27 April 2018

TAN MALAKA: Sebuah Paco-Paco Ingatan

TAN MALAKA: Sebuah Paco-Paco[i] Ingatan
Oleh Muhammad Nasir

PENDAHULUAN

Di tengah arus kritik historiografi nasional Indonesia dan kecendrungan idolisasi pahlawan pasca Orde Baru sebagai politik supremasi etnis, paper ini berupaya mengemukakan “paco-paco” pengetahuan penulis tentang Historiografi dan sikap orang Minangkabau sendiri terhadap Tan Malaka. Mudah-mudahan saja usaha ini berguna.

Tan Malaka; Di pinggir Jalan Sejarah
Agaknya, generasi Indonesia yang dibesarkan oleh “hapalan”[ii] historiografi Orde Baru perlu membaca sejarah Indonesia pelan-pelan agar orang-orang besar yang berdiri “dipinggir jalan sejarah” tidak luput dari sapaan pengormatan. Sebagian dari mereka ada yang berjasa besar untuk kerja besar pada zamannya, dan sebagian lagi justru memiliki jasa yang melimpah ruah yang dapat dinikmati hingga sekarang. Ironisnya, mereka itu semestinya diletakkan dalam jalan cerita yang sebenarnya, tidak hanya sekedar catatan pinggir.


Dalam konteks ini, Ibrahim Datuak Tan Malaka termasuk orang yang berada “dipinggir jalan sejarah” itu. Berapa literatur tentang Tan Malaka yang berlimpahruah setelah kejatuhan Orde Baru memberi tanda bahwa Tan Malaka bukanlah sekedar orang yang tegak di pinggir, tetapi kezaliman historiografi kitalah yang sengaja meminggirkan Tan Malaka dalam sejarah, padahal sejatinya ia termasuk salah seorang pengatur lalu lintas dan penentu arah sejarah Indonesia. Bahkan menurut seorang peneliti, Tan Malaka dianggap “off the record” dalam sejarah Orde Baru.

Oleh sebab itu, menyeminarkan, meneliti, menimbangulang dan mengungkapkan riwayat hidup Tan Malaka hendaknya diletakkan dalam semangat kebenaran sejarah dan program membersihkan historiografi kita dari tangan-tangan yang berusaha membelokkan arah sejarah dari jalur kebenaran. Orang Indonesia menurut Tan Malaka dalam Madilog harus diajar cara berpikir yang benar untuk memahami tempat hidupnya dan terhindar dari logika gaib dalam pengertian susah dicari bukti-nya. Barangkali saja historiografi kita sekarang ini perlu diuji dengan mencari bukti-bukti yang kuat dan akurat.

Historiografi Indonesia –meskipun hanya secuil- mencatat Tan Malaka sebagai aktivis pejuang nasionalis Indonesia, aktivis gerakan kiri, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Ia merupakan pejuang yang militan, radikal dan revolusioner yang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris. Bukti ketokohannya dalam sejarah Indonesia, Pemerintah RI menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional, berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963.

Di luar historiografi, dia adalah tokoh yang banyak diselimuti kabut misteri. Sebagian masyarakat Minangkabau meyakini Tan Malaka sebagai tokoh mistis yang memiliki kemampuan menghilang, beralih rupa dan termasuk kemampuan menerawang masa depan. Sebagian lain hanya mengetahui Tan Malaka sebagai nama jalan.

Dalam dunia fiksi nama Tan Malaka tak kalah mentereng. Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka menjadi tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.

Tan Malaka di Pinggir Minangkabau!

Ibrahim Gelar Datuak Tan Malaka. Merujuk kepada namanya, ia berasal dari suku bangsa Minangkabau. Tan Malaka dilahirkan tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang Sumatra Barat. Menurut Tan Malaka, sumber yang diperolehnya dari agama Islam itulah sumber yang hidup. Ia lahir dari keluarga yang taat agama. Orang tuanya adalah muslim dan muslimah yang taat dan tekun beribadah. Sejak kecil Tan Malaka sudah mampu menafsirkan Al-Qur’an, dan dijadikan sebagai guru muda. Meskipun berbagai pengaruh pemikiran dan peristiwa yang terjadi di Eropa mendera dirinya, tetapi minatnya terhadap Islam terus hidup. Ia sering membaca terjemahan Al-Qur’an dalam berbagai bahasa sampai tamat. Begitu pula dengan buku-buku agama Islam sangat sering dibacanya.

Ia adalah salah satu tokoh asal Minangkabau yang populer dipanggil dengan gelar keminangkabauannya. Tokoh lainnya adalah Haji Datuak Batuah (guru Sumatera Thawalib dan aktivis komunisme di Sumatera Barat), Sutan Syahrir (tokoh Partai Sosial Indonesia, mantan Perdana Menteri) dan ditambah tokoh fiksi yang ikut menasional Datuak Maringgih. Yang lainnya boleh ditambahkan, namun yang jelas penyebutan yang khas cukuplah memberi kebanggaan tersendiri bagi etnis Minangkabau, bahwa mereka punya wakil-wakil terhormat dalam historiografi nasional Indonesia. Apakah kebanggaan ini juga merupakan “asli” Minangkabau, wallahu a’lam. Soalnya, kebanggaan ini juga kerap muncul -misalnya- saat pengumuman menteri-menteri kabinet pemerintahan RI, orang Minangkabau serta merta menajamkan telinga seraya menunggu kabar; “ada berapa menteri dari Minangkabau?” Alhamdulillah, setidaknya dalam kabinet SBY jilid II sekarang ada empat putra/putri Minangkabau (Sumatera Barat).

Sebuah assessment singkat sempat dilakukan menjelang paper ini dituliskan. Assesment itu melibatkan responden yang diduga “awam” dan responden yang diduga “melek sejarah”. Pertanyaan yang diedarkan terkait tingkat pengetahuan orang tentang sosok Tan Malaka.

Kepada responden “awam” yang terdiri dari beberapa generasi Minangkabau yang ditanya kian kemari secara acak menghasilkan jawaban yang kabur. Jawaban yang diperoleh menurut pengetahuan penulis yang bersandar pada literatur yang ada di tangan ternyata tidak begitu memuaskan. Kata-kata “Canton, Jembatan Keledai, PARI, Persatuan Perjuangan dan kata kunci lain yang terkait dengan Tan Malaka” sangat kabur bagi mereka.  Kesimpulan sementara penulis adalah; “nyaris pengetahuan orang Minangkabau sekarang tentang Tan Malaka berada dalam status lemah (dha’if). Ibaratnya, orang-orang mengenal Tan Malaka seperti mengenal Botiah atau Boreh Rondang (penganan khas Payukumbuah), tetapi belum pernah mencicipinya, apalagi mengetahui bahan dasarnya, di mana saja segmen pasarnya, apakah ia sudah punya “patent” atau belum.

Sedikit melegakan, saat pertanyaan ini diarahkan kepada kalangan yang diduga  “melek sejarah”, di antaranya mahasiswa, akademisi/dosen atau mereka yang tercerahkan pengetahuan sejarahnya. Jawaban yang diperoleh memadai bahkan lebih dari cukup. Beberapa topik yang berkaitan dengan Tan Malaka dibahas panjang lebar disertai analisis berbasis teori yang mentereng.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa Tan Malaka cukup terkenal di kalangan akademisi. Tetapi tetap saja ada kurangnya, ketika ditanyakan posisi Tan Malaka dalam peta gerakan intelektual di Minangkabau. Rata-rata akademisi justru meletakkan Tan Malaka dalam peta gerakan politik kemerdekaan Indonesia dalam jajaran tokoh komunis/PKI, gerakan kiri, dan ironisnya ada tersirat kesan keengganan untuk mengapresiasi Tan Malaka sebagai pahlawan Minangkabau sebagaimana tokoh asal Minangkabau lainnya akibat “kekirian” Tan Malaka. Jawaban ini jelas sangat “Orbais” karena sosok tokoh kiri yang sering kali dihubungkan dengan komunis adalah musuh abadi Orde Baru. Pada masa Orde Baru, dua tema ideologi besar --Islam dan Kiri-- tidak boleh diperbincangkan.Kesimpulan sementaranya, di negerinya sendiri Tan Malaka justru kalah popular dibanding Hatta, Syahrir, Haji Agus Salim, HAMKA dan yang lainnya. Di samping itu ada kesan pejorative ketika seseorang disebut “Tan Malakais” yang berarti penganut aliran kiri.

Kenyataan ini sangat ironis dibanding informasi yang disampaikan oleh Rudolf Mrazek bahwa Tan Malaka yang struktur pengalamannya dipengaruhi oleh konsep “alam” dan “rantau” dalam kebudayaan Minangkabau, justru sedang melakukan pembelaan terhadap kebudayaan Minangkabau yang dinamis dan rasional. Kata Mrazek :

“Tan Malaka mendudukkan diri sebagai pesaing utama Soekarno. Dengan cara ini barangkali “pertarungan antara kebudayaan Hindu Jawa lawan Minangkabau dalam memperebutkan tempat utama dalam pergerakan Indonesia” lebur ke dalam “persaingan pribadi Tan Malaka-Sukarno memperebutkan kepemimpinan revolusi yang segera tiba”[iii]

Terlepas dari persoalan “rebutan kekuasaan” di atas, upaya Tan Malaka di atas patut diapresiasi sebagai usaha yang cerdas dalam menegakkan wibawa etnis Minangkabau. Lihat saja bagaimana Minangkabau menjadi identitas yang melekat dalam diri Tan Malaka. Minangkabau dan kebudayaannya kerap menjadi contoh dalam karya-karya tulisnya bahkan melebihi intelektual Minangkabau saat ini yang mungkin saja alergi mengunjuk keluhuran adat Minangkabau dalam berdemokrasi hanya karena faktor rendah diri pasca PRRI.

Kita Ketulahan Sejarah
Popularitas bukanlah tujuan utama dari asesmen yang dilakukan di atas. Tetapi melalui upaya tersebut diharapkan gambaran singkat tentang profil pahlawan asal Minangkabau atau Sumatera Barat di mata “kaumnya” sendiri. Apalagi Pasca Orde Baru dan menggebu-gebunya semangat otonomi daerah, Sumatera Barat tidak ketinggalan mengacungkan beberapa nama yang dianggap pantas menjadi “Pahlawan Nasional”. Misalnya, setelah kisah sukses mengajukan Muhammad Natsir agar di-SK-kan sebagai pahlawan nasional, selanjutnya Sumatera Barat juga memperjuangkan HAMKA, Roehana Kuddus, Sutan Alam Bagagarsyah dan yang lainnya sebagai pahlawan nasional.

Perjuangan mempahlawankan orang besar asal Minangkabau bukanlah sebuah kesalahan. Justru merupakan langkah maju untuk memperbaiki historiografi nasional Indonesia, mengapresiasi gerakan lokal dalam perjuangan kemerdekaan dan untuk kebenaran sejarah itu sendiri. Tetapi di samping itu patut juga dipertimbangkan esensi dan dampak yang logis dari mempahlawankan seseorang.

Kepahlawanan merupakan penggalan cerita sukses perjuangan. Ada banyak manfaat yang akan diperoleh dari pahlawan, di antaranya ide-ide besar, semangat perjuangan dan patriotisme, pesan-pesan perjuangan dan bengkalai kerja yang mesti dilanjutkan. Kepahlawanan Tan Malaka meniscayakan kerja besar etnis Minangkabau untuk masa mendatang.

Tak terbayangkan jika generasi sekarang hanya bisa mengaku berjasa dengan hanya  memperjuangkan seseorang menjadi pahlawan lalu menjajakannya sebagai cerita sukses yang dijual dalam kampanye pilkada, tetapi tidak mengambil semangat dan ajaran orang yang dipahlawankan itu, maka bisa-bisa generasi sekarang “ketulahan”[iv] istilah pahlawan itu sendiri karena pahlawan telah menjadi “idol” melebihi “hero”. Tak akan maju-maju.

Cerita kepahlawanan saat ini sejatinya diupayakan lahir dari tindakan nyata para penyelenggara negara. Pembacaan yang tepat dan tindakan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mengatasi amburadulnya masa depan negara Indonesia yang justru jauh dari cita-cita “merdeka 100%”-nya Tan Malaka. Suatu yang patut direnungkan dari pernyataan Tan Malaka bahwa rakyat dan kebudayaannya itu merdeka, bahkan negarapun tak boleh menjajahnya.  

“MAQAM” Tan Malaka di Dunia Akademis

Kematian Tan Malaka memang masih simpang siur. Menjelang tes DNA Tan Malaka selesai, sementara ini ia boleh dianggap hilang tak tentu rimbanya, mati tak tahu kuburnya. Selopanggung, tempat yang akhir-akhir ini sering disebut sebagai kuburan Tan Malaka bolehlah dianggap sebagai tempat di mana tulang belulangnya ditanam. Selain itu tugas berat sedang menanti kita, yaitu mencari kebenaran tentang sebab musabab kematiannya. Tetapi di mana “Maqam” selayaknya bagi Tan Malaka di hati orang Indonesia dan Minangkabau khususnya lebih patut dipikirkan.

Perlukah meletakkan seseorang di posisi kanan, kiri, tengah dan sebagainya dalam konteks gerakan kemerdekaan Indonesia? Ada yang menjawab penting dengan alasan agar kita lebih mudah mengenali seorang tokoh melalui kecendrungan politik dan ideologinya. Ada juga yang menganggap tidak penting, karena pemosisian itu justru akan menzalimi dan menenggelamkan ketokohan seseorang.

Agaknya, kedua opini di atas ada benarnya dan bisa diterima. Alasan pertama menjadi penting mengingat peminggiran alasan ini berakibat kaburnya cara pandang generasi yang dibesarkan historigrafi “sekolahan” sehingga hanya dapat mengenali tokoh-tokoh dari kulit luarnya saja. Akhirnya apresiasi terhadap ketokohan seseorang berkurang karena tidak ada cita rasa istimewa yang diperdapat melalui pengetahuannya tentang seorang tokoh.

Tentang alasan kedua, agaknya dipengaruhi oleh trauma amburadulnya historiografi nasional –terutama orde baru- yang menghapuskan beberapa tokoh hanya karena berhaluan kiri, ekstrim kanan atau berseberangan dengan syahwat penguasa. Termasuk Tan Malaka yang sedang dibincang ini.

Oleh karena generasi sekarang dibesarkan ingatannya oleh historiografi yang zalim, maka sepantasnya pula ingatan itu diperiksa kembali melalui pembacaan intensif terhadap karya-karya besar Tan Malaka yang untuk saat ini tidak begitu sulit diperoleh. Booming buku Tan Malaka rasanya sudah cukup memadai untuk memeriksa kembali ingatan tersebut. Belum lagi ketersediaan bahan digital di internet. Oleh sebab itu maqam yang paling logis untuk Tan Malaka saat ini adalah di dunia akademis.

Karya-karya Tan Malaka dari dahulu hingga sekarang mungkin saja telah diterapkan aktivis pergerakan pemuda sebagai buku “how to” perjuangan. Tetapi sepertinya itu belum cukup, karena dunia akademis kitapun masih alergi menjadikan karya Tan Malaka yang sarat muatan akademis sebagai referensi. Terakhir ini saya telah memeriksa beberapa silabus matakuliah filsafat umum dan filsafat ilmu namun tidak ada buku Tan Malaka di sana, misalnya, Madilog yang beberapa bagiannya merupakan subtopik dari mata kuliah tersebut.

PENUTUP

Setiap orang Minang yang berniat hendak turun di Jalan Tan Malaka akan selalu menyebut “Tan Malaka, Kiri!”
Ado Tan Malaka?, kata sang sopir.
Tan Malaka, kiri!
Tan Malaka, pinggir!
Tan Malaka ciek!

Bukan hanya itu, bagi orang Sumatera Barat, semua pahlawan yang dijadikan nama jalan selalu saja dicap “Kiri”. Sekian
                                                                                                Magistra Indonesia, April 2010

Paper, disampaikan pada acara Pemutaran Film dan Diskusi Selopanggung Goes to Padang Hari Rabu, 14/4/10 di Aula Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol pukul 09.00 WIB s/d selesai






[i] Istilah Minangkabau untuk menyebutkan potongan kain, gunting sisa kain bahan dasar pakaian
[ii] Menghapal merupakan kebiasan yang menuai kritik dari Tan Malaka meskipun tidak terlu ekstrim. Menurutnya, menghapal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan bodoh, mekanis seperti mesin. Agaknya seperti itulah kerja mesin historiografi Orde Baru dalam memproduksi ingatan tentang tokoh dan orang-orang besar Indonesia. Lihat: Tan Malaka, Madilog (Jakarta: LPPM Tan Malaka, 2008), h.12
[iii] Rudol Mrazek, Tan Malaka, (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 1999), h. 49
[iv] Kena kutuk sehingga menderita sakit dan sengsara. 

No comments: