Oleh: Muhammad Nasir
Nagari di Minangkabau sebagaimana disyaratkan, mesti memiliki beberapa institusi penyangga, di antaranya babalai bamusajik, bapandam bapakuburan, batapian tampek mandi dan sebagainya. semua institusi sosial itu tentu saja ditujukan untuk melayani kebutuhan masyarakat dan mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare) nagari. Di tengah gencarnya keinginan membangun nagari dalam semangat babaliak ka nagari tentu saja perlu diurus secara serius dan diperkuat kapasitasnya.
Khusus tentang persyaratan babalai bamusajik ini, sering hanya menjadi pelengkap penderita dalam beberapa topic pembangunan nagari. Memang, dalam taraf tertentu orang Minangkabau tidak dapat meninggalkan Masjid atau Surau dalam konteks sarana ibadah. Namun tidak jarang dalam konteks lainnya semisal institusi sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan terlupakan.
Misalnya, pada moment pelatihan Imam dan Khatib Nagari yang diselenggarakan Pusat Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) IAIN Imam Bonjol Padang 16-20 Desember 2006 di Balai Pelatihan Pangan dan Holtikultura Padang, peserta yang notabene Angku Imam dan Angku Katik di nagarinya masing-masing mengeluh; “kami dalam banyak hal kurang diperhatikan oleh pemerintah, masyarakat, kecuali hanya pelengkap struktur nagari.”
Di samping keluhan, juga muncul harapan yang sangat besar dari pengelola masjid dan mushalla yang mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah dan masyarakat nagari. Harapan itu berupa support dari pihak luar untuk mengembangkan kegiatan ekonomi berbasis masjid/ surau. Misalnya, asistensi dan penguatan modal untuk kegiatan koperasi masjid, atau baitul mal wa al tamwil (BMT). Harapan itu tentu saja berangkat dari kemajuan berpikir pengelola rumah ibadah itu untuk mengembangkan program ekonomi dan kesejahteraan masyarakat berbasis masjid/surau. Sayang sekali seandainya harapan itu dibiarkan begitu saja.
Pengalaman di atas menggambarkan bahwa masjid/surau selain tempat aktivitas beribadah, juga dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas lainnya. Jika diinventaris, masjid, surau atau mushalla ada juga yang memiliki perpustakaan, koperasi/BMT,remaja masjid, klinik, LAZ dan kegiatan lain-lain.
Masjid berasal dari akar kata sajada yang artinya sujud. Dari akar kata tersebut, pada dasarnya setiap tempat yang bisa dipergunakan untuk bersujud maka disebut masjid. Tetapi masjid tidaklah tabu untuk dijadikan aktivitas selain untuk bersujud kepada Allah SWT, termasuk untuk menjalankan kegiatan perekonomian. Berdasarkan itu, khusus mengenai masjid/ surau yang memiliki kegiatan ekonomi antara lain melalui koperasi/BMT atau LAZ, merupakan potensi yang bisa dikembangkan ke arah pemberdayaan masjid dalam rangka pengurangan tingkat kemiskinan di masyarakat.
Dalam konteks ini, masjid dapat dijadikan wahana penguatan ekonomi umat. Potensi yang besar ini sangatlah disayangkan jika tetap diabaikan, karena masjid sebenarnya berpeluang dalam mendorong kemandirian ekonomi umat. Cuma yang terjadi sekarang ini, pemberdayaan ekonomi masjid untuk pengentasan kemiskinan tersebut belum dikelola secara profesional, transparan, akuntabel, jujur, dan penuh keikhlasan dan tanpa dukungan berarti dari dunia perbankan.
Koperasi/BMT atau LAZ yang dimiliki masjid/ surau yang sangat jelas mempunyai masyarakat basis tentu dapat membuat skema-skema program pengembangan ekonomi produktif untuk wilayah mereka yang memiliki kantong-kantong kemiskinan. Seandainyapun tidak mempunyai konsep pengembangan program, maka kewajiban bagi pemerintah, lembaga konsultan, swasta, perbankan dan lembaga swadaya masyarakat untuk mendampinginya.
Bank Nagari; Menoleh ke Masjid
Pemberdayaan ekonomi masjid untuk pengentasan kemiskinan sangat perlu digalakkan. Semua pihak dapat melakukan penguatan sesuai dengan kemampuannya. Termasuk Bank Nagari sebagai lembaga keuangan milik masyarakat Sumatera Barat.
Tahun ini pertumbuhan kredit Bank Nagari sangat menggembirakan, mencapai 24,85 persen. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kredit perbankan Sumbar yang hanya 6,45 persen. Sedangkan angka nasional hanya mencapai level 8,73 persen. Luar biasa dan selamat untuk Bank Nagari.
Berdasarkan itu, Direktur Utama Bank Nagari atau Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat, Nazwar Nazir, mengatakan akan menyalurkan kredit sebesar Rp 986,7 miliar khusus untuk sektor perkebunan unggulan, seperti kelapa sawit, karet, dan kakao. (Kompas, 19/01/2007). Syukur atas niat baik itu. Tetapi di balik itu ada semacam kecemburuan positif plus harapan; “kapankah giliran pengucuran kredit untuk pemberdayaan ekonomi berbasis masjid?”
Masyarakat termasuk yang terkonsentrasi di masjid mulai tertarik menggunakan jasa perbankan untuk membiayai usaha mereka. Dalam hal ini pihak perbankan harus juga melayani keiginan itu dalam bentuk kredit yang mudah dan murah, dengan meninggalkan kriteria pemberian kredit formal yang kaku. Program pemberdayaan ekonomi di masjid akan berkembang melalui program kredit mikro ala Grameen Bank.
Mimpi yang dapat diceritakan pada Bank Nagari mengiringi kesuksesan dan peralihannya menjadi Perseroan terbatas (PT), sekaligus tawaran visi kesadaran bamusajik dalam paradigma baru bagi bank yang berkomitmen membina citra membangun nagari adalah;
Pertama; Haqqul yaqin, bahwa Bank Nagari pada prinsipnya sangat peduli dengan masalah kemiskinan dan program-program pengentasan kemiskinan. Apa yang dilakukan di atas, sesuai dengan ungkapan Direktur Bank Urang Awak tersebut tentu saja dilakukan untuk tujuan baik. Gagasan tulisan yang ditulis oleh warga nagari kelas biasa ini adalah bagaimana bermohon kepada Bank Nagari untuk menjadikan kegiatan perekonomian yang berbasis masjid menjadi kelompok intervensi program Bank ini. Seandainya tidak mungkin perhatian penuh semisal kepada BPR/S, Lumbung Pitih, nasabah atau debitur lainnya, cukuplah ada sedikit atau beberapa nama masjid yang tercantum sebagai mitra binaan Bank Nagari.
Apalagi Bank Nagari tahun 2007 ini menargetkan penyaluran kredit sebesar Rp 4,3 triliun. (Kompas, 19/01/2007). Sungguh angka yang menggiurkan. Orang biasa yang tidak mengerti perbankan saja memperkirakan, jika uang sebanyak itu dibagikan kepada 2 juta penduduk Sumbar yang diasumsikan butuh kredit atau modal usaha, pasti akan mendapat tidak kurang Rp 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu). Tetapi logika perkreditan perbankan tentu tidak seperti itu. Tetapi tawaran dalam hal ini, Koperasi/BMT atau LAZ yang dimiliki masjid menjadi outlet sekaligus binaan Bank Nagari.
Kedua; Suatu pemikiran yang terinspirasi dari Grameen Bank, bank alternatif yang digagas oleh Muhammad Yunus, penerima Hadiah Nobel 2006, apakah mungkin menjadikan Bank Nagari seperti itu? Yang jelas Grameen Bank di Banglades itu bekerja di luar jalur birokrasi. Program kredit mikro Grameen Bank berfokus pada keberlanjutan program bukan profit. Grameen Bank dengan programnya menyentuh langsung wajah kaum dhuafa’. Tawarannya adalah Bank Nagari diharapkan menyentuh kebutuhan dasar kaum miskin melalui pemberdayaan ekonomi umat di masjid. Otomatis program ini lebih menekankan pada aspek tanggung jawab sosial perusahaan (Community Social Responsibility) dan jelas berorientasi non profit.
Ketiga: Niat beribadah karena Allah Swt. Bagaimanapun Bank Nagari hidup di Sumatera Barat (Minangkabau) yang penduduknya mayoritas Islam. Tanggung jawab suksesnya sebangat babaliak ka nagari babaliak ka musajik/surau di atas semangat Adat Basandi Syara’, Syarak Basandi Kitabullah, tentu saja juga terbebani di pundak Bank Nagari.
Maka di samping memberdayakan ekonomi umat melalui mimpi pertama dan kedua di atas, Bank Nagari juga telah berjasa mengembalikan masyarakat ke masjid/suraunya dan mengikat masyarakat dengan ketergantungan ekonomi umat kepada masjid/surau. Insyaallah, transaksi keuangan yang dilakukan di rumah Allah pasti berkah.
Keempat: Sangat penting dilakukan, meski tanpa harus latah mengembel-embeli dengan bank syari’ah, Bank Nagari dapat membangun kemitraan dengan masjid dan mesti dilandasi atas prinsip-prinsip syari’ah. Jika memungkinkan, masjid dengan segenap usaha ekonominya dapat dijadikan ladang investasi.
Akhirul kalam, Bank Nagari dengan modal finansialnya diharapkan mendorong berkembangnya modal ekonomi sosial di masjid serta dengan modal spiritual, masyarakat ber-ingsut keluar dari kemiskinan.
Wallahu A’lam Bi al Shawab
25 June 2008
10 June 2008
Sejarah: Komoditas Elit
Oleh : Muhammad Nasir
Kegagalan reformasi, lemahnya (pemimpin) negara, resesi ekonomi, eskalasi kekerasan dan kerusuhan, berjubelnya partai politik, korupsi, pengangguran merupakan sejumlah daftar saja dari kompleksitas permasalahan Indonesia menjelang perhelatan politik Pemilu 2009.
Berbagai peristiwa tersebut saling berkaitan dan diperlukan suatu pemaknaan khusus sebelum dicatat sebagai sebuah peristiwa sejarah. Tanpa pemaknaan dan pemahaman yang benar, peristiwa-peristiwa itu hanyalah catatan-catatan mati yang berstatus silam belaka.
Dengan menaruh sedikit kecurigaan, adakah beberapa peristiwa tersebut di atas sengaja direkayasa sebagai prakondisi menjelang 2009? Siapakah tangan-tangan ajaib dibalik peristiwa tersebut?
Rekayasa antagonistik
Sesungguhnya, bangsa Indonesia di era reformasi sedang berusaha melanjutkan sejarahnya. Biarlah pada masa Orde Baru dianggap sebagai periode kelam (politik), tetapi harapan di era reformasi adalah bagaimana menjadikan periode kelam itu sebagai periode yang terang benderang (mencerahkan) dan menyejahterakan.
Merujuk beberapa peristiwa yang disebut di atas, sepertinya ada kesan kegagalan bangsa Indonesia menjadikan reformasi sebagai semangat perubahan ke arah yang lebih baik (change into progress). Persyaratan yang prinsip dalam sejarah sebagai bentuk perkembangan kehidupan kemanusiaan adalah bagaimana tingkat keseriusan melanjutkan hidup ke arah yang lebih baik (continuity) dan bagaimana perubahan itu menjadi suatu yang diciptakan secara serius pula. Dan ini telah gagal dilakukan.
Bagaimanapun negara adalah produk rekayasa sosial. citra Determinasi rakyat. Bagaimana persamaan nasib telah mendorong masyarakat nusantara membuat negara bangsa (nation state) bernama Indonesia. Begitu juga persoalan bagaimana negara ini dijalankan, juga tidak lepas dari partisipasi seluruh warga negara. Dengan demikian, sebenarnya, sejarah negara Indonesia adalah sejarah warga (civic history).
Berdasarkan paradigma di atas, sudah waktunya peran tokoh elit dikurangi dalam menentukan sejarah Indonesia. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan memperkuat barisan warga sebagai pemilik sah sejarah bangsa.
Beberapa peristiwa di atas, jika diduga sebagai rekayasa atau di bawah kendali tangan-tangan elit politik, maka itu sesungguhnya merupakan bentuk pengkhianatan terhadap reformasi. Peristiwa-peristiwa jelek tersebut tidak lebih sebagai rekayasa antagonistik elit-elit politik.
Lemahnya Masyarakat Warga
Setiap orang di Indonesia adalah warga dari masyarakat (komunitasnya) masing-masing. Dalam masyarakat dan komunitasnya itu, setiap orang dapat hidup dan berinteraksi dengan cara-cara yang diatur oleh komunitasnya sesuai dengan semangat komunitasnya.
Masyarakat atau komunitas itu bisa berupa ikatan keluarga, agama, organisasi keagamaan, suku, wilayah adat, profesi dan sebagainya. Semua ikatan itu dalam ranah yang lebih luas –terutama bila sudah menegara- mesti tunduk kepada tata tertib pergaulan bernegara.
Tetapi dalam suasana amburadulnya tata tertib hidup bernegara terutama tidak inklusifnya dan universalnya tata tertib, negara cendrung berlepas tangan. Suasana amburadul itu justru disikapi dengan sikap saling tuding antar penyelenggara negara. Tidak jarang suasana amburadul itu dijadikan komoditas politik untuk saling serang dan menyalahkan.
Bentuk amburadulnya tata tertib itu antara lain benturan horizontal antar komunitas warga semisal Front Pembela Islam (FPI) dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB), di Silang Monas 1 Juni 2008 yang lalu. Sudahlah amburadul, tiba-tiba santer terdengar benturan antar massa komunitas itu direkayasa oleh kekuatan tertentu.
Jika itu benar, semestinya itu pelajaran untuk warga komunitas untuk berhati-hati dan memperkuat diri. Upaya untuk memperbenturkan komunitas itu sepertinya akan terus berlangsung menjelang terselenggaranya Pemilu 2009.
Berbagai isu dikemas, isu keagamaan, kebangsaan, kesenjangan sosial dan sebagainya merupakan komoditas yang “sexy” dan rentan konflik. Justru karena rentan konflik itulah ia digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Misalnya, Tragedi Monas Kelabu yang lalu telah dianggap sebagai ‘test case’ pertarungan ideologi jelang Pemilu 2009. Utama kelompok pendukung Islamisme versus pendukung Nasionalisme. Berbagai komentar yang muncul pascatragedi itu dapat membantu ‘aktor intelektual’-nya memetakan kekuatan.
Memang ada persoalan yang lebih nyata di balik peristiwa itu, yaitu pembubaran Ahmadiyah sebagai kepentingan ‘umat Islam’ dan kenaikan harga BBM sebagai kepentingan rakyat. Jika menilai itu sebagai pengalihan isu, maka status tragedi Monas adalah sangat rendah sekaligus berpotensi konflik besar, dan targedi Monas hanyalah isu yang melintas (cross cutting issues) jika tidak ingin disebut sebagai ekses.
Tetapi yang jelas, tragedi tersebut telah menunjukkan betapa lemahnya warga masyarakat atau komunitas sehingga begitu mudah dibenturkan. Apalagi diiringi lemahnya kewaspadaan, bahwa mereka merupakan komoditas bagi pihak lain yang berkepentingan.
Sejarah Elit
Berbagai tafsir yang muncul tentang tragedi Monas antara lain, diskursus pembubaran Ahmadiyah, pengalihan isu kenaikan harga BBM, konflik internal umat Islam, dilema kebangsaan (nasionalisme) dan test case Pemilu 2009 merupakan bentuk ‘berguna’-nya peristiwa itu bagi aktor-aktor yang tidak bertanggungjawab.
Kelemahan warga komunitas ini pada akhirnya memberikan peluang kepada orang-orang tertentu untuk mengukir sejarah. Sejarah sebagai determinasi antar komunitas akhirnya berubah menjadi sejarah para elit. Tetapi sejarah seperti ini tidak dapat disebut sebagai sejarah, karena perubahan yang terjadi tidak membawa kepada kemajuan.
Bangsa ini tentu tidak ingin sejarahnya semata-mata digerakkan oleh elit yang menghasilkan sejarah elit. Kemungkinannya dua saja; pertama, elit yang benar dan membawa kepada kemajuan, kedua, elit yang tangannya berlumuran darah.
Minggu, 08 Juni 2008
06 June 2008
Teater Kekerasan Antagonisme Semangat Zaman
Muhammad Nasir
Peneliti Magistra Indonesia-Padang
Kekerasan demi kekerasan mengalir begitu saja di negeri ini. Datang dan pergi silih berganti, seolah-olah menjadi tradisi baru dalam masyarakat Indonesia yang sedang sakit. Fenomena terakhir, Tragedi Monas 1 Juni 2008. Massa Komando Lasykar Islam Front Pembela Islam (FPI) bentrok dengan massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Selain itu, ingatan bangsa dijejali berbagai aksi kekerasan di institusi rumah tangga (KDRT) di institusi pendidikan (IPDN Jatinangor dan STIP Jakarta), Kampus Unas Jakarta, adu fisik anggota parlemen, perusakan properti Ahmadiyah dan sebagainya. Semuanya belum terselesaikan dan menjadi misteri yang nyaris tak akan terungkapkan, mengingat derasnya arus sirkulasi kekerasan demi kekerasan.
Pesan di balik kekerasan itu jelas, bahwa kekerasan telah menjadi cara baru untuk mengekspresikan keinginan. Lebih dari itu, kekerasan ternyata hampir dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat. Lihatlah negara, polisi, rumah tangga, mahasiswa, pelajar, anak-anak dan entah siapa lagi. Kekerasan tidak hanya dominasi agama, tetapi oleh siapa saja yang hidup di negeri ini.
Sungguh gambaran yang memilukan. Anak-anak bangsa yang beranjak dewasa dipaksa menerima kenyataan, betapa kerasnya hidup dan apakah dengan cara seperti itu kehidupan harus dijalankan? Lalu wilayah mana yang sunyi dari kekerasan di republik ini?
Referensi Teatrikal Kekerasan
Kekerasan tidak selamanya berusan dengan bentrok pisik, saling pukul atau saling serang dengan berbagai senjata. Lebih dari itu, ucapan dan aksi teatrikal juga menjadi varian kekerasan yang kadang tidak disadari. Ada banyak manusia yang terhinakan, budaya yang terhinakan serta agama yang terlecehkan dalam aksi-aksi tersebut.
Misalnya, bagaimana patung seseorang diperlakukan dalam aksi demonstrasi adalah kekerasan. Diarak, ditendang, dipukuli kemudian (meskipun patung) adalah kekerasan. Betapa tidak, pesan yang di bawa oleh aksi teatrikal itu adalah tawaran cara untuk memperlakukan seseorang.
Ayam betina, pakaian dalam wanita, serta perlengkapan asesories yang berhubungan dengan wanita adalah bentuk penistaan terhadap wanita yang menjadi ibu, saudara perempuan atau kerabat pelaku.
Bahkan, properti yang erat dengan ritual atau tradisi peribadatan tidak luput dari penghinaan. Misalnya, bagaimana keranda mayat (meski tidak sakral) sebagai salahsatu alat penghormatan kepada manusia yang mati disalahgunakan dalam aksi.
Dalam tradisi umat Islam keranda mayat digunakan sebagai usungan. Mayat diletakkan dalam posisi yang baik, diselimuti dengan kain yang bagus bahkan tidak jarang dihiasi dengan kalimat “Inna Lillahi wa Inna Ilayhi Raji’un.” Kita Milik Allah dan Akan kembali kepada Allah.
Dalam aksi demonstrasi replika keranda mayat diusung sebagai simbol kematian. Setelah puas diusung, replika itu dihempaskan, diinjak-injak lalu dibakar. Begitu sadiskah perilaku umat Islam terhadap kematian?
Antagonisme Semangat Zaman
Reformasi dimaksudkan untuk kehidupan yang lebih baik, bebas dari kekerasan dan militerisme Orde Baru. Tetapi kebebasan di era reformasi diartikulasi secara salah. Milisterisme yang menjadi prilaku buruk Orde Baru menular kepada rakyat. Berbagai organisasi kelasykaran dan berbagai metode kekerasan diterapkan secara massif. Rakyat tiba-tiba berubah menjadi preman.
Begitu kuatkah citra kekerasan Orde Baru sehingga terhunjam kuat di ingatan rakyat? Apakah ingatan itu yang mendorong masyarakat untuk melakukan hal yang sama untuk mendapatkan supremasinya?
Orde Baru tentu tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Orde Baru hanyalah waktu referensial di mana kekerasan menjadi dominasi negara. Sungguh suatu yang paradoks jika kekerasan sebagai yang ditolak menjadi prilaku masyarakat.
Sesungguhnya, bangsa Indonesia telah melupakan semangat zamannya; semangat anti kekerasan. Kelompok-kelompok yang mempunyai track record kekerasan adalah tokoh antagonisme sesungguhnya. Selamanya, ibarat pementasan teater, tokoh antagonisme tidak akan mendapat tempat di hati masyarakat.
Akhirnya, kekerasan demi kekerasan menjadi pertunjukan teater. Emha Ainun Nadjib (1998) mengatakan, layaknya sebuah pertunjukkan respon penonton akan sangat beragam. Ada yang melihat kostum dan tata riasnya, ada yang melihat ceritanya, ada yang melihat kemegahan panggung, ada yang melihat aksi para aktor dan begitulah seterusnya kekerasan direspon oleh masyarakat.
Tidak heran, merespon Tragedi Monas 1 Juni 2008 yang lalu tidak muncul satu tanggapan. Ada yang melihat FPI dan AKKBB. Ada yang melihat negara atau polisi, ada yang melihat panggung, ada yang melihat cerita kronologis. Nyaris tidak ada kesepakatan semisal “Peristiwa Monas tidak layak ditonton dan dipertontonkan!”
03 June 2008
Muntahan Edensor
Muhammad Nasir
“Proyek fisik! lapangan kerja! Itulah semua solusi masalah! Selain itu hanya bualan. Sekarang lihatlah negerimu itu! Ditelikung dari luar, digerogoti dari dalam, tendangan penalti! Sebelas langkah lagi negerimu menuju bangkrut!”
Demikian kata Adam Smith kepada Ikal. Adam Smith yang literer adalah sosok yang tidak asing. Begitu juga dengan Ikal, gembel Belitung yang sedang sekolah di Sorbonne Perancis. Jika mau tahu lebih lanjut, kalimat kutipan di atas dipenggal dari Edensor, halaman 134, tulisan Andrea Hirata, budak Pulau Belitong yang garing.
Sementara lupakan Adam Smith dan Ikal. Dua sosok paradoks, legenda dan mithos.
Harga BBM sudah membubung tinggi, mengalahkan asap yang sebelumnya masih mengebul di sela-sela atap ibu-ibu rumah tangga. Asap itu sudah menjadi debu, di kantor pos tempat BLT dibagikan.
Begitupun halaman legislatif dan eksekutif, penuh dengan kabut bekas injakan kaki ratusan demonstran, menolak kenaikan harga BBM. Sementara itu di kampus kabut masih menutup papan pengumuman, “apakah benar ada bantuan untuk mahasiswa?” tanya beberapa di antara mereka.
Bagaimanapun BBM sudah naik. Kelemahan pengelolaan negara telah menjadikan sumberdaya alam Indonesia menjadi bulan-bulanan. Kedele, daging sapi dan BBM determinant, terutama untuk konsumsi politik. Semua berlagak pahlawan, seolah pendapatnyalah yang akan menyelamatkan Indonesia dar kehancuran.
Tetapi tulisan ini memang untuk pemerintah saja. Adam Smith seolah menarik Ikal (Ical kalee...), bahwa BLT itu keblinger. Tidak menyelamatkan. Yang menyelamatkan itu rescue pad; untuk menyelamatkan! Itupun hanya ada di dunia kartun Dora the Explorer.
Ikal yang mewakili kelompok the pathetic, telmi dan suka lewat jalan tikus. Tidak mau belajar dari kenyataan phit tahun 2005, ketika BBM juga dinaikkan untuk menyelamatkan APBN. Lalu BLT dibagikan sebagai kompensasi agar efek kenaikan BBM tidak terlalu terasa. Tetapi ingatan tidak bisa ditipu!
Apa yang yang harus dibenci Ikal adalah model ekonomi keynesian yang meletakkan uang di atas segala-galanya. Dan dengan uang pula semuanya dapat diselesaikan. Lihatlah bagaimana korupsi itu selalu berurusan dengan uang dan metode penyelesaiannya pun dengan uang. Sogok-suap misalnya.
Begitu harga BBM dinaikkan, alasannya APBN dan lagi-lagi APBN berurusan dengan uang. Kompensasi kenaikan BBM dibuat sedemikian rupa dengan metode uang, bantuan langsung tunai (BLT). Konflik akibat metode ini sangat akut. Ada yang saling tidak tegur sapa, karena ada perbedaan perlakuan akibat data yang tidak akurat.
Jika demikian adanya, Adam Smith itu harus dijemput. Minimal untuk memberi pelajaran, bahwa negeri ini harus diurus dengan baik. Kesejahteraan itu harus dibangun di atas usaha manusia. Bukan uang tunai, yang bikin negara bangkrut. Ikal (Ical- menko Kesra) harus pulang dan baca Edensor.
Sekali lagi baca dengan perlahan, pastikan ingatan anda berfungsi, dan yakinkan bahwa anda tidak telmi ;
“Proyek fisik! lapangan kerja! Itulah semua solusi masalah! Selain itu hanya bualan. Sekarang lihatlah negerimu itu! Ditelikung dari luar, digerogoti dari dalam, tendangan penalti! Sebelas langkah lagi negerimu menuju bangkrut!”
Fa Inna nabiya-llahi Dawud alaihi wasallam kaana ya’kulu min amali yadihi...
Nabi Dawud AS saja makan dari usaha tangannya sendiri.
Screaming Face FPI, Duri Demokrasi
Oleh: Muhammad Nasir
Lagi-lagi FPI. Organisasi gerakan massa yang menyebut dirinya Front Pembela Islam kembali membuat berita, dan selamanya jika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah, FPI akan terus menjadi news maker. Saya khawatir (memangnya siapa saya?)
Minggu, 1 Juni 2008, saat Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama (AKKB) diserang secara brutal oleh FPI. 12 hingga 26 orang dilaporkan luka-luka akibat serangan itu. Tercatat dalam aliansi itu Gunawan Muhammad (budayawan), Maman Imanulhaq (pengasuh sebuah Pondok Pesantren) dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Atas alasan apapun, penyerangan itu tidak dapat dibenarkan. Apakah mereka tidak punya cara lagi untuk menyatakan perbedaan pendapat?
Front Pembela Islam (FPI) yang secara resmi berdiri pada 17 Agustus 1998M/ 24 Rabi’ al Tsani 1419 H di Pondok Pesantren Al Umm, Kampung Utan Ciputat. FPI didirikan oleh Habib Rizieq Shihab, telah memulai aktivitasnya melalui pengajian, tabligh akbar, audiensi dengan pemerintah serta aksi demonstrasi menentang kemaksiatan. (Al-Zastrouw Ng., 2006).
Riwayat organisasi ini penuh dengan catatan yang beraroma militerisme, premanisme dan kekerasan. Berbagai aksi yang mereka lakukan cendrung brutal dan jauh dari tatakrama masyarakat yang hidup dalam budaya demokrasi.
FPI lupa bahwa mereka hidup karena berkah demokrasi meskipun secara prinsip, demokrasi mereka tolak. Penolakan demokrasi karena dianggap sebagai sistem pemerintahan taghut dan menyesatkan. Mereka juga lupa bahwa dalam masa Orde Baru yang otoritarian dan militeristik, mereka hanya kelompok yang bisa membuat majelis taklim dan tabligh akbar.
Atas beberapa catatan di atas, sudah layak FPI dimasukkan ke dalam kategori organisasi fundamentalis radikal. Kaum fundamentalis radikal sepertinya duri dalam daging bagi demokrasi Indonesia yang sedang membaik.
Sikap mereka terhadap kekerasan, meminjam skala Satrio Arismunandar (Islamika,1994) berhak mendapat nilai E. Nilai E disimbolkan untuk gerakan Islam yang membolehkan dan pernah melakukan aksi kekerasan dan masih meneruskan aksi itu secara kurang selektif. Misalnya melakukan menyerang warga sipil atau sarana kepentingan umum yang bukan merupakan representasi langsung dari regim atau musuhnya.
Lalu, bagaimana FPI dan aksi kekerasan yang mereka lakukan harus dipahami?
Ernest Gellner (1994) memberi tips khusus cara memahami para fundamentalis. Cara terbaik memahami fundamentalisme katanya, adalah dengan memahami apa yang ditolaknya. Jika FPI adalah kaum fundamentalis, lalu apa yang ditolaknya?
Secara umum FPI dapat dilihat sebagai organisasi Islam dengan tiga agenda perjuangan, yaitu teologi, politik dan sosial (amr ma’ruf, nahy munkar). Secara teologis mereka adalah kelompok salafi penganut mazhab ahlussunnah waljama’ah (aswaja).
Klaim Aswaja FPI sepertinya lebih menekankan pada aspek kebanggaan sebagai pewaris salafus salih. Salafus salih merupakan representasi para sahabah, tabi’in dan tabi’ tabi’in yang dijamin mempraktekkan Islam secara benar. Tetapi agaknya salafus salih diragukan mau bertindak seperti FPI. Mereka sangat sunni, namun menolak aswaja versi NU atau Muhammadiyah. Lalu, apakah ini bentuk lain dari kegagalan NU dan Muhammadiyah?
Secara politik mereka FPI itu banci, tidak punya cita-cita yang jelas. Dikhawatirkan FPI itu hanya sekedar organ gerakan kekuatan politik yang sama sekali kering dari nilai Islam. Sebagian pihak malah mengkaitkannya dengan peran militer. Sebagai gerakan sosial mereka mengusung jargon amr ma’ruf nahi munkar.
Menggunakan tips Gellner di atas, praktis mereka hanya bisa dilihat dari nahy munkar-nya saja (sebagai sesuatu yang ditolaknya). Sisi teologis dan politiknya kabur-tidak menonjol. Amr ma’ruf tidak terlihat kecuali ungkapan lisan. Sementara nahy munkar diunjuk dengan kekuatan tangan. Artinya untuk kebaikan hanya bisa omong doang dan untuk mencegah kemungkiran bisanya hanya dengan kekerasan. Sungguh preman. Jangan-jangan layaknya preman, FPI secara sadar atau tidak justru orderan kekuatan politik tertentu.
Lama-kelamaan FPI menjadi mirip dengan prototype gerakan radikal Islam awal: Khawarij. Tetapi sejarah khawarij-pun terlalu agung untuk disandingkan dengan FPI. Khawarij awal merupakan sahabat yang taat. Meski keras, khawarij mempunyai pesan yang jelas. Kembali ke al Qur’an, pemerintahan yang egaliter dan mungkin saja ide demokrasi dalam Islam, karena mereka menolak tribalisme meskipun mereka itu tribal.
FPI adalah wajah seram umat Islam dan itu tidak boleh ada. Dalam film-film horor, the screaming face muncul dalam moment-moment ritual kaum psikopat. Semua orang perlu khawatir, jangan-jangan FPI itu organisasi sesat kaum psikopat.
Sepertinya ada relasi yang ganjil antara ideolog FPI (Habaib) dengan massanya. Lihatlah, rekruitmen FPI dominant dari unsur preman dengan dalih pembinaan. Preman-preman putus asa itu diberi janji-janji surga dengan syarat menghancurkan neraka-neraka dunia. Saya khawatir jangan-jangan keputusasaan Habaib dalam melaksanakan dakwah lisannya dilampiaskan dengan menggunakan kekuatan massa yang rentan aksi kekerasan.
Sekali lagi, kekerasan adalah setback demokrasi Indonesia. Kenanglah Orde Baru yang militeristik dan suka kekerasan, telah menghancurkan bangunan civil sosiety. Atau jangan-jangan FPI ada hubungannya dengan Orde Baru, terutama otoritas militerime (tulisan ini tidak menuding, hanya menduga)!
Padang, 1 Juni 2008
Sumber Foto: http://www.liputan6.com
Subscribe to:
Posts (Atom)