11 June 2022

Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol ============= Terhutang pula rasanya badan ini. Belajar dan berkuras selama seperempat abad di perguruan tinggi yang menyandang nama Tuanku Imam Bonjol, tetapi sosok beliau belum dikenali dengan baik. Sejak tingkat Sarjana (S1), Magister (S2) di IAIN Imam Bonjol Padang. Kemudian mulai lagi menapaki jenjang doktoral (S3) di kampus yang sama yang sudah berubah menjadi universitas sejak tahun 2017. Sekarang namanya Universitas Islam Negeri (UIN), tetapi nama Imam Bonjol yang dinisbatkan pada sosok pemimpin besar revolusi Padri itu masih melekat. Berbeda dengan saudara sapiah balahan-timbang pacahan IAIN Imam Bonjol Padang. Di Bukittinggi, pernah ada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Syekh Djamil Djambek. Syekh ini memang tak ada sangkut pautnya dengan Tuanku Imam Bonjol. Tetapi murid-murid Inyiak Djambek, begitu beliau disapa, menjadi barisan terdepan dalam menopang berdirinya IAIN Imam Bonjol Padang pada masa-masa awal. Legasinya berupa Ilmu Falak, diterus-ajarkan oleh murid-muridnya yang mengajar di IAIN Imam Bonjol Padang. Sayangnya, nama Sjekh Muhammad Djamil Djambek hanya dibibir saja. Dua kali Keputusan Presiden (Kepres RI Nomor 11 Tanggal 21 Maret 1997 dan Kepres RI No. 78, tahun 2006) tak tersebut nama beliau di nomenklatur nama perguruan tinggi Islam tersebut. Ditambah satu kali lagi Peraturan Presiden, yaitu (Peraturan Presiden nomor 181 tahun 2014 tentang perubahan STAIN Bukitinngi menjadi IAIN Bukitinggi, sama saja, tak ada nama ulama besar tersebut. Padahal, Sjekh Muhammad Djamil Djambek dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertabligh di muka umum. Lebih lanjut, kalau diperiksa benar riwayat hidup beliau, boleh disebutkan bahwa tradisi ceramah, tabligh akbar dan kemudian majlis taklim yang populer saat ini berakar dari kebiasaan atau metode beliau dalam mengajarkan agama. Karena itu, dalam pangana saya, ilmu dan metode dakwah mestinya menjadi pusat keunggulan IAIN Bukittinggi. Berharap benar kita. Apalagi Bukittinggi, jaman dahoeloe, merupakan epicentrum dakwah lisan dan tulisan. Ada banyak penerbitan pula di sana. Cerita yang sama untuk anak pisang IAIN-UIN Imam Bonjol lainnya, yaitu STAIN, sekarang IAIN Batusangkar. Kerap disebut-sebut dengan nama STAIN Prof Mahmud Yunus (Mahmoed Joenoes) Batusangkar. Sebagaimana diketahui, Prof Mahmoed Joenoes (1899-1982), putra Sungayang itu adalah rektor pertama IAIN Imam Bonjol Padang yang menjabat tahun 1967-1970. Berdasarkan Kepres No. 11/1997 dan Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 285/1997 mengubah status dari Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol menjadi sekolah tinggi agama Islam negeri (STAIN).Berdasarkan Perpres No. 147 tahun 2015, tanggal 23 Desember 2015 resmi menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar. Lagi-lagi, tak ada nama beliau di nomenklatur itu. Aa…sudahlah. Tapi, sedikit yang perlu dipikirkan sekarang adalah, upaya mengusulkan Prof Mahmud Yunus sebagai pahlawan nasional. Semasa hidupnya, sejak sebelum kemerdekaan, beliau sudah berkecimpung dalam dunia pergerakan dan pendidikan. Sebagai ulama, ia ikut aktif berjuang bersama Majelis Islam Tinggi (MIT) Minangkabau. Semasa Jepang beliau ikut mendorong bahkan merekrut pemuda-pemuda agar ikut pelatihan militer melalui Gyugun. Berkat usaha beliau pulalah kiranya, semangat bertempur bujang-bujang Minang yang pudur setelah Perang Padri dan rentetan Perang Belasting di beberapa wilayah Minangkabau kembali bangkit. Di bidang pendidikan apalagi. Betapa gigihnya beliau mengusulkan kepada pemerintah Jepang agar memasukkan pelajaran agama ke sekolah umum milik pemerintah. Apa pesannya? Jelas agar pendidikan agama Islam ini harus menjadi urusan pemerintah. Itu pulalah sebabnya, setelah kemerdekaan, beliau terlihat concern dalam bidang pendidikan. Beliau yang malang melintang sebagai birokrat pendidikan, begitu serius membidani lahirnya lembaga pendidikan Islam modern, tentu saja untuk mempertinggi derjat sumber daya manusia Indonesia. Pantas pulalah memikirkan tempat yang layak untuk beliau dalam sejarah nasional Indonesia, yaitu dalam daftar pahlawan nasional Indonesia. ==== Hampir saja lupa kita tentang Tuanku Imam Bonjol yang kita bentang di awal tulisan ini. Sesuai judul, bagian terbesar tulisan ini tentunya mesti bercerita tentang sosok beliau. Kita-kita yang mengenyam pendidikandi IAIN-UIN Imam Bonjol , terutama adik-adik dan generasi di bawah saya mestinya mengenal beliau dengan baik dan mengambil pelajaran-pelajaran yang bermakna bagi kita sendiri. Apalagi jika dicari relevansi sosok dan perjuangan beliau dengan dunia pendidikan. FYI, sejauh yang saya amati, kesalahan paling sering dalam penulisan (typo) yang saya temui adalah menulis kata Bonjol dengan kata "Bpnjol." Betapa naif dan tak awasnya kita. Sebagai pembuka wacana, tak ada salahnya meangabstraksikan hidup beliau dalam dunia pendidikan. Beliau mengawali hidup dari dunia pendidikan dan pengajaran selama kurang lebih 28 tahun, dan sekitar 27 tahun sisa usianya di pengasingan (Padang, Cianjur, Ambon dan Manado) juga dihabiskan dengan dunia pengajaran. Penjumlahan usia pengabdian beliau dalam dunia pendidikan ini, tentunya tak kalah mentereng dari perjuangan bersenjata beliau sebagai panglima perang yang membangkrutkan pemerintah Belanda selama Revolusi Padri. Beliau berkata, "semakin banyak ilmu yang dituntut, akan semakin banyak pula tampak yang tidak patut. Semakin banyak pengalaman seseorang, akan semakin banyak pula terlihat kepincangan. Untuk itulah guna ilmu, untuk berjuang." Itulah pesan beliau kepada pangikutnya. Apa yang kita perbuat sesungguhnya tidak ada yang patut dipuji, termasuk perang2 ini. Karena berapa benarlah hebatnya buatan (karya) manusia, apalagi jika bersamanya ada kemudharatan. Karena itu, kerja sebenarnya adalah mengurang-ngurangi kemudaratan itu. Itu yang berat. Termenung-menung kita membaca pesan-pesan itu. Apalagi melihat fenomena dunia kecendekiaan belakangan ini. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin berterima dia dengan ketidakpatutan. Semakin banyak pengalamannya, bukannya semakin nyalang matanya melihat kepincangan, justru sensitifitasnya makin hilang. Ilmu dan pengalaman tak lebih sebagai alat tukar untuk bersenang-senang. Entahlah, kalau itu dalam pengamatan saya saja. #TuankuImamBonjol (bersambung, kalau takana)

No comments: