Sejarah Islam Kawasan Asia Tenggara
Dinamika Islam di
Filipina
Pendahuluan
Asia Tenggara merupakan kawasan terpenting
dalam perkembangan Islam sejak abad ke-15 hingga ke-17. Sejak saat itu, paling
tidak Islam diterima oleh beberapa negara besar dan umat Islamnya paling sering
menjadi perbincangan dunia, yaitu, Indonesia dengan penduduk muslim terbesar,
Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, Thailand dengan Muslim Pattani-nya
hingga Filipina dengan Moro dan Abu Sayyaf-nya. Beberapa negara lainnya seperti
Birma, Laos dan Kamboja meski ditemui penganut Islam, tetapi tidak terlalu
signifikan aksi dan gerakan keislamannya. Negara-negara yang terakhir disebut
pada umumnya berkembang dengan semangat Budha atau Hindu. Sementara Akbar S.
Ahmed menganggap bahwa ”bahasa, agama dan budaya merupakan tanda-tanda penting
untuk identitas kita”[i].
Asia Tenggara juga merupakan problem
tersendiri bagi perkembangan Islam. Identitasnya sebagai kawasan sempat
diragukan oleh berbagai kalangan. Anthony Reid misalnya bertanya, ”tetapi
apakah ini (Asia Tenggara-pen) memang sebuah kawasan?...Asia Tenggara
tidak mempunyai persamaan agama dan kebudayaan klasik yang besar dan tidak pernah menjadi bagian dari sebuah
negara (polity) tunggal. Menurut Reid, kawasan ini diberi nama untuk
mempermudah penyebutan secara georafis yaitu dengan nama India Jauh (Further
India) atau Indo-Cina.[ii]
Pendapat lainnya menyatakan secara
historis kawasan ini telah menjadikan Islam sebagai dasar hubungan antar negara
mereka. Hal ini bisa dilihat dari proses islamisasi yang bergerak dari titik
Patani, Bugis-Makasar, Sulu-Manguindanao. Bukti lainnya sekitar abad ke-18
suasana ini telah dimanfaatkan untuk mengumandangkan perang sabil dengan
landasan jihad melawan kafir dengan Selat Malaka sebagai porosnya.[iii]
Terlepas dari kontroversi penamaan kawasan
ini sepertinya Islam termasuk salah satu faktor yang memperdekat jarak di
antara negara-negara yang dipisahkan oleh lautan ini. Faktor lainnya yang
banyak disebut adalah faktor perdagangan, meskipun dalam alasan ini Islam tetap
disebut-sebut sebagai aktor Islamisasi Asia Tenggara. Misalnya mengenai masuknya
Islam di Filipina tidak lepas dari peran Raja Baguinda seorang pangeran dari
Minangkabau (Sumatra Barat) di Indonesia.
Perkembangan kontemporer Islam di Asia
Tenggara ternyata tidak nyaman untuk dilihat. Bagaimanapun faktor Islam tidak
bisa dilepaskan dari kajian tentang wilayah ini. Robert W. Hefner berpendapat
bahwa Asia Tenggara dalam perspektif Barat adalah Islam atau rumah bagi orang
Muslim yang populasinya melebihi Arab Timur Tengah.[iv]
Berbagai aksi kekerasan yang dituduhkan kepada kelompok fundamentalis beraliran
radikal telah merusak citra Islam di kawasan ini. Misalnya Jama’ah Islamiyah
dan Majelis Mujahidin di Malaysia, kelompok Majelis Mujahidin Indonesia di
bawah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir serta beberapa aksi terorisme di Indonesia dan
di Filipina dengan kelompok Abu Sayyafnya. Beberapa kasus belakangan
menunjukkan para aktor yang diduga terorisme bergerak dan membuat jaringan di
tiga wilayah ini.
Sesungguhnya persoalan masyarakat Muslim
Asia Tenggara sangat rumit dan tidak
dapat diseragamkan. Fundamentalisme[v]
yang pada satu sisi diartikan sebagai kebangkitan Islam menemukan konteks yang
berbeda. Chandra Muzaffar[vi]
mencatat bahwa kesadaran dan kebangkitan Islam di Filipina diartikulasikan
dalam gerakan yang radikal. Fenomena ini menarik untuk dibahas, terutama untuk
mencari penjelasan atas sebab musabab radikalisme gerakan Islam di Filipina.
Makalah ini tidak akan membahas secara utuh jaringan Islam di kawasan Asia
Tenggara, tetapi mencoba mengambil pembahasan Islam di Filipina yang nasibnya
tidak kunjung membaik dan dikategorikan sebagai agama yang dianut minoritas
penduduk Mindanao. Pembahasan meliputi sejarah masuknya Islam di Filipina,
dinamika Islam di era kolonialisasi hingga isu-isu kontemporer. Semuanya akan
diulas serba singkat dan mengambil beberapa
bagian yang dianggap penting saja (highligts).
Sejarah masuknya Islam
Secara geografis wilayah Filipina terbagi
dua wilayah kepulauan besar, yaitu Filipina Utara dengan kepulauan Luzon dan
gugusannya serta Filipina Selatan dengan kepulauan Mindanao dan gugusannya.[vii]
Muslim Moro atau lebih dikenal dengan Bangsa Moro adalah komunitas Muslim yang
mendiami kepulauan Mindanao-Sulu beserta gugusannya di Filipina bagian selatan.
Di Luzon Islam juga sempat berkembang
namun hanya sedikit saja yang dapat diceritakan tentangnya. Sama halnya dengan
penduduk Mindanao, Muslim di dataran rendah Luzon juga disebut orang Moro.
Ketika proses Islamisasi tahap awal penduduk Islam Luzon dikenal sebagai orang
kaya yang memiliki banyak emas. Reid menyimpulkan perkataan Islam sama artinya
dengan kekayaan, keberhasilan dan kekuasaan.[viii]
Hal ini menguatkan dugaan bahwa Islam masuk ke Filipina melalui jalur dagang.
Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan,
khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao, pada tahun 1380. Seorang tabib dan ulama
Arab bernama Karimul Makhdum (Syeikh Makhdum). Syeikh Makhdum datang ke
Simunul[ix]
dengan menggunakan kapal besi yang besar. Banyak pedagang dan da’i muslim yang
mengikuti Syeikh Makhdum dan menghabiskan waktunya di Simunul, mengajarkan
Islam kepada penduduk setempat.[x]
Informasi lainnya, Raja Baguinda tercatat
sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut.
Menurut catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau[xi]
(Sumatra Barat). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil
mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja
kerasnya juga akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari
Manguindanao, memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis. Pada masa
itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan kodifikasi hukum yaitu Manguindanao
Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb,
Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab.[xii]
Manguindanao kemudian menjadi seorang Datu yang berkuasa atas propinsi
Davao di bagian tenggara pulau Mindanao. Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau
Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya. Sepanjang garis
pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin
Islam yang bergelar Datu atau Raja bahkan setelah kedatangan orang-orang
Spanyol. Konon kata Manila
(ibukota Filipina sekarang) berasal dari kata Amanullah (negeri Allah
yang aman). Pendapat ini bisa jadi benar mengingat kalimat tersebut banyak
digunakan oleh masyarakat Islam sub-kontinen (anak benua India).
Masa Kolonial Spanyol
Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke
Filipina pada 16 Maret 1521, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain
dibalik "ekspedisi ilmiah" Ferdinand de Magellans. Ketika kolonial
Spanyol menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak
demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka justru menemukan penduduk
wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani dan pantang menyerah.
Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian kilometer demi
kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan Sulu takluk pada tahun
1876). Menghabiskan lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan perang
berkelanjutan melawan kaum Muslimin. Namun, walaupun demikian, kaum Muslimin
tidak pernah dapat ditundukan secara total.
Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule
(pecah belah and kuasai) serta mision-sacre (misi suci Kristenisasi)
terhadap orang-orang Islam.[xiii]
Bahkan orang-orang Islam di-stigmatisasi (julukan terhadap hal-hal yang
buruk) sebagai "Moor" (Moro). Artinya orang yang buta huruf, jahat,
tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh). Sejak saat itu julukan
Moro melekat pada orang-orang Islam yang mendiami kawasan Filipina Selatan
tersebut.[xiv]
Sejarah mencatat, orang Islam
pertama yang masuk Kristen akibat politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini
adalah istri Raja Humabon dari pulau Cebu, kemudian Raja Humabon sendiri dan
rakyatnya.
Masa Imperialisme Amerika Serikat[xvii]
Sekalipun Spanyol gagal menundukkan
Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian
dari teritorialnya. Secara tidak sah dan tak bermoral Spanyol kemudian menjual
Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 melalui Traktat
Paris.[xviii]
Amerika datang ke Mindanao dengan
menampilkan diri mereka sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Hal
ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898)
yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat,
kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro. Namun traktat tersebut hanya
taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada
saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner
Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo.[xix]
Terbukti setelah kaum revolusioner kalah
pada 1902, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur
tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903) Mindanao dan
Sulu disatukan menjadi wilayah propinsi Moroland dengan alasan untuk
memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu. Periode berikutnya
tercatat pertempuran antara kedua belah pihak. Teofisto Guingona, Sr. mencatat
antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali pertempuran. Tahun 1921-1923,
terjadi 21 kali pertempuran.
Patut dicatat bahwa selama periode
1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah
serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan
periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan
Bangsa Moro.
Namun Amerika memandang peperangan tak
cukup efektif meredam perlawanan Bangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan
strategi penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan bujukan. Kebijakan ini
kemudian disempurnakan oleh orang-orang Amerika sebagai ciri khas penjajahan
mereka.
Kebijakan pendidikan dan bujukan yang
diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang sangat efektif dalam
meredam perlawanan Bangsa Moro. Sebagai hasilnya, kohesitas politik dan
kesatuan di antara masyarakat Muslim mulai berantakan dan basis budaya mulai
diserang oleh norma-norma Barat.
Pada dasarnya kebijakan ini lebih disebabkan keinginan Amerika memasukkan
kaum Muslimin ke dalam arus utama masyarakat Filipina di Utara dan
mengasimilasi kaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen.
Seiring dengan berkurangnya kekuasaan politik para Sultan dan berpindahnya
kekuasaan secara bertahap ke Manila, pendekatan ini sedikit demi sedikit
mengancam tradisi kemandirian yang selama ini dipelihara oleh masyarakat
Muslim.
Masa Peralihan
Masa pra-kemerdekaan ditandai dengan masa
peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika ke pemerintah Kristen Filipina di
Utara. Untuk menggabungkan ekonomi Moroland ke dalam sistem kapitalis,
diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS yang sangat kapitalistis
seperti Land Registration Act No. 496 (November 1902) yang menyatakan
keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis, ditandatangani dan di bawah
sumpah. Kemudian Philippine Commission Act No. 718 (4 April 1903) yang
menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datu, atau kepala Suku Non-Kristen
sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang atau izin dari pemerintah.
Demikian juga Public Land Act No. 296 (7 Oktober 1903) yang menyatakan
semua tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act No. 496
sebagai tanah negara, The Mining Law of 1905 yang menyatakan semua tanah
negara di Filipina sebagai tanah yang bebas, terbuka untuk eksplorasi,
pemilikan dan pembelian oleh WN Filipina dan AS, serta Cadastral Act of 1907
yang membolehkan penduduk setempat (Filipina) yang berpendidikan, dan para
spekulan tanah Amerika, yang lebih paham dengan urusan birokrasi, untuk
melegalisasi kalim-klaim atas tanah.
Pemberlakukan Quino-Recto
Colonialization Act No. 4197 pada 12 Februari 1935[xx]
menandai upaya pemerintah Filipina yang lebih agresif untuk membuka tanah dan
menjajah Mindanao. Pemerintah mula-mula berkonsentrasi pada pembangunan jalan
dan survei-survei tanah negara, sebelum membangun koloni-koloni pertanian yang
baru. NLSA - National Land Settlement Administration - didirikan
berdasarkan Act No. 441 pada 1939. Di bawah NLSA, tiga pemukiman besar yang
menampung ribuan pemukim dari Utara dibangun di propinsi Cotabato Lama.
Pada intinya ketentuan tentang hukum tanah
ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum Muslimin (tanah adat dan
ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Filipina di Utara yang menguntungkan
para kapitalis. Bahkan seorang senator Manuel L. Quezon pada 1936-1944 gigih
mengkampanyekan program pemukiman besar-besaran orang-orang Utara dengan tujuan
untuk menghancurkan keragaman (homogenity) dan keunggulan jumlah Bangsa
Moro di Mindanao serta berusaha mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat
Filipina secara umum.
Kepemilikan tanah yang begitu mudah dan mendapat legalisasi dari pemerintah
tersebut mendorong migrasi dan pemukiman besar-besaran orang-orang Utara ke
Mindanao. Banyak pemukim yang datang, seperti di Kidapawan, Manguindanao,
mengakui bahwa motif utama kedatangan mereka ke Mindanao adalah untuk
mendapatkan tanah. Untuk menarik banyak pemukim dari utara ke Mindanao,
pemerintah membangun koloni-koloni yang disubsidi lengkap dengan seluruh alat
bantu yang diperlukan. Konsep penjajahan melalui koloni ini diteruskan oleh
pemerintah Filipina begitu AS hengkang dari negeri tersebut. Sehingga perlahan
tapi pasti orang-orang Moro menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka
sendiri.
Masa Pasca Kemerdekaan hingga Sekarang
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina
(1946) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa
Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata
memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Namun patut dicatat, pada
masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front
perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam,
MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Namun pada saat yang sama juga sebagai masa
terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan
mereka secara keseluruhan.
Pada awal kemerdekaan pemerintah Filipina
disibukkan dengan pemberontakan kaum komunis Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban
Sa Hapon.[xxi]
Sehingga tekanan terhadap perlawanan Bangsa Moro dikurangi. Gerombolan komunis
Hukbalahab ini awalnya merupakan gerakan rakyat anti penjajahan Jepang, setelah
Jepang menyerah mereka mengarahkan perlawanannya ke pemerintah Filipina.
Pemberontakan ini baru bisa diatasi di masa Ramon Magsaysay, menteri pertahanan
pada masa pemerintahan Eipidio Qurino (1948-1953).[xxii]
Tekanan semakin terasa hebat dan berat
ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986). Dibandingkan dengan masa
pemerintahan semua presiden Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos maka
masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif
bagi Bangsa Moro. Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada
1968[xxiii]
dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap
politik Marcos yang lebih dikenal dengan Presidential Proclamation No. 1081
itu.
Perkembangan berikutnya MLF sebagai induk
perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah. Pertama, Moro National Liberation
Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang berideologikan
nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan
Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan
bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam
perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali
menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu
Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini
memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi
pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro.
Ditandatanganinya perjanjian perdamaian
antara Nur Misuari (ketua MNLF) dengan Fidel Ramos (Presiden Filipina) pada 30
Agustus 1996 di Istana Merdeka Jakarta lebih menunjukkan ketidaksepakatan
Bangsa Moro dalam menyelesaikan konflik yang telah memasuki 2 dasawarsa itu. Di
satu pihak mereka menghendaki diselesaikannya konflik dengan cara diplomatik
(diwakili oleh MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki perjuangan
bersenjata/jihad (diwakili oleh MILF).
Perkembangan terakhir, MILF kelompok
terbesar yang menggulirkan perjuangan memisahkan diri dari Filipina, menyatakan
mereka siap berjabat tangan dengan pemerintah Filipina. Kedua pihak telah
menyelesaikan sekitar 80 persen dari persoalan yang perlu dibahas. Kecuali soal
pemerintahan, dia melanjutkan, masalah konsep, wilayah, dan sumber daya alam
telah selesai dibahas. Murad Ibrahim, juru bicara MILF menekankan, pihaknya
tidak akan menerima tawaran otonomi dari pemerintah Filipina seperti yang
dilakukan Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) pimpinan Nur Misuari.
Komitmen damai itu tercetus setelah
kelompok itu mengadakan pertemuan internal. Puluhan ribu pendukung MILF
berkumpul dalam pertemuan yang berlangsung selama tiga hari, 29-31 Mei di kamp
Darapanan, Mindanao, Filipina Selatan. Selain Murad Ibrahim, tampak pula Wakil
Ketua Urusan Politik Ghazali Jaafar, Wakil Ketua Urusan Militer Abdulaziz
Mimbantas, Muhaghir Iqbal (ketua tim perunding MILF), Dr Abdurahman Amin
(utusan Misuari), Silvestre Afable Jr (ketua tim perunding pemerintah), Deles
(penasihat Arroyo urusan proses perdamaian), Duta Besar Libya Salim Adam, dan
Mayor Jenderal Dato Zulkifli bin Muhammad Zain dari Malaysia.[xxiv]
Barangkali yang tersisa dari gerakan
bangsa Moro adalah pencitraan terhadap gerakan muslim radikal yang mengambil
jalan kekerasan. Pencitraan ini selaras dengan penyebutan teroris terhadap para
pejuang tersebut yang akhir-akhir ini semakin kuat disorot sebagai terorisme
Asia Tenggara.
Aksi terorisme ini tidak lepas dari peran
Abdurasul Sayaf, pejuang Muslim Filipina. Abdurrasul Sayyaf atau Abu
Sayyaf diduga kuat sebagai penghubung
anatar Jama’ah Islamiyah dengan al Qaeda melalui organisasi Tandzim al
Ittihad al Islami yang dipimpinnya.
Tandzim ini merupakan tempat berkumpulnya para alumni Mujahidin
Afghanistan. Gerakan ini menginginkan terbentuknya Negara Islam Asia Tenggara.[xxv]
Pada awalnya gerilyawan Abu Sayyaf merupakan organ sayap dari MILF. Dalam
aksinya mereka diduga sering merampok, menculik, dan membajak. Selain itu,
mereka menggunakan bekas pusat-pusat pelatihan di Mindanao untuk melatih serta
merekrut calon-calon teroris baru. Akhirnya ini menjadi “PR” baru bagi umat
Islam Filipina untuk mengahapus pencitraan jelek terhadap umat Islam sebagai
bangsa yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang
bunuh) dan suka berperang.
Penutup
Umat Islam Filipina ternyata berada ada
posisi yang unik sekaligus tidak beruntung. Pada awalnya mereka merupakan para
pejuang tangguh bangsa Filipina untuk mengusir pejajahan bangsa Eropa, namun
pasca kemerdekaan mereka menjadi ”pecundang” yang masih terus berjuang
mendapatkan hak-haknya sebagai bangsa dengan identitas muslim.
Hal ini berbeda dengan beberapa wilayah
yang berpenduduk muslim yang berhasil mendapatkan kemerdekaannya dengan
didukung semangat nasionalisme. Misalnya, Indonesia berhasil memerdekakan diri
17 Agustus 1945 dan belahan dunia Islam lainnya seperti Pakistan yang minoritas
berhasil meraih kemerdekaan pada 15 Agustus 1947. Gagasan nasionalisme yang
datang dari barat tidak cukup kuat masuk ke alam pergerakan kaum muslim Moro
karena kaum muslimin berada dalam posisi minoritas sehingga para peejuang
muslim Filipina lebih memilih mengambil jalan nasionalisme sendiri, yaitu
nasionalisme Islam.
Badri Yatim sendiri cenderung menilai
penyebab dari keterlambatan muslim Filipina dalam meraih kemerdekaan adala
karena faktor minoritas mereka di tengah negara nasional. Kondisi ini
menyulitkan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.[xxvi]
Agaknya sulit melihat fenomena terkini
Islam di Filipina semisal Gerakan Abu Sayyaf sebagai satu bentuk dari Gerakan
Kebangkitan Islam. Raison d’etre Abu Sayyaf tidak lebih respon terhadap
lemahnya perjuangan diplomasi MILF dan fenomena global yang mencitrakan
dominasi berlebihan bangsa-bagsa Eropa plus Amerika atas kaum muslimin. Padahal
gerakan kebangkitan Islam mesti dilihat secara holistik sebagai gejala
kebangkitan peradaban Islam yang mencakup segala aspek. Gerakan abu Sayyaf
tidak lebih sebagai gerakan perlawanan dengan semangat klasik yaitu perjuangan
bersenjata dan tanpa berupaya membangun gerakan alternatif. Wallâhu A’lam!
Padang,
Januari 2008
DAFTAR BACAAN
Abdullah, Taufik dkk. (ed),
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003
______________ dan Sharon
Siddique (ed), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta:LP3ES,
1988
Ahmed, Akbar S., Rekonstruksi Sejarah Islam di Tengah Pluralitas
agama dan Peradaban, (terj), Yogyakarta: Fajar Putaka Baru, 2003
Azra,
Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1996
Hefner, Robert W. dan
Patricia Horvatich (ed) Islam di Era Negara Bangsa, Politik dan Kebangkitan
Agama Muslim Asia Tenggara (terj), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001
Madjid, Nurcholish, Indonesia Kita, Jakarta:
Paramadina 2004
Majul, Cesar A., Dinamika Islam Filipina, Jakarta:
LP3ES, 1989
Nasution, Harun dan
Azyumardi Azra (ed), Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1985
Purwanto,Wawan H., Terorisme
Undercover; Memberantas Teroris Hinga ke Akar-akarnya, Mungkinkah?, Jakarta:
CMB Press, 2007
Reid, Anthony, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Sebuiah
Pemetaan, (terj). Jakarta: LP3ES, 2004
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
Harian Haluan (Padang), 12 April
2003
Koran Tempo, (Jakarta), Rabu, 1 Juni 2005
http://www.angelfire.com/id/sidikfound/moro.html
[i] Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah
Islam di Tengah Pluralitas agama dan Peradaban, (terj), Yogyakarta:
Fajar Putaka Baru, 2003, h. 16
[ii] Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Sebuah
Pemetaan, (terj). Jakarta: LP3ES, 2004, h.4-5
[iii] Taufik Abdullah dan Sharon Siddique
(ed), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES,
1988, h. 96-97
[iv] Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich
(ed) Islam di Era Negara Bangsa, Politik dan Kebangkitan Agama Muslim Asia
Tenggara (terj), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, h.5
[v]Dalam kaitan ini pula
digunakan istilah al-Ushuliyyah al-Islamiyyah yang mengandung
pengertian; kembali kepada fundamen-fundamen keimanan; penegakan kekuasaan
politik ummah;dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah (syar’iyyah al-hukm).Formulasi ini, seperti
terlihat, menekankan dimensi politik gerakan Islam, ketimbang aspek
keagamaannya. Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Jakarta:Paramadina,
1996, h. 109.
[vi] Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed), Perkembangan
Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, h.73.
[vii] http://www.angelfire.com/id/sidikfound/moro.html
[viii] Reid, op.cit. h.36-37
[ix] Simunul terletak tujuh mil sebelah
selatan Pulau Bongao di ujung barat Tawi-tawi, hanya beberapa Mil dari Sabah,
Malaysia. Hefner, op.cit.,h. 244
[x] Ibid, h.148
[xi] Taufik Abdullah, op.cit., h.67
[xii] Hefner,op.cit., h. 67 dan
241-274
[xiii]Taufik Abdullah dkk. (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2003, h. 477
[xiv]
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, Jakarta: Paramadina 2004, h.19
[xv] Hefner, op.cit, h. 59-63
[xvi]Terlihat ada
kesinambungannya dengan gerakan fundamentalisme Islam kontemporer yang lebih
banyak sebagai respon terhadap Barat. Paling tidak ada dua masalah besar yang
menjadi perhatian kelompok fundamentalis Islam; Pertama, mereka menolak
sekularisme Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kedua,
banyak masyarakat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperìntah
dengan menggunakan Al-Qur-an dan syari'at Islam sebagai hukum negara.
Gerakan-gerakan ini disamping menjadikan jihad sebagai maskot utama gerakannya,
mereka juga mengangkat tema-terna yang sering di dengungkan oleh kaurn
fundamentalis Kristen pada umumnya.
[xvii] Bagian ini sepenuhnya ringkasan dari
http://www.angelfire.com/id/sidik-found/moro.html
serta beberapa sumber lainnya.
[xviii] Ensiklopedi, op.cit.
[xix] Cesar A. Majul, Dinamika Islam Filipina, Jakarta:
LP3ES, 1989, h. 13-14
[xx] Muhammad Nasir, Indonesia; Filipina 30
Tahun yang Lalu, Artkel di Harian Haluan (Padang), 12 April 2003
[xxii] Majul, op.cit., h.26
[xxiii] Ibid, h.
43-47
[xxiv] Koran Tempo, Rabu, 1 Juni 2005
[xxv] Wawan H. Purwanto, Terorisme Undercover; Memberantas Teroris
Hinga ke Akar-akarnya, Mungkinkah?, Jakarta: CMB Press, 2007, h. 30.
[xxvi] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006, h. 189
No comments:
Post a Comment