Oleh : Muhammad Nasir
Anak Nagari Salo, Kecamatan Baso, Kab. Agam
Berendam di sejuknya udara Bukittinggi, embun menyusup ke tulang sum-sum. Hatta, Syahrir, H. Agus Salim hanya diam di kanvas pelukis kaki lima. Polesan warna tak sembunyikan diamnya pembesar kelahiran negeri ini melihat percikan kembang api di seputar gonjong jam gadang.
Kota Bukittinggi memiliki luas wilayah 25,24 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 100.000 jiwa. Letaknya sekitar 2 jam perjalanan lewat darat (90 km) dari ibukota provinsi Padang. Bukittinggi dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago.
Kota yang berjulukan kota budaya di Sumatera Barat dengan Jam Gadang sebagai simbol kota memiliki potensi objek wisata, kota berhawa sejuk ini merupakan salah satu daerah tujuan utama dalam bidang perdagangan di pulau Sumatera. Bukittinggi telah lama dikenal sebagai pusat penjualan konveksi yang tepatnya berada di Pasar aur kuning.
Tetapi selain menjajakan romantisme budaya, apakah ia akan selalu menjajakan ide dan pikiran besar untuk memperbaiki nasib bangsa yang diamuk prahara budaya globalisasi?
Lihatlah, kebudayaan baru yang berpusar di sekitar perut gadis-gadis berkulit putih yang mendaku pewaris Bundo Kandung; tank top menggejala di areal taman Jam Gadang yang dingin. Bahan baku apakah yang digunakan menyelimuti gadis-gadis keturunan Gunuang Marapi ini?
Bukittinggi sekarang terlena dengan pujian semu; trend setter mode anak muda Sumatera Barat. Salah seorang dengan lancang menyebut kotanya sebagai Paris van Minangkabau. Paris? Le Perisien?
Dalam permenunganku aku melihat kembali potret Urang Gadang Bukittingi; Agus Salim, Hatta, Syahrir. Lukisan itu basah embun. Bukittinggi apakah yang sedang berpanggung hari ini?
Bukittinggi agaknya berupaya melupakan sejarah. Kecendrungan baru berkisar pada pusaran kapitalisasi budaya pop. Sejarah Bukittinggi cukuplah sejarah Agus Salim, Hatta, Syahrir yang hanya layak muncul di forum seminar dan buku sejarah di sekolah-sekolah.
Setidaknya masih ada yang berhasil bertahan; Sejuknya Embun Malah sebelum dijemput fajar pagi. Pendatang baru lainnya, Mall, Café-café dan daftar harga souvenir yang fluktuatif.
Bukittinggi, 9/29/2008 8:51 PM
29 September 2008
24 September 2008
Aliansi Baru Pasca 9/11
Oleh: Muhammad Nasir
Peneliti pada Lembaga Magistra Indonesia Padang
Tepatnya 11 September 2001 (lazim ditulis 9/11), dunia dikejutkan dengan runtuhnya gedung kembar World Trade Center (WTC) New York akibat ditabrak pesawat yang diduga dibajak teroris. Peristiwa itu tidak hanya menjadi tragedy bagi Amerika Serikat (AS), tetapi lebih jauh menjadi pemicu (trigger) bagi tragedy kemanusian universal, yaitu bencana perang atas nama perlawanan terhadap terorisme.
Sekarang tujuh tahun sudah berlalu. Peristiwa itu masih relevan dibahas bukan karena menjadikan itu sebagai peringatan dan penghormatan terhadap para korban, tetapi lebih jauh sebagai bentuk perlindungan dan pemeliharaan terhadap jiwa manusia yang berkemungkinan masih terancam oleh dalih perang melawan terorisme yang dimotori AS.
Bagi penganut teori konspirasi, peristiwa tersebut ditafsirkan sebagai pertentangan dua peradaban besar yaitu Barat-Kristen di satu pihak dan Islam di pihak lain. Amerika Serikat secara cerdik berusaha keluar dari teori tersebut dengan meletakkan peristiwa tersebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dengan bahasa symbol terorisme.
Sejak AS melancarkan "perang melawan teror", banyak paradoks yang pantas direnungkan. Misalnya, bagaimana negara Pakistan bersikap terhadap Taliban. Pakistanlah yang mendukung dan turut membesarkan Taliban. Tetapi, mereka juga yang kemudian memburu Taliban, mengikuti jejak AS.
Paradok itu awal-awal sudah dibaca oleh Profesor linguistik di MIT, Noam Chomsky. Ia menyimpulkan, "Pengeboman atas Afghanistan (oleh pasukan sekutu yang dipimpin AS) adalah kejahatan yang lebih besar daripada teror 11 September." Pendekatan Barat terhadap konflik Afghanistan adalah pendekatan yang didasari pandangan cupet dan sangat berbahaya. "AS adalah terdakwa negara teroris," tegas Chomsky. (Koran Tempo 12 November 2001).
Persoalannya sekarang, apakah tafsir tersebut masih relevan atau dibutuhkan penafsiran baru mengingat korban perang melawan terorisme lebih besar di banding korban tragedy 9/11?
Efek Domino
Pasca 9/11 boleh jadi Islam tiba-tiba menjadi tertuduh debagai supplier teroris. Tetapi lama-kelamaan telunjuk dunia mengarah kepada AS dan sekutunya sebagai pelaku terorisme global. Hal ini disebabkan besarnya korban yang ditimbulkan perang melawan teroris yang dipimpin AS.
Di samping korban nyawa, bukti lainnya yang menguatkan peran AS sebagai teroris sejati adalah agenda tersembunyi (hidden agenda) di balik itu yaitu supremasi kapitalisme dan demokrasi liberal yang sduah menjadi merek dagang AS. Tidak heran, untuk alasan yang terakhir ini beberapa negara di belahan Amerika Selatan merasa berkepentingan mengumandangkan kembali ideology pasar yang disebut neo-sosialisme.
Pemandangan di atas secara perlahan memberi jawaban bantahan atas tesis Francis Fukuyama (1993) tentang keruntuhan ideologi sosialisme. Artinya Islam kembali mendapatkan teman strategis melawan hegemoni kapitalisme demokrasi- neoliberalisme AS dan sekutunya. Simaklah satu peristiwa penting saat Mahmoud Ahmadinejad Presiden Iran berusaha membangun dialog dalam rangka membentuk aliansi strategis dengan negara-negara Amerika Selatan di penghujung tahun 2006 yang lalu.
Pelajaran penting yang perlu dicermati adalah pesan klasik dalam adagium hidup adalah permainan (love is but a game). Artinya meski AS sangat menyadari efek sebuah permainan apalagi permainan perang adalah meluasnya medan pertempuran dan lahir, tumbuh dan berkembangnya lawan-lawan baru mengikuti hukum alam, tetapi dengan bodoh AS melayani permainan itu.
Berkaitan dengan lahir, tumbuh dan berkembangnya sebuah ideologi sebagai sebuah hukum alam, dalam skala micro setiap pertarungan ideologi tentu saja tidak berangkat dari pengalaman kosong. Satu actor dapat dilacak genealoginya dengan mudah ibarat permainan domino dengan kartu yang terbatas dan mudah ditebak arah permainannya.
Sebuah Saran
Khusus bagi umat Islam, tidak perlu terjebak dalam emosi 9/11 yang melibatkan beberapa tokoh yang beragama Islam, mulai dari Osama bin Laden hingga Ustadz Abu Bakar Ba’asyir di Indonesia. Sikap ini diperlukan agar umat Islam tidak terlalu lama larut dalam kubangan teori konspirasi yang meletakkan Islam dalam pertarungan yang kontrapoduktif dengan misi Islam yang rahmatan lil alamin.
Peristiwa 9/11 bukanlah penaklukan konstantinopel atau peristiwa heroic layaknya kemenangan Salahuddin al Ayyubi di Palestina yang perlu dicatat dengan tinta emas dan dikhotbahkan di mana-mana. Peristiwa 9/11 hanyalah tragedy kemanusiaan yang dilakukan oleh segelintir muslim yang mengatasnamakan Islam.
Perlu diingat, dalam skala yang lebih besar yaitu cita-cita menuju supremasi peradaban Islam, umat Islam di berbagai pelosok dunia mengalami ke kalahan besar di mana-mana, dan dalam banyak hal tertinggal dari dunia Barat-Kristen.
Bolehlah berdalih, keunggulan umat Islam adalah nilai-nilai moral universal yang disebut akhlaq al karimah, tetapi pada saat yang bersamaan umat Islam defisit tokoh bermoral, ditandai dengan merebaknya kemiskinan di dunia Islam dan perilaku koruptif dan kekerasan di banyak negeri muslim, misalnya Indonesia dan Pakistan.
Intinya, umat Islam harus mundur dalam peperangan bertema terorisme dalam bentuk apapun dengan cara tidak melayani mindset terorisme AS dan sekutunya dengan perilaku-prilaku verbal yang tersambung dengan aktivisme teroris. Lebih dari itu, umat Islam harus mencari Aliansi Baru untuk menegaskan misi rahmatan lil alamin. [10/09/2008
Peneliti pada Lembaga Magistra Indonesia Padang
Tepatnya 11 September 2001 (lazim ditulis 9/11), dunia dikejutkan dengan runtuhnya gedung kembar World Trade Center (WTC) New York akibat ditabrak pesawat yang diduga dibajak teroris. Peristiwa itu tidak hanya menjadi tragedy bagi Amerika Serikat (AS), tetapi lebih jauh menjadi pemicu (trigger) bagi tragedy kemanusian universal, yaitu bencana perang atas nama perlawanan terhadap terorisme.
Sekarang tujuh tahun sudah berlalu. Peristiwa itu masih relevan dibahas bukan karena menjadikan itu sebagai peringatan dan penghormatan terhadap para korban, tetapi lebih jauh sebagai bentuk perlindungan dan pemeliharaan terhadap jiwa manusia yang berkemungkinan masih terancam oleh dalih perang melawan terorisme yang dimotori AS.
Bagi penganut teori konspirasi, peristiwa tersebut ditafsirkan sebagai pertentangan dua peradaban besar yaitu Barat-Kristen di satu pihak dan Islam di pihak lain. Amerika Serikat secara cerdik berusaha keluar dari teori tersebut dengan meletakkan peristiwa tersebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dengan bahasa symbol terorisme.
Sejak AS melancarkan "perang melawan teror", banyak paradoks yang pantas direnungkan. Misalnya, bagaimana negara Pakistan bersikap terhadap Taliban. Pakistanlah yang mendukung dan turut membesarkan Taliban. Tetapi, mereka juga yang kemudian memburu Taliban, mengikuti jejak AS.
Paradok itu awal-awal sudah dibaca oleh Profesor linguistik di MIT, Noam Chomsky. Ia menyimpulkan, "Pengeboman atas Afghanistan (oleh pasukan sekutu yang dipimpin AS) adalah kejahatan yang lebih besar daripada teror 11 September." Pendekatan Barat terhadap konflik Afghanistan adalah pendekatan yang didasari pandangan cupet dan sangat berbahaya. "AS adalah terdakwa negara teroris," tegas Chomsky. (Koran Tempo 12 November 2001).
Persoalannya sekarang, apakah tafsir tersebut masih relevan atau dibutuhkan penafsiran baru mengingat korban perang melawan terorisme lebih besar di banding korban tragedy 9/11?
Efek Domino
Pasca 9/11 boleh jadi Islam tiba-tiba menjadi tertuduh debagai supplier teroris. Tetapi lama-kelamaan telunjuk dunia mengarah kepada AS dan sekutunya sebagai pelaku terorisme global. Hal ini disebabkan besarnya korban yang ditimbulkan perang melawan teroris yang dipimpin AS.
Di samping korban nyawa, bukti lainnya yang menguatkan peran AS sebagai teroris sejati adalah agenda tersembunyi (hidden agenda) di balik itu yaitu supremasi kapitalisme dan demokrasi liberal yang sduah menjadi merek dagang AS. Tidak heran, untuk alasan yang terakhir ini beberapa negara di belahan Amerika Selatan merasa berkepentingan mengumandangkan kembali ideology pasar yang disebut neo-sosialisme.
Pemandangan di atas secara perlahan memberi jawaban bantahan atas tesis Francis Fukuyama (1993) tentang keruntuhan ideologi sosialisme. Artinya Islam kembali mendapatkan teman strategis melawan hegemoni kapitalisme demokrasi- neoliberalisme AS dan sekutunya. Simaklah satu peristiwa penting saat Mahmoud Ahmadinejad Presiden Iran berusaha membangun dialog dalam rangka membentuk aliansi strategis dengan negara-negara Amerika Selatan di penghujung tahun 2006 yang lalu.
Pelajaran penting yang perlu dicermati adalah pesan klasik dalam adagium hidup adalah permainan (love is but a game). Artinya meski AS sangat menyadari efek sebuah permainan apalagi permainan perang adalah meluasnya medan pertempuran dan lahir, tumbuh dan berkembangnya lawan-lawan baru mengikuti hukum alam, tetapi dengan bodoh AS melayani permainan itu.
Berkaitan dengan lahir, tumbuh dan berkembangnya sebuah ideologi sebagai sebuah hukum alam, dalam skala micro setiap pertarungan ideologi tentu saja tidak berangkat dari pengalaman kosong. Satu actor dapat dilacak genealoginya dengan mudah ibarat permainan domino dengan kartu yang terbatas dan mudah ditebak arah permainannya.
Sebuah Saran
Khusus bagi umat Islam, tidak perlu terjebak dalam emosi 9/11 yang melibatkan beberapa tokoh yang beragama Islam, mulai dari Osama bin Laden hingga Ustadz Abu Bakar Ba’asyir di Indonesia. Sikap ini diperlukan agar umat Islam tidak terlalu lama larut dalam kubangan teori konspirasi yang meletakkan Islam dalam pertarungan yang kontrapoduktif dengan misi Islam yang rahmatan lil alamin.
Peristiwa 9/11 bukanlah penaklukan konstantinopel atau peristiwa heroic layaknya kemenangan Salahuddin al Ayyubi di Palestina yang perlu dicatat dengan tinta emas dan dikhotbahkan di mana-mana. Peristiwa 9/11 hanyalah tragedy kemanusiaan yang dilakukan oleh segelintir muslim yang mengatasnamakan Islam.
Perlu diingat, dalam skala yang lebih besar yaitu cita-cita menuju supremasi peradaban Islam, umat Islam di berbagai pelosok dunia mengalami ke kalahan besar di mana-mana, dan dalam banyak hal tertinggal dari dunia Barat-Kristen.
Bolehlah berdalih, keunggulan umat Islam adalah nilai-nilai moral universal yang disebut akhlaq al karimah, tetapi pada saat yang bersamaan umat Islam defisit tokoh bermoral, ditandai dengan merebaknya kemiskinan di dunia Islam dan perilaku koruptif dan kekerasan di banyak negeri muslim, misalnya Indonesia dan Pakistan.
Intinya, umat Islam harus mundur dalam peperangan bertema terorisme dalam bentuk apapun dengan cara tidak melayani mindset terorisme AS dan sekutunya dengan perilaku-prilaku verbal yang tersambung dengan aktivisme teroris. Lebih dari itu, umat Islam harus mencari Aliansi Baru untuk menegaskan misi rahmatan lil alamin. [10/09/2008
KEBERPIHAKAN KEPADA YANG MISKIN
Oleh: Muhammad Nasir
Peneliti Magistra Indonesia Padang
Kemiskinan Yang Menyejarah
Kemiskinan merupakan kosa kata abadi sepanjang sejarah manusia. Oleh sebab itu, menghapuskan kemiskinan seolah-olah menjadi utopia bahkan bisa dianggap menghapuskan sejarah manusia itu sendiri. Jika demikian adanya, apakah program pengentasan kemiskinan yang saat ini diperlombakan oleh para pemimpin dan calon-calon pemimpin sesuatu yang mustahil? Tunggu dulu.
Logika tersebut semestinya tidak membuat orang khawatir dan lantas apatis terhadap janji-janji dan program-program pengentasan kemiskinan yang ditawarkan oleh siapa saja. Apalagi jelang pemilu beberapa waktu ke depan. Sebab, meminjam teori dialektika Hegel yang ditekniskan oleh Karl Marx, ternyata sejarah dapat juga diartikan sebagai proses dialektis (atau mungkin pertarungan) antara kelas orang miskin dan orang kaya.
Persoalannya terletak pada kemampuan orang miskin untuk keluar dari situasi yang menyedihkan tersebut. Begitu juga, seberapa kuat orang-orang kaya dapat mempertahankan kekayaannya tersebut. Dan benarlah perumpamaan Melayu, "hidup ibarat roda pedati, sekali di atas sekali di bawah". Perumpamaan ini memberi isyarat bahwa sejarah itu bergerak secara siklus.
Tetapi tentu saja orang tidak semua orang mau hidup dalam siklus. Pertaruhannya terlalu mahal dan menghadirkan kecemasan pada setiap putarannya. Karena itu alur hidup kesejarahan manusia bisa saja diubah, tidak melulu berputar, namun bagaimana menjadikan hidup ini bergerak secara linear dan berpacu menuju pencapaian kemajuan yang berarti (progressive).
Indonesia, yang dibaca secara pesimis konon bertabur dengan kemiskinan. Sekilas memang benar, tetapi kemiskinan itu mestinya diartikan dan diurai lagi secara rinci. Hal ini diperlukan supaya penanganan kemiskinan tepat sasaran dan hasilnya dapat diukur.
Yang Termiskinkan
Secara konseptual, Islam memiliki dua kata yang merujuk kepada orang miskin: faqir dan masakin. Istilah faqir merujuk pada kondisi di mana seseorang sudah dalam posisi hopeless (putus asa) untuk berkarya, karena apapun yang dilakukan ia akan tetap miskin. Kecenderungan orang seperti ini sudah tidak mau berkarya lagi, sehingga langkah yang dilakukan adalah meminta-minta sebagai sebuah budaya.
Sedangkan masakin merujuk pada kondisi di mana seseorang telah bersusah payah bekerja keras, namun hasil usaha tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Namun orang tersebut tidak berputus asa untuk bekerja, karena putus asa merupakan langkah dari setan. (Yusuf Qardhawy,1996)
Kedua model itu pasti ada di Indonesia. Begitu banyak pengemis di negeri ini, menggantungkan harapan dari belas kasihan orang. Beberapa waktu yang lalu, ada ibu yang membunuh anak-anaknya dan dirinya sendiri karena putus asa (faqir). Bagaimana itu terjadi? Apa ada kaitannya dengan dengan negara dan kepemimpinan bangsa?
Kemiskinan dan Peran Pemimpin
Wacana kemiskinan di negeri ini setelah dihantam bertubi-tubi oleh berbagai bencana memang menguat signifikan. Tiba-tiba saja, kesalahan ini diarahkan kepada para pemimpin yang dianggap tidak becus mengurus rakyat. Bolehlah kalau memamng demikian adanya. Tetapi makna lainnya yang dapat diserap di balik itu, ternyata rakyat masih berharap kepada pemimpin untuk mengatasi kemiskinan. Hanya saja, kesalahan yang ditimpakan kepada pemimpin itu tidak lebih dari wujud kekecewaan pada masa-masa sulit.
Meminjam teori Arnold J Toynbee (1889-1975) dalam magnum opus-nya A Study of History (London, 1961), menyatakan sejarah hidup manusia akan selalu diwarnai oleh pasang surut. Gelombang kecemasan publik di tengah masa sulit itu akan selalu memunculkan entah pribadi maupun kelompok yang disebut minoritas kreatif (creative minority).
Dalam bahaya kemiskinan yang menggejala saat ini, sejarah manusia harus diselamatkan dari kehancuran total oleh seseorang atau suatu kelompok yang disebut minoritas kreatif (creative minority). Oleh sebab itu, ke depan yang dicari itu adalah pemimpin yang kreatif dan memiliki program-program kreatif untuk menanggulangi kemiskinan. Siapa yang terlihat kreatif secara meyakinkan, akan diberi kesempatan oleh sejarah untuk menjadi pemimpin. Apakah oranh seperti itu ada?
Jawabannya tentu saja ada. Negara bertugas memberikan perlindungan lahir batin terhadap warganya. Program negara harus bergerak di atas semangat perlindungan dan kasih sayang. Karena itu, mesti ada pemimpin yang mengerti negara dan punya rasa perlindungan dan kasih sayang terhadap rakyatnya.
Jadi model-model kefakiran dan kemiskinan di Indonesia itu tidak boleh diperparah lagi dengan lemahnya institusi negara dan tidak pekanya perasaan kasih sayang pemimpin. Jika hal ini masih terjadi, maka kefakiran dan kemiskinan itu tidak hanya persoalan nasib, tetapi lebih jauh akibat dimiskinkan oleh negara dan pemimpinnya. Jadi rakyat-rakyat yang menderita sekarang ini adalah mereka-mereka yang termiskinkan.
Akhirnya, terma kemiskinan, negara dan kepemimpinan adalah persoalan kepekaan, kasih sayang dan perlindungan. Karena itu pemimpin yang dicari adalah pemimpin kreatif dan punya hati nurani. Hanya yang punya hati nurani yang bisa bicara dari hati ke hati dan mampu mendengar hati nurani rakyat [*]
Padang, 08 May 2008
Peneliti Magistra Indonesia Padang
Kemiskinan Yang Menyejarah
Kemiskinan merupakan kosa kata abadi sepanjang sejarah manusia. Oleh sebab itu, menghapuskan kemiskinan seolah-olah menjadi utopia bahkan bisa dianggap menghapuskan sejarah manusia itu sendiri. Jika demikian adanya, apakah program pengentasan kemiskinan yang saat ini diperlombakan oleh para pemimpin dan calon-calon pemimpin sesuatu yang mustahil? Tunggu dulu.
Logika tersebut semestinya tidak membuat orang khawatir dan lantas apatis terhadap janji-janji dan program-program pengentasan kemiskinan yang ditawarkan oleh siapa saja. Apalagi jelang pemilu beberapa waktu ke depan. Sebab, meminjam teori dialektika Hegel yang ditekniskan oleh Karl Marx, ternyata sejarah dapat juga diartikan sebagai proses dialektis (atau mungkin pertarungan) antara kelas orang miskin dan orang kaya.
Persoalannya terletak pada kemampuan orang miskin untuk keluar dari situasi yang menyedihkan tersebut. Begitu juga, seberapa kuat orang-orang kaya dapat mempertahankan kekayaannya tersebut. Dan benarlah perumpamaan Melayu, "hidup ibarat roda pedati, sekali di atas sekali di bawah". Perumpamaan ini memberi isyarat bahwa sejarah itu bergerak secara siklus.
Tetapi tentu saja orang tidak semua orang mau hidup dalam siklus. Pertaruhannya terlalu mahal dan menghadirkan kecemasan pada setiap putarannya. Karena itu alur hidup kesejarahan manusia bisa saja diubah, tidak melulu berputar, namun bagaimana menjadikan hidup ini bergerak secara linear dan berpacu menuju pencapaian kemajuan yang berarti (progressive).
Indonesia, yang dibaca secara pesimis konon bertabur dengan kemiskinan. Sekilas memang benar, tetapi kemiskinan itu mestinya diartikan dan diurai lagi secara rinci. Hal ini diperlukan supaya penanganan kemiskinan tepat sasaran dan hasilnya dapat diukur.
Yang Termiskinkan
Secara konseptual, Islam memiliki dua kata yang merujuk kepada orang miskin: faqir dan masakin. Istilah faqir merujuk pada kondisi di mana seseorang sudah dalam posisi hopeless (putus asa) untuk berkarya, karena apapun yang dilakukan ia akan tetap miskin. Kecenderungan orang seperti ini sudah tidak mau berkarya lagi, sehingga langkah yang dilakukan adalah meminta-minta sebagai sebuah budaya.
Sedangkan masakin merujuk pada kondisi di mana seseorang telah bersusah payah bekerja keras, namun hasil usaha tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Namun orang tersebut tidak berputus asa untuk bekerja, karena putus asa merupakan langkah dari setan. (Yusuf Qardhawy,1996)
Kedua model itu pasti ada di Indonesia. Begitu banyak pengemis di negeri ini, menggantungkan harapan dari belas kasihan orang. Beberapa waktu yang lalu, ada ibu yang membunuh anak-anaknya dan dirinya sendiri karena putus asa (faqir). Bagaimana itu terjadi? Apa ada kaitannya dengan dengan negara dan kepemimpinan bangsa?
Kemiskinan dan Peran Pemimpin
Wacana kemiskinan di negeri ini setelah dihantam bertubi-tubi oleh berbagai bencana memang menguat signifikan. Tiba-tiba saja, kesalahan ini diarahkan kepada para pemimpin yang dianggap tidak becus mengurus rakyat. Bolehlah kalau memamng demikian adanya. Tetapi makna lainnya yang dapat diserap di balik itu, ternyata rakyat masih berharap kepada pemimpin untuk mengatasi kemiskinan. Hanya saja, kesalahan yang ditimpakan kepada pemimpin itu tidak lebih dari wujud kekecewaan pada masa-masa sulit.
Meminjam teori Arnold J Toynbee (1889-1975) dalam magnum opus-nya A Study of History (London, 1961), menyatakan sejarah hidup manusia akan selalu diwarnai oleh pasang surut. Gelombang kecemasan publik di tengah masa sulit itu akan selalu memunculkan entah pribadi maupun kelompok yang disebut minoritas kreatif (creative minority).
Dalam bahaya kemiskinan yang menggejala saat ini, sejarah manusia harus diselamatkan dari kehancuran total oleh seseorang atau suatu kelompok yang disebut minoritas kreatif (creative minority). Oleh sebab itu, ke depan yang dicari itu adalah pemimpin yang kreatif dan memiliki program-program kreatif untuk menanggulangi kemiskinan. Siapa yang terlihat kreatif secara meyakinkan, akan diberi kesempatan oleh sejarah untuk menjadi pemimpin. Apakah oranh seperti itu ada?
Jawabannya tentu saja ada. Negara bertugas memberikan perlindungan lahir batin terhadap warganya. Program negara harus bergerak di atas semangat perlindungan dan kasih sayang. Karena itu, mesti ada pemimpin yang mengerti negara dan punya rasa perlindungan dan kasih sayang terhadap rakyatnya.
Jadi model-model kefakiran dan kemiskinan di Indonesia itu tidak boleh diperparah lagi dengan lemahnya institusi negara dan tidak pekanya perasaan kasih sayang pemimpin. Jika hal ini masih terjadi, maka kefakiran dan kemiskinan itu tidak hanya persoalan nasib, tetapi lebih jauh akibat dimiskinkan oleh negara dan pemimpinnya. Jadi rakyat-rakyat yang menderita sekarang ini adalah mereka-mereka yang termiskinkan.
Akhirnya, terma kemiskinan, negara dan kepemimpinan adalah persoalan kepekaan, kasih sayang dan perlindungan. Karena itu pemimpin yang dicari adalah pemimpin kreatif dan punya hati nurani. Hanya yang punya hati nurani yang bisa bicara dari hati ke hati dan mampu mendengar hati nurani rakyat [*]
Padang, 08 May 2008
12 September 2008
KERAJAAN MUGHAL DI INDIA: ASAL USUL, KEMAJUAN, KEMUNDURAN DAN KERUNTUHANNYA
Oleh Muhammad Nasir
A.PENDAHULUAN
Kerajaan Mughal merupakan salah satu warisan peradaban Islam di India. Keberadaan kerajaan ini telah menjadi motivasi kebangkitan baru bagi peradaban tua di anak benua India yang nyaris tenggelam. Sebagaimana diketahui, India adalah suatu wilayah tempat tumbuh dan berkembangnya peradaban Hindu. Dengan hadirnya Kerajaan Mughal, maka kejayaan India dengan peradaban Hindunya yang nyaris tenggelam, kembali muncul.
Di kalangan masyarakat Arab, India dikenali sebagai Sind atau Hind. Sebelum kedatangan Islam, India telah mempunyai hubungan perdagangan dengan masyarakat Arab. Pada saat Islam hadir, hubungan perdagangan antara India dan Arab masih diteruskan. Akhirnya India pun perlahan-lahan bersentuhan dengan agama Islam. India yang sebelumnya berperadaban Hindu, sekarang semakin kaya dengan peradaban yang dipengaruhi Islam. Oleh sebab itu menjadi penting untuk menulis secara ringkas eksistensi Kerajaan Mughal di India yang identik dengan Hindu.
Makalah ini selain menggambarkan secara ringkas bagian-bagian penting (highlights) tentang asal-usul, tumbuh, berkembang serta mundurnya peradaban yang dibina Kerajaan Mughal, juga mengulas faktor-faktor yang mendorong timbul hingga tenggelamnya kerajaan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengambil pelajaran, bagaimana membalikkan (reverse) gelombang peradaban di anak benua India tersebut. Mengenai hal ini Ibnu Khaldun berkata, "reversi tersebut tidak akan dapat tergambarkan tanpa menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.
Bagi yang ingin mengutip sebagai referensi silakan klik:
Jurnal Khazanah, Vol. 1, No.1, Januari-Juni 2009, Hal. 16-29
A.PENDAHULUAN
Jurnal Khazanah Vol.1 No.1, Januari-Juni 2009 |
Di kalangan masyarakat Arab, India dikenali sebagai Sind atau Hind. Sebelum kedatangan Islam, India telah mempunyai hubungan perdagangan dengan masyarakat Arab. Pada saat Islam hadir, hubungan perdagangan antara India dan Arab masih diteruskan. Akhirnya India pun perlahan-lahan bersentuhan dengan agama Islam. India yang sebelumnya berperadaban Hindu, sekarang semakin kaya dengan peradaban yang dipengaruhi Islam. Oleh sebab itu menjadi penting untuk menulis secara ringkas eksistensi Kerajaan Mughal di India yang identik dengan Hindu.
Makalah ini selain menggambarkan secara ringkas bagian-bagian penting (highlights) tentang asal-usul, tumbuh, berkembang serta mundurnya peradaban yang dibina Kerajaan Mughal, juga mengulas faktor-faktor yang mendorong timbul hingga tenggelamnya kerajaan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengambil pelajaran, bagaimana membalikkan (reverse) gelombang peradaban di anak benua India tersebut. Mengenai hal ini Ibnu Khaldun berkata, "reversi tersebut tidak akan dapat tergambarkan tanpa menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.
Bagi yang ingin mengutip sebagai referensi silakan klik:
Jurnal Khazanah, Vol. 1, No.1, Januari-Juni 2009, Hal. 16-29
11 September 2008
I’JAZ AL QUR’AN
Oleh Muhammad Nasir
A.Pendahuluan
Setiap nabi yang diutus oleh Allah SWT kepada suatu kaum selalu mendapat tantangan (challenge) dari kaum tersebut. Tantangan yang paling umum dihadapi oleh para nabi adalah pengingkaran terhadap status kenabian dan kerasulannya. Hampir semua nabi dan rasul diminta oleh kaumnya untuk menunjukkan tanda-tanda kenabian dan kerasulannya.
Setiap tantangan tentu membutuhkan jawaban. Dalam sejarah para nabi ditemukan bahwa di antara jawaban yang diberikan Allah melalui nabi dan rasul-Nya adalah mu’jizat. Mu’jizat ini lazim dijadikan pertanda kenabian dan kerasulannya.
Dalam teori Challenge and Response, Arnold J. Toynbee (1889-1975) menyatakan, semakin kuat tantangan (Challenge) yang dihadapi akan semakin dibutuhkan besarnya tanggapan (Response) untuk mengatasinya. Tanggapan yang memadai bahkan berlebih akan membuat sesuatu bebas dari tantangannya. Jika diikuti alur pikir sejarawan Kristiani tersebut, maka pada umumnya nabi-nabi terdahulu berhasil melewati tantangan kaum pengingkarnya melalui sebuah kekuatan yang melemahkan tantangan tersebut yaitu mukjizat yang dianugerahkan Allah.
Makalah berjudul I’jaz al Qur’an ini menggambarkan secara ringkas segala sesuatu yang berkaitan dengan keistimewaan, kekuatan dan keagungan al Qur’an dalam melemahkan orang-orang yang menentangnya.
Agar lebih terarah, makalah ini dibatasi pada pembahasan kemu’jizatan al Qur’an, yang meliputi 1) Pengertian I’jaz al Qur’an, 2) Segi kemukjizatan, 3) Macam-macam mukjizat, 4) Peranan I’jaz al Qur’an dalam memahami/ menafsirkan al Qur’an
B.Pengertian
1.Mukjizat
Mukjizat secara etimologi diderivasi dari kata I’jaz yang berarti lemah atau tidak mampu. I’jaz merupakan mashdar (abstract noun) dari kata a’jaza yang berarti berbeda dan mengungguli. Mukjizat dalam istilah (terma) para ulama adalah suatu hal yang luar biasa yang disertai tantangan dan tidak dapat ditandingi.
Dengan makna yang sama, Quraish Shihab menjabarkan mukjizat sebagai istilah yang terambil dari kata أعجز yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya yang melemahkan disebut mu’jiz dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka ia dinamakan معجزة. Tambahan ta’ marbuthah (ة) pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif). Menurut Subhi al Shalih dan Muhammad Ali Ash Shabuni, I’jaz berarti lemah atau tidak mampu kepada yang lain. Ahmad von Denffer mengartikan I’jaz sebagai “yang melemahkan, yang meniadakan kekuatan, yang tak tertirukan, yang mustahil”.
Sebagaimana telah disebut pada pendahuluan, terma mukjizat biasanya ditemukan dalam kisah para nabi sebagai sebuah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka untuk membuktikan kenabiannya dan mengalahkan para pengingkarnya. Biasanya anugerah itu menyangkut peristiwa yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain di masa itu. Oleh sebab itu sangat umum dikenal pengertian mukjizat sebagaimana didefinisikan Manna’ al Qaththan dengan;
والمعجزة: أمر خارق للعادة مقرون بالتحدي سالم عن المعارضة
Mukjizat: Suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, serta tidak akan dapat ditandingi,
atau defenisi dari Quraish Shihab:
“suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu”
Mukjizat sebagai kejadian luar biasa tidak dapat terjadi pada sembarang orang. Secara historis, mukjizat selalu menemukan momentnya sendiri berdasarkan kehendak Allah SWT. Quraish Shihab mengemukakan beberapa unsur yang menyertai mukjizat, yaitu:
1.Hal atau peristiwa yang luar biasa;
2.terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi;
3.mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian;
4.tantangan itu tidak mampu atau gagal dilayani.
Menurut Muhammad Ali Ash Shabuni mukjizat ada dua macam. pertama mukjizat yang bersifat materialistis-realistis, kedua mukjizat yang bersifat spiritual-realistik Al Suyuthy juga membagi mukjizat kepada dua kelompok yaitu mukjizat hissiyah dan mikjizat aqliyyah. Mukjizat hissiyah berarti yang bisa ditangkap oleh panca indera manusia, mukjizat aqliyyah adalah mukjizat yang hanya bisa ditangkap oleh nalar manusia.
Kedua macam mukjizat ini diberikan kepada Nabi Muhammad, dan al Qur’an sendiri mengandung kedua bentuk mukjizat itu. Bahkan mukjizat ma’nawy (aqly) lebih besar porsinya disbanding mukjizat hissi. Quraish Shihab dengan menggunakan istilah yang berbeda juga membagi dua, pertama mukjizat yang bersifat material indrawi dan tidak kekal, kedua mukjizat immaterial logis dan dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat dalam bentuk yang pertama terjadi pada era kenabian sebelum Muhammad SAW, berlaku pada masa itu saja dan menyangkut hal-hal yang dapat dibuktikan panca indera. Mukjizat dalam bentuk yang kedua adalah pada masa Nabi Muhammad SAW, berlaku sampai akhir zaman.
2.I’jaz al Qur’an
Berdasarkan definisi teknis di atas dalam konteks kemukjizatan al Qur’an, I’jaz al Qur’an berarti mukjizat (bukti kebenaran) yang dimiliki atau yang terdapat dalam al-Quran. Atau dengan memakai istilah lainnya dengan menjadikan al Qur’an sebagai sebuah mukjizat, maka mukjizat al Qur’an berarti pemberitaan al Qur’an tentang kekuatan dan kebenaran dirinya yang tidak dapat ditandingi oleh manusia. Dengan kekuatan dan keistimewaan al Qur’an manusia bahkan cenderung membenarkan dan mengakui apa yang diinformasikan oleh al Qur’an. Dari segi ilmu pengetahuan, misalnya Abdul Majid bin Aziz al Zindani mengartikannya dengan pengakuan dan pembuktian ilmu eksperimental terhadap informasi ilmiah yang dimuat dalam al Qur’an. Ketidaktertandingi dan ketidaktertiruan al Qur’an inilah yang disebut dengan I’jaz al Qur’an atau keajaiban al Qur’an.
Membahas I’jaz al Qur’an adalah memaparkan lebih lanjut segala aspek yang berkaitan dengan keutamaan, kesempurnaan, ketinggian, kebenaran, keajaiban al Qur’an serta segenap sifat-sifat superioritasnya sehingga al Qur’an terbukti sebagai mukjizat yang dapat melemahkan seluruh penantangnya. Dalam situasi tertentu, al Quran juga sering menantang para penentang nabi untuk membuktikan kemampuan mereka. Al Qur’an dengan keagungan dan keindahan gaya bahasanya menyatakan bahwa manusia tidak akan dapat menandinginya.
Kaum Muslim menerima wahyu dengan sepenuh hati. Mereka memandang Al Quran suci dari Allah, baik kandungan maknanya maupun bahasa dan bentuknya. Bukti bahwa Al Quran adalah firman Tuhan berada pada Al Quran sendiri, yakni antara lain terletak pada keindahan teksnya yang tidak dapat ditiru dan tidak tertandingi sehingga merupakan mukjizat. Karena itu, Al Quran bukan karya manusia, melainkan karya Tuhan. Watak Al Quran yang demikian ini disebut I'jâz .
Beberapa pengertian di atas sangat sesuai dengan pengertian al Qur’an sebagai kitab suci yang mengandung mukjizat terbesar sepanjang masa. Salah satunya defenisi yang dikemukakan Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah:
كلام الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم المعجز المتعبد بتلاوته المنقول بالتواتر المكتوب في المصاحف من أول سورة الفاتحة إلى أخر سورة الناس
Artinya: (Al Qur’an) adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad SAW yang lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, diturunkan secara mutawatir, dan ditulis pada mushaf-mushaf mulai dari surat al Fatihah sampai akhir surat al Nas
C.Aspek Kemu’jizatan al Qur’an
Pada umumnya ulama, pengarang dan buku-buku yang berkaitan dengan I’jaz al Qur’an mengemukakan banyak sekali kemukjizatan yang dikandung oleh al Qur’an. Al Qurthuby (w. 256 H/ 1258 M) mengemukakan sepuluh aspek kemukjizatan al Qur’an, yaitu:
1.Aspek bahasanya yang melampaui seluruh cabang bahasa Arab.
2.Gaya bahasanya yang melampaui keindahan gaya bahasa Arab pada umumnya.
3.Keutuhannya yang tidak tertandingi
4.Aspek peraturannya yang tidak terlampaui.
5.Penjelasannya tentang hal-hal yang ghaib hanya dapat ditelusuri lewat wahyu semata.
6.Tidak ada hal yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan (science).
7.Memenuhi seluruh janjinya, baik tentang limpahan rahmat atau ancaman.
8.Pengetahuan yang dikandungnya.
9.Memenuhi keperluan dasar manusia.
10.Pengaruh terhadap qalbu manusia.
Sementara al Baqilani (w. 403 H/ 1013 M) dalam kitabnya I’jazat al Qur’an mengemukakan tiga aspek yaitu tentang 1) ke ummy-an Nabi SAW sebagai pengemban wahyu, 2) berita tentang hal yang ghaib, dan 3) tidak adanya kontradiksi dalam al Qur’an. Rusydi AM mengemukakan bahwa kemukjizatan al Qur’an terletak pada segi fashahah dan balaghah-nya, susunan dan gaya bahasanya, serta isinya yang tiada bandingannya.
Manna al Qaththan mengemukakan tiga pendapat tentang kadar kemukjizatan al Qur’an yaitu:
b.Mu’tazilah menyatakan keseluruhan al Qur’an merupakan mukjizat, bukan sebagian atau beberapa bagian saja.
c.Sebagian ulama lainnya berpendapat kemukjizatan al qur’an terletak pada sebagian kecil atau sebagian besar al Qur’an, tanpa terkait surat. Pendapat ini didasari firman Allah surat at Thur ayat 34 “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.”
d.Ulama lainnya berpendapat kemukjizatan cukup dengan satu surat lengkap, sekalipun hanya surat pendek. Atau dengan satu atau beberapa ayat.
Setelah melalui penelitian yang cermat, akhirnya Manna al Qaththan memutuskan kadar kemukjizatan al Qur’an itu mencakup tiga Aspek yaitu, aspek bahasa, aspek ilmiah dan aspek tasyri’ (penetapan hukum).
Penulis yakin, bahwa setiap pembahasan tentu akan menentukan topiknya sendiri dan menentukan fokus kajian sesuai dengan minat dan temuannya masing-masing. Berdasarkan asumsi inilah penulis mencoba (bereksperimen, mudah-mudahan tidak meleset!) membahas beberapa segi kemukjizatan al Qur’an sebagai bentuk ringkasan dari beberapa pendapat di atas terutama pendapat al Qaththan yang akn penulis kembangkan dan elaborasi lebih jauh.. Hal yang akan dibahas adalah sebagai berikut:.
1.Kefasihan dan Keindahan Bahasa Al-Qur'an
a.Kefasihan dan balaghah Al Qur’an.
Untuk menyampaikan maksud dan tujuan dalam setiap masalah, Allah swt. menggunakan kata dan kalimat yang paling lembut, indah, ringan, serasi, dan kokoh. Beberapa riwayat menuliskan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi mendengarkan ayat-ayat al Qur’an yang dibaca oleh kaum muslimin.
b.Kefasihan dan balaghah Al Qur’an mempercepat tersebar Islam
Keistimewaan orang-orang Arab yang paling menonjol pada masa diturunkannya Al-Qur'an ialah ilmu Balaghah dan sastra. Puncak kemahiran mereka pada masa itu tampak ketika mereka mengadakan pemilihan bait-bait kasidah dan syair – setelah diadakan penelitian dan penilaian– yang merupakan kegiatan seni dan sastra yang paling besar. Dalam hal ini, Philip K. Hitti berkomentar, “Keberhasilan penyebaran Islam di antaranya didukung oleh keluasan bahasa Arab.
2.Dari segi Isi
a.Penuh dengan Muatan Ilmiah.
Al Qur’an diturunkan dalam rentang waktu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Dalam jangka waktu yang sedikit itu al Qur’an dapat disebut sebagai gudang ilmu terbesar sepanjang masa. Banyak sekah isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)" (perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan "ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini.
Al-Qur'an mencakup berbagai pengetahuan, hukum-hukum dan syariat, baik yang bersifat personal maupun sosial. Untuk mengkaji secara mendalam setiap cabang ilmu tersebut memerlukan kelompok-kelompok yang terdiri dari para ahli di bidangnya masing-masing, keseriusan yang tinggi dan masa yang lama agar dapat diungkap secara bertahap sebagian rahasianya, dan agar hakikat kebenarannya bisa digali lebih banyak, meski hal itu tidak mudah, kecuali bagi orang-orang yang betul-betul memiliki ilmu pengetahuan, bantuan dan inayah khusus dari Allah swt.
Kesimpulannya, barangkali kita berasumsi –tentu mustahil– bahwa ratusan kelompok yang terdiri dari para ilmuan yang ahli di bidangnya masing-masing bekerja sama dan saling membantu itu mampu membuat kitab yang serupa dengan Al-Qur'an.
b.Kesempurnaan Syari’at dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an secara mutlak telah diakui oleh umat Islam sebagai pedoman dalam kehidupan. Pengakuan ini didasarkan pada kelengkapan pesan-pesan dan prinsip-prinsip dasar dalam menyelenggarakan kehidupan. Hal itulah yang kemudian dieksplorasi oleh ulama, akademisi dan umat Islam untuk kemudian dijadikan sumber dalam menetapkan pelbagai cara penyelenggaraan kehidupan (Syari’at). Allah telah menjamin dan menyebutkan;
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
Artinya: dan Kami turunkan kepadamu al Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu (Q.S. Al Nahl 89)
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
Artinya: Tidaklah Kami lupakan sesuatupun di dalam al Qur’an (Q.S. Al An’am 38)
Kesempurnaan syari’at dalam al Qur’an terletak pada universalitas hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Al Qur’an tidak mengajarkan hukum secara rinci dan parsial sebagaimana diterapkan Allah pada umat-umat terdahulu. Tujuannya adalah agar syari’at yang dikandung al-Qur’an berlaku universal, tak terbatas dimensi spatial tempat), temporal (waktu) dan topical (kasus/peristiwa).
Dengan demikian, merujuk pendapat Syekh Muhammad Ali al Sayis, kaidah (prinsip) syari’at Islam dalam al Qur’an tetap valid dan tidak perlu ada penghapusan (naskh) dan tidak perlu terkena agenda perubahan prinsip.
c.Pemberitaan Ghaib
Suatu yang tidak ditemukan dan tertandingi pada zamannya hingga sekarang adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Saat ini belum ditemukan futurolog yang dapat memprediksi masa depan dengan baik. Buku-buku seperti Megatrend 2000 (Patricia Aburdene), The Clash of Civilization (Samuel P. Huntington) dan The End of History (Francis Fukuyama) –pun salah memprediksi masa kini yang ia lakukan kurang lebih 10-20 tahun yang lalu.
Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut." Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan yang pernah mengejar Nabi Musa A.S. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran. Setiap orang yang pernah berkunjung ke Museum Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut.
d.Konsistensi Kandungan Al Qur’an
Al-Qur'an diturunkan selama 23 tahun masa kenabian Muhammad SAW., yaitu masa-masa yang penuh dengan berbagai tantangan, ujian dan berbagai peristiwa yang pahit maupun yang manis. Akan tetapi, semua itu sama sekali tidak mempengaruhi konsistensi dan kepaduan kandungan Al-Qur'an serta keindahan susunan katanya. Kepaduan dan ketiadaan ketimpangan dari sisi bentuk dan kandungannya merupakan unsur lain dari kemukjizatan Al-Qur'an. Allah swt. berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا(82)
Artinya: "Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur'an. Seandainya Al-Qur'an itu datang dari selain Allah, pasti mereka akan menemukan banyak pertentangan". (Qs. An Nisa: 82)
Penjelasan minimalnya, setiap manusia menghadapi dua perubahan. Pertama, pengetahuan dan pengalamannya itu akan bertambah dan berkembang. Semakin bertambah dan berkembangnya pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan kemampuannya, akan semakin mempengaruhi ucapan dan perkataannya. Sudah sewajarnya akan terjadi perbedaan yang jelas di antara ucapan-ucapannya itu sepanjang masa dua puluh tahun.
Kedua, berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang akan berdampak pada berbagai kondisi jiwa, emosi dan sensitifitasnya seperti: putus asa, harapan, gembira, sedih, gelisah dan tenang. Perbedaan kondisi-kondisi tersebut berpengaruh besar dalam cara pikir seseorang, baik pada ucapannya maupun pada perbuatannya. Dan, dengan banyak dan luasnya perubahan tersebut, maka ucapannya pun akan mengalami perbedaan yang besar. Pada hakikatnya, terjadinya berbagai perubahan pada ucapan seseorang itu tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi pada jiwanya. Dan hal itu pada gilirannya tunduk pula kepada perubahan kondisi lingkungan dan sosialnya.
Kalau kita berasumsi bahwa Al-Qur'an itu ciptaan pribadi Nabi saw. sebagai manusia yang takluk kepada perubahan-perubahan tersebut, maka –dengan memperhatikan berbagai perubahan kondisi yang drastis dalam kehidupan beliau– akan tampak banyaknya kontradiksi dan ketimpangan di dalam bentuk dan kandungannya. Nyatanya, kita saksikan bahwa Al-Qur'an tidak mengalami kontradiksi dan ketimpangan itu.
Maka itu, kepaduan, konsistensi dan ketiadaan kontradiksi di dalam kandungan Al-Qur'an serta ihwal kemukjizatannya ini merupakan bukti lain bahwa kitab tersebut datang dari sumber ilmu yang tetap dan tidak terbatas, yakni Allah Yang kuasa atas alam semesta, dan tidak tunduk pada fenomena alam dan perubahan yang beraneka ragam.
3.Dari segi Ke- ummy-an Muhammad SAW
Terangkumnya semua ilmu pengetahuan dan hakikat di dalam sebuah kitab seperti ini mengungguli kemampuan manusia biasa. Akan tetapi yang lebih mengagumkan dan menakjubkan adalah bahwa kitab agung ini diturunkan kepada seorang manusia yang tidak pernah belajar dan mengenyam pendidikan sama sekali sepanjang hidupnya, serta tidak pernah - memegang pena dan kertas. Ia hidup dan tumbuh besar di sebuah lingkungan yang jauh dari kemajuan dan peradaban.
Yang lebih mengagumkan lagi, selama 40 tahun sebelum diutus menjadi nabi, Muhammad SAW tidak pernah terdengar ucapan mukjizat semacam itu. Sedangkan ayat-ayat Al-Qur'an dan wahyu Ilahi yang beliau sampaikan pada masa-masa kenabiannya memiliki metode dan susunan kata yang khas dan berbeda sama sekali dari seluruh perkataan dan ucapan pribadinya. Perbedaan yang jelas antara kitab tersebut dengan seluruh ucapan beliau dapat disentuh dan disaksikan oleh seluruh masyarakat dan umatnya. Sekaitan dengan ini, Allah swt. berfirman:
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ(48)
Artinya: "Dan kamu tidak pernah membaca sebelum satu bukupun dan kamu tidak pernah menulis satu buku dengan tanganmu. Karena -jika kamu pernah membaca dan menulis- maka para pengingkar itu betul-betul akan merasa ragu (terhadap Al-Qur'an)". (Qs. Al Ankabut: 48).
Tidak mungkin bagi satu orang yang ummi (tidak belajar baca-tulis sama sekali) mampu melakukan hal tersebut. Dengan demikian, kedatangan Al-Qur'an dengan segenap keistimewaan dan keunggulannya dari seorang yang ummi merupakan unsur lain dari kemukjizatan kitab suci itu.
D.Peranannya dalam memahami al Qur’an dan Penyampaian Risalah
Kemukjizatan al Qur’an sangat penting untuk memahami atau menafsirkan al Qur’an. Peran terpentingnya terletak pada status dan kapasitasnya sebagai mukjizat. karena itu sikap yang perlu ditanamkan bagi orang yang bermaksud memahami dan menafirkan al Qur’an adalah Pertama, berhati-hati terhadap tindakan tidak senonoh atau melecehkan al Qur’an. Kedua, menasirkan al Qur’an merupakan lahan ijtihadi. Kebenaran mutlak terletak pada lafadz dan makna hakiki yang dibawanya. Maka hasil penafsiran yang relative benar tidak dapat mengalahkan makna hakiki al Qur’an.
Berkaitan dengan penyampaian risalah, Pertama, Al Qur’an berfungsi menjawab tantangan yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW pada masa kenabiannya. Tantangan itu tidak hanya datang pada masa kenabiannya. Hingga sekarang tidak sedikit orang yang meragukan keaslian al Qur’an. Kedua, kemukjizatan al Qur’an berfungsi melemahkan para penantang risalah kenabian. Ketiga, Kemukjizatan Al Qur’an menjadi bukti kerasulan Muhammad SAW dan ajaran yang dibawanya.
E.Penutup
Sejak diturunkan hingga sekarang selalu mendapat tantangan dan menjadi bahan yang tidak kering dibahas manusia, baik muslim ataupun kafir. Jika tantangan yang dihadapi oleh nabi-nabi terdahulu dianggap telah selesai dengan kehadiran nabi terkhir Muhammad SAW, maka dalam statusnya sebagai kitab suci terakhir dari bagi umat terakhir (Islam), maka al Qur’an akan senantiasa mendapat tantangan. Akan tetapi al Qur’an dengan watak mukjizatnya akan selalu eksis dalam menjawab seluruh tantangan.
Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah: "Setiap rasul selalu dikaruniai kemukjizatan, sehingga karenanya ummatnya akan mempercayainya. Tetapi mukjizat yang diturunkan Allah padaku adalah wahyu ilahi yang akan menjadikan jumlah pengikutku akan melampaui pengikut para rasul lainnya kelak di hari kiamat".
Wallahu a’lam bi al Shawab (Mei2007/R. Akhir 1428H)
DAFTAR Bacaan
Al Qur’an al Karim
Ali, K., Sejarah Islam, Tarikh Pra Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
AM, Rusydi, Ulum al Qur’an I, Padang, IAIN IB Press, 1999
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006
Beik, Khudhari, Tarikh al Tasyri’ al Islami, terj. Mohammad Zuhri Bandung: Rajamurah al Qana’ah, 1980
Denffer, Ahmad von, Ilmu Al Qur’an: Pengenalan Dasar. Diterjemahkan dari buku asli berjudul Ulum Al Qur’an: An Introduction to the Science of Al Qur’an oleh A. Nashir Budiman Jakarta: Rajawali Pers, 1988
Hitti, Philip K., History of the Arabs, London: Macmillan, 1970
al Qaththan, Manna’, Mabahis fi Ulum al Qur’an, ttp.: Mansyurat al ‘Ashr al Hadis, 1973
Nawfal, Abdurrazaq, Al-Ijaz Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim, http://van.9f.com, diakses 22/04/2007 13:54:10
Sarbini, P. Peter B., SVD Jurnal Aditya Wacana, Januari-Juli 2002
al Sayis, Syekh Muhammad Ali, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: AKAPress, 1996
al Shalih, Subhi, Mabahis fi Ulum al Qur’an, Beirut: Dar al Ilm Li al Malayin, 1988
Al Shabuni, Muhammad Ali, Pengantar Ilmu-ilmu al Qur’an, alih bahasa Saiful Islam, Surabaya: al Ikhlas, 1983
Shihab, M. Quraish dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
-------------------------, Kemu’jizatan al Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, Jakarta: Mizan, 1998
-------------------------, Membumikan al Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Toynbee,A.J., A Study of History Vol XII: Reconsiderations Oxford University Press 1961
al Zindani, Abd. Majid bin Aziz, Mukjizat Ilmiah dalam Al Qur’an dan Al Sunnah, artikel dalam Mukjizat Al Qur’an dan Al Sunnah tentang IPTEK, Jakarta: Gema Insani Press
A.Pendahuluan
Setiap nabi yang diutus oleh Allah SWT kepada suatu kaum selalu mendapat tantangan (challenge) dari kaum tersebut. Tantangan yang paling umum dihadapi oleh para nabi adalah pengingkaran terhadap status kenabian dan kerasulannya. Hampir semua nabi dan rasul diminta oleh kaumnya untuk menunjukkan tanda-tanda kenabian dan kerasulannya.
Setiap tantangan tentu membutuhkan jawaban. Dalam sejarah para nabi ditemukan bahwa di antara jawaban yang diberikan Allah melalui nabi dan rasul-Nya adalah mu’jizat. Mu’jizat ini lazim dijadikan pertanda kenabian dan kerasulannya.
Dalam teori Challenge and Response, Arnold J. Toynbee (1889-1975) menyatakan, semakin kuat tantangan (Challenge) yang dihadapi akan semakin dibutuhkan besarnya tanggapan (Response) untuk mengatasinya. Tanggapan yang memadai bahkan berlebih akan membuat sesuatu bebas dari tantangannya. Jika diikuti alur pikir sejarawan Kristiani tersebut, maka pada umumnya nabi-nabi terdahulu berhasil melewati tantangan kaum pengingkarnya melalui sebuah kekuatan yang melemahkan tantangan tersebut yaitu mukjizat yang dianugerahkan Allah.
Makalah berjudul I’jaz al Qur’an ini menggambarkan secara ringkas segala sesuatu yang berkaitan dengan keistimewaan, kekuatan dan keagungan al Qur’an dalam melemahkan orang-orang yang menentangnya.
Agar lebih terarah, makalah ini dibatasi pada pembahasan kemu’jizatan al Qur’an, yang meliputi 1) Pengertian I’jaz al Qur’an, 2) Segi kemukjizatan, 3) Macam-macam mukjizat, 4) Peranan I’jaz al Qur’an dalam memahami/ menafsirkan al Qur’an
B.Pengertian
1.Mukjizat
Mukjizat secara etimologi diderivasi dari kata I’jaz yang berarti lemah atau tidak mampu. I’jaz merupakan mashdar (abstract noun) dari kata a’jaza yang berarti berbeda dan mengungguli. Mukjizat dalam istilah (terma) para ulama adalah suatu hal yang luar biasa yang disertai tantangan dan tidak dapat ditandingi.
Dengan makna yang sama, Quraish Shihab menjabarkan mukjizat sebagai istilah yang terambil dari kata أعجز yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya yang melemahkan disebut mu’jiz dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka ia dinamakan معجزة. Tambahan ta’ marbuthah (ة) pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif). Menurut Subhi al Shalih dan Muhammad Ali Ash Shabuni, I’jaz berarti lemah atau tidak mampu kepada yang lain. Ahmad von Denffer mengartikan I’jaz sebagai “yang melemahkan, yang meniadakan kekuatan, yang tak tertirukan, yang mustahil”.
Sebagaimana telah disebut pada pendahuluan, terma mukjizat biasanya ditemukan dalam kisah para nabi sebagai sebuah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka untuk membuktikan kenabiannya dan mengalahkan para pengingkarnya. Biasanya anugerah itu menyangkut peristiwa yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain di masa itu. Oleh sebab itu sangat umum dikenal pengertian mukjizat sebagaimana didefinisikan Manna’ al Qaththan dengan;
والمعجزة: أمر خارق للعادة مقرون بالتحدي سالم عن المعارضة
Mukjizat: Suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, serta tidak akan dapat ditandingi,
atau defenisi dari Quraish Shihab:
“suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu”
Mukjizat sebagai kejadian luar biasa tidak dapat terjadi pada sembarang orang. Secara historis, mukjizat selalu menemukan momentnya sendiri berdasarkan kehendak Allah SWT. Quraish Shihab mengemukakan beberapa unsur yang menyertai mukjizat, yaitu:
1.Hal atau peristiwa yang luar biasa;
2.terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi;
3.mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian;
4.tantangan itu tidak mampu atau gagal dilayani.
Menurut Muhammad Ali Ash Shabuni mukjizat ada dua macam. pertama mukjizat yang bersifat materialistis-realistis, kedua mukjizat yang bersifat spiritual-realistik Al Suyuthy juga membagi mukjizat kepada dua kelompok yaitu mukjizat hissiyah dan mikjizat aqliyyah. Mukjizat hissiyah berarti yang bisa ditangkap oleh panca indera manusia, mukjizat aqliyyah adalah mukjizat yang hanya bisa ditangkap oleh nalar manusia.
Kedua macam mukjizat ini diberikan kepada Nabi Muhammad, dan al Qur’an sendiri mengandung kedua bentuk mukjizat itu. Bahkan mukjizat ma’nawy (aqly) lebih besar porsinya disbanding mukjizat hissi. Quraish Shihab dengan menggunakan istilah yang berbeda juga membagi dua, pertama mukjizat yang bersifat material indrawi dan tidak kekal, kedua mukjizat immaterial logis dan dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat dalam bentuk yang pertama terjadi pada era kenabian sebelum Muhammad SAW, berlaku pada masa itu saja dan menyangkut hal-hal yang dapat dibuktikan panca indera. Mukjizat dalam bentuk yang kedua adalah pada masa Nabi Muhammad SAW, berlaku sampai akhir zaman.
2.I’jaz al Qur’an
Berdasarkan definisi teknis di atas dalam konteks kemukjizatan al Qur’an, I’jaz al Qur’an berarti mukjizat (bukti kebenaran) yang dimiliki atau yang terdapat dalam al-Quran. Atau dengan memakai istilah lainnya dengan menjadikan al Qur’an sebagai sebuah mukjizat, maka mukjizat al Qur’an berarti pemberitaan al Qur’an tentang kekuatan dan kebenaran dirinya yang tidak dapat ditandingi oleh manusia. Dengan kekuatan dan keistimewaan al Qur’an manusia bahkan cenderung membenarkan dan mengakui apa yang diinformasikan oleh al Qur’an. Dari segi ilmu pengetahuan, misalnya Abdul Majid bin Aziz al Zindani mengartikannya dengan pengakuan dan pembuktian ilmu eksperimental terhadap informasi ilmiah yang dimuat dalam al Qur’an. Ketidaktertandingi dan ketidaktertiruan al Qur’an inilah yang disebut dengan I’jaz al Qur’an atau keajaiban al Qur’an.
Membahas I’jaz al Qur’an adalah memaparkan lebih lanjut segala aspek yang berkaitan dengan keutamaan, kesempurnaan, ketinggian, kebenaran, keajaiban al Qur’an serta segenap sifat-sifat superioritasnya sehingga al Qur’an terbukti sebagai mukjizat yang dapat melemahkan seluruh penantangnya. Dalam situasi tertentu, al Quran juga sering menantang para penentang nabi untuk membuktikan kemampuan mereka. Al Qur’an dengan keagungan dan keindahan gaya bahasanya menyatakan bahwa manusia tidak akan dapat menandinginya.
Kaum Muslim menerima wahyu dengan sepenuh hati. Mereka memandang Al Quran suci dari Allah, baik kandungan maknanya maupun bahasa dan bentuknya. Bukti bahwa Al Quran adalah firman Tuhan berada pada Al Quran sendiri, yakni antara lain terletak pada keindahan teksnya yang tidak dapat ditiru dan tidak tertandingi sehingga merupakan mukjizat. Karena itu, Al Quran bukan karya manusia, melainkan karya Tuhan. Watak Al Quran yang demikian ini disebut I'jâz .
Beberapa pengertian di atas sangat sesuai dengan pengertian al Qur’an sebagai kitab suci yang mengandung mukjizat terbesar sepanjang masa. Salah satunya defenisi yang dikemukakan Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah:
كلام الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم المعجز المتعبد بتلاوته المنقول بالتواتر المكتوب في المصاحف من أول سورة الفاتحة إلى أخر سورة الناس
Artinya: (Al Qur’an) adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad SAW yang lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, diturunkan secara mutawatir, dan ditulis pada mushaf-mushaf mulai dari surat al Fatihah sampai akhir surat al Nas
C.Aspek Kemu’jizatan al Qur’an
Pada umumnya ulama, pengarang dan buku-buku yang berkaitan dengan I’jaz al Qur’an mengemukakan banyak sekali kemukjizatan yang dikandung oleh al Qur’an. Al Qurthuby (w. 256 H/ 1258 M) mengemukakan sepuluh aspek kemukjizatan al Qur’an, yaitu:
1.Aspek bahasanya yang melampaui seluruh cabang bahasa Arab.
2.Gaya bahasanya yang melampaui keindahan gaya bahasa Arab pada umumnya.
3.Keutuhannya yang tidak tertandingi
4.Aspek peraturannya yang tidak terlampaui.
5.Penjelasannya tentang hal-hal yang ghaib hanya dapat ditelusuri lewat wahyu semata.
6.Tidak ada hal yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan (science).
7.Memenuhi seluruh janjinya, baik tentang limpahan rahmat atau ancaman.
8.Pengetahuan yang dikandungnya.
9.Memenuhi keperluan dasar manusia.
10.Pengaruh terhadap qalbu manusia.
Sementara al Baqilani (w. 403 H/ 1013 M) dalam kitabnya I’jazat al Qur’an mengemukakan tiga aspek yaitu tentang 1) ke ummy-an Nabi SAW sebagai pengemban wahyu, 2) berita tentang hal yang ghaib, dan 3) tidak adanya kontradiksi dalam al Qur’an. Rusydi AM mengemukakan bahwa kemukjizatan al Qur’an terletak pada segi fashahah dan balaghah-nya, susunan dan gaya bahasanya, serta isinya yang tiada bandingannya.
Manna al Qaththan mengemukakan tiga pendapat tentang kadar kemukjizatan al Qur’an yaitu:
b.Mu’tazilah menyatakan keseluruhan al Qur’an merupakan mukjizat, bukan sebagian atau beberapa bagian saja.
c.Sebagian ulama lainnya berpendapat kemukjizatan al qur’an terletak pada sebagian kecil atau sebagian besar al Qur’an, tanpa terkait surat. Pendapat ini didasari firman Allah surat at Thur ayat 34 “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.”
d.Ulama lainnya berpendapat kemukjizatan cukup dengan satu surat lengkap, sekalipun hanya surat pendek. Atau dengan satu atau beberapa ayat.
Setelah melalui penelitian yang cermat, akhirnya Manna al Qaththan memutuskan kadar kemukjizatan al Qur’an itu mencakup tiga Aspek yaitu, aspek bahasa, aspek ilmiah dan aspek tasyri’ (penetapan hukum).
Penulis yakin, bahwa setiap pembahasan tentu akan menentukan topiknya sendiri dan menentukan fokus kajian sesuai dengan minat dan temuannya masing-masing. Berdasarkan asumsi inilah penulis mencoba (bereksperimen, mudah-mudahan tidak meleset!) membahas beberapa segi kemukjizatan al Qur’an sebagai bentuk ringkasan dari beberapa pendapat di atas terutama pendapat al Qaththan yang akn penulis kembangkan dan elaborasi lebih jauh.. Hal yang akan dibahas adalah sebagai berikut:.
1.Kefasihan dan Keindahan Bahasa Al-Qur'an
a.Kefasihan dan balaghah Al Qur’an.
Untuk menyampaikan maksud dan tujuan dalam setiap masalah, Allah swt. menggunakan kata dan kalimat yang paling lembut, indah, ringan, serasi, dan kokoh. Beberapa riwayat menuliskan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi mendengarkan ayat-ayat al Qur’an yang dibaca oleh kaum muslimin.
b.Kefasihan dan balaghah Al Qur’an mempercepat tersebar Islam
Keistimewaan orang-orang Arab yang paling menonjol pada masa diturunkannya Al-Qur'an ialah ilmu Balaghah dan sastra. Puncak kemahiran mereka pada masa itu tampak ketika mereka mengadakan pemilihan bait-bait kasidah dan syair – setelah diadakan penelitian dan penilaian– yang merupakan kegiatan seni dan sastra yang paling besar. Dalam hal ini, Philip K. Hitti berkomentar, “Keberhasilan penyebaran Islam di antaranya didukung oleh keluasan bahasa Arab.
2.Dari segi Isi
a.Penuh dengan Muatan Ilmiah.
Al Qur’an diturunkan dalam rentang waktu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Dalam jangka waktu yang sedikit itu al Qur’an dapat disebut sebagai gudang ilmu terbesar sepanjang masa. Banyak sekah isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)" (perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan "ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini.
Al-Qur'an mencakup berbagai pengetahuan, hukum-hukum dan syariat, baik yang bersifat personal maupun sosial. Untuk mengkaji secara mendalam setiap cabang ilmu tersebut memerlukan kelompok-kelompok yang terdiri dari para ahli di bidangnya masing-masing, keseriusan yang tinggi dan masa yang lama agar dapat diungkap secara bertahap sebagian rahasianya, dan agar hakikat kebenarannya bisa digali lebih banyak, meski hal itu tidak mudah, kecuali bagi orang-orang yang betul-betul memiliki ilmu pengetahuan, bantuan dan inayah khusus dari Allah swt.
Kesimpulannya, barangkali kita berasumsi –tentu mustahil– bahwa ratusan kelompok yang terdiri dari para ilmuan yang ahli di bidangnya masing-masing bekerja sama dan saling membantu itu mampu membuat kitab yang serupa dengan Al-Qur'an.
b.Kesempurnaan Syari’at dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an secara mutlak telah diakui oleh umat Islam sebagai pedoman dalam kehidupan. Pengakuan ini didasarkan pada kelengkapan pesan-pesan dan prinsip-prinsip dasar dalam menyelenggarakan kehidupan. Hal itulah yang kemudian dieksplorasi oleh ulama, akademisi dan umat Islam untuk kemudian dijadikan sumber dalam menetapkan pelbagai cara penyelenggaraan kehidupan (Syari’at). Allah telah menjamin dan menyebutkan;
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
Artinya: dan Kami turunkan kepadamu al Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu (Q.S. Al Nahl 89)
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
Artinya: Tidaklah Kami lupakan sesuatupun di dalam al Qur’an (Q.S. Al An’am 38)
Kesempurnaan syari’at dalam al Qur’an terletak pada universalitas hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Al Qur’an tidak mengajarkan hukum secara rinci dan parsial sebagaimana diterapkan Allah pada umat-umat terdahulu. Tujuannya adalah agar syari’at yang dikandung al-Qur’an berlaku universal, tak terbatas dimensi spatial tempat), temporal (waktu) dan topical (kasus/peristiwa).
Dengan demikian, merujuk pendapat Syekh Muhammad Ali al Sayis, kaidah (prinsip) syari’at Islam dalam al Qur’an tetap valid dan tidak perlu ada penghapusan (naskh) dan tidak perlu terkena agenda perubahan prinsip.
c.Pemberitaan Ghaib
Suatu yang tidak ditemukan dan tertandingi pada zamannya hingga sekarang adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Saat ini belum ditemukan futurolog yang dapat memprediksi masa depan dengan baik. Buku-buku seperti Megatrend 2000 (Patricia Aburdene), The Clash of Civilization (Samuel P. Huntington) dan The End of History (Francis Fukuyama) –pun salah memprediksi masa kini yang ia lakukan kurang lebih 10-20 tahun yang lalu.
Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut." Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan yang pernah mengejar Nabi Musa A.S. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran. Setiap orang yang pernah berkunjung ke Museum Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut.
d.Konsistensi Kandungan Al Qur’an
Al-Qur'an diturunkan selama 23 tahun masa kenabian Muhammad SAW., yaitu masa-masa yang penuh dengan berbagai tantangan, ujian dan berbagai peristiwa yang pahit maupun yang manis. Akan tetapi, semua itu sama sekali tidak mempengaruhi konsistensi dan kepaduan kandungan Al-Qur'an serta keindahan susunan katanya. Kepaduan dan ketiadaan ketimpangan dari sisi bentuk dan kandungannya merupakan unsur lain dari kemukjizatan Al-Qur'an. Allah swt. berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا(82)
Artinya: "Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur'an. Seandainya Al-Qur'an itu datang dari selain Allah, pasti mereka akan menemukan banyak pertentangan". (Qs. An Nisa: 82)
Penjelasan minimalnya, setiap manusia menghadapi dua perubahan. Pertama, pengetahuan dan pengalamannya itu akan bertambah dan berkembang. Semakin bertambah dan berkembangnya pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan kemampuannya, akan semakin mempengaruhi ucapan dan perkataannya. Sudah sewajarnya akan terjadi perbedaan yang jelas di antara ucapan-ucapannya itu sepanjang masa dua puluh tahun.
Kedua, berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang akan berdampak pada berbagai kondisi jiwa, emosi dan sensitifitasnya seperti: putus asa, harapan, gembira, sedih, gelisah dan tenang. Perbedaan kondisi-kondisi tersebut berpengaruh besar dalam cara pikir seseorang, baik pada ucapannya maupun pada perbuatannya. Dan, dengan banyak dan luasnya perubahan tersebut, maka ucapannya pun akan mengalami perbedaan yang besar. Pada hakikatnya, terjadinya berbagai perubahan pada ucapan seseorang itu tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi pada jiwanya. Dan hal itu pada gilirannya tunduk pula kepada perubahan kondisi lingkungan dan sosialnya.
Kalau kita berasumsi bahwa Al-Qur'an itu ciptaan pribadi Nabi saw. sebagai manusia yang takluk kepada perubahan-perubahan tersebut, maka –dengan memperhatikan berbagai perubahan kondisi yang drastis dalam kehidupan beliau– akan tampak banyaknya kontradiksi dan ketimpangan di dalam bentuk dan kandungannya. Nyatanya, kita saksikan bahwa Al-Qur'an tidak mengalami kontradiksi dan ketimpangan itu.
Maka itu, kepaduan, konsistensi dan ketiadaan kontradiksi di dalam kandungan Al-Qur'an serta ihwal kemukjizatannya ini merupakan bukti lain bahwa kitab tersebut datang dari sumber ilmu yang tetap dan tidak terbatas, yakni Allah Yang kuasa atas alam semesta, dan tidak tunduk pada fenomena alam dan perubahan yang beraneka ragam.
3.Dari segi Ke- ummy-an Muhammad SAW
Terangkumnya semua ilmu pengetahuan dan hakikat di dalam sebuah kitab seperti ini mengungguli kemampuan manusia biasa. Akan tetapi yang lebih mengagumkan dan menakjubkan adalah bahwa kitab agung ini diturunkan kepada seorang manusia yang tidak pernah belajar dan mengenyam pendidikan sama sekali sepanjang hidupnya, serta tidak pernah - memegang pena dan kertas. Ia hidup dan tumbuh besar di sebuah lingkungan yang jauh dari kemajuan dan peradaban.
Yang lebih mengagumkan lagi, selama 40 tahun sebelum diutus menjadi nabi, Muhammad SAW tidak pernah terdengar ucapan mukjizat semacam itu. Sedangkan ayat-ayat Al-Qur'an dan wahyu Ilahi yang beliau sampaikan pada masa-masa kenabiannya memiliki metode dan susunan kata yang khas dan berbeda sama sekali dari seluruh perkataan dan ucapan pribadinya. Perbedaan yang jelas antara kitab tersebut dengan seluruh ucapan beliau dapat disentuh dan disaksikan oleh seluruh masyarakat dan umatnya. Sekaitan dengan ini, Allah swt. berfirman:
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ(48)
Artinya: "Dan kamu tidak pernah membaca sebelum satu bukupun dan kamu tidak pernah menulis satu buku dengan tanganmu. Karena -jika kamu pernah membaca dan menulis- maka para pengingkar itu betul-betul akan merasa ragu (terhadap Al-Qur'an)". (Qs. Al Ankabut: 48).
Tidak mungkin bagi satu orang yang ummi (tidak belajar baca-tulis sama sekali) mampu melakukan hal tersebut. Dengan demikian, kedatangan Al-Qur'an dengan segenap keistimewaan dan keunggulannya dari seorang yang ummi merupakan unsur lain dari kemukjizatan kitab suci itu.
D.Peranannya dalam memahami al Qur’an dan Penyampaian Risalah
Kemukjizatan al Qur’an sangat penting untuk memahami atau menafsirkan al Qur’an. Peran terpentingnya terletak pada status dan kapasitasnya sebagai mukjizat. karena itu sikap yang perlu ditanamkan bagi orang yang bermaksud memahami dan menafirkan al Qur’an adalah Pertama, berhati-hati terhadap tindakan tidak senonoh atau melecehkan al Qur’an. Kedua, menasirkan al Qur’an merupakan lahan ijtihadi. Kebenaran mutlak terletak pada lafadz dan makna hakiki yang dibawanya. Maka hasil penafsiran yang relative benar tidak dapat mengalahkan makna hakiki al Qur’an.
Berkaitan dengan penyampaian risalah, Pertama, Al Qur’an berfungsi menjawab tantangan yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW pada masa kenabiannya. Tantangan itu tidak hanya datang pada masa kenabiannya. Hingga sekarang tidak sedikit orang yang meragukan keaslian al Qur’an. Kedua, kemukjizatan al Qur’an berfungsi melemahkan para penantang risalah kenabian. Ketiga, Kemukjizatan Al Qur’an menjadi bukti kerasulan Muhammad SAW dan ajaran yang dibawanya.
E.Penutup
Sejak diturunkan hingga sekarang selalu mendapat tantangan dan menjadi bahan yang tidak kering dibahas manusia, baik muslim ataupun kafir. Jika tantangan yang dihadapi oleh nabi-nabi terdahulu dianggap telah selesai dengan kehadiran nabi terkhir Muhammad SAW, maka dalam statusnya sebagai kitab suci terakhir dari bagi umat terakhir (Islam), maka al Qur’an akan senantiasa mendapat tantangan. Akan tetapi al Qur’an dengan watak mukjizatnya akan selalu eksis dalam menjawab seluruh tantangan.
Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah: "Setiap rasul selalu dikaruniai kemukjizatan, sehingga karenanya ummatnya akan mempercayainya. Tetapi mukjizat yang diturunkan Allah padaku adalah wahyu ilahi yang akan menjadikan jumlah pengikutku akan melampaui pengikut para rasul lainnya kelak di hari kiamat".
Wallahu a’lam bi al Shawab (Mei2007/R. Akhir 1428H)
DAFTAR Bacaan
Al Qur’an al Karim
Ali, K., Sejarah Islam, Tarikh Pra Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
AM, Rusydi, Ulum al Qur’an I, Padang, IAIN IB Press, 1999
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006
Beik, Khudhari, Tarikh al Tasyri’ al Islami, terj. Mohammad Zuhri Bandung: Rajamurah al Qana’ah, 1980
Denffer, Ahmad von, Ilmu Al Qur’an: Pengenalan Dasar. Diterjemahkan dari buku asli berjudul Ulum Al Qur’an: An Introduction to the Science of Al Qur’an oleh A. Nashir Budiman Jakarta: Rajawali Pers, 1988
Hitti, Philip K., History of the Arabs, London: Macmillan, 1970
al Qaththan, Manna’, Mabahis fi Ulum al Qur’an, ttp.: Mansyurat al ‘Ashr al Hadis, 1973
Nawfal, Abdurrazaq, Al-Ijaz Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim, http://van.9f.com, diakses 22/04/2007 13:54:10
Sarbini, P. Peter B., SVD Jurnal Aditya Wacana, Januari-Juli 2002
al Sayis, Syekh Muhammad Ali, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: AKAPress, 1996
al Shalih, Subhi, Mabahis fi Ulum al Qur’an, Beirut: Dar al Ilm Li al Malayin, 1988
Al Shabuni, Muhammad Ali, Pengantar Ilmu-ilmu al Qur’an, alih bahasa Saiful Islam, Surabaya: al Ikhlas, 1983
Shihab, M. Quraish dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
-------------------------, Kemu’jizatan al Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, Jakarta: Mizan, 1998
-------------------------, Membumikan al Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Toynbee,A.J., A Study of History Vol XII: Reconsiderations Oxford University Press 1961
al Zindani, Abd. Majid bin Aziz, Mukjizat Ilmiah dalam Al Qur’an dan Al Sunnah, artikel dalam Mukjizat Al Qur’an dan Al Sunnah tentang IPTEK, Jakarta: Gema Insani Press
01 September 2008
Kemerdekaan Menghadapi Jalan Turun
Oleh: Muhammad Nasir
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang
“Masalah-masalah baru yang menggembirakan tidak ada. Kita terus saja menghadapi jalan turun. Penghidupan semakin hari semakin sulit, kemelaratan meningkat terus. Dalam menghadapi lebaran harga beras memuncak...(Mohammad Hatta, 1964)
Setiap zaman selalu saja menyisakan keluh kesah pertanda beratnya kehidupan. Agaknya ini konsekwensi logis dari kotradiksi realitas yang serba dua (binner reality). Bacalah surat Bung Hatta, orang besar negeri ini yang ia tulis kepada sahabatnya Anak Agung Gede Agung SH pada 10 Februari 1964, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini.
Membaca keluhan Hatta di atas, kita seolah-olah dihadapkan pada kRata Penuhenyataan sekarang nyaris persis sama. Apakah hukum logika “sejarah pasti berulang” sedang menemukan pembenarannya (self fulfilling prophecy) atau memang bangsa ini sedang dihinggapi penyakit lupa atau seperti orang tua pikun yang berkali-kali kehilangan tongkat?
Beras mahal, harga kebutuhan pokok melonjak bahkan banyak yang hulang dari pasaran, listrik selalu “pudur”, masalah-masalah bertumbuhan seperti jamur di musim hujan. Jika ditanya keadaan hari ini kepada kepala keluarga yang menghuni rumah-rumah di seluruh tanah air, dipastikan keluhan-keluhan serupa Hatta itu muncul berebutan. Entahlah, proklamator saja mengeluh.
Jalan turun yang dimaksud Bung Hatta di atas bukanlah dalam pengertian “kaji menurun” dalam kearifan Minangkabau. Tetapi pernyataan itu menunjukkan anjloknya kesehatan bangsa seperti kesehatan seseorang yang kian hari kian drastis menurun. Sayangnya beberapa keberhasilan yang diperoleh era reformasi tertutupi dengan kegagalan memenuhi standar minimal kebutuhan rakyat.
Lalu, bagaimana memahami keluh kesah rakyat itu?
Kedaulatan Rakyat
Julukan proklamator bukanlah omongkosong sejarah jikalau hanya kebetulan saja Bung Hatta ikut menandatangani teks proklamasi yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945. Jauh-jauh ia telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Simaklah pidatonya dalam Kongres Menentang Imperialisme dan penindasan kolonial di Brussel 1927. Ia mengatakan:
“Setelah Indonesia dapat mencapai Kemerdekaan sepenuhnya, sebaiknya bentuk negara (staatvorm) adalah Negara Federal (statenbond) atau Negara Kesatuan (bondstaat). Susunan pemerintahannya harus kuat dari bawah dengan tujuan mendidik rakyat mengatur pemerintahan negara secara demokratis yang bersendi Kedaulatan Rakyat sepenuhnya, kuat dan berwibawa.” (Meutia Hatta:1981)
Kini Indonesia sudah merdeka selama 63 tahun. Bentuk negara pun sudah final dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara prosedural Indonesiapun sudah mendapatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, terutama sejak tumbangnya rezim pseudo-demokrasi Orde Baru. Hanya saja pemerintahan yang kuat dan rakyat yang berdaulat dan berwibawa masih jauh dari harapan.
63 tahun memang usia yang muda untuk Indonesia dalam membangun peradaban yang besar. Apalagi riwayat peradaban Indonesia tidaklah tunggal, tetapi terfragmentasi dalam beberapa peradaban kecil seperti Kutai Kartanegara, Majapahit, Sriwijaya dan mungkin Aceh Darussalam. Kesemua peradaban itu boleh jadi merupakan diaspora puak Melayu menuju supremacy peradaban.
Kini, dalam suasana peringatan kemerdekaan RI ke-63, bangsa Indonesia mendapat pesta baru berupa karnaval partai politik menuju Pemilihan Umum 2009 dan beberapa perhelatan Pemilihan Kepala Daerah. Kasat mata, peristiwa tersebut memang suatu upaya mendidik rakyat sekaligus menunjukkan kedaulatan rakyat dalam politik dengan tema demokrasi. Tetapi sepertinya itu belum cukup karena hanya terbatas pada kedaulatan politik.
Lebih jauh dari itu Bung Hatta yang seorang pendidik dan ekonom handal tentu bermaksud mencerdaskan rakyat dan membangun kedaulatan ekonomi, pangan, kesehatan menuju kesejahteraan sosial. Memang tak pantas juga disesali hasrat politik bangsa ini yang begitu besar hingga harus mendesain seremonial pesta politik dengan instrumen yang berbelit, waktu yang lama dan biaya yang luar biasa besar jelang pesta demokrasi 2009.
Tetapi paling tidak harus ada seremonial besar, instrumen yang handal serta biaya yang juga besar untuk membangun kedaulatan ekonomi dan kedaulatan sosial. Misalnya, mempersiapkan rakyat untuk berdaulat secara ekonomi, handal dalam menyediakan pangan dan terampil mengurus masyarakat dan kesehatan dirinya.
Maka, tujuan kemerdekaan yang terpenting seperti dipidatokan Bung Hatta di atas adalah membangun kedaulatan rakyat supaya kuat dan berwibawa. Bayangkan saja seorang pengemis kurus, kumal dan tak berwibawa sebagai contoh karakter dominan bangsa Indonesia, tentu tidak ada yang sudi.
Seremoni Pagan
Jelaslah, jika proklamator saja mengeluh bagaimana itu mungkin rakyat biasa yang sedang sedang menurun derajat kesejahteraannya tidak menyumpah serapahi keadaan? Hanya saja telinga elit saja kurang awas menangkap suara-suara sumbang itu. Dalam bahasa Tan Malaka ternyata Indonesia belum merdeka 100%.
Proklamasi 17 Agustus 1945 jika dimaknai lebih dalam tidak lebih dari kemerdekaan politik yang diperjuangkan berdarah-darah. Sayangnya begitu politik mendapatkan kemenangan, obat bagi anak bangsa yang kebanyakan sanak keluarganya mati bergelimpangan tidak memadai bahkan terabaikan.
Kekhawatiran terbesar adalah, jika kemenangan politik ini diingat sebagai model bagi kaum politisi, maka jangan harap bangsa Indonesia bangkit dari tekanan imperialisme. Banyak contoh untuk tabiat buruk seperti ini, misalnya begitu banyak elit negara yang memenangkan politik secara resmi sehingga lupa membangun kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi dan sosial.
Pada saat kemerdekaan diperingati untuk ke-63 kalinya, keadaan makin memburuk. Lalu bagaimana harus memaknai peringatan ini sebagai satu peristiwa penting perjalanan bangsa Indonesia?
Peringatan Kemerdekaan bukanlah ephos kepahlawanan dan unjuk patriotisme semata. Peringatan sejatinya dijadikan alat ukur sejauh mana kemerdekaan itu dapat ditingkatkan dari masa kemasa. Mengingat keluhan yang banyak berkembang akhir-akhir ini, mestinya ada kesimpulan bahwa kemerdekaan Indonesia di usianya yang ke-63 mengalami terjun bebas ke titik nadir.
Filosof sejarah terkenal Ibnu Khaldun mengatakan, peradaban itu menjalani masa hidup layaknya manusia. Lahir, tumbuh berkembang, dewasa kemudian silam (mati). Pada usia ke-63, sepertinya Indonesia terjun ke jurang dalam usia yang terlalu muda. Mudah-mudahan saja, situasi sekarang ini tidak menjadi pertanda berakhirnya masa depan Indonesia.
Yang perlu diingat, kemerdekaan itu harus dikembalikan ke makna asalnya, jauh dari perbudakan dan keterhimpitan. Jika tidak, maka seremonial peringatan kemerdekaan tidak lebih sama dengan ritus pagan kaum animis yang berlomba-lomba menuhankan kejayaan leluhur. Sayang sekali, jika bangsa ini kembali ke ritus yang menjadi akar sosial bangsa ini semenjak zaman batu. [MN]
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang
“Masalah-masalah baru yang menggembirakan tidak ada. Kita terus saja menghadapi jalan turun. Penghidupan semakin hari semakin sulit, kemelaratan meningkat terus. Dalam menghadapi lebaran harga beras memuncak...(Mohammad Hatta, 1964)
Setiap zaman selalu saja menyisakan keluh kesah pertanda beratnya kehidupan. Agaknya ini konsekwensi logis dari kotradiksi realitas yang serba dua (binner reality). Bacalah surat Bung Hatta, orang besar negeri ini yang ia tulis kepada sahabatnya Anak Agung Gede Agung SH pada 10 Februari 1964, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini.
Membaca keluhan Hatta di atas, kita seolah-olah dihadapkan pada kRata Penuhenyataan sekarang nyaris persis sama. Apakah hukum logika “sejarah pasti berulang” sedang menemukan pembenarannya (self fulfilling prophecy) atau memang bangsa ini sedang dihinggapi penyakit lupa atau seperti orang tua pikun yang berkali-kali kehilangan tongkat?
Beras mahal, harga kebutuhan pokok melonjak bahkan banyak yang hulang dari pasaran, listrik selalu “pudur”, masalah-masalah bertumbuhan seperti jamur di musim hujan. Jika ditanya keadaan hari ini kepada kepala keluarga yang menghuni rumah-rumah di seluruh tanah air, dipastikan keluhan-keluhan serupa Hatta itu muncul berebutan. Entahlah, proklamator saja mengeluh.
Jalan turun yang dimaksud Bung Hatta di atas bukanlah dalam pengertian “kaji menurun” dalam kearifan Minangkabau. Tetapi pernyataan itu menunjukkan anjloknya kesehatan bangsa seperti kesehatan seseorang yang kian hari kian drastis menurun. Sayangnya beberapa keberhasilan yang diperoleh era reformasi tertutupi dengan kegagalan memenuhi standar minimal kebutuhan rakyat.
Lalu, bagaimana memahami keluh kesah rakyat itu?
Kedaulatan Rakyat
Julukan proklamator bukanlah omongkosong sejarah jikalau hanya kebetulan saja Bung Hatta ikut menandatangani teks proklamasi yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945. Jauh-jauh ia telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Simaklah pidatonya dalam Kongres Menentang Imperialisme dan penindasan kolonial di Brussel 1927. Ia mengatakan:
“Setelah Indonesia dapat mencapai Kemerdekaan sepenuhnya, sebaiknya bentuk negara (staatvorm) adalah Negara Federal (statenbond) atau Negara Kesatuan (bondstaat). Susunan pemerintahannya harus kuat dari bawah dengan tujuan mendidik rakyat mengatur pemerintahan negara secara demokratis yang bersendi Kedaulatan Rakyat sepenuhnya, kuat dan berwibawa.” (Meutia Hatta:1981)
Kini Indonesia sudah merdeka selama 63 tahun. Bentuk negara pun sudah final dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara prosedural Indonesiapun sudah mendapatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, terutama sejak tumbangnya rezim pseudo-demokrasi Orde Baru. Hanya saja pemerintahan yang kuat dan rakyat yang berdaulat dan berwibawa masih jauh dari harapan.
63 tahun memang usia yang muda untuk Indonesia dalam membangun peradaban yang besar. Apalagi riwayat peradaban Indonesia tidaklah tunggal, tetapi terfragmentasi dalam beberapa peradaban kecil seperti Kutai Kartanegara, Majapahit, Sriwijaya dan mungkin Aceh Darussalam. Kesemua peradaban itu boleh jadi merupakan diaspora puak Melayu menuju supremacy peradaban.
Kini, dalam suasana peringatan kemerdekaan RI ke-63, bangsa Indonesia mendapat pesta baru berupa karnaval partai politik menuju Pemilihan Umum 2009 dan beberapa perhelatan Pemilihan Kepala Daerah. Kasat mata, peristiwa tersebut memang suatu upaya mendidik rakyat sekaligus menunjukkan kedaulatan rakyat dalam politik dengan tema demokrasi. Tetapi sepertinya itu belum cukup karena hanya terbatas pada kedaulatan politik.
Lebih jauh dari itu Bung Hatta yang seorang pendidik dan ekonom handal tentu bermaksud mencerdaskan rakyat dan membangun kedaulatan ekonomi, pangan, kesehatan menuju kesejahteraan sosial. Memang tak pantas juga disesali hasrat politik bangsa ini yang begitu besar hingga harus mendesain seremonial pesta politik dengan instrumen yang berbelit, waktu yang lama dan biaya yang luar biasa besar jelang pesta demokrasi 2009.
Tetapi paling tidak harus ada seremonial besar, instrumen yang handal serta biaya yang juga besar untuk membangun kedaulatan ekonomi dan kedaulatan sosial. Misalnya, mempersiapkan rakyat untuk berdaulat secara ekonomi, handal dalam menyediakan pangan dan terampil mengurus masyarakat dan kesehatan dirinya.
Maka, tujuan kemerdekaan yang terpenting seperti dipidatokan Bung Hatta di atas adalah membangun kedaulatan rakyat supaya kuat dan berwibawa. Bayangkan saja seorang pengemis kurus, kumal dan tak berwibawa sebagai contoh karakter dominan bangsa Indonesia, tentu tidak ada yang sudi.
Seremoni Pagan
Jelaslah, jika proklamator saja mengeluh bagaimana itu mungkin rakyat biasa yang sedang sedang menurun derajat kesejahteraannya tidak menyumpah serapahi keadaan? Hanya saja telinga elit saja kurang awas menangkap suara-suara sumbang itu. Dalam bahasa Tan Malaka ternyata Indonesia belum merdeka 100%.
Proklamasi 17 Agustus 1945 jika dimaknai lebih dalam tidak lebih dari kemerdekaan politik yang diperjuangkan berdarah-darah. Sayangnya begitu politik mendapatkan kemenangan, obat bagi anak bangsa yang kebanyakan sanak keluarganya mati bergelimpangan tidak memadai bahkan terabaikan.
Kekhawatiran terbesar adalah, jika kemenangan politik ini diingat sebagai model bagi kaum politisi, maka jangan harap bangsa Indonesia bangkit dari tekanan imperialisme. Banyak contoh untuk tabiat buruk seperti ini, misalnya begitu banyak elit negara yang memenangkan politik secara resmi sehingga lupa membangun kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi dan sosial.
Pada saat kemerdekaan diperingati untuk ke-63 kalinya, keadaan makin memburuk. Lalu bagaimana harus memaknai peringatan ini sebagai satu peristiwa penting perjalanan bangsa Indonesia?
Peringatan Kemerdekaan bukanlah ephos kepahlawanan dan unjuk patriotisme semata. Peringatan sejatinya dijadikan alat ukur sejauh mana kemerdekaan itu dapat ditingkatkan dari masa kemasa. Mengingat keluhan yang banyak berkembang akhir-akhir ini, mestinya ada kesimpulan bahwa kemerdekaan Indonesia di usianya yang ke-63 mengalami terjun bebas ke titik nadir.
Filosof sejarah terkenal Ibnu Khaldun mengatakan, peradaban itu menjalani masa hidup layaknya manusia. Lahir, tumbuh berkembang, dewasa kemudian silam (mati). Pada usia ke-63, sepertinya Indonesia terjun ke jurang dalam usia yang terlalu muda. Mudah-mudahan saja, situasi sekarang ini tidak menjadi pertanda berakhirnya masa depan Indonesia.
Yang perlu diingat, kemerdekaan itu harus dikembalikan ke makna asalnya, jauh dari perbudakan dan keterhimpitan. Jika tidak, maka seremonial peringatan kemerdekaan tidak lebih sama dengan ritus pagan kaum animis yang berlomba-lomba menuhankan kejayaan leluhur. Sayang sekali, jika bangsa ini kembali ke ritus yang menjadi akar sosial bangsa ini semenjak zaman batu. [MN]
Eksekusi Mati dan Problem Ikhtilaf
Oleh: Muhammad Nasir
Amrozi cs meminta dihukum pancung kepada Kejaksaan Tinggi Bali. Permintaan itu berkaitan dengan eksekusi mati yang akan segera dilaksanakan kepada pelaku Bom Bali jelang Ramadhan 1429 H tahun ini. Permintaan itu mendadak membuat sebagian besar warga Indonesia bergidik ngeri. Gila!
Seiring dengan permintaan Amrozi cs, sebuah surat singkat masuk ke email saya. Seorang teman mengungkapkan,
“Sadis! Amrozi minta dihukum pancung. Bukankah itu hukum primitif pada saat peradaban belum semaju sekarang. Bayangkan, tebasan golok atau apapun senjatanya akan membuat darah muncrat dari batang leher si gila itu. Apakah itu sebuah permintaan atau sensasi belaka. Tak terbayang, jika ideology Amrozie cs menang, ada banyak kepala orang bersalah yang dipancung. Bumi berdarah-darah!”
Begitulah, persoalan bagaimana eksekusi dilaksanakan menjadi problem tersendiri bagi umat Islam. Terutama bagi yang mengusung penegakan syari’at Islam dalam artian penerapan hukum Islam secara simbolik plus menghidupkan tradisi hukuman cara lama seperti potong tangan, cambuk, dera atau dilempar dengan batu.
Setidaknya permintaan Amrozi itu bagi umat Islam terkesan menakutkan dan terkebelakang. Apalagi bagi orang non muslim yang terlanjur phobia terhadap Islam dengan segala tata aturannya.
Yang jelas, Amrozi dihukum mati karena problem khilafiyah, dan ia pun meminta dihukum mati dengan cara yang khilafiyah pada saat khilfiyah (kontroversi) hokum mati sedang hangat-hangatnya. Harapannya tentu saja agar persoalan khilafiyah ini tidak berdarah-darah dan berujung pada tindakan saling menghukum mati.
Hukuman Mati Sepanjang Sejarah
Socrates (469-399 SM) memiliki nama panggilan “Lalat” karena dia suka menyengat orang untuk berpikir jernih tentang mereka sendiri. Akhir hidupnya adalah hukuman mati yang dijatuhkan pada pengadilan oleh hakim Athena atas dasar dua tuduhan utama yaitu kekafiran dan merusak para pemuda Athena. Padahal dia bukanlah seorang yang dogmatis, apalagi otoriter akan tetapi kehadirannya di tengah-tengah warga Athena benar-benar membuat mereka gelisah karena ia selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membongkar asumsi-asumsi kemapanan tujuan hidup manusia dan membuat mereka dilanda kebingungan atas kenaifan pengetahuan mereka.
Kejadian itu juga mengingatkan kita pada pertikaian yang terjadi di masa silam antara faksi A’isyah dan Mu’awiyah yang bermula dari tuntutan yang mereka tujukan kepada faksi khalifah Ali bin Abi Thâlib r.a. karamaLlâh wajhah, untuk segera mengungkap pelaku pembunuhan khalifah Utsmân bin ‘Affân r.a., yang berujung dengan perang dan pembunuhan. Korban terbanyak dari aksi pembunuhan yang diawali perselisihan pendapat (ikhtilâf) ini adalah mereka yang berupaya untuk menerapkan ajaran Islam yang “hidup” dan kelak disebut sûfî.
Para penguasa al-Muwahhidûn di Afrika Utara mengancam akan menyiksa para sufi yang mereka curigai menggerakkan para pengikut tharîqah untuk mengadakan perlawanan terhadap rejim penguasa yang merupakan para bigot atau politico-jurist-theologian yang ortodok dan intoleran. Para sufi menganggap rejim ini sebagai perampas kekuasaan Islam dan pelanggar syarî‘ah Syihâb ad-Dîn Yahyâ bin Habasy bin Amirak Suhrawardî yang dijuluki al-Maqtûl atau asy-Syâhid, wafat dibunuh atas perintah al-Mâlik az-Zâhir.
Kekejaman Bani Umayyah dan Abbasiyah telah banyak menelan korban di kalangan yang berupaya keras untuk menegakkan Tauhîd dan menolak kemungkaran. Ibn Qasî yang dibunuh pada 546 H/1151 M, Ibn Barrajân dan Ibn al-‘Arîf yang konon diracuni oleh gubernur Afrika Utara, ‘Alî ibn Yûsuf, setelah dikurung dalam penjara selama beberapa tahun. Ibn Taimiyyah dipenjara selama bertahun-tahun. Al-Hallâj, seorang sufi besar, digantung dan dibunuh oleh rejim ini secara sadis, hingga bagian-bagian tubuhnya terpotong-potong.
Hukuman mati sepanjang sejarah memang tidak selalu identik dengan Islam. Bahkan Negara dengan gelar kampiun demokrasi dan penjunjung tinggi HAM pun saat ini masih melaksanakan hukuman mati. Ringkasnya, hukuman mati merupakan ekspresi manusia dalam menjatuhkan hukuman terhadap orang yang bersalah. Agama ataupun peradaban manusia yang tak berlandaskan agama hanya mencari cara bagaimana dan dengan alat teknis pengeksekusian itu dilakukan.
Hukuman Mati karena Ikhtilaf
Eksekusi mati akhir-akhir ini menjadi topic yang hangat diperdebatkan, apalagi semenjak beberapa terhukum mati dieksekusi seperi Dukun “AS”, Rio Martil dan beberapa orang lainnya. Pro kontra sontak muncul kepermukaan dalam kerangka debat tersebut.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu yang lalu juga kembali menegaskan bahwa hukuman mati masih relevan dilaksanakan dan sesuai dengan syari’at Islam. Tujuannya tidak lain untuk memenuhi rasa keadilan dan untuk memelihara jiwa manusia. Namun MUI menggarisbawahi bahwa hukuman mati bukan pilihan utama, kecuali keputusan final. Seseorang dapat saja bebas dari hukuman mati bila ada kemurahan hati dalam bentuk maaf dan perdamaian dari ahli waris korban.
Tetapi bagi pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan penolakan dengan alasan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup dan hukuman mati bukanlah cara yang terpuji untuk memenuhi rasa keadilan ataupun menimbulkan efek jera. Di samping itu, kesan sadistis tidak dapat dihilangkan dari hukuman mati tersebut.
Terlepas dari kontroversi hukuman mati tersebut, fenomena lainnya yang patut diwaspadai adalah perlombaan memberikaran hukuman mati dalam bentuk fatwa-fatwa mati terhadap lawan yang berbeda pendapat. Sejarah telah memberikan contoh yang patut direnubgkan bersama-sama, seperti kasus Socrates dan beberapa ilmuwan dan pemikir Islam sepanjang sejarah.
Indonesia pun tak luput dalam sejarah eksekusi mati. Misalnya betapa banyak perbedaan pendapat pada masa Orde Lama yang dieksekusi mati dengan berbagai cara. Begitupun pada masa Orde Baru yang tidak toleran terhadap perbedaan. Para korban entah kapan dieksekusi.
Di era reformasi sekarang kita mendadak ngeri dengan kosa kata “halal darahnya”, murtadin layak dihukum pancung, ayau seperti . Fatwa hukuman mati bagi aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dilontorkan FKUI beberapa waktu lalu. [23/08/2008]
Amrozi cs meminta dihukum pancung kepada Kejaksaan Tinggi Bali. Permintaan itu berkaitan dengan eksekusi mati yang akan segera dilaksanakan kepada pelaku Bom Bali jelang Ramadhan 1429 H tahun ini. Permintaan itu mendadak membuat sebagian besar warga Indonesia bergidik ngeri. Gila!
Seiring dengan permintaan Amrozi cs, sebuah surat singkat masuk ke email saya. Seorang teman mengungkapkan,
“Sadis! Amrozi minta dihukum pancung. Bukankah itu hukum primitif pada saat peradaban belum semaju sekarang. Bayangkan, tebasan golok atau apapun senjatanya akan membuat darah muncrat dari batang leher si gila itu. Apakah itu sebuah permintaan atau sensasi belaka. Tak terbayang, jika ideology Amrozie cs menang, ada banyak kepala orang bersalah yang dipancung. Bumi berdarah-darah!”
Begitulah, persoalan bagaimana eksekusi dilaksanakan menjadi problem tersendiri bagi umat Islam. Terutama bagi yang mengusung penegakan syari’at Islam dalam artian penerapan hukum Islam secara simbolik plus menghidupkan tradisi hukuman cara lama seperti potong tangan, cambuk, dera atau dilempar dengan batu.
Setidaknya permintaan Amrozi itu bagi umat Islam terkesan menakutkan dan terkebelakang. Apalagi bagi orang non muslim yang terlanjur phobia terhadap Islam dengan segala tata aturannya.
Yang jelas, Amrozi dihukum mati karena problem khilafiyah, dan ia pun meminta dihukum mati dengan cara yang khilafiyah pada saat khilfiyah (kontroversi) hokum mati sedang hangat-hangatnya. Harapannya tentu saja agar persoalan khilafiyah ini tidak berdarah-darah dan berujung pada tindakan saling menghukum mati.
Hukuman Mati Sepanjang Sejarah
Socrates (469-399 SM) memiliki nama panggilan “Lalat” karena dia suka menyengat orang untuk berpikir jernih tentang mereka sendiri. Akhir hidupnya adalah hukuman mati yang dijatuhkan pada pengadilan oleh hakim Athena atas dasar dua tuduhan utama yaitu kekafiran dan merusak para pemuda Athena. Padahal dia bukanlah seorang yang dogmatis, apalagi otoriter akan tetapi kehadirannya di tengah-tengah warga Athena benar-benar membuat mereka gelisah karena ia selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membongkar asumsi-asumsi kemapanan tujuan hidup manusia dan membuat mereka dilanda kebingungan atas kenaifan pengetahuan mereka.
Kejadian itu juga mengingatkan kita pada pertikaian yang terjadi di masa silam antara faksi A’isyah dan Mu’awiyah yang bermula dari tuntutan yang mereka tujukan kepada faksi khalifah Ali bin Abi Thâlib r.a. karamaLlâh wajhah, untuk segera mengungkap pelaku pembunuhan khalifah Utsmân bin ‘Affân r.a., yang berujung dengan perang dan pembunuhan. Korban terbanyak dari aksi pembunuhan yang diawali perselisihan pendapat (ikhtilâf) ini adalah mereka yang berupaya untuk menerapkan ajaran Islam yang “hidup” dan kelak disebut sûfî.
Para penguasa al-Muwahhidûn di Afrika Utara mengancam akan menyiksa para sufi yang mereka curigai menggerakkan para pengikut tharîqah untuk mengadakan perlawanan terhadap rejim penguasa yang merupakan para bigot atau politico-jurist-theologian yang ortodok dan intoleran. Para sufi menganggap rejim ini sebagai perampas kekuasaan Islam dan pelanggar syarî‘ah Syihâb ad-Dîn Yahyâ bin Habasy bin Amirak Suhrawardî yang dijuluki al-Maqtûl atau asy-Syâhid, wafat dibunuh atas perintah al-Mâlik az-Zâhir.
Kekejaman Bani Umayyah dan Abbasiyah telah banyak menelan korban di kalangan yang berupaya keras untuk menegakkan Tauhîd dan menolak kemungkaran. Ibn Qasî yang dibunuh pada 546 H/1151 M, Ibn Barrajân dan Ibn al-‘Arîf yang konon diracuni oleh gubernur Afrika Utara, ‘Alî ibn Yûsuf, setelah dikurung dalam penjara selama beberapa tahun. Ibn Taimiyyah dipenjara selama bertahun-tahun. Al-Hallâj, seorang sufi besar, digantung dan dibunuh oleh rejim ini secara sadis, hingga bagian-bagian tubuhnya terpotong-potong.
Hukuman mati sepanjang sejarah memang tidak selalu identik dengan Islam. Bahkan Negara dengan gelar kampiun demokrasi dan penjunjung tinggi HAM pun saat ini masih melaksanakan hukuman mati. Ringkasnya, hukuman mati merupakan ekspresi manusia dalam menjatuhkan hukuman terhadap orang yang bersalah. Agama ataupun peradaban manusia yang tak berlandaskan agama hanya mencari cara bagaimana dan dengan alat teknis pengeksekusian itu dilakukan.
Hukuman Mati karena Ikhtilaf
Eksekusi mati akhir-akhir ini menjadi topic yang hangat diperdebatkan, apalagi semenjak beberapa terhukum mati dieksekusi seperi Dukun “AS”, Rio Martil dan beberapa orang lainnya. Pro kontra sontak muncul kepermukaan dalam kerangka debat tersebut.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu yang lalu juga kembali menegaskan bahwa hukuman mati masih relevan dilaksanakan dan sesuai dengan syari’at Islam. Tujuannya tidak lain untuk memenuhi rasa keadilan dan untuk memelihara jiwa manusia. Namun MUI menggarisbawahi bahwa hukuman mati bukan pilihan utama, kecuali keputusan final. Seseorang dapat saja bebas dari hukuman mati bila ada kemurahan hati dalam bentuk maaf dan perdamaian dari ahli waris korban.
Tetapi bagi pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan penolakan dengan alasan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup dan hukuman mati bukanlah cara yang terpuji untuk memenuhi rasa keadilan ataupun menimbulkan efek jera. Di samping itu, kesan sadistis tidak dapat dihilangkan dari hukuman mati tersebut.
Terlepas dari kontroversi hukuman mati tersebut, fenomena lainnya yang patut diwaspadai adalah perlombaan memberikaran hukuman mati dalam bentuk fatwa-fatwa mati terhadap lawan yang berbeda pendapat. Sejarah telah memberikan contoh yang patut direnubgkan bersama-sama, seperti kasus Socrates dan beberapa ilmuwan dan pemikir Islam sepanjang sejarah.
Indonesia pun tak luput dalam sejarah eksekusi mati. Misalnya betapa banyak perbedaan pendapat pada masa Orde Lama yang dieksekusi mati dengan berbagai cara. Begitupun pada masa Orde Baru yang tidak toleran terhadap perbedaan. Para korban entah kapan dieksekusi.
Di era reformasi sekarang kita mendadak ngeri dengan kosa kata “halal darahnya”, murtadin layak dihukum pancung, ayau seperti . Fatwa hukuman mati bagi aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dilontorkan FKUI beberapa waktu lalu. [23/08/2008]
Subscribe to:
Posts (Atom)