Awal dan Akar Perbedaan Pendapat di kalangan Umat Islam
muhammadnasir@uinib.ac.id
Beberapa Peristiwa Awal
Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW bukanlah sesuatu yang baru. Sebagiannya merupakan sisa-sisa perdabatan yang sudah muncul sejak zaman nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu. Untuk perdebatan dan perbedaan pendapat semacam ini sebagian besarnya sudah dapat diselesaikan nabi Muhammad SAW semasa beliau masih hidup. Sementara, perbedaan pendapat yang mewariskan banyak hal hingga saat ini justru terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Muhammad ibn Ahmad Abu al-Fatah Asy-Syahrastani Asy-Syafi’i (1076-1153 M)[1] merinci secara kronologis sebab-sebab awal perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam beberapa saat menjelang wafatnya nabi dan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
1. Ketika Nabi SAW sedang sakit parah, ia bersabda, “ambillah tinta dan kertas, akan aku tulis untuk kamu satu “kitab” yang membuatmu tidak akan tersesat sesudahku…”. Kata KITAB yang ditulis Nabi Muhammad tersebut memicu perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi SAW. Umar bin Khattab mengatakan yang dimaksud dengan “Kitab” itu adalah “Kitab Allah.” Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah “kitab rasulullah” (hadis). Alasannya adalah hadis Nabi SAW sendiri yang berbunyi, “pertahankanlah apa yang (berasal) dariku, tidaklah pantas kamu berselisih di hadapanku.”
2. Ketika Nabi SAW dalam keadaan sakit menjelang wafatnya ia bersabda, “Bergabunglah kamu dengan pasukan Usamah , Allah mengutuk orang yang tidak menggabungkan diri dengannya.” Sebagian sahabat berkata bahwa mengikuti perintah nabi untuk bergabung dengan pasukan Usamah [2] adalah wajib, sebagian menolak karena tidak tega meninggalkan kota madinah di saat kondisi nabi SAW sakit keras. Peristiwa ini ada yang mengkaitkannya dengan persoalan agama, yaitu orang yang tidak mematuhi perintah nabi dianggap murtad. Sementara yang lain berpendapat bahwa ketentuan syara’ dapat diperluas dengan alasan tidak mungkin berperang dalam keadaan hati gelisah dan cemas.
3. Peristiwa yang dialami Umar bin Khatab setelah mendengar kabar wafatnya Nabi SAW. Umar yang tidak menerima kematian Nabi SAW berkata, “Siapa yang mengatakan Muhammad telah mati, akan ku penggal lehernya dengan pedangku ini.Ia naik ke langit seperti Isa diangkat ke langit.” Abu Bakar menenangkan Umar dan berkata “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah meninggal. Barangsiapa yang menyembah tuhannya Muhammad, sesungguhnya tuhannya Muhammad Maha hidup, tidak mati dan tidak akan pernah mati.” Abu Bakar lalu membaca al Qur’an surat Ali Imran ayat 144. Orang banyak sependapat dengan Abu Bakar. Sementara Umar berlaku seolah-olah ia tidak pernah mendengar ayat ini, sehingga Abu Bakar merasa perlu membacakannya [untuk umar dan mungkin juga untuk orang banyak]
4. Tentang penguburan Rasulullah SAW. Kaum Muhajirin menginginkan Nabi SAW dimakamkan di Makkah, tempat kelahirannya, tempat ia dibesarkan, dan tempat permulaan hijrahnya. Kaum Anshar menginkan agar jasad Rasulullah SAW dimakamkan di Madinah, kota tujuan hijrah Nabi, tempat permulaan kemenangan dalam usaha menyebarluaskan Islam. Sebagian yang lain menginginkan agar Nabi Muhammad dimakamkan di Baitul Maqdis, tempat jasad nabi-nabi dikuburkan, dan di kota itu pula nabi Muhammad SAW di mi’rajkan. Perbedaan pendapat ini berhasil diatasi oleh Abu Bakar setelah ia membacakan hadis nabi yang berbunyi, “para nabi dikuburkan di mana ia meninggal.” .
5. Peristiwa perdebatan kaum muslimin di Tsaqifah Bani Sa’idah. Sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar berbeda pendapat tentang siapa yang akan diangkat menjadi pemimpin setelah wafatnya Rasulullah SAW. Kaum Anshar mengajukan Sa’ad ibn Ubadah sebagai calon pemimpin. Sementara kaum Muhajirin belum menentukan pilihan. Di antara tokoh Muhajirin yang lebih dahulu hadir adalah Umar bin Khatab. Namun Umar merasa enggan untuk melanjutkan perdebatan karena ia masih menunggu Abu Bakar Ash Shiddiq. Setelah Abu Bakar ash Shiddiq sampai di Tsaqifah Bani Sa’idah, ia diminta Umar untuk memberikan pidato. Dalam pidato tersebut Abu Bakar membaca Hadits “Para pemimpin itu dari kalangan Quraisy.” Usai berpidato Umar mengulurkan tangannya untuk membai’at Abu Bakar. Tindakan Umar ini akhirnya diikuti oleh kaum Anshar. Kaum Anshar memperc ayai Abu Bakar, termasuk mempercayai hadis yang belum pernah mereka dengar sebelumnya.
6. Perbedaan pendapat tentang status tanah peninggalan Rasulullah di kampong Fadak. Fatimah mengatakan tanah itu adalah tanah warisannya dari Rasulullah SAW. Namun, tentang masalah ini dapat diselesaikan dengan isyarat dari hadis Nabi, “Kami para Nabi tidak diwarisi. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah.”
7. Sikap Abu Bakar terhadap orang yang enggan membayar Zakat. Sebagian sahabat berpendapat, agar mereka yang enggan membayar zakat jangan diperangi sebagaimana memerangi orang kafir. Namun Abu Bakar bersikap tegas, “jikia mereka tidak menyerahkan kepadaku satu ikat seperti mereka serahkan satu ikat kepada Rasulullah SAW, akan aku perangi. Abu Bakar memandang ini sebagai suatu pembangkangan terhadap perintah agama. Dalam peperangan ini banyak kaum yang enggan membayar zakat ini tewas dan banyak juga yang di tawan. Tentang mereka yang ditawan ini, Umar bin Khatab pada masa pemerintahannya mengeluarkan ijtihad, membebaskan mereka dari penjara dan mengembalikan harta mereka yang dirampas.
8. Tentang pengangkatan Umar bin Khatab sebagai calon khalifah pengganti Abu Bakar. Kebijakan Abu Bakar ini menuai protes. Sebagian mereka berkata, “mengapa Abu Bakar menunjuk orang yang keras dan kasar?” Abu Bakar menunjukkan otoritasnya dan menjawab, “kalau aku ditanya di hari kiamat kelak, aku akan menjawab bahwa aku telah menunjuk orang yang terbaik di antara mereka.”
9. Kebijakan kontroversial Usman bin Affan yang memicu gejolak politik. Di antaranya, mengembalikan al Hakam bin Umayyah ke Madinah. Al Hakam diusir Rasulullah SAW. Pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khatab ia pernah meminta maaf, namun kedua khalifah tersebut menolak bahkan mengusirnya ke Yaman. Usman membuang Abu Zar al Ghifari ke Zabdah. Usman juga melindungi Abdullah bin Saad bin Surrah yang sudah divonis hukuman mati oleh Nabi. Abdullah bin Saad adalah saudara sepesusuan Usman bin Affan, dan bahkan Usman mengangkat Saad menjadi Gubernur Mesir dan mengangkat beberpa kerabatnya dari Bani Umayyah sebagai gubernur, di antaranya Muawiyyah, Saad bin Abi Waqas. Pemerintahan Usman juga dikendalikan oleh Marwan bin Hakam, pentolan Bani Umayyah yang juga menjadi menantu dari Usman bin Affan. Beberapa kontroversi ini menimbulkan pemberontakan dan menjadi sumber terpenting perdebatan dan perpecahan umat Islam menjadi beberapa golongan di kemudian hari.
10. Perbedaan pendapat yang diikuti beberapa peperangan di kalangan Umat Islam di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Di antaranya perang Jamal (Waq’atul Jamal) antara Ali bin Abi Thalib menghadapi Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah RA, istri Rasulullah SAW. Selanjutnya Perang Shiffin antara Ali Bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Muawiyah bin Abu Sufyan. Perang ini berakhir dengan peristiwa Tahkim yang memecah belah pendukung Ali menjadi beberapa kelompok. Kelompok-kelompok tersebut menjadi cikal bakal beberapa aliran dalam umat Islam, di antaranya Khawarij dan Syi’ah. Perang Shiffin pada akhirnya menyuburkan tafsir baru terhadap tema-tema yang terkait aqidah islamiyah.
Sepuluh peristiwa yang diurai di atas merupakan beberapa prototype perbedaan pendapat yang pada akhirnya melahirkan mazhab, aliran dan firqah yang banyak di kalangan umat Islam.
Akar Perbedaan
Dalam buku tersebut Asy-Syahrastani juga berpendapat bahwa faktor yang mendorong lahirnya mazhab, aliran dan firqah tersebut antara lain adalah; Pertama, masalah sifat dan keesaaan Allah. Kedua, Masalah Qada’ Qadar dan keadilan Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat, masalah yang berada di luar kemampuan manusia dan masalah yang diketahui dengan jelas (badihiyah). Ketiga, masalah wa’ad (janji), wa’id (ancaman), dan Asma Allah. Keempat, Masalah wahyu, akal, kenabian (nubuwwah), kehendak Allah mengenai yang baik dan yang lebih baik, imamah, kebaikan dan keburukan, kasih saying Allah, kesucaian para nabi dan syarat-syarat imamah. Menurutnya ada empat madzhab di kalangan ummat Muslim, yaitu Syi’ah, Qadariyah, Shifatiyah dan Khawarij. Setiap madzhab bercabang menjadi sekian banyak sekte hingga mencapai 73 sekte.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya, perbedaan dimulai sebagai bentuk penyikapan terhadap masalah keadaan-keadaan baru yang faktual. Namun pada akhirnya, umat Islam membutuhkan kehadiran teks-teks keagamaan untuk menjustifikasi pendapatnya. Teks keagamaan pada dasarnya menyediakan ruang yang besar untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi kaum muslimin. Namun beberpa persoalan belakangan yang menimbulkan perbedaan aliran tersebut antara lain penggunaan metode yang beragam dan menurut Mulyadi Kartanegara[3] termasuk penggunaan bukti-bukti yang sifatnya spekulatif untuk mempertahankan argumen mereka.
Padang, 16/09/2018
muhammadnasir@uinib.ac.id
Beberapa Peristiwa Awal
Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW bukanlah sesuatu yang baru. Sebagiannya merupakan sisa-sisa perdabatan yang sudah muncul sejak zaman nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu. Untuk perdebatan dan perbedaan pendapat semacam ini sebagian besarnya sudah dapat diselesaikan nabi Muhammad SAW semasa beliau masih hidup. Sementara, perbedaan pendapat yang mewariskan banyak hal hingga saat ini justru terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Sumber Foto: juddahblog.files.wordpress.com |
Muhammad ibn Ahmad Abu al-Fatah Asy-Syahrastani Asy-Syafi’i (1076-1153 M)[1] merinci secara kronologis sebab-sebab awal perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam beberapa saat menjelang wafatnya nabi dan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
1. Ketika Nabi SAW sedang sakit parah, ia bersabda, “ambillah tinta dan kertas, akan aku tulis untuk kamu satu “kitab” yang membuatmu tidak akan tersesat sesudahku…”. Kata KITAB yang ditulis Nabi Muhammad tersebut memicu perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi SAW. Umar bin Khattab mengatakan yang dimaksud dengan “Kitab” itu adalah “Kitab Allah.” Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah “kitab rasulullah” (hadis). Alasannya adalah hadis Nabi SAW sendiri yang berbunyi, “pertahankanlah apa yang (berasal) dariku, tidaklah pantas kamu berselisih di hadapanku.”
2. Ketika Nabi SAW dalam keadaan sakit menjelang wafatnya ia bersabda, “Bergabunglah kamu dengan pasukan Usamah , Allah mengutuk orang yang tidak menggabungkan diri dengannya.” Sebagian sahabat berkata bahwa mengikuti perintah nabi untuk bergabung dengan pasukan Usamah [2] adalah wajib, sebagian menolak karena tidak tega meninggalkan kota madinah di saat kondisi nabi SAW sakit keras. Peristiwa ini ada yang mengkaitkannya dengan persoalan agama, yaitu orang yang tidak mematuhi perintah nabi dianggap murtad. Sementara yang lain berpendapat bahwa ketentuan syara’ dapat diperluas dengan alasan tidak mungkin berperang dalam keadaan hati gelisah dan cemas.
3. Peristiwa yang dialami Umar bin Khatab setelah mendengar kabar wafatnya Nabi SAW. Umar yang tidak menerima kematian Nabi SAW berkata, “Siapa yang mengatakan Muhammad telah mati, akan ku penggal lehernya dengan pedangku ini.Ia naik ke langit seperti Isa diangkat ke langit.” Abu Bakar menenangkan Umar dan berkata “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah meninggal. Barangsiapa yang menyembah tuhannya Muhammad, sesungguhnya tuhannya Muhammad Maha hidup, tidak mati dan tidak akan pernah mati.” Abu Bakar lalu membaca al Qur’an surat Ali Imran ayat 144. Orang banyak sependapat dengan Abu Bakar. Sementara Umar berlaku seolah-olah ia tidak pernah mendengar ayat ini, sehingga Abu Bakar merasa perlu membacakannya [untuk umar dan mungkin juga untuk orang banyak]
4. Tentang penguburan Rasulullah SAW. Kaum Muhajirin menginginkan Nabi SAW dimakamkan di Makkah, tempat kelahirannya, tempat ia dibesarkan, dan tempat permulaan hijrahnya. Kaum Anshar menginkan agar jasad Rasulullah SAW dimakamkan di Madinah, kota tujuan hijrah Nabi, tempat permulaan kemenangan dalam usaha menyebarluaskan Islam. Sebagian yang lain menginginkan agar Nabi Muhammad dimakamkan di Baitul Maqdis, tempat jasad nabi-nabi dikuburkan, dan di kota itu pula nabi Muhammad SAW di mi’rajkan. Perbedaan pendapat ini berhasil diatasi oleh Abu Bakar setelah ia membacakan hadis nabi yang berbunyi, “para nabi dikuburkan di mana ia meninggal.” .
5. Peristiwa perdebatan kaum muslimin di Tsaqifah Bani Sa’idah. Sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar berbeda pendapat tentang siapa yang akan diangkat menjadi pemimpin setelah wafatnya Rasulullah SAW. Kaum Anshar mengajukan Sa’ad ibn Ubadah sebagai calon pemimpin. Sementara kaum Muhajirin belum menentukan pilihan. Di antara tokoh Muhajirin yang lebih dahulu hadir adalah Umar bin Khatab. Namun Umar merasa enggan untuk melanjutkan perdebatan karena ia masih menunggu Abu Bakar Ash Shiddiq. Setelah Abu Bakar ash Shiddiq sampai di Tsaqifah Bani Sa’idah, ia diminta Umar untuk memberikan pidato. Dalam pidato tersebut Abu Bakar membaca Hadits “Para pemimpin itu dari kalangan Quraisy.” Usai berpidato Umar mengulurkan tangannya untuk membai’at Abu Bakar. Tindakan Umar ini akhirnya diikuti oleh kaum Anshar. Kaum Anshar memperc ayai Abu Bakar, termasuk mempercayai hadis yang belum pernah mereka dengar sebelumnya.
6. Perbedaan pendapat tentang status tanah peninggalan Rasulullah di kampong Fadak. Fatimah mengatakan tanah itu adalah tanah warisannya dari Rasulullah SAW. Namun, tentang masalah ini dapat diselesaikan dengan isyarat dari hadis Nabi, “Kami para Nabi tidak diwarisi. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah.”
7. Sikap Abu Bakar terhadap orang yang enggan membayar Zakat. Sebagian sahabat berpendapat, agar mereka yang enggan membayar zakat jangan diperangi sebagaimana memerangi orang kafir. Namun Abu Bakar bersikap tegas, “jikia mereka tidak menyerahkan kepadaku satu ikat seperti mereka serahkan satu ikat kepada Rasulullah SAW, akan aku perangi. Abu Bakar memandang ini sebagai suatu pembangkangan terhadap perintah agama. Dalam peperangan ini banyak kaum yang enggan membayar zakat ini tewas dan banyak juga yang di tawan. Tentang mereka yang ditawan ini, Umar bin Khatab pada masa pemerintahannya mengeluarkan ijtihad, membebaskan mereka dari penjara dan mengembalikan harta mereka yang dirampas.
8. Tentang pengangkatan Umar bin Khatab sebagai calon khalifah pengganti Abu Bakar. Kebijakan Abu Bakar ini menuai protes. Sebagian mereka berkata, “mengapa Abu Bakar menunjuk orang yang keras dan kasar?” Abu Bakar menunjukkan otoritasnya dan menjawab, “kalau aku ditanya di hari kiamat kelak, aku akan menjawab bahwa aku telah menunjuk orang yang terbaik di antara mereka.”
9. Kebijakan kontroversial Usman bin Affan yang memicu gejolak politik. Di antaranya, mengembalikan al Hakam bin Umayyah ke Madinah. Al Hakam diusir Rasulullah SAW. Pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khatab ia pernah meminta maaf, namun kedua khalifah tersebut menolak bahkan mengusirnya ke Yaman. Usman membuang Abu Zar al Ghifari ke Zabdah. Usman juga melindungi Abdullah bin Saad bin Surrah yang sudah divonis hukuman mati oleh Nabi. Abdullah bin Saad adalah saudara sepesusuan Usman bin Affan, dan bahkan Usman mengangkat Saad menjadi Gubernur Mesir dan mengangkat beberpa kerabatnya dari Bani Umayyah sebagai gubernur, di antaranya Muawiyyah, Saad bin Abi Waqas. Pemerintahan Usman juga dikendalikan oleh Marwan bin Hakam, pentolan Bani Umayyah yang juga menjadi menantu dari Usman bin Affan. Beberapa kontroversi ini menimbulkan pemberontakan dan menjadi sumber terpenting perdebatan dan perpecahan umat Islam menjadi beberapa golongan di kemudian hari.
10. Perbedaan pendapat yang diikuti beberapa peperangan di kalangan Umat Islam di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Di antaranya perang Jamal (Waq’atul Jamal) antara Ali bin Abi Thalib menghadapi Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah RA, istri Rasulullah SAW. Selanjutnya Perang Shiffin antara Ali Bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Muawiyah bin Abu Sufyan. Perang ini berakhir dengan peristiwa Tahkim yang memecah belah pendukung Ali menjadi beberapa kelompok. Kelompok-kelompok tersebut menjadi cikal bakal beberapa aliran dalam umat Islam, di antaranya Khawarij dan Syi’ah. Perang Shiffin pada akhirnya menyuburkan tafsir baru terhadap tema-tema yang terkait aqidah islamiyah.
Sepuluh peristiwa yang diurai di atas merupakan beberapa prototype perbedaan pendapat yang pada akhirnya melahirkan mazhab, aliran dan firqah yang banyak di kalangan umat Islam.
Akar Perbedaan
Dalam buku tersebut Asy-Syahrastani juga berpendapat bahwa faktor yang mendorong lahirnya mazhab, aliran dan firqah tersebut antara lain adalah; Pertama, masalah sifat dan keesaaan Allah. Kedua, Masalah Qada’ Qadar dan keadilan Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat, masalah yang berada di luar kemampuan manusia dan masalah yang diketahui dengan jelas (badihiyah). Ketiga, masalah wa’ad (janji), wa’id (ancaman), dan Asma Allah. Keempat, Masalah wahyu, akal, kenabian (nubuwwah), kehendak Allah mengenai yang baik dan yang lebih baik, imamah, kebaikan dan keburukan, kasih saying Allah, kesucaian para nabi dan syarat-syarat imamah. Menurutnya ada empat madzhab di kalangan ummat Muslim, yaitu Syi’ah, Qadariyah, Shifatiyah dan Khawarij. Setiap madzhab bercabang menjadi sekian banyak sekte hingga mencapai 73 sekte.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya, perbedaan dimulai sebagai bentuk penyikapan terhadap masalah keadaan-keadaan baru yang faktual. Namun pada akhirnya, umat Islam membutuhkan kehadiran teks-teks keagamaan untuk menjustifikasi pendapatnya. Teks keagamaan pada dasarnya menyediakan ruang yang besar untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi kaum muslimin. Namun beberpa persoalan belakangan yang menimbulkan perbedaan aliran tersebut antara lain penggunaan metode yang beragam dan menurut Mulyadi Kartanegara[3] termasuk penggunaan bukti-bukti yang sifatnya spekulatif untuk mempertahankan argumen mereka.
Padang, 16/09/2018
[1] Lihat bagian
buku awal Asy Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, Aliran-Aliran Teologi dalam
Sejarah Umat Manusia, Prof. Dr. Asywadie Syukur, Lc (terj.) Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006
[2] Pasukan
Usamah (bahasa Arab:Jaysy Usamah) adalah pasukan terakhir yang terbentuk atas
perintah langsung Rasulullah saw pada tahun 11 H untuk menghadapi serangan
pasukan imperium Romawi. Pasukan ini dikenal dengan nama pasukan Usamah karena
berada dibawah komando Usamah bin Zaid sebagai panglima perang. Disebabkan
ketidak taatan sejumlah sahabat dimasa Nabi Muhammad saw masih hidup, pasukan
ini tidak bergerak.
[3]
Mulyadi Kartanegara, Ilmu Kalam, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Jilid 4, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hooeve, 2002, h.117
No comments:
Post a Comment