15 May 2025

Overgeneralisasi dan Bahaya Narasi Tunggal

Sikap Kita Terhadap Peristiwa Pernyataan Tendensius WNI di Jerman

Oleh Muhammad Nasir

Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang


Apa yang tersisa dari sebuah bangsa jika warganya sendiri yang menggores luka pada wajah kerukunan yang dibangun dengan susah payah? Pernyataan seorang WNI diduga bernama Cristina Sembiring [?] yang menyebut “Muslim Indonesia suka membunuh” di hadapan publik di Jerman bukan hanya keliru, tapi juga menyakitkan. Ucapan itu menjelma menjadi bara yang menghanguskan ikhtiar toleransi dan membakar kepercayaan antariman, baik di tanah air maupun di tanah rantau.

Fenomena overgeneralisasi dalam konteks ini merupakan bentuk simplifikasi berbahaya yang menyamaratakan sebagian peristiwa negatif sebagai karakteristik seluruh kelompok. Dalam hal ini, sebuah pernyataan tunggal dipakai untuk menggambarkan jutaan umat Muslim Indonesia secara keseluruhan, tanpa memperhatikan keragaman dan konteks sosial-budaya yang jauh lebih kompleks.

13 May 2025

The End of the Long Weekend

By:Tankari

 Sisa liburan tinggal sehari. Besok Epicurus harus bembali bekerja. Empat hari libur panjang ia lewatkan tanpa kenangan berharga. Buka WA, TikTok, sesekali nonton highlight liga 1 yang makin ke ujung makin penuh drama. “Uff…Yuran Fernades dihukum. Setahun gak boleh main bola di Indonesia!” Epicurus meletakkan handphonenya di sandaran kursi. Ia memaki Komdis dalam hati.  

 “Eh, teman-temanku pada kemana ya?” Tiba tiba ia ingat kawan-kawan filosof absurdnya. Ia Kembali memngut HPnya. Buka WA. Geser satu persatu status temannya. Nihil. Tak ada status apa-apa. Kecuali satu. Tuen Janaka Aji Mantrolot. Mantrolot menulis status “Ijazah bukan akte kelahiran, Gesssz!”

“Nah, ini dia!” Epicurus dapat ide. Ia buka WAG Filosof Gabut. Teman-temannya pasti ada di sana. Ia mulai memposting satu kalimat.

 

[08:37] Epicurus:

“Kebenaran bukan soal bukti, tapi siapa yang lebih rajin ngetik.” Jumlah anggota Group: 17, tapi yang aktif hanya 5 (sisanya pada kemana?)

Ting!….ada notif

[08:37] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Kasihan saudaraku Kalagemet. Ijazahmu dipertanyakan. Kamu nyantrik di mana sih? Apa perlu gue tanya Kanjeng Rektor Nyi Rongkot, COD., LoL?

 Ha, mantrolot langsung ngetik komentar plus lampiran satu stiker. Gambar Socrates ngopi sambil bilang Bukti dulu, baru bacot!

[08:37] Epicurus:

“Wooiiii….!” Cc @ Kalagemet

 Diam….eh….ada tulisan. Kalagemet sedang mengetik..

[08:39] Kalagemet:

Jangan asal nuduh, Bang Tuen. Saya kuliah beneran. Semester 3 sampai7 aja saya bahasa enggres aja tiga kali. Kalau mau liat transkrip, tunggu, saya cari dulu password KRS online saya.

Kalagemet membalas sambil ngirim sticker orang pakai toga, tapi wajahnya blur.

 “Wah, ini pasti panas. Tahta Masapahit lagi terguncang. Dua saudara sudah saling serang!” Pikir Epicurus. Ia pindah duduk ke atas lantai. Lama menunggu, muncullah Mak Weber.

 [08:42] Max Weber:

Halo, Mantrolooooot! Apo kaba ha?

 [08:42] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Siap Baaang…! Komen dong bang Max!

 [08:42] Max Weber:

Dalam sistem dunia modern, legalitas itu rasional-birokratis. Jika tak terdaftar di sistem, maka tak terakui secara sah. Ijazah tanpa rekam administratif hanyalah mitos

 

Di layar atas terbaca: Arsitoteles sedang mengetik….

 [08:43]Aristoteles:

Tolong Max, kita mulai dari substansi. Pernah kuliah belum tentu pernah berpikir. “Menjadi” tidak sama dengan “terdaftar.”

 [08:44] Max Weber:

Halah….Gerungisme…

Max ngirim stiker Rocky Gerung lagi ngakak…

 [08:47] Karl Popper:

Wait..wait..! Pertanyaannya falsifiable nggak? Kalau kita gak bisa buktikan apakah Kalagemet pernah kuliah, ya narasinya metafisik. Ayo dong, beri data yang bisa diuji.

Bang Popper melampirkan stcker text BPS huruf kapital

 [08:50] Habermas:

Saya keberatan metode debat grup ini cacat deliberatif. Siapa memberi Kalagemet ruang bicara yang adil? Bukankah ia hanya terseret narasi yang dominan?

 [08:51] Karl Popper:

Tanya @Kalagemet bang….

 [08:53] Berger-Is-Real:

Ingat, realitas sosial dikonstruksi. Jika mayoritas di grup percaya Kalagemet kuliah, maka ia lulusan. Meskipun tak ada bukti tertulis, kepercayaan kolektif bisa membangun objektivitas semu. Bang Berger kirim sticker: Buku "The Social Construction of Reality" dilempar ke wajah stiker Karl Popper.

[08:53] Karl Popper:

Niat banget bikin stickernya bang.@ Berger-Is-Real…hahah…

 

[08:54] Berger-Is-Real:

Ya dong, everything perlu dikonstruksi. Ini artefak pengetahuan bro….hahaha…

[08:57] Halbwachs:

Ada yang ingat tempat nongkrong Dek Memet di kampus? Bahkan memori kolektif grup ini tak satu storage. Ada yang ingat Kalagemet kuliah, ada yang ingat dia cuma jaga koperasi mahasiswa

[08:58] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Tapi gue gak percaya memori kolektif. Kalau semua sepakat dia jenius, tapi kenyataannya dia nanya rumus “wiwok detok detok” ke tukang cilok, itu gimana? 

Mantrolot ngirim sticker Nietzsche  sedang tertawa sambil jungkir balik.

[08:58] Nietzsche

Woi, ini poto gue…lu apain, Lot…? Gimana cara bikinnya?

[08:58] Mantrolot:

Wkwkwkwk…CC Nyai COD Lol..

[08:59] Nietzsche:

Kebenaran hanyalah ilusi yang sudah kita lupakan bahwa itu ilusi. Mungkin ijazah itu hanya alat kaum lemah untuk merasa bermakna.

 [09:00] Rocky Gerung:

Kalagemet itu mungkin belum lulus, Om. Tapi bisa jadi dia “telah melampaui universitas” itu sendiri. Kalau dia bodoh, kenapa kalian semua ribut tentang dia?

Rocky ngirim sticker gambar dirinya sedang jongkok dengan tulisan“Logika kamu lemah.”

 

[09:01] Rocky Gerung:

Eek jongkok lebih mulia dari IQ jongkok. Ikhhh…

 ---------------------------------

Nyi Rongkot sedang mengetik…

Hilang lagi….

Nyi Rongkot sedang mengetik…

Hilang lagi…

----------------------------------

[09:02] Rocky Gerung:

Lama amat si Nyai ngetiknya…

[09:04] Nyi Rongkot, COD., LoL (Rektor Mpu Hanggareksa):

Saya tidak bisa membocorkan data alumni. Tapi saya bisa bilang satu hal: ada satu Kalagemet yang pernah nginap di kampus karena ketinggalan bis.

Nyi Rongkot ngirim sticker: CCTV kampus blur dengan caption: “Ini Kalagemet atau bukan?”

[09:05] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Kalau cuma pernah nginap, semua juga bisa ngaku alumni! Cecep juga alumni dong!

[09:05] Kalagemet:

Bang, jangan begitu. Saya bahkan pernah demo soal transparansi SPP. Saya sempat di-BAP gara-gara orasi di bawah toilet rektorat.

[09:05] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Ngapain? Ngintip septictank?

[09:07] Habermas:

Nah, ini penting. Partisipasi dalam ruang publik akademik bisa juga bentuk “keberadaan” akademik.

[09:09] Popper:

Tapi apakah itu bisa diuji? Kalau semua hanya berdasarkan narasi pribadi, kita masuk wilayah dogma.

 [09:10] Berger-Is-Real:

Dogma itu juga konstruksi sosial, Bro…!

Berger ngirim stiker Foucault berdiri di ruang arsip dengan caption “Semua itu relasi kuasa.”

[09:11] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Hobi banget ngirim stiker bang @ Berger-Is-Real. Wkwkwk…

[09:12] Berger-Is-Real:

Iya nih. Barusan diajarin cucu. Xixixix…

 

------------------------------------------------------

Suasana hening. Spertinya tak ada percakapan lagi. Epicurus bingung. Ini sudah hamper 15 menit. Tak ada lagi percakapan. Sepi lagi…

------------------------------------------------------

[09:21] Epicurus CX (Admin):

Oke, semua udah baca kan?
Tapi pada diem setelah Nietzsche nyundul logika. O ya, closing statement plus kesimpulan epistemik saya tunggu sampai jam 18.00 WIB ya?Happy Long Weekend, Geesssszzzz...!!!
🎉

Sticker dikirim: Plato dan Aristoteles naik motor Vespa ke arah sunset.

 [09:29] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Cerita ini tak berujung, karena kebenaran dalam dunia absurd bukan untuk ditemukan, tapi untuk terus dipertanyakan. Kalagemet mungkin punya ijazah. Mungkin tidak.

[09:33] Kalagemet:

=#2%#F*cK+*&^=

Kurooook….!!!

 

 13 Mei 2025

 

09 May 2025

Silindik Basangkak Batu

Muhammad Nasir

Pengamat  Burung

                    Silindik basangkak batu,
                    sangkak tasangkuik di batang palam,
                    takikik galak urang nan tahu,
                    galak tabasuik urang nan paham

 

  Dulu waktu saya Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Pasaman saya sangat sering mendengar kicauan burung Silindik. Saya KKN di Desa Salibawan Mapun di Kecamatan Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman, tahun 1999. Desa itu terletak di pertengahan jalan raya Lubuk Sikaping–Rao. Saya mendapat posko di dusun daerah Mapun, beberapa kilo dari jalan raya. Untuk sampai ke Mapun saya harus melewati jembatan gantung yang disebut oleh masyarakat setempat dengan "rajang atau rojang".

Tetapi yang menarik bukan rajangnya yang panjang melintasi sungai Batang Sumpu. Tetapi suara kicauan burung yang kemudian saya tahu sebagai burung Silindik (serindit). Dan, ternyata bagaimana saya melewati rajang itu hampir mirip dengan gaya burung Silindik itu: bergoyang-goyang dan kadang sedikit merangkak pada bagian yang sedikit menegangkan.

        Dari situlah saya mulai memperhatikan lebih serius si burung Silindik (loriculus). Burung kecil berwarna hijau terang ini memiliki semburat merah di bagian kepala atau leher, tergantung spesiesnya. Suaranya yang nyaring dan ritmenya yang khas menjadi penanda kehadirannya, walau tubuhnya kecil dan sering luput dari pandangan. Ia biasa hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil, beterbangan dari satu dahan ke dahan lain di hutan tropis dataran rendah hingga ke pohon-pohon dekat pemukiman. Keunikannya tak hanya pada suara, tapi juga sifatnya yang aktif, gesit, dan setia kawan.

Silindik sangat menyukai buah-buahan, terutama ara dan mangga matang. Saat menemukan pohon yang lebat buahnya, ia akan kembali berulang kali, bahkan mengajak burung lain. Ia cenderung menetap di kawasan yang dianggapnya aman dan nyaman, dan hanya pergi jika ada gangguan besar. Burung ini juga dikenal memiliki “suara peringatan” saat merasa terancam, yang memicu kewaspadaan burung lain.

Yang menarik, Silindik tidak agresif tapi juga bukan penakut. Ia tahu kapan bersembunyi dan kapan muncul. Geraknya lincah di udara, sulit ditangkap meski bermain di pohon-pohon sekitar rumah. Ia cerdas mencari tempat hinggap aman, tampak seperti selalu “berstrategi” dengan naluri tajam. Karena sering berinteraksi, Silindik terlihat memiliki rasa kolektivitas yang kuat: saling memanggil, menunggu, bahkan seolah berdiskusi sebelum terbang bersama.

Di Dusun Mapun, saya akhirnya melihat Silindik dari dekat. Tapi sudah dalam sangkar. Sangkar unik itu menyerupai tabung bulat telur yang digantung horizontal, terbuat dari bilah bambu yang diraut halus. Desainnya indah dan fungsional. Di dalamnya, seekor Silindik kecil bersinar dengan warna hijaunya yang mencolok. Meski terkurung, ia tampak tetap lincah dan bermain seperti biasa.

Hal yang membuat saya tertegun adalah caranya bergerak dalam sangkar. Ia tidak tampak stres atau pasrah seperti burung baru ditangkap. Justru seolah menikmati ruangnya. Ia berputar, hinggap, lalu melompat ringan ke sisi lain. Bilah-bilah bambu menjadi semacam labirin yang terus mengaktifkan tubuhnya. Kadang ia tidur dalam posisi terbalik, seperti kelelawar kecil, menggantung dan memejamkan mata, pemandangan ganjil sekaligus memukau, seolah ia sendiri yang memilih cara istirahatnya.

Kegembiraan kecil Silindik dalam sangkar itu membuat saya berpikir bahwa mungkin ia tak merasa dikurung sepenuhnya. Atau, ia adalah makhluk yang cepat menyesuaikan diri. Ia tetap berkicau, merawat bulu, dan sesekali menyapa dunia luar dengan lirikan matanya yang tajam. Sangkar yang membatasi langkahnya tak memadamkan vitalitasnya.

Saya juga perhatikan, Silindik tak mudah terkejut. Ketika didekati, ia tak panik membentur jeruji. Ia hanya bergeser sedikit, tetap menatap, seolah mencoba mengenali sebelum bereaksi. Sikapnya ini membuat banyak orang merasa sedang berhadapan dengan makhluk yang tenang dan bijak, bukan burung liar yang terkurung.

Beberapa warga percaya bahwa Silindik adalah burung yang “tahu diri”: tak sembarangan berkicau, tak membuang tenaga sia-sia. Saat pagi, ia menyambut matahari dengan nyanyian, lalu tenang di siang terik, dan kembali aktif menjelang sore. Saat diberi makan, ia tidak rakus, hanya mematuk perlahan, seakan tahu waktunya makan.

Begitulah Silindik dalam sangkar. Tetap indah, lincah, dan punya dunia kecil sendiri. Ia tak berubah menjadi makhluk duka, malah menunjukkan daya adaptasi yang luar biasa. Dalam ruang sempit, ia menciptakan ruang geraknya sendiri. Lengkung bambu bukan pagar, tapi jalur untuk terus bergerak, tidur, bermain, dan berkicau. Sebuah kehidupan kecil yang tetap berwarna, meski tak lagi bebas di dahan hutan.

Namun dalam bentuknya yang menyedihkan, Silindik dalam sangkar juga bisa dilihat sebagai ornamen. Ia menjadi bagian dari dekorasi rumah besar bernama kekuasaan, digantung di sudut beranda sebagai hiasan bunyi saat tamu datang. Ia bersuara ketika diminta, diam ketika disuruh. Tampak sibuk, tapi tak ke mana-mana. Terlihat berdaya, padahal sekadar bagian dari tata letak. Bahkan suara nyaringnya bisa menjadi pengalih dari kebusukan di balik dinding rumah.

 

Ketika dilepas liar

Mungkin karena jumlahnya yang cukup banyak, orang-orang Mapun sering melepasliar Silindik bila ada gejala yang mengkhawatirkan. Misalnya, meminjam lirik lagu Perjalanan Franky and Jane (1978) “gejala sakit yang tak terobati.” Silindik kemudian dilepaskan ke alam liar, dengan harapan ia dapat menemukan obatnya sendiri, atau alam akan menjadi dukun yang akan memulihkan penderitaan Silindik. Kata orang Mapun, “biasanya, ia akan sembuh di alam, dan akan kemali lagi setelah pulih.”

 Itulah bagian yang paling menarik adalah ketika Silindik dilepaskan ke alam bebas. Burung kecil yang tampak lemah gemulai ketika sakit di sangkar, namun kembali tenang, lentur menjadi makhluk yang Kembali sangat hidup. Ia terbang cepat, zigzag di antara pepohonan, seperti sedang merayakan kembali ruang tanpa batas yang kini terbuka di hadapannya. Tapi ia tidak langsung pergi jauh. Justru, banyak Silindik yang dilepas setelah lama dalam sangkar akan tetap berputar-putar di sekitar rumah, seakan ingin berpamitan atau menandai bahwa ia belum sepenuhnya ingin meninggalkan tempat yang pernah menjadi rumahnya.

Ia sama sekali tidak menunjukkan trauma atau ketakutan. Ia seperti burung yang telah menyerap dua dunia; dunia dalam sangkar dan dunia di lar sana. Dan kini tahu bagaimana hidup di antaranya. Saat dilepas, Silindik bukan burung yang kebingungan atau panik mencari arah. Ia tampak tahu ke mana harus pergi, dan kapan harus kembali. Kadang, burung itu justru hinggap sebentar di atap rumah atau dahan dekat jendela, memperhatikan sekeliling dengan tatapan siaga, sebelum akhirnya terbang lebih jauh, menyelinap di balik semak atau pucuk bambu.

Dalam pengamatan orang-orang yang gemar memelihara Silindik, burung ini termasuk yang setia pada wilayahnya. Jika ia merasa nyaman dengan satu lingkungan, besar kemungkinan ia akan kembali, atau minimal berputar-putar di kawasan yang sama. Itulah mengapa banyak pemilik burung Silindik yang sengaja membiarkan pintu sangkar terbuka setelah sekian waktu, sebagai bentuk ‘percobaan’ apakah Silindik yang mereka pelihara akan kabur atau tetap kembali. Dan seringkali, Silindik kembali, atau minimal tetap berkeliaran di tempat yang sama. Keputusan untuk menetap atau pergi seolah menjadi hak penuh si burung, dan manusia hanya bisa menunggu dengan harap-harap cemas.

Yang lebih mencengangkan lagi, Silindik yang terbiasa dilepas-liar kadang menunjukkan kecerdasan sosial. Ia datang di waktu yang kira-kira sesuai, tidak mengganggu, dan bahkan kadang menyapa dengan kicauan pendek sebelum bertengger di dahan yang biasa ia kunjungi. Kesan bahwa ia “mengetahui waktu” dan “mengenali tempat” membuat Silindik punya tempat tersendiri di hati banyak orang tua di kampung. Mereka menyebutnya sebagai burung yang tahu adat, tahu kapan bersuara, tahu kapan diam.

Dalam dunia yang luas, Silindik memang tidak bisa disebut sebagai burung yang hebat secara fisik. Ia kecil, tak bersenjata, dan mudah diserang predator. Namun justru karena itu, ia mengembangkan cara bertahan hidup yang lebih halus dengan kelincahan, dengan sinyal-sinyal suara, dengan kebiasaan mengenali tempat dan waktu. Ia bukan penakluk wilayah, tapi penjaga harmoni. Ia hidup bukan dengan menantang, tapi dengan menyesuaikan diri, sambil tetap menjadi dirinya sendiri: lincah, nyaring, dan cantik.

Dari sangkar hingga hutan, dari bilah bambu hingga ranting bebas, Silindik menunjukkan konsistensi dalam satu hal: ia adalah burung yang tahu bagaimana menyesuaikan diri dengan ruangnya, namun tidak kehilangan esensinya. Ia tetap Silindik, entah terkurung atau dilepaskan. Dan itulah yang membuatnya istimewa. Yang satu membentuk ruang makna dalam keterbatasan, yang lain justru menikmati ruang terbatas sebagai zona nyaman, menghindar dari ujian di luar sangkar. Burung hias, bukan penjaga harmoni.

Ketika Silindik dilepas ke hutan dan ia kembali dengan sukarela, di sanalah makna dirinya diuji. Apakah ia kembali karena cinta pada tempat, atau karena takut pada luasnya dunia? Apakah ia tetap bersuara karena punya pesan, atau karena sudah dilatih untuk berkicau saja? Ibarat pemimpin sejati, sepertinya Silindik yang cerdas, tahu bahwa sangkar bisa menjadi tempat singgah, bukan tempat tinggal abadi. Ia tahu kapan harus kembali ke hutan, dan kapan harus kembali ke rumah tanpa kehilangan siapa dirinya.

Maka dalam masyarakat Mapun-Salibawan yang paham simbol, Silindik bukan hanya burung. Ia adalah alegori hidup tentang bagaimana seharusnya pemimpin bergerak di antara ruang kuasa dan ruang publik. Ia bukan burung gagah, bukan elang penjaga langit. Tapi dalam tubuh kecilnya, tersimpan pelajaran besar: tentang setia, tentang suara, tentang tahu waktu, dan tentang cara menjadi pemimpin tanpa harus menaklukkan, cukup dengan memahami irama dan menjaga keseimbangan.

 

Duapuluh Enam Tahun Kemudian..

Hari ini, setelah 26 tahun kemudian, saya melihat burung ini lagi di kedai Poultry Shop di daerah Kubu, Marapalam Kota Padang. Saya hanya membeli pakan ikan. Tetapi, karena di sana juga menjual aneka burung berkicau, burung hias serta aneka ungags, saya memilih nongkrong lebih lama. Menghilangkan stress dari kerja rutinitas yang makin lama makin menjemukan. Saat itulah saya mendengar kicauan Silindik, yang semula saya kira kicauan burung lovebird.

“Ini jantan dan ini yang betina,” kata bapak pemilik kedai itu. Saya langsung menanyakan, apa perbedaannya selain jenis kelamin. Bapak itu menjawab, “yang jantan lebih atraktif dan berbunyi nyaring. Lebih senang berinteraksi dengan manusia.” Yang betina, “sepertinya ia lebih senang merawat bulu dan berbunyi bila sedang terganggu,” terang bapak itu.  

Aih, yang jelas, bacalah tulisan ini dengan benar, tak perlu pula pikiran anda travelling ke mana-mana.  Apalagi pasaran kini sedang panas. [09/05/2025]


 

 

Upward Effect Burung Pipit

Oleh: Muhammad Nasir

              

Dalam percaya diri yang berlebihan, kita bisa menjadi bagian dari kekerasan

Seekor burung pipit terbang tinggi di atas awan. itu penerbangan paling penting dalam sejarah hidupnya. Ketika ia merasa dirinya seperti seekor elang. Tidak ada keraguan, hanya keheningan dan keyakinan yang dibangun dari imajinasi tentang dirinya sendiri. Dalam penerbangan itu, ia bertemu seekor burung besar. Mereka terbang beriringan, tanpa tegur sapa. Masing-masing hanyut dalam pikirannya sendiri.

 

Angin mulai kencang. Pipit mulai sesak napasnya. Tapi ia berusaha tenang. Ia ingat ucapan Tan Kari, filosof multidimensi: semakin tinggi pohon, semakin kencang terpaan angin. Burung besar itu melirik. Wajah pipit tampak lelah dan cemas. Tapi burung besar itu pura-pura tidak tahu. Ia pun membuka percakapan;

 

"Hei, burung cantik, siapa namamu?"

"Saya elang," jawab pipit mantap.

"Mau ke mana?" tanta burung besar itu lagi.

"Tak ada. Sekadar memantau wilayahku. Perjalanan dinas biasa" jawab pipit, suaranya terputus-putus ditiup angin. "...dan mencari area selera yang viral. Katanya, ada ayam muda blasteran Hongkong dan Kamboja." terang pipit dengan sedikitb jumawa.

 

Burung besar melirik sejenak, lalu bertanya lagi, "Kalau begitu, kau pasti tahu di mana padi mulai menguning?"

 

"Tentu saja tahu. Padi itu makananku sehari-hari," jawab pipit.

"Baik. Maukah kau antar aku ke sana? Nanti aku beri seekor ayam muda." lanjut burung besar itu.

 

Pipit setuju. Mereka menukik bersama ke arah persawahan yang mulai menguning. Pipit hinggap di tangkai padi yang merunduk, lalu mulai menikmati bulir-bulir padi. Burung besar itu menepati janji. Seekor ayam muda sedang mencicipi padi di tepi pematang. Tanpa banyak usaha, ia jadi incaran. Sekejap saja ia sudah ada di cengkaraman burung besar.

 

Pipit mendengar suara gaduh. Anak-anak ayam panik, induknya berteriak, "Awas, ada elang! Berlindung!"

 

Pipit menatap bangkai ayam muda itu. Masih hangat. Tetapi burung besar sudah terbang tinggi, menghilang di balik awan.

 

Ia kembali melanjutkan makannya. Diam. Tidak lagi merasa tenag. Setiap ia menelan butiran padi, ia selalu terngiang, “awas ada elang!”

***

 

Cerita di atas mungkin tak lebih hanya dongeng kecil saja. Karangan yang terlintas begitu saja, setelah mendengar lirik lagu “Elang” dari Dewa 19 yang popular tahun 1999. Lagu yang mengekspresikan kerinduan akan kebebasan dan cinta yang tak terbalas. Entah iya, entah tidak. Itu menurut saya saja. Tapi di dalam cerita yang saya reka ini, saya ingin menyampaikan sebuah peta keadaan yang lebih luas dari sekadar dunia unggas.


Pipit adalah rakyat kecil yang ingin terbang tinggi dengan mengenakan jubah kekuasaan. Ia tidak cukup kuat, tidak cukup siap, tapi cukup percaya diri. Elang, sebagaimana lazimnya dalam narasi kekuasaan, adalah figur kuasa yang tidak pernah benar-benar butuh kawan, tapi sangat lihai memilih alat. Begitulah kira-kira.


Tetapi di zaman di mana halusinasi bisa dikemas menjadi narasi ini, kisah seekor pipit bisa tampil seperti elang di dunia maya. Pipit yang tak punya cakar, tapi merasa bisa ikut mencakar. Yang tak punya sayap kuat, bisa menumpang badai opini. Tapi tetap saja, ketinggian bukan hanya soal kemauan, tapi juga daya tahan. 


Ayam muda adalah rakyat biasa. Tak tahu menahu soal permainan di udara. Ia menjadi korban dari kesepakatan yang tak pernah ia dengar. Ia dibayar untuk kepercayaan yang tak pernah ia jual. Ia hilang dalam kebisingan yang tak sempat ia ikuti. Sementara, induk ayam mewakili mereka yang kenyang pengalaman, tapi kadang tak berdaya juga menghadapi kenyataan yang datang tiba-tiba. mengasuh mereka yang belum berpengalaman, adalah tantangan nyata.   

 

Dalam lanskap politik kita, buzzer dan opini liar berperan seperti pipit: mereka mencari posisi, ingin dianggap tinggi, ikut dalam narasi besar, tapi tak sadar sedang menjadi petunjuk jalan bagi kekuasaan yang tak pernah berniat berbagi. Dan rakyat? Mereka ada di pematang. Menjadi korban yang dibungkus dengan narasi pembangunan dan hadiah-hadiah kecil. Induk ayam, kadang-kadang hanya bisa mengelus dada pada saat peringatan tidak dapat diterima sebagai sebuah nasehat.

 

Saya jadi ingat kutipan tulisan Friedrich Nietzsche (1878). Kira kira, ia mengatakan "keyakinan palsu adalah musuh yang lebih berbahaya bagi kebenaran daripada kebohongan." Pipit yang mencoba meyakini dirinya sebagai elang, dan keyakinan palsunya itu memang cukup untuk membawanya ikut terbang tinggi. Tetapi itu ternyata tidak cukup untuk menyelamatkannya dari realitas, sesak napas dan keadaan yang dipaksa-paksakan, menghejan-hejan tuah. 


Mungkin induk pipit juga pernah mengingatkan, bahwa "bohong jika ada pipit yang mengaku dapat menjadi elang dengan segala kualitasnya." Tetapi nasihat dan peringat seperti ini mana mempan bagi mereka yang dikuasai halusinasi dan diopok-opok oleh keyakinan palsu.

 

Mungkin dalam kalam konteks kekuasaan, gaya pipit itu serupa dengan keadaan yang sering tersua. Seseorang kadang memang butuh usaha dan semangat untuk naik, tetapi ia lupa menyiapkan kesadaran akan posisi. Mungkin ia Bahagia dengan keadaan itu, tetapi mungkin kebahagiaan itu palsu. Karena, kebahagian itu bukan semata perasaan saja, tetapi tentu saja berakar dari keadaan yang nyata.

 

Inilah mungin maksud perkataan Bung Hatta. "Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat." Kemerdekaan adalah jembatan emas, bukan tempat tinggal, tapi jalan untuk dilewati dengan sadar dan bijak. Mencermati kata Bung Hatta ini, bahwa apa yang sebenar nyata dari kebahagiaan itu adalah kemakmuran yang nyata, bukan halusinasi.

 

Di lapisan masyarakat, banyak pipit yang dibujuk menjadi pemandu oleh burung besar. Mereka diberi panggung, dibayar dengan eksistensi, bahkan diberi upah materi. Tapi yang sesungguhnya terjadi: mereka mengantar burung kuasa menuju mangsa. Sesudah itu, mereka kembali makan padi, kadang lebih sedikit dari sebelumnya.

 

Cerita ini bukan untuk menyindir siapa-siapa. Tapi untuk mengingatkan, bahwa dalam politik, keinginan untuk terbang tinggi tanpa sadar diri sering kali membawa kita menjadi kaki dari peristiwa yang tak kita kendalikan. Dalam diam, kita bisa menjadi alat. Dalam percaya diri yang berlebihan, kita bisa menjadi bagian dari kekerasan.

 

Sebab kekuasaan, sebagaimana elang dalam cerita, tak pernah benar-benar ingin ditemani. Ia hanya ingin diarahkan, lalu meninggalkan jejak yang sunyi: bangkai ayam muda, dan seekor pipit yang akhirnya hanya makan padi, dengan rasa yang tak lagi sama.

 

Artinya, elang sejati takkan menyuruh pipit untuk berburu, sebab ia tahu poisisi, bahwa yang kuat sebenarnya tak butuh perantara; tetapi kadang yang lemah bagi elang hanya dibutuhkan sebagai alat. Agar kekuasaan terlihat lebih epic dan dramatis.

[90/05/2025]

 

07 May 2025

Romansa Padepokan Silat dalam Komik 1980'an

Muhammad Nasir

Pembaca Komik di Pasar Raya Padang akhir abad ke-20


Padepokan adalah pusat ilmu bela diri yang menjadi jantung cerita rakyat dan komik silat Indonesia era 1980-an. Dalam kisah-kisah epik seperti Jaka Sembung karya Djair Warni atau Panji Tengkorak karya Hans Jaladara, padepokan sering menjadi sasaran penyerangan, baik oleh padepokan saingan yang haus ilmu sakti maupun oleh pasukan kerajaan yang khawatir akan munculnya pemberontakan. Dengan latar Jawa abad ke-11 hingga 14, masa kejayaan kerajaan Hindu-Buddha seperti Kediri, Singhasari, dan Majapahit, cerita-cerita ini memadukan romantisme dunia persilatan dengan dinamika sejarah. Namun, apa konteks sejarah di balik narasi penyerangan padepokan ini? Apakah padepokan benar-benar menjadi ancaman bagi kerajaan, atau ini sekadar drama fiksi yang memikat hati pembaca?