15 November 2018

Cacat Moral; Suara Hati dan Citra Publik

Cacat Moral; 
Suara Hati dan Citra Publik
Oleh Muhammad Nasir *



Sumber Ilustrasi: www.dictio.id

Setidaknya ada dua hal pokok yang diusung pemerintah berkaitan dengan pengayaan persyaratan dan kualifikasi calon kepala daerah pada revisi Undang-Undang  nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yaitu; tidak cacat moral dan berpengalaman dalam pemerintahan. Kedua hal tersebut sekarang ini sama-sama menuai kontroversi banyak kalangan. Hanya saja, tulisan ini akan berputar-putar di sekitar moral.


Tentang yang pertama tadi yaitu tidak cacat moral. Tidak kurang para selebritis yang ikut serta dalam kompetisi calon kepala daerah ini merasa ditunjuk hidung dan seolah-olah revisi ini ditujukan untuk mereka. Dari laporan media massa beberapa selebritis seperti Maria Eva dan Julia Perez misalnya meradang. Memangnya, seberapa berat dosa “mesum” dan “pajang aurat” dibanding dosa korupsi atau  “mencueki” tetangga yang miskin? Lalu, mengapa cacat moral orientasinya selalu kepada prilaku seksual? tanya beberapa kalangan.




“Urus saja moralmu” kata Iwan Fals dalam lyric lagunya. Di satu sisi ada benarnya dan di sisi lain ternyata suatu saat seseorang terpaksa ikut mengurus moral orang lain. Contohnya apa yang dimaksud oleh revisi UU Nomor 32/2004 tersebut, apalagi moral itu sudah menjadi persoalan pokok bangsa ini. Banyak pendapat sudah berkeyakinan bulat bahwa bangsa ini sedang mengalami krisi moral.

Soal cacat moral ini bagi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) –di Cabang Padang- misalnya bukanlah hal yang baru. Beberapa dekade ke belakang, isu cacat moral merupakan penggada yang ampuh untuk memukul calon “pejabat” HMI di berbagai level kepengurusan. Kriteria cacat moralpun tidak secara tegas tertulis dalam tata tertib pemilihan, namun istilah ini kerap yang dapat disebut cacat moral pada waktu itu adalah; kedapatan terlalu sering berduaan dengan lawan jenis. Nah, cacat moral!

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang notabene alumni HMI Cabang Padang ini tentu tidak sedang bernostalgia dengan kenangan semasa menjadi anggota HMI. Persoalan cacat moral tentu saja persoalan besar karena menyangkut moral calon pemimpin daerah yang akan menjadi panutan masyarakat yang dipimpinnya.

Soal moral bukanlah sesederhana itu, justru lebih komplit, menyangkut pengakuan dari dalam diri sendiri bahwa dirinya bersih, dan suara itu datang dari hati nuraninya. Selanjutnya, terserah publik apakah mempercayai atau sama sekali tidak percaya terhadap pengakuan diri tersebut.


Suara Hati

Suara manusia yang paling jujur tulus dan ikhlas adalah suara yang datang dari hatinya. Nurcholis Madjid nama asli Cak Nur (alm) mengatakan suara hati itu cendrung kepada kebenaran (hanif).Karena itu jika ingin mendengar suara yang paling jujur tentu saja harus menunggu suara hati (arbitrariness). Tetapi tentu saja ini pekerjaan yang paling sulit meski konon alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dapat melakukannya. Bahkan di sebuah pengadilan canggih Eropa, hakim (jurist) yang bermodal lie detector pun gagal menyimpulkan apakah seseorang itu bohong atau jujur. Apatah lagi di Indonesia yang begitu sulit mencari alat canggih dan nomor satu karena saat dibeli alat tersebut kedapatan palsu karena dikorupsi oleh pengadanya.

Kembali ke revisi UU Nomor 32/2004, menurut Mendagri Gamawan Fauzi contoh cacat moral itu “misalnya ada video berzina, itu sudah tidak boleh, harus dibatalkan KPU.” (Kompas, 17/4/2010). Kontan saja Maria Eva yang sudah “punya koleksi” video zina dengan eks anggota DPR-RI Yahya Zaini berang. “bahkan pelacurpun boleh jadi calon kepala daerah,” ujarnya. Ia merasa dijegal oleh wacana ini.

Soal calon mencalon dalam timbangan demokrasi adalah hak semua warga negara, meskipun tetap ada batasnya seperti tetek bengek persyaratan dan criteria yang harus dipenuhi. Apakah pezina boleh menjadi calon kepala daerah masih debatable. Krisis moral para pemimpin kitapun bukan hanya soal zina dan mesum semata. Kepekaan sosial, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan justru menjadi cacat moral yang lebih dahsyat.

Kita hanya berharap calon gubernur, bupati/ walikota atau siapa saja berbicara dengan hati nuraninya terlebih dahulu sebelum maju ke helat pilkada. Apakah dirinya bersih, tidak pernah berzina atau selingkuh dengan laki-laki/perempuan lain atau “markus”, tidak pernah meludah tiap pagi ke atap gubug tetangganya, atau tidak pernah berkolusi untuk mendapatkan hajatnya.

Oleh sebab itu, suara hati ada baiknya dikaitkan dengan rasa malu. Seseorang yang baik moralnya tentu saja punya rasa malu. Rasa malu merupakan kontrol diri yang ampuh dan dapat menghidarkan seseorang dari perbuatan dosa, salah dan sumbang. Sebuah hadis mengatakan, “apabila kamu tak lagi punya rasa malu, maka berbuatlah sekehendakmu” (HR. Bukhari-Muslim)


Citra Publik

Sekali lagi menimbang moral seseorang memang sulit, sesulit mengelupas batang kulit manis dengan gigi, atau menjuluk kelapa dengan empu kaki. Bisa saja kita dituduh gila oleh orang lain atau mengejan  tuah. Alih-alih mengungkap kada (kudis) orang lain, malah panu kita yang diungkapkan. Hal ini disebabkan tidak semua orang dapat terbebas dari noda, dosa dan kesalahan.

Tentang calon kepala daerah yang sudah terang benderang melakukan “dosa” seperti zina, atau pernah terbukti sah secara hukum melakukan perbuatan kriminal bahkan yang baru sampai pada tahap diduga kuat korupsi ada baiknya sementara dikeluarkan oleh publik (dalam hal ini calon pemilih) dari daftar pilihannya. Sebab, hal ini sama saja dengan menjatuhkan diri ke jurang kehancuran (Q.S Al Baqarah (2) : 195). Jangan terjebak dengan kemilau demokrasi yang penuh jebakan dan kampanye menyesatkan yang menyalahgunakan hadits nabi bahwa semua orang berdosa dan sebaik-baik orang berdosa adalah orang yang bertaubat.

Demokrasi memang menjadi timbangan nilai dalam kepesertaan seseorang dalam pemilihan kepala daerah. Tetapi harus diakui bahwa demokrasi kita sudah kebablasan dan kering dari segi moral. Atas nama demokrasi moralitas menjadi idiom lucu yang ditertawakan orang dengan gegap gempita. Padahal pada saat itulah seseorang yang amoral tengah membajak demokrasi. Jika ini dibiarkan, demokrasi Indonesia bisa cacat moral.

Berandai-andai tentang demokrasi Indonesia, seandainya seseorang yang pernah berzina masih juga terpilih sebagai pemimpin di negara maka citra publik yang memilihnya bisa tercoreng. Biasanya, citra publik dipengaruhi oleh prilaku dan kondisi kejiwaan individu di dalam publik itu sendiri. Artinya demokrasi Indonesia dapat dicitrakan sebagai demokrasi bebas nilai. Demokrasi pada intinya ada dua bentuk, yaitu demokrasi substansial yang sarat nilai dan demokrasi prosedural yang sarat aturan-aturan yang berbasis nilai.

Oleh sebab itu, citra publik akan tergantung pada nilai-nilai yang dianutnya. Sejalan dengan itu demokrasi Indonesia tentu saja sarat dengan nilai luhur budaya bangsa yang dipengaruhi oleh agama dan nilai-nilai lainnya.


Pengayaan Demokrasi

Materi revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang terkait persyaratan tidak cacat moral bagi calon kepala daerah semestinya dilihat sebagai upaya pengayaan terhadap demokrasi prosedural Indonesia.

Secara umum pengertian moral yang komplit dan problem moralitas kompleks yang dialami bangsa Indonesia harus dicarikan solusinya dari agama-agama dan budaya yang dianut oleh orang Indonesia sendiri. Pada umumnya, budaya timur atau Indonesia khususnya tidak menolak perbuatan zina, korupsi dan tindak kriminal lainnya. Apalagi agama-agama besar yang hidup di Indonesia.

Jepang yang berhasil meletakkan rasa malu di depan praktik politiknya memberikan contoh kepada kita bahwa moral adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar. Bahkan nyawa sendiri bersedia ditebus dengan tradisi “harakiri”. Amerika yang disebut negara sekuler biang demokrasi liberalpun memberi contoh, bagaimana skandal selingkuh Presiden Bill Clinton dengan staf gedung putih Monica Lewinsky menjadi aib memalukan yang harus diakui kepada publik oleh sang presiden.

Oleh sebab itu, orang Indonesia yang baru saja melek huruf ini harus sering diingatkan dengan aturan tertulis semisal UU Nomor 32/2004 yang akan direvisi. “Pezina dilarang ikut mencalonkan diri sebagai kepala daerah”. Bukan itu saja, tidak boleh jadi presiden dan jabatan apa saja. Ini demi demokrasi Indonesia yang bermoral.

Bagaimana jika dia sudah bertobat? Itu urusan dia dengan tuhannya. Selingkuh dan zina adalah pelanggaran aturan. Aturan agama sendiri dilanggar, apalagi aturan manusia. Wah, gawat!

Wallahu a’alam bi al shawab
Padang, 20 April 2010


*Muhammad Nasir
  Analis Sejarah Magistra Indonesia
  Peminat Wacana Moral Politik

No comments: