak saja. Saya capek baca buku Kartini Kartono, Robert T. Kiyosaki, Rhenald Kasali, Nurcholish Madjid dan banyak lagi. Kalian juga harus nulisnya sendiri untuk teman-teman kalian.”


Tapi lalu saya berpikir lagi. Mereka memang belum cukup rajin membaca, tapi semangat mereka jujur, dan harapan mereka terlalu tulus untuk ditolak. Ada keinginan kuat dalam diri mereka untuk bergerak, tapi mereka belum punya cukup bahasa untuk menjelaskan mengapa gerak itu penting. Maka saya memutuskan untuk membantu, bukan sebagai pengganti, tapi sebagai pemantik.

Kebetulan pula, libur semester akan segera tiba. Waktu yang biasanya dihabiskan untuk pulang kampung, bersantai, atau sekadar mengejar istirahat. Tapi saya ingin mengingatkan, ini juga waktu yang tepat untuk membangun rencana. 

Pulanglah sejenak, rasakan kembali aroma kampung halaman, dengarkan kembali suara ibu dan suara langit di atas rumahmu. Tapi jangan lupa kembali ke kota ini dengan rencana besar: menjadi mahasiswa yang utuh. Bukan hanya pembaca modul dan pengisi absen, tapi juga pemikir, pelaku, dan pemimpin.

Sebab zaman ini, zaman yang disebut sebagai abad ke-21, menuntut lebih dari sekadar kecerdasan akademik. Ia menuntut kecakapan berpikir kritis, kreativitas, kemampuan kolaborasi, dan komunikasi. 

Dan semua itu tidak semuanya bisa lahir dari ruang kelas. Justru organisasi adalah ladang latihan terbaik. Di sinilah seseorang diuji bukan hanya dengan tugas, tapi dengan konflik, beda pendapat, situasi tak pasti, dan harapan yang seringkali tak sesuai kenyataan.

Lewat organisasi, kita akan mengerti siapa itu manusia dengan segala logikanya, egonya, ketulusannya, dan kadang juga manipulatifnya. Di organisasi pula kita dapat berdiskusi dengan pikiran orang lain, tidak hanya berdebat dengan pikiran sendiri. 

Kita akan belajar bagaimana menjaga komitmen dalam lelah, bagaimana bersuara dalam forum, bagaimana mendengarkan saat ingin menyerang, dan bagaimana tetap hadir meski tak dianggap penting. Kita belajar tentang resiliensi, daya tahan terhadap tekanan, dan kemampuan bangkit dari frustasi sosial.

Organisasi adalah versi kecil dari kehidupan. Bahkan sejak kecil kita sudah mengenalnya, dalam bentuk organisasi domestik bernama keluarga. Maka ketika kita naik satu tahap menjadi mahasiswa, bukankah seharusnya kita pun berani naik satu tahap dalam kesadaran dan tanggung jawab sosial?

***

Tapi mari saya katakan terus terang: berorganisasi itu capek. Berorganisasi itu kadang bikin sakit hati. Kadang kamu merasa tak dihargai, kadang kamu merasa sendirian, dan kadang kamu ingin berhenti saja. 

Tapi hidup juga begitu. Maka daripada menunggu hidup menghajar kamu nanti di luar kampus, lebih baik sekarang mulai belajar capek dan sakit, agar kamu tahu nikmatnya istirahat dan leganya rasa sehat.

No pain, no gain, kata sebuah salep otot terkenal. Rasa pegal akan hilang, tapi pelajaran dari rasa itu akan tinggal. Dan dari proses itu pula kamu akan tahu mana yang benar-benar tangguh dan mana yang cuma pengeluh.

Kita hidup dalam masyarakat yang tidak hanya membutuhkan orang-orang pintar, tapi juga orang-orang tangguh, tahan banting, dan mampu membaca arah. Dan saat lulus nanti, percayalah, yang akan sangat kita butuhkan bukan cuma gelar, tapi juga jaringan pertemanan, akses sosial, dan ruang dukungan. Semua itu bisa kita mulai bangun di organisasi.

Saya tahu, beberapa orang mungkin menjadikan contoh gagal dari aktivis mahasiswa sebagai alasan untuk tidak ikut organisasi. Tapi itu logika yang malas. Kita semua sudah tahu bahwa yang gagal memang tidak layak ditiru. Justru karena kita tahu itu salah, maka yang perlu dicari adalah contoh yang ideal. Dan yang ideal memang selalu sedikit, selalu lebih sulit ditemukan, tapi itulah yang justru patut diperjuangkan.

Berorganisasi bukan berarti melupakan studi. Justru sebaliknya, ia adalah sarana agar studi lebih membumi. Ia bukan pelarian dari kelas, tapi perpanjangan dari pembelajaran.

Maka saya menulis ini, bukan sebagai nasihat dari yang lebih tahu, tapi sebagai pengingat dari yang dulu juga pernah muda dan bingung. Saya percaya, satu gagasan kecil yang lahir dari organisasi, bisa tumbuh menjadi gerakan besar. 

Dan siapa tahu, dari forum-forum kecil tempat kalian biasa rapat dan bertengkar hari ini, lahirlah benih-benih perubahan yang kelak mengubah wajah bangsa.

Yakin Usaha Sampai

08 June 2025

Nama Saya Khan: Ras, Agama, dan Krisis Kewargaan di India Kontemporer

Muhammad Nasir


My name is Khan, and I am not a terrorist.— Rizwan Khan, My Name is Khan (2010)


Kalimat ikonik ini diucapkan oleh tokoh utama dalam film My Name is Khan—seorang pria Muslim pengidap sindrom Asperger—yang menempuh perjalanan panjang demi mengatakan satu hal sederhana: bahwa ia bukan ancaman hanya karena ia seorang Muslim.

Ungkapan itu menjadi suara kolektif dari minoritas yang terjebak dalam pusaran stereotip dan kecurigaan. Ini bukan sekadar kutipan sinematik, tapi gambaran getir dari kondisi sosial-politik India kontemporer.


Dalam konteks global yang semakin mencurigai identitas Islam, dan dalam lanskap politik nasional India yang semakin terpolarisasi, kalimat Rizwan menggambarkan perasaan warga negara yang merasa harus “membuktikan” loyalitasnya hanya karena nama, pakaian, atau keyakinan mereka.

India selama ini dibayangkan sebagai negara demokrasi terbesar di dunia dengan karakter multikultural yang unik. Namun, fakta sosial mutakhir memperlihatkan bahwa demokrasi India tengah diguncang oleh kontradiksi internal: antara janji konstitusional tentang sekularisme dan kenyataan politik mayoritarianisme berbasis agama.

Dua subjudul di bawah ini adalah pengkategorian sebab musabab masalah Islam dan kewargaaan di India Kontemporer: akar lokal dan pengaruh isu global. 

06 June 2025

Membaca Polemik dengan Timbangan Logika dan Wacana Sosial

Oleh: Muhammad Nasir



Polemik seputar keaslian ijazah Mantan Presiden Joko Widodo muncul sebagai fenomena sosial yang tak bisa dilepaskan dari dinamika politik dan kecurigaan publik terhadap legitimasi elite. Meskipun Jokowi sendiri telah menyatakan bahwa ijazahnya adalah sah dan resmi, publik tidak pernah benar-benar disuguhi dokumen tersebut dalam format yang memungkinkan verifikasi independen. Akibatnya, klaim keaslian itu tidak sepenuhnya meredam pertanyaan publik.

Sebaliknya, pihak-pihak yang meragukan keaslian ijazah, seperti Roy Suryo dkk., juga tidak mampu menyodorkan bukti otentik yang menegaskan kepalsuan. Mereka hanya mengandalkan ketidakhadiran bukti dari pihak Jokowi untuk menyimpulkan bahwa ijazah itu fiktif. Hal ini menimbulkan semacam paradoks epistemik: kedua belah pihak saling menuduh tanpa menghadirkan bukti final yang dapat diverifikasi oleh publik secara obyektif.


05 June 2025

Membaca TKVW: Keluarga ‘Matre’ dalam Adat Matri

Oleh: Muhammad Nasir


Tapi jika peran bako melemah atau bahkan tak diakui, atau peran keluarga kaumnya juga tak berkeruncingan,  maka anak-anak ini terpaksa bermamak ke bansos dan berbapak ke open donasi di group WhatsApp.

 

Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVW) karya Hamka (ditulis sekitar 1938) sering dibaca sebagai kisah cinta tragis antara Zainuddin dan Hayati. Tapi bila dibaca lebih dalam, novel ini bukan hanya tentang cinta yang kandas. Ia adalah kisah tentang kegagalan struktur keluarga dan salah kaprah dalam memahami adat Minangkabau, khususnya adat matrilineal.

Zainuddin, tokoh utama dalam cerita ini, adalah anak dari seorang Minangkabau yang menikah dengan perempuan Bugis. Karena ibunya bukan orang Minang, Zainuddin ditolak sebagai bagian dari suku ibunya. Padahal dalam adat Minangkabau, suku diturunkan melalui ibu. Sayangnya, garis ibu Zainuddin bukan bagian dari sistem adat lokal, membuatnya tak bersuku, dan karenanya, dianggap tak “berhak”.



Namun masalahnya tak berhenti di sana. Zainuddin juga terkesan tak punya bako, yaitu pihak keluarga ayah yang bisa membelanya. Mirip dengan istilah Ipank (2016) "Baayah lai, babako tido", meski dalam cerita dan konteks yang berbeda. Dalam sistem adat, bako seharusnya hadir memberi dukungan moral dan sosial, apalagi dalam situasi penolakan seperti ini. Tapi dalam kisah ini, fungsi bako nyaris tak terdengar. Ia hilang, tak tampak, dan tak peduli. Zainuddin menjadi anak biologis dan ideologis Minang tanpa rumah sosial, korban dari adat yang kehilangan fungsinya, atau lebih tepatnya: adat yang kehilangan jiwa aslinya.