Muhammad Nasir
Matahari mulai merunduk di ufuk barat, menghamparkan warna jingga di langit yang menaungi Masjid Al-Hakim, serta ruas trotoar di sepanjang Pantai Padang. Wisatawan dan warga setempat berdatangan untuk menikmati semilir angin laut dan debur ombak yang tenang. Namun, langkah mereka kerap terhenti di trotoar yang dipenuhi pedagang kaki lima (PKL). Ada yang menjajakan jagung bakar, ada pula yang sibuk menawarkan aneka suvenir. Bagi sebagian pengunjung, keberadaan PKL menambah suasana khas kawasan wisata. Namun, bagi yang lain, lapak-lapak yang tersebar tanpa aturan ini justru mengurangi kenyamanan.
Keluhan bukan hanya datang dari wisatawan, tetapi juga warga lokal yang rutin menikmati taman-taman kota sebagai tempat bersantai. Seorang ibu muda yang sering membawa anaknya bermain di Taman Imam Bonjol, merasa taman ini kini lebih mirip pasar ketimbang ruang terbuka hijau. “Dulu rasanya taman ini enak buat ngajak anak-anak bermain, sekarang malah jadi pasar kecil. Kadang susah nyari tempat duduk yang kosong, karena dipakai pedagang buat naruh dagangan mereka,” ujarnya.
Hal yang sama juga ditemukan di GOR H. Agus Salim. Seorang pelari yang rutin berolahraga di pagi hari, mengeluhkan hal serupa. “Kalau pagi masih enak buat lari, tapi siang dikit, pedagang mulai datang. Jalur jogging jadi sempit, dan kita harus zig-zag menghindari gerobak jualan,” katanya.
Sementara itu, wisatawan yang datang ke Pantai Padang untuk menikmati panorama laut juga menghadapi permasalahan yang sama. Ahmad, seorang pengunjung dari Pekanbaru, merasa terganggu dengan kondisi kebersihan di sekitar area pantai. “Pantainya bagus, tapi kadang susah cari tempat duduk yang nyaman. Sampah berserakan, sisa-sisa plastik dari pedagang. Saya sih mendukung pedagang mencari nafkah, tapi kalau mereka bisa lebih rapi dan tertib, pasti lebih nyaman buat semua orang,” ujarnya.
Bergeser ke Bukittinggi, di Taman Jam Gadang, seorang turis asal Jakarta, juga mengalami ketidaknyamanan saat mencoba berfoto. “Kalau mau foto, harus cari sudut yang nggak ada pedagangnya. Padahal ini kan ikon kota, harusnya lebih rapi dan tertata,” ungkapnya.
Kebijakan yang Belum Efektif
Ironisnya, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam menata PKL di taman kota masih belum menunjukkan hasil optimal. Relokasi dan razia sering dilakukan, tetapi tanpa solusi jangka panjang, PKL kembali ke lokasi semula. Ini terjadi di Pantai Padang, di mana pemerintah pernah menertibkan pedagang yang memenuhi pedestrian. Namun, beberapa waktu kemudian, mereka kembali berjualan di tempat yang sama. Masalah serupa juga terjadi di Taman Jam Gadang, Bukittinggi. Meskipun ada upaya penataan oleh Satpol PP, pedagang tetap bermunculan di sekitar kawasan ikon wisata tersebut.
Di sisi lain, pendekatan represif seperti penggusuran tanpa solusi alternatif sering kali memicu perlawanan dari pedagang. Mereka merasa kebijakan tersebut tidak berpihak kepada rakyat kecil. “Kami juga butuh makan. Kalau dilarang jualan di sini, kasih kami tempat lain yang strategis,” ujar salah seorang pedagang di GOR H. Agus Salim. Tanpa adanya perencanaan yang matang, kebijakan penertiban justru menciptakan siklus yang berulang: penggusuran, relokasi, kembalinya PKL, lalu penggusuran lagi.
Masalah ini tentunya bukan hanya soal PKL yang melanggar aturan, tetapi juga karena pemerintah belum memiliki konsep penataan yang jelas. Seharusnya ada solusi jangka panjang yang mempertimbangkan keseimbangan antara ekonomi rakyat kecil dan estetika kota. Jika hanya mengandalkan penertiban tanpa solusi konkret, masalah ini akan terus berulang.
Ruang Khusus PKL yang Estetis dan Fungsional
Untuk meningkatkan kenyamanan taman kota tanpa mengorbankan mata pencaharian PKL, diperlukan pendekatan yang lebih inovatif. Salah satu solusinya adalah dengan membuat area khusus untuk PKL yang tetap mempertahankan estetika dan kenyamanan taman kota. Konsep ini bisa diwujudkan dalam bentuk zona kuliner dan zona suvenir yang terintegrasi dengan konsep taman yang lebih modern dan instagramable.
Di Pantai Padang, misalnya, pemerintah bisa membangun food court terbuka dengan desain yang menyatu dengan lanskap pantai. Dengan penataan yang rapi, wisatawan tetap bisa menikmati kuliner khas tanpa terganggu oleh lapak yang berserakan. Sementara di Taman Jam Gadang, zona khusus suvenir bisa dikembangkan dengan desain yang lebih terorganisir, menyerupai pusat cendera mata di kota-kota wisata lainnya seperti Yogyakarta dan Bandung.
Selain itu, komunitas arsitektur mestinya secara aktif mengusulkan agar taman kota didesain ulang dengan pendekatan urban planning yang lebih inklusif. Misalnya, jalur pedestrian dibuat lebih lebar dan diberi batasan khusus untuk zona PKL agar mereka tidak menghalangi akses utama. Penyediaan kios permanen dengan desain menarik juga bisa menjadi solusi, seperti yang diterapkan di Malioboro, Yogyakarta.
Membangun Kesadaran Bersama
Namun, penataan PKL di taman kota tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan pemerintah. Kesadaran kolektif dari para pedagang dan masyarakat juga diperlukan. Pedagang harus memahami bahwa ketertiban dan kebersihan adalah faktor penting dalam menarik lebih banyak pelanggan. Sementara masyarakat perlu mulai mendukung kebijakan penataan dengan memilih membeli di area PKL yang sudah ditentukan, bukan yang berjualan sembarangan.
Program edukasi dan pelatihan bagi PKL juga bisa menjadi langkah penting. Misalnya, pelatihan tentang pengelolaan sampah dan kebersihan, serta pemanfaatan teknologi digital untuk meningkatkan daya saing mereka. Di era modern ini, PKL juga bisa diberdayakan dengan sistem pemesanan online atau delivery, sehingga tidak harus selalu mengandalkan lapak fisik di taman kota.
Jika penataan dilakukan dengan baik, taman kota tak hanya akan menjadi tempat yang nyaman bagi pengunjung, tetapi juga bisa menjadi daya tarik wisata baru yang lebih teratur dan estetis. Dengan mengadaptasi konsep-konsep taman urban modern yang mengintegrasikan ekonomi rakyat dan kenyamanan publik, kota-kota seperti Padang dan Bukittinggi bisa menjadi contoh sukses dalam pengelolaan ruang publik yang inklusif dan berdaya saing.
Pada akhirnya, solusi terbaik bukanlah meniadakan PKL dari taman kota, melainkan menciptakan sistem yang memungkinkan mereka berkontribusi pada ekosistem ruang publik tanpa mengganggu kenyamanan pengunjung. Dengan pendekatan yang lebih humanis dan berbasis desain yang matang, taman kota bisa menjadi ruang yang benar-benar hidup: tempat rekreasi, interaksi sosial, dan ekonomi rakyat yang berkembang harmonis.
No comments:
Post a Comment