11 June 2022

Pasal Makanan: Kuliner-Gastronomi dan Kebudayaan

Pasal Makanan: Kuliner-Gastronomi dan Kebudayaan Muhammad Nasir Makanan dalam sejarah manusia berkaitan dengan perut. Lapar? Ya, makan. Tapi manusia itu banyak maunya, maka terjadilah kebudayaan. Tak bisa asal bisa makan saja. Apa yang dimakan, bagaimana mendapatkannya, bagaimana mengolahnya, bagaimana menyajikannya dan seberapa besar harganya menjadi amat penting bagi manusia. Intinya manusia bukan hewan, yang penting makan. Tak dapat milik sendiri, milik temanpun dihajar. Dalam kajian kebudayaan, makanan tidak semata dikaji fungsi pokoknya sebagai pemenuh kebutuhan pangan belaka. Tetapi lebih dari itu, makanan memiliki fungsi lainnya yang sensitif. Misalnya fungsi keagamaan, fungsi adat, fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Pada kebudayaan dan agama tertentu, makanan mempunyai nilai tertentu. Nilai baik dan buruk. Karena itu ada makanan yang disakralkan karena merupakan identitas kultural dan identitas keagamaan. Tak mencengangkan bila kita agak rajin mengamati, surfing di internet dan menggali, kasus2 terkait makanan sebagai identitas kultural dan identitas keagamaan banyak sekali terjadi. Umumnya terjadi persengketaan yang membuang energi. Antara yang pro dan kontra, dan setelahnya muncul perasaan saling tak "bakalamak-an" Misalnya, randang bagi masyarakat Minangkabau memiliki fungsi adat karena menjadi bagian penting dalam acara2 adat. Simbol2 adat sudah ditanamkan sejak proses pembuatan hingga cara dan waktu penyajiannya. Kemudian, zaman berubah, waktu berganti. Randang berkisar dari fungsi adatnya. Randang dibahas sebagai bagian dari teknologi pengolahan bahan makanan dan menjadi tema kajian kuliner. Bahkan jauh dari itu, randang sudah merambah ke fungsi ekonomi makanan sebagai komoditas dagang. Randang sudah menjadi lauk pauk yang lazim ditemukan di lapau nasi atau rumah makan. Pun di tanah domestik, randang sudah tidak aneh lagi, sudah menjadi lauk pauk harian. Salah satu sebabnya adalah kemajuan ekonomi dan perubahan perspektif terhadap fungsi randang. Pada bagian tertentu, makanan juga berhubungan dengan fungsi sosial, sebagai bagian dari pergaulan, basa basi sosial dalam masyarakat. Pada kebudayaan tertentu, malahan nakanan sangat terkait dengan kelas sosial. Setiap kebudayaan pasti punya jenis makanan yang disajikan dalam fungsi ini. Misalnya, di Minangkabau, katan goreng merupakan bagian terpenting dari aktivitas perjamuan sosial seperti menjamu tamu, peneman minum kopi atau teh. Istilahnya, minum kawa, kapok, kulek dan sebagainya. Secara bergantian, makanan disajikan menyesuaikan dengan jenis tamu yang hadir. Yang populer, kita bisa melihat makanan sebagai jajanan pasar dengan mengusung visi ekonomi. Mekanisme pasar dan selera menjadi alat ukurnya. Tak mengherankan jika makanan yang berasal dari banyak daerah bisa ditemukan di satu pasar. Industri, distribusi dan pemasaran makanan menjadi penentu dalam fungsi ini. Makanan dalam fungsi ekonomi sudah "turun kelas" menjadi jajanan pasar. Mungkin makanan ini memiliki nilai sakral di daerah asalnya, tapi menjadi biasa saja begitu sampai di meja pedagang pasar. Makanan sebagai identitas budaya Membahas makanan dalam kebudayaan sangat komplit. Mula dari membahas bahan, teknologi mengolah, menyajikan, hingga nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Ada pula ilmu khusus yang membahasnya, yaitu gastronomi. Gastronomi berasal dari Bahasa Yunani kuno gastros yang artinya "lambung" atau "perut" dan nomos yang artinya "hukum" atau "aturan". Gastronomi meliputi studi dan apresiasi dari semua makanan dan minuman. Selain itu, gastronomi juga mencakup pengetahuan mendetail mengenai makanan dan minuman nasional dari berbagai negara besar di seluruh dunia. Gastronomi berguna sebagai landasan untuk memahami bagaimana makanan dan minuman digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Melalui gastronomi dimungkinkan untuk membangun sebuah gambaran dari persamaan atau perbedaan pendekatan atau perilaku terhadap makanan dan minuman yang digunakan di berbagai negara dan budaya. Ditinjau dari segi gastronomi praktis, beberapa masakan khas Indonesia dikaitkan dengan perayaan tertentu seperti perayaan agama. Contohnya pada saat hari raya Lebaran yang dirayakan oleh umat Muslim, masakan menggunakan ketupat adalah masakan yang umum disajikan. Sementara, di saat "selamatan", yaitu tradisi berdoa sebelum kegiatan tertentu seperti pernikahan atau membangun rumah, tumpeng atau nasi kuning yang dibentuk seperti kerucut disajikan. Pada Hari Raya Nyepi yang dirayakan umat Hindu biasanya disajikan kue kering dan manisan. Oleh sebab itu, siapapun itu harus paham, bahwa di NKRI harga mati ini, makanan tidak berhenti sebatas perut saja. Jika tak pandai-pandai membaca keadaan, tentu akan berurusan dengan elemen-elemen pendukung kebudayaan. Boleh jadi ada masyarakat tertentu yang santuy dan easy going terhadap perlakuan apapun terhadap makanan sebagai identitas budayanya. Namun tentu saja ada yang marah dan tak rela bila makanan tradisionalnya dipabagai-bagaikan. "Babiambo" mungkin sebuah contoh kasus. Dugaan saya, resistensi muncul bukan semata karena rendangnya. Merendang dalam teknologi masak-menasak merupakan salah satu metode mengolah bahan makanan. Jika terkait teknologi ini, mungkin tak akan muncul resistensi. Banyak orang merendang lokan, telur, bahkan "paku" Sekalipun tak ada yang marah. Tetapi, jika sudah terkait rendang babi, apalagi sudah dikaitkan dengan masakan padang atau rendang padang, tentu agak "meha" orang minang. Sebab ada tiga kata dalam sistem berpikir orang Minangkabau yang langsung bereaksi, yaitu padang-minang-islam. Apalagi, bagi muslim di daerah lain, masakan padang dan rendang sudah terlanjur dipercaya sebagai jaminan makanan halal. Jangan bicara sejarah. Jauh hari sebelum islam masuk ke Minangkabau, rendang babi, rendang tikus dan rendang ular sudah biasa dalam daftar kuliner Minangkabau. Sekarang orang Minangkabau sudah menghapus itu dari daftar menunya. Bayangkan jika rendang tikus, ular dan babi ada di rumah makan padang, dijamin tertungkuik periuknya. Be-a BA, Be-i BI. KONDIAK! 😂

No comments: