15 November 2018

Dinamika Islam di Filipina


Sejarah Islam Kawasan Asia Tenggara
Dinamika Islam di Filipina
 Oleh: Muhammad Nasir

Pendahuluan

Asia Tenggara merupakan kawasan terpenting dalam perkembangan Islam sejak abad ke-15 hingga ke-17. Sejak saat itu, paling tidak Islam diterima oleh beberapa negara besar dan umat Islamnya paling sering menjadi perbincangan dunia, yaitu, Indonesia dengan penduduk muslim terbesar, Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, Thailand dengan Muslim Pattani-nya hingga Filipina dengan Moro dan Abu Sayyaf-nya. Beberapa negara lainnya seperti Birma, Laos dan Kamboja meski ditemui penganut Islam, tetapi tidak terlalu signifikan aksi dan gerakan keislamannya. Negara-negara yang terakhir disebut pada umumnya berkembang dengan semangat Budha atau Hindu. Sementara Akbar S. Ahmed menganggap bahwa ”bahasa, agama dan budaya merupakan tanda-tanda penting untuk identitas kita”[i].

Asia Tenggara juga merupakan problem tersendiri bagi perkembangan Islam. Identitasnya sebagai kawasan sempat diragukan oleh berbagai kalangan. Anthony Reid misalnya bertanya, ”tetapi apakah ini (Asia Tenggara-pen) memang sebuah kawasan?...Asia Tenggara tidak mempunyai persamaan agama dan kebudayaan klasik yang besar  dan tidak pernah menjadi bagian dari sebuah negara (polity) tunggal. Menurut Reid, kawasan ini diberi nama untuk mempermudah penyebutan secara georafis yaitu dengan nama India Jauh (Further India) atau Indo-Cina.[ii]

Pendapat lainnya menyatakan secara historis kawasan ini telah menjadikan Islam sebagai dasar hubungan antar negara mereka. Hal ini bisa dilihat dari proses islamisasi yang bergerak dari titik Patani, Bugis-Makasar, Sulu-Manguindanao. Bukti lainnya sekitar abad ke-18 suasana ini telah dimanfaatkan untuk mengumandangkan perang sabil dengan landasan jihad melawan kafir dengan Selat Malaka sebagai porosnya.[iii]


Terlepas dari kontroversi penamaan kawasan ini sepertinya Islam termasuk salah satu faktor yang memperdekat jarak di antara negara-negara yang dipisahkan oleh lautan ini. Faktor lainnya yang banyak disebut adalah faktor perdagangan, meskipun dalam alasan ini Islam tetap disebut-sebut sebagai aktor Islamisasi Asia Tenggara. Misalnya mengenai masuknya Islam di Filipina tidak lepas dari peran Raja Baguinda seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra Barat) di Indonesia.

Perkembangan kontemporer Islam di Asia Tenggara ternyata tidak nyaman untuk dilihat. Bagaimanapun faktor Islam tidak bisa dilepaskan dari kajian tentang wilayah ini. Robert W. Hefner berpendapat bahwa Asia Tenggara dalam perspektif Barat adalah Islam atau rumah bagi orang Muslim yang populasinya melebihi Arab Timur Tengah.[iv] Berbagai aksi kekerasan yang dituduhkan kepada kelompok fundamentalis beraliran radikal telah merusak citra Islam di kawasan ini. Misalnya Jama’ah Islamiyah dan Majelis Mujahidin di Malaysia, kelompok Majelis Mujahidin Indonesia di bawah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir serta beberapa aksi terorisme di Indonesia dan di Filipina dengan kelompok Abu Sayyafnya. Beberapa kasus belakangan menunjukkan para aktor yang diduga terorisme bergerak dan membuat jaringan di tiga wilayah ini.

Sesungguhnya persoalan masyarakat Muslim Asia Tenggara sangat rumit dan  tidak dapat diseragamkan. Fundamentalisme[v] yang pada satu sisi diartikan sebagai kebangkitan Islam menemukan konteks yang berbeda. Chandra Muzaffar[vi] mencatat bahwa kesadaran dan kebangkitan Islam di Filipina diartikulasikan dalam gerakan yang radikal. Fenomena ini menarik untuk dibahas, terutama untuk mencari penjelasan atas sebab musabab radikalisme gerakan Islam di Filipina.

Makalah ini tidak akan membahas secara utuh jaringan Islam di kawasan Asia Tenggara, tetapi mencoba mengambil pembahasan Islam di Filipina yang nasibnya tidak kunjung membaik dan dikategorikan sebagai agama yang dianut minoritas penduduk Mindanao. Pembahasan meliputi sejarah masuknya Islam di Filipina, dinamika Islam di era kolonialisasi hingga isu-isu kontemporer. Semuanya akan diulas serba singkat dan mengambil beberapa  bagian yang dianggap penting saja (highligts).

Sejarah masuknya Islam

Secara geografis wilayah Filipina terbagi dua wilayah kepulauan besar, yaitu Filipina Utara dengan kepulauan Luzon dan gugusannya serta Filipina Selatan dengan kepulauan Mindanao dan gugusannya.[vii] Muslim Moro atau lebih dikenal dengan Bangsa Moro adalah komunitas Muslim yang mendiami kepulauan Mindanao-Sulu beserta gugusannya di Filipina bagian selatan.

Di Luzon Islam juga sempat berkembang namun hanya sedikit saja yang dapat diceritakan tentangnya. Sama halnya dengan penduduk Mindanao, Muslim di dataran rendah Luzon juga disebut orang Moro. Ketika proses Islamisasi tahap awal penduduk Islam Luzon dikenal sebagai orang kaya yang memiliki banyak emas. Reid menyimpulkan perkataan Islam sama artinya dengan kekayaan, keberhasilan dan kekuasaan.[viii] Hal ini menguatkan dugaan bahwa Islam masuk ke Filipina melalui jalur dagang.

Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao, pada tahun 1380. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum (Syeikh Makhdum). Syeikh Makhdum datang ke Simunul[ix] dengan menggunakan kapal besi yang besar. Banyak pedagang dan da’i muslim yang mengikuti Syeikh Makhdum dan menghabiskan waktunya di Simunul, mengajarkan Islam kepada penduduk setempat.[x]

Informasi lainnya, Raja Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Menurut catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau[xi] (Sumatra Barat). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao, memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis. Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan kodifikasi hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab.[xii]

Manguindanao kemudian menjadi seorang Datu yang berkuasa atas propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao. Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya. Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datu atau Raja bahkan setelah kedatangan orang-orang Spanyol. Konon kata Manila (ibukota Filipina sekarang) berasal dari kata Amanullah (negeri Allah yang aman). Pendapat ini bisa jadi benar mengingat kalimat tersebut banyak digunakan oleh masyarakat Islam sub-kontinen (anak benua India).

Masa Kolonial Spanyol

Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina pada 16 Maret 1521, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik "ekspedisi ilmiah" Ferdinand de Magellans. Ketika kolonial Spanyol menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka justru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani dan pantang menyerah.
Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan Sulu takluk pada tahun 1876). Menghabiskan lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan perang berkelanjutan melawan kaum Muslimin. Namun, walaupun demikian, kaum Muslimin tidak pernah dapat ditundukan secara total.

Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule (pecah belah and kuasai) serta mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam.[xiii] Bahkan orang-orang Islam di-stigmatisasi (julukan terhadap hal-hal yang buruk) sebagai "Moor" (Moro). Artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh). Sejak saat itu julukan Moro melekat pada orang-orang Islam yang mendiami kawasan Filipina Selatan tersebut.[xiv]

 Tahun 1578 terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri. Penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian di adu domba dan disuruh berperang melawan orang-orang Islam di selatan. Sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan "misi suci". Dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam hingga sekarang. Cesar Majul, Sejarawan Muslim Filipina menyebut peperangan ini dengan peperangan agama, karena tidak dapat dipungkiri serangan-serangan terhadap kesultanan  di wilayah selatan filipina dilandasi semangat ideologi Kristen.[xv] Catatan  sejarah ini paling tidak dapat menjawab sebab awal bagi gerakan fundamentalisme radikal Filipina[xvi]

 Sejarah mencatat, orang Islam pertama yang masuk Kristen akibat politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini adalah istri Raja Humabon dari pulau Cebu, kemudian Raja Humabon sendiri dan rakyatnya.
Masa Imperialisme Amerika Serikat[xvii]

Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya. Secara tidak sah dan tak bermoral Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 melalui Traktat Paris.[xviii]

Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri mereka sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro. Namun traktat tersebut hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo.[xix]

Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903) Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah propinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu. Periode berikutnya tercatat pertempuran antara kedua belah pihak. Teofisto Guingona, Sr. mencatat antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali pertempuran. Tahun 1921-1923, terjadi 21 kali pertempuran.

Patut dicatat bahwa selama periode 1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro.

Namun Amerika memandang peperangan tak cukup efektif meredam perlawanan Bangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan strategi penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan bujukan. Kebijakan ini kemudian disempurnakan oleh orang-orang Amerika sebagai ciri khas penjajahan mereka.

Kebijakan pendidikan dan bujukan yang diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang sangat efektif dalam meredam perlawanan Bangsa Moro. Sebagai hasilnya, kohesitas politik dan kesatuan di antara masyarakat Muslim mulai berantakan dan basis budaya mulai diserang oleh norma-norma Barat.

Pada dasarnya kebijakan ini lebih disebabkan keinginan Amerika memasukkan kaum Muslimin ke dalam arus utama masyarakat Filipina di Utara dan mengasimilasi kaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen. Seiring dengan berkurangnya kekuasaan politik para Sultan dan berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke Manila, pendekatan ini sedikit demi sedikit mengancam tradisi kemandirian yang selama ini dipelihara oleh masyarakat Muslim.

Masa Peralihan

Masa pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika ke pemerintah Kristen Filipina di Utara. Untuk menggabungkan ekonomi Moroland ke dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS yang sangat kapitalistis seperti Land Registration Act No. 496 (November 1902) yang menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis, ditandatangani dan di bawah sumpah. Kemudian Philippine Commission Act No. 718 (4 April 1903) yang menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datu, atau kepala Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang atau izin dari pemerintah. Demikian juga Public Land Act No. 296 (7 Oktober 1903) yang menyatakan semua tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act No. 496 sebagai tanah negara, The Mining Law of 1905 yang menyatakan semua tanah negara di Filipina sebagai tanah yang bebas, terbuka untuk eksplorasi, pemilikan dan pembelian oleh WN Filipina dan AS, serta Cadastral Act of 1907 yang membolehkan penduduk setempat (Filipina) yang berpendidikan, dan para spekulan tanah Amerika, yang lebih paham dengan urusan birokrasi, untuk melegalisasi kalim-klaim atas tanah.

Pemberlakukan Quino-Recto Colonialization Act No. 4197 pada 12 Februari 1935[xx] menandai upaya pemerintah Filipina yang lebih agresif untuk membuka tanah dan menjajah Mindanao. Pemerintah mula-mula berkonsentrasi pada pembangunan jalan dan survei-survei tanah negara, sebelum membangun koloni-koloni pertanian yang baru. NLSA - National Land Settlement Administration - didirikan berdasarkan Act No. 441 pada 1939. Di bawah NLSA, tiga pemukiman besar yang menampung ribuan pemukim dari Utara dibangun di propinsi Cotabato Lama.

Pada intinya ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Filipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis. Bahkan seorang senator Manuel L. Quezon pada 1936-1944 gigih mengkampanyekan program pemukiman besar-besaran orang-orang Utara dengan tujuan untuk menghancurkan keragaman (homogenity) dan keunggulan jumlah Bangsa Moro di Mindanao serta berusaha mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Filipina secara umum.

Kepemilikan tanah yang begitu mudah dan mendapat legalisasi dari pemerintah tersebut mendorong migrasi dan pemukiman besar-besaran orang-orang Utara ke Mindanao. Banyak pemukim yang datang, seperti di Kidapawan, Manguindanao, mengakui bahwa motif utama kedatangan mereka ke Mindanao adalah untuk mendapatkan tanah. Untuk menarik banyak pemukim dari utara ke Mindanao, pemerintah membangun koloni-koloni yang disubsidi lengkap dengan seluruh alat bantu yang diperlukan. Konsep penjajahan melalui koloni ini diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu AS hengkang dari negeri tersebut. Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka sendiri.

Masa Pasca Kemerdekaan hingga Sekarang

Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Namun patut dicatat, pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Namun pada saat yang sama juga sebagai masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan.

Pada awal kemerdekaan pemerintah Filipina disibukkan dengan pemberontakan kaum komunis Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban Sa Hapon.[xxi] Sehingga tekanan terhadap perlawanan Bangsa Moro dikurangi. Gerombolan komunis Hukbalahab ini awalnya merupakan gerakan rakyat anti penjajahan Jepang, setelah Jepang menyerah mereka mengarahkan perlawanannya ke pemerintah Filipina. Pemberontakan ini baru bisa diatasi di masa Ramon Magsaysay, menteri pertahanan pada masa pemerintahan Eipidio Qurino (1948-1953).[xxii]

Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986). Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos maka masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif bagi Bangsa Moro. Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968[xxiii] dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih dikenal dengan Presidential Proclamation No. 1081 itu.

Perkembangan berikutnya MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah. Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro.

Ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Nur Misuari (ketua MNLF) dengan Fidel Ramos (Presiden Filipina) pada 30 Agustus 1996 di Istana Merdeka Jakarta lebih menunjukkan ketidaksepakatan Bangsa Moro dalam menyelesaikan konflik yang telah memasuki 2 dasawarsa itu. Di satu pihak mereka menghendaki diselesaikannya konflik dengan cara diplomatik (diwakili oleh MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki perjuangan bersenjata/jihad (diwakili oleh MILF).

Perkembangan terakhir, MILF kelompok terbesar yang menggulirkan perjuangan memisahkan diri dari Filipina, menyatakan mereka siap berjabat tangan dengan pemerintah Filipina. Kedua pihak telah menyelesaikan sekitar 80 persen dari persoalan yang perlu dibahas. Kecuali soal pemerintahan, dia melanjutkan, masalah konsep, wilayah, dan sumber daya alam telah selesai dibahas. Murad Ibrahim, juru bicara MILF menekankan, pihaknya tidak akan menerima tawaran otonomi dari pemerintah Filipina seperti yang dilakukan Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) pimpinan Nur Misuari.

Komitmen damai itu tercetus setelah kelompok itu mengadakan pertemuan internal. Puluhan ribu pendukung MILF berkumpul dalam pertemuan yang berlangsung selama tiga hari, 29-31 Mei di kamp Darapanan, Mindanao, Filipina Selatan. Selain Murad Ibrahim, tampak pula Wakil Ketua Urusan Politik Ghazali Jaafar, Wakil Ketua Urusan Militer Abdulaziz Mimbantas, Muhaghir Iqbal (ketua tim perunding MILF), Dr Abdurahman Amin (utusan Misuari), Silvestre Afable Jr (ketua tim perunding pemerintah), Deles (penasihat Arroyo urusan proses perdamaian), Duta Besar Libya Salim Adam, dan Mayor Jenderal Dato Zulkifli bin Muhammad Zain dari Malaysia.[xxiv]

Barangkali yang tersisa dari gerakan bangsa Moro adalah pencitraan terhadap gerakan muslim radikal yang mengambil jalan kekerasan. Pencitraan ini selaras dengan penyebutan teroris terhadap para pejuang tersebut yang akhir-akhir ini semakin kuat disorot sebagai terorisme Asia Tenggara.

Aksi terorisme ini tidak lepas dari peran Abdurasul Sayaf, pejuang Muslim Filipina. Abdurrasul Sayyaf atau Abu Sayyaf  diduga kuat sebagai penghubung anatar Jama’ah Islamiyah dengan al Qaeda melalui organisasi Tandzim al Ittihad al Islami  yang dipimpinnya. Tandzim ini merupakan tempat berkumpulnya para alumni Mujahidin Afghanistan. Gerakan ini menginginkan terbentuknya Negara Islam Asia Tenggara.[xxv]

Pada awalnya gerilyawan Abu Sayyaf merupakan organ sayap dari MILF. Dalam aksinya mereka diduga sering merampok, menculik, dan membajak. Selain itu, mereka menggunakan bekas pusat-pusat pelatihan di Mindanao untuk melatih serta merekrut calon-calon teroris baru. Akhirnya ini menjadi “PR” baru bagi umat Islam Filipina untuk mengahapus pencitraan jelek terhadap umat Islam sebagai bangsa yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh) dan suka berperang.

Penutup
Umat Islam Filipina ternyata berada ada posisi yang unik sekaligus tidak beruntung. Pada awalnya mereka merupakan para pejuang tangguh bangsa Filipina untuk mengusir pejajahan bangsa Eropa, namun pasca kemerdekaan mereka menjadi ”pecundang” yang masih terus berjuang mendapatkan hak-haknya sebagai bangsa dengan identitas muslim.

Hal ini berbeda dengan beberapa wilayah yang berpenduduk muslim yang berhasil mendapatkan kemerdekaannya dengan didukung semangat nasionalisme. Misalnya, Indonesia berhasil memerdekakan diri 17 Agustus 1945 dan belahan dunia Islam lainnya seperti Pakistan yang minoritas berhasil meraih kemerdekaan pada 15 Agustus 1947. Gagasan nasionalisme yang datang dari barat tidak cukup kuat masuk ke alam pergerakan kaum muslim Moro karena kaum muslimin berada dalam posisi minoritas sehingga para peejuang muslim Filipina lebih memilih mengambil jalan nasionalisme sendiri, yaitu nasionalisme Islam.

Badri Yatim sendiri cenderung menilai penyebab dari keterlambatan muslim Filipina dalam meraih kemerdekaan adala karena faktor minoritas mereka di tengah negara nasional. Kondisi ini menyulitkan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.[xxvi]

Agaknya sulit melihat fenomena terkini Islam di Filipina semisal Gerakan Abu Sayyaf sebagai satu bentuk dari Gerakan Kebangkitan Islam. Raison d’etre Abu Sayyaf tidak lebih respon terhadap lemahnya perjuangan diplomasi MILF dan fenomena global yang mencitrakan dominasi berlebihan bangsa-bagsa Eropa plus Amerika atas kaum muslimin. Padahal gerakan kebangkitan Islam mesti dilihat secara holistik sebagai gejala kebangkitan peradaban Islam yang mencakup segala aspek. Gerakan abu Sayyaf tidak lebih sebagai gerakan perlawanan dengan semangat klasik yaitu perjuangan bersenjata dan tanpa berupaya membangun gerakan alternatif. Wallâhu A’lam!
                                                                              Padang, Januari 2008



DAFTAR BACAAN

Abdullah, Taufik dkk. (ed),  Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003
______________ dan Sharon Siddique (ed), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta:LP3ES, 1988
Ahmed, Akbar S., Rekonstruksi Sejarah Islam di Tengah Pluralitas agama dan Peradaban, (terj), Yogyakarta: Fajar Putaka Baru, 2003
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1996
Hefner, Robert W. dan Patricia Horvatich (ed) Islam di Era Negara Bangsa, Politik dan Kebangkitan Agama Muslim Asia Tenggara (terj), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001
Madjid, Nurcholish, Indonesia Kita, Jakarta: Paramadina 2004
Majul, Cesar A.,  Dinamika Islam Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra (ed), Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985
Purwanto,Wawan H., Terorisme Undercover; Memberantas Teroris Hinga ke Akar-akarnya, Mungkinkah?, Jakarta: CMB Press, 2007
Reid, Anthony, Sejarah  Modern Awal Asia Tenggara, Sebuiah Pemetaan, (terj). Jakarta: LP3ES, 2004
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
Harian Haluan (Padang), 12 April 2003 
Koran Tempo, (Jakarta), Rabu, 1 Juni 2005
http://www.angelfire.com/id/sidikfound/moro.html






[i] Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah Islam di Tengah Pluralitas agama dan Peradaban, (terj), Yogyakarta: Fajar Putaka Baru, 2003, h. 16
[ii] Anthony Reid, Sejarah  Modern Awal Asia Tenggara, Sebuah Pemetaan, (terj). Jakarta: LP3ES, 2004, h.4-5
[iii] Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (ed), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES, 1988, h. 96-97
[iv] Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich (ed) Islam di Era Negara Bangsa, Politik dan Kebangkitan Agama Muslim Asia Tenggara (terj), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, h.5
[v]Dalam kaitan ini pula digunakan istilah al-Ushuliyyah al-Islamiyyah yang mengandung pengertian; kembali kepada fundamen-fundamen keimanan; penegakan kekuasaan politik ummah;dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah  (syar’iyyah al-hukm).Formulasi ini, seperti terlihat, menekankan dimensi politik gerakan Islam, ketimbang aspek keagamaannya. Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Jakarta:Paramadina, 1996, h. 109.
[vi] Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed), Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, h.73.
[vii] http://www.angelfire.com/id/sidikfound/moro.html
[viii] Reid, op.cit. h.36-37
[ix] Simunul terletak tujuh mil sebelah selatan Pulau Bongao di ujung barat Tawi-tawi, hanya beberapa Mil dari Sabah, Malaysia. Hefner, op.cit.,h. 244
[x] Ibid, h.148
[xi] Taufik Abdullah, op.cit., h.67
[xii] Hefner,op.cit., h. 67 dan 241-274
[xiii]Taufik Abdullah dkk. (ed),  Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003, h. 477
[xiv] Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, Jakarta: Paramadina 2004, h.19
[xv] Hefner, op.cit, h. 59-63
[xvi]Terlihat ada kesinambungannya dengan gerakan fundamentalisme Islam kontemporer yang lebih banyak sebagai respon terhadap Barat. Paling tidak ada dua masalah besar yang menjadi perhatian kelompok fundamentalis Islam; Pertama, mereka menolak sekularisme Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kedua, banyak masyarakat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperìntah dengan menggunakan Al-Qur-an dan syari'at Islam sebagai hukum negara. Gerakan-gerakan ini disamping menjadikan jihad sebagai maskot utama gerakannya, mereka juga mengangkat tema-terna yang sering di dengungkan oleh kaurn fundamentalis Kristen pada umumnya.
[xvii] Bagian ini sepenuhnya ringkasan dari http://www.angelfire.com/id/sidik-found/moro.html serta beberapa sumber lainnya.
[xviii] Ensiklopedi, op.cit.
[xix] Cesar A. Majul,  Dinamika Islam Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989, h. 13-14
[xx] Muhammad Nasir, Indonesia; Filipina 30 Tahun yang Lalu, Artkel di Harian Haluan (Padang), 12 April 2003 
[xxi] Ensiklopedi, op.cit., h. 479
[xxii] Majul, op.cit., h.26
[xxiii] Ibid, h. 43-47
[xxiv] Koran Tempo, Rabu, 1 Juni 2005
[xxv] Wawan H. Purwanto,  Terorisme Undercover; Memberantas Teroris Hinga ke Akar-akarnya, Mungkinkah?, Jakarta: CMB Press, 2007, h. 30.
[xxvi] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, h. 189

No comments: