24 March 2025

Konstruksi Wacana dan Persepsi Publik: Adil Sejak Dari Pikiran

Muhammad Nasir


Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membela Mahyeldi sebagai Gubernur Sumatera Barat atau mengabaikan kritik terhadap kinerjanya. Kritik terhadap pejabat publik merupakan bagian dari demokrasi yang sehat. Namun, penting untuk memperhatikan bagaimana kritik tersebut dikonstruksi dan apakah mengandung kekeliruan logis yang dapat mempengaruhi persepsi publik.

Salah satu kekeliruan logis yang sering muncul adalah generalisasi terburu-buru. Kritik terhadap Mahyeldi sering dikemas dalam narasi seperti “Dipanggil buya tapi tak bisa bekerja.” Jika dibiarkan tanpa analisis kritis, narasi ini dapat berkembang menjadi stigma bahwa buya (tokoh agama) secara umum tidak mampu menjadi kepala daerah.

Padahal, kegagalan dalam kepemimpinan bukanlah monopoli ulama. Banyak kepala daerah dari latar belakang  pastor, pendeta, profesor, kolonel, jenderal, insinyur, ekonom, dan pengusaha yang juga mengalami kegagalan. Namun, mengapa hanya buya yang menerima stigma semacam ini? Mengapa kegagalan satu individu dijadikan dasar untuk mendiskreditkan kelompok tertentu?

Kritik yang awalnya ditujukan kepada individu dapat berkembang menjadi stigma terhadap kelompok melalui pola komunikasi yang berulang. Dalam analisis wacana, hal ini disebut sebagai representasi tunggal, di mana kegagalan satu orang dianggap mewakili kelompoknya. Jika kritik terhadap Mahyeldi hanya menyasar kebijakan atau keputusan politiknya, maka wacana tersebut masih berada dalam ranah kritik individu. Namun, ketika kritik ini berkembang menjadi anggapan bahwa buya secara umum tidak bisa bekerja, terjadi pergeseran makna yang problematis.

Stigma ini tidak muncul begitu saja, melainkan terbentuk melalui pengulangan dalam opini publik. Dalam teori komunikasi, sebuah ide yang terus-menerus diulang cenderung diterima sebagai kebenaran meskipun tanpa bukti yang kuat. Fenomena ini dikenal sebagai illusory truth effect, di mana repetisi informasi meningkatkan persepsi kebenarannya (Fazio et al., 2015; Hasher et al., 1977). Ketika narasi “buya tak bisa bekerja” terus diperbincangkan di media sosial, forum diskusi, dan media massa, ia perlahan-lahan dianggap sebagai fakta.

Selain itu, manusia cenderung mempercayai informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka sebelumnya. Bias ini dikenal sebagai confirmation bias, di mana individu lebih cenderung mencari dan menerima informasi yang mendukung keyakinan mereka, serta mengabaikan informasi yang bertentangan (Nickerson, 1998). Jika seseorang sudah memiliki prasangka bahwa ulama tidak cocok dalam politik, maka kritik terhadap Mahyeldi akan memperkuat keyakinan tersebut. Sebaliknya, jika gubernur dari latar belakang lain gagal, mereka cenderung melihatnya sebagai kasus individual, bukan sebagai kegagalan kelompok.

Jika konstruksi wacana ini terus berkembang tanpa koreksi, dalam jangka panjang akan muncul persepsi bahwa ulama memang tidak layak berada dalam politik praktis. Hal ini dapat menciptakan eksklusi sistematis terhadap ulama yang ingin berkontribusi dalam pemerintahan. Padahal, demokrasi yang sehat tidak boleh membatasi partisipasi politik berdasarkan latar belakang profesi atau identitas sosial. Siapa pun, baik akademisi, pengusaha, militer, maupun ulama, memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan selama mereka memiliki kapasitas yang memadai.

Oleh karena itu, kritik yang adil harus berbasis pada kinerja individu, bukan pada generalisasi yang mendiskreditkan kelompok tertentu. Masyarakat perlu lebih kritis dalam menyaring narasi yang berkembang. Apakah kritik yang diarahkan kepada seorang gubernur benar-benar berbasis data atau hanya sekadar opini yang diulang-ulang? Apakah kritik itu berfokus pada individu atau berkembang menjadi stigma terhadap kelompoknya?

Keberhasilan atau kegagalan dalam politik tidak ditentukan oleh latar belakang profesi, tetapi oleh kapasitas, integritas, dan kebijakan yang diambil. Kritik terhadap pejabat publik tetap diperlukan, tetapi harus dilakukan secara adil dan berdasarkan fakta, bukan dengan membangun stigma yang tidak beralasan.

Daftar Pustaka:

Fazio, L. K., Brashier, N. M., Payne, B. K., & Marsh, E. J. (2015). Knowledge does not protect against illusory truth. Journal of Experimental Psychology: General, 144(5), 993-1002.

Hasher, L., Goldstein, D., & Toppino, T. (1977). Frequency and the conference of referential validity. Journal of Verbal Learning and Verbal Behavior, 16(1), 107-112.

Nickerson, R. S. (1998). Confirmation bias: A ubiquitous phenomenon in many guises. Review of General Psychology, 2(2), 175-220.

No comments: