TAN MALAKA: Sebuah Paco-Paco[i]
Ingatan
Oleh Muhammad Nasir
PENDAHULUAN
Di tengah arus kritik
historiografi nasional Indonesia dan kecendrungan idolisasi pahlawan pasca Orde
Baru sebagai politik supremasi etnis, paper ini berupaya mengemukakan
“paco-paco” pengetahuan penulis tentang Historiografi dan sikap orang
Minangkabau sendiri terhadap Tan Malaka. Mudah-mudahan saja usaha ini berguna.
Tan Malaka; Di pinggir Jalan Sejarah
Agaknya, generasi Indonesia
yang dibesarkan oleh “hapalan”[ii]
historiografi Orde Baru perlu membaca sejarah Indonesia pelan-pelan agar
orang-orang besar yang berdiri “dipinggir jalan sejarah” tidak luput dari
sapaan pengormatan. Sebagian dari mereka ada yang berjasa besar untuk kerja
besar pada zamannya, dan sebagian lagi justru memiliki jasa yang melimpah ruah
yang dapat dinikmati hingga sekarang. Ironisnya, mereka itu semestinya
diletakkan dalam jalan cerita yang sebenarnya, tidak hanya sekedar catatan
pinggir.
Dalam konteks ini, Ibrahim
Datuak Tan Malaka termasuk orang yang berada “dipinggir jalan sejarah” itu.
Berapa literatur tentang Tan Malaka yang berlimpahruah setelah kejatuhan Orde
Baru memberi tanda bahwa Tan Malaka bukanlah sekedar orang yang tegak di
pinggir, tetapi kezaliman historiografi kitalah yang sengaja meminggirkan Tan
Malaka dalam sejarah, padahal sejatinya ia termasuk salah seorang pengatur lalu
lintas dan penentu arah sejarah Indonesia. Bahkan menurut seorang peneliti, Tan
Malaka dianggap “off the record” dalam sejarah Orde Baru.
Oleh sebab itu, menyeminarkan,
meneliti, menimbangulang dan mengungkapkan riwayat hidup Tan Malaka hendaknya
diletakkan dalam semangat kebenaran sejarah dan program membersihkan
historiografi kita dari tangan-tangan yang berusaha membelokkan arah sejarah
dari jalur kebenaran. Orang Indonesia menurut Tan Malaka dalam Madilog harus
diajar cara berpikir yang benar untuk memahami tempat hidupnya dan terhindar
dari logika gaib dalam pengertian susah dicari bukti-nya. Barangkali saja
historiografi kita sekarang ini perlu diuji dengan mencari bukti-bukti yang
kuat dan akurat.
Historiografi Indonesia –meskipun hanya secuil- mencatat Tan
Malaka sebagai aktivis pejuang nasionalis Indonesia, aktivis gerakan kiri,
seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Ia
merupakan pejuang yang militan, radikal dan revolusioner yang banyak melahirkan
pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai
tokoh revolusioner yang legendaris. Bukti ketokohannya dalam sejarah Indonesia,
Pemerintah RI menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan
Nasional, berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani
Presiden Soekarno 28 Maret 1963.
Di luar historiografi, dia adalah tokoh yang
banyak diselimuti kabut misteri. Sebagian masyarakat Minangkabau meyakini Tan
Malaka sebagai tokoh mistis yang memiliki kemampuan menghilang, beralih rupa
dan termasuk kemampuan menerawang masa depan. Sebagian lain hanya mengetahui
Tan Malaka sebagai nama jalan.
Dalam dunia fiksi nama Tan Malaka tak kalah
mentereng. Dengan julukan Patjar Merah
Indonesia Tan Malaka menjadi tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit
di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan
kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya
itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia
internasional.
Tan Malaka di
Pinggir Minangkabau!
Ibrahim Gelar Datuak Tan Malaka. Merujuk kepada namanya, ia berasal dari suku bangsa
Minangkabau. Tan Malaka dilahirkan tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang
Sumatra Barat. Menurut Tan Malaka, sumber yang diperolehnya dari agama Islam
itulah sumber yang hidup. Ia lahir dari keluarga yang taat agama. Orang tuanya
adalah muslim dan muslimah yang taat dan tekun beribadah. Sejak kecil Tan
Malaka sudah mampu menafsirkan Al-Qur’an, dan dijadikan sebagai guru muda.
Meskipun berbagai pengaruh pemikiran dan peristiwa yang terjadi di Eropa
mendera dirinya, tetapi minatnya terhadap Islam terus hidup. Ia sering membaca
terjemahan Al-Qur’an dalam berbagai bahasa sampai tamat. Begitu pula dengan
buku-buku agama Islam sangat sering dibacanya.
Ia adalah salah satu tokoh
asal Minangkabau yang populer dipanggil dengan gelar keminangkabauannya. Tokoh
lainnya adalah Haji Datuak Batuah (guru
Sumatera Thawalib dan aktivis komunisme di Sumatera Barat), Sutan Syahrir (tokoh Partai Sosial
Indonesia, mantan Perdana Menteri) dan ditambah tokoh fiksi yang ikut
menasional Datuak Maringgih. Yang
lainnya boleh ditambahkan, namun yang jelas penyebutan yang khas cukuplah
memberi kebanggaan tersendiri bagi etnis Minangkabau, bahwa mereka punya
wakil-wakil terhormat dalam historiografi nasional Indonesia. Apakah kebanggaan
ini juga merupakan “asli” Minangkabau, wallahu
a’lam. Soalnya, kebanggaan ini juga kerap muncul -misalnya- saat pengumuman menteri-menteri kabinet pemerintahan RI,
orang Minangkabau serta merta menajamkan telinga seraya menunggu kabar; “ada berapa menteri dari Minangkabau?” Alhamdulillah, setidaknya dalam kabinet
SBY jilid II sekarang ada empat putra/putri Minangkabau (Sumatera Barat).
Sebuah assessment singkat sempat dilakukan menjelang paper ini dituliskan.
Assesment itu melibatkan responden yang diduga “awam” dan responden yang diduga
“melek sejarah”. Pertanyaan yang diedarkan terkait tingkat pengetahuan orang
tentang sosok Tan Malaka.
Kepada responden “awam” yang
terdiri dari beberapa generasi Minangkabau yang ditanya kian kemari secara acak
menghasilkan jawaban yang kabur. Jawaban yang diperoleh menurut pengetahuan
penulis yang bersandar pada literatur yang ada di tangan ternyata tidak begitu
memuaskan. Kata-kata “Canton, Jembatan Keledai, PARI, Persatuan Perjuangan dan
kata kunci lain yang terkait dengan Tan Malaka” sangat kabur bagi mereka. Kesimpulan sementara penulis adalah; “nyaris
pengetahuan orang Minangkabau sekarang tentang Tan Malaka berada dalam status
lemah (dha’if). Ibaratnya, orang-orang mengenal Tan Malaka seperti mengenal
Botiah atau Boreh Rondang (penganan khas Payukumbuah), tetapi belum pernah
mencicipinya, apalagi mengetahui bahan dasarnya, di mana saja segmen pasarnya,
apakah ia sudah punya “patent” atau belum.
Sedikit melegakan, saat pertanyaan ini
diarahkan kepada kalangan yang diduga
“melek sejarah”, di antaranya mahasiswa, akademisi/dosen atau mereka
yang tercerahkan pengetahuan sejarahnya. Jawaban yang diperoleh memadai bahkan
lebih dari cukup. Beberapa topik yang berkaitan dengan Tan Malaka dibahas
panjang lebar disertai analisis berbasis teori yang mentereng.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa Tan Malaka
cukup terkenal di kalangan akademisi. Tetapi tetap saja ada kurangnya, ketika
ditanyakan posisi Tan Malaka dalam peta gerakan intelektual di Minangkabau.
Rata-rata akademisi justru meletakkan Tan Malaka dalam peta gerakan politik
kemerdekaan Indonesia dalam jajaran tokoh komunis/PKI, gerakan kiri, dan ironisnya
ada tersirat kesan keengganan untuk mengapresiasi Tan Malaka sebagai pahlawan
Minangkabau sebagaimana tokoh asal Minangkabau lainnya akibat “kekirian” Tan
Malaka. Jawaban ini jelas sangat “Orbais” karena sosok tokoh kiri yang sering
kali dihubungkan dengan komunis adalah musuh abadi Orde Baru. Pada masa Orde
Baru, dua tema ideologi besar --Islam dan Kiri-- tidak boleh
diperbincangkan.Kesimpulan sementaranya, di negerinya sendiri Tan Malaka justru
kalah popular dibanding Hatta, Syahrir, Haji Agus Salim, HAMKA dan yang
lainnya. Di samping itu ada kesan pejorative ketika seseorang disebut “Tan
Malakais” yang berarti penganut aliran kiri.
Kenyataan ini sangat ironis
dibanding informasi yang disampaikan oleh Rudolf Mrazek bahwa Tan Malaka yang
struktur pengalamannya dipengaruhi oleh konsep “alam” dan “rantau” dalam
kebudayaan Minangkabau, justru sedang melakukan pembelaan terhadap kebudayaan
Minangkabau yang dinamis dan rasional. Kata Mrazek :
“Tan Malaka mendudukkan diri sebagai pesaing
utama Soekarno. Dengan cara ini barangkali “pertarungan antara kebudayaan Hindu
Jawa lawan Minangkabau dalam memperebutkan tempat utama dalam pergerakan
Indonesia” lebur ke dalam “persaingan pribadi Tan Malaka-Sukarno memperebutkan
kepemimpinan revolusi yang segera tiba”[iii]
Terlepas dari persoalan
“rebutan kekuasaan” di atas, upaya Tan Malaka di atas patut diapresiasi sebagai
usaha yang cerdas dalam menegakkan wibawa etnis Minangkabau. Lihat saja
bagaimana Minangkabau menjadi identitas yang melekat dalam diri Tan Malaka.
Minangkabau dan kebudayaannya kerap menjadi contoh dalam karya-karya tulisnya
bahkan melebihi intelektual Minangkabau saat ini yang mungkin saja alergi
mengunjuk keluhuran adat Minangkabau dalam berdemokrasi hanya karena faktor
rendah diri pasca PRRI.
Kita Ketulahan Sejarah
Popularitas bukanlah tujuan
utama dari asesmen yang dilakukan di atas. Tetapi melalui upaya tersebut
diharapkan gambaran singkat tentang profil pahlawan asal Minangkabau atau
Sumatera Barat di mata “kaumnya” sendiri. Apalagi Pasca Orde Baru dan
menggebu-gebunya semangat otonomi daerah, Sumatera Barat tidak ketinggalan
mengacungkan beberapa nama yang dianggap pantas menjadi “Pahlawan Nasional”.
Misalnya, setelah kisah sukses mengajukan Muhammad Natsir agar di-SK-kan
sebagai pahlawan nasional, selanjutnya Sumatera Barat juga memperjuangkan
HAMKA, Roehana Kuddus, Sutan Alam Bagagarsyah dan yang lainnya sebagai pahlawan
nasional.
Perjuangan mempahlawankan
orang besar asal Minangkabau bukanlah sebuah kesalahan. Justru merupakan
langkah maju untuk memperbaiki historiografi nasional Indonesia, mengapresiasi
gerakan lokal dalam perjuangan kemerdekaan dan untuk kebenaran sejarah itu
sendiri. Tetapi di samping itu patut juga dipertimbangkan esensi dan dampak
yang logis dari mempahlawankan seseorang.
Kepahlawanan merupakan
penggalan cerita sukses perjuangan. Ada banyak manfaat yang akan diperoleh dari
pahlawan, di antaranya ide-ide besar, semangat perjuangan dan patriotisme,
pesan-pesan perjuangan dan bengkalai kerja yang mesti dilanjutkan. Kepahlawanan
Tan Malaka meniscayakan kerja besar etnis Minangkabau untuk masa mendatang.
Tak terbayangkan jika generasi
sekarang hanya bisa mengaku berjasa dengan hanya memperjuangkan seseorang menjadi pahlawan
lalu menjajakannya sebagai cerita sukses yang dijual dalam kampanye pilkada,
tetapi tidak mengambil semangat dan ajaran orang yang dipahlawankan itu, maka
bisa-bisa generasi sekarang “ketulahan”[iv]
istilah pahlawan itu sendiri karena pahlawan telah menjadi “idol” melebihi
“hero”. Tak akan maju-maju.
Cerita kepahlawanan saat ini
sejatinya diupayakan lahir dari tindakan nyata para penyelenggara negara.
Pembacaan yang tepat dan tindakan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mengatasi
amburadulnya masa depan negara Indonesia yang justru jauh dari cita-cita
“merdeka 100%”-nya Tan Malaka. Suatu yang patut direnungkan dari pernyataan Tan
Malaka bahwa rakyat dan kebudayaannya itu merdeka, bahkan negarapun tak boleh
menjajahnya.
“MAQAM” Tan Malaka di Dunia
Akademis
Kematian Tan Malaka memang
masih simpang siur. Menjelang tes DNA Tan Malaka selesai, sementara ini ia
boleh dianggap hilang tak tentu rimbanya, mati tak tahu kuburnya. Selopanggung,
tempat yang akhir-akhir ini sering disebut sebagai kuburan Tan Malaka bolehlah
dianggap sebagai tempat di mana tulang belulangnya ditanam. Selain itu tugas
berat sedang menanti kita, yaitu mencari kebenaran tentang sebab musabab
kematiannya. Tetapi di mana “Maqam” selayaknya bagi Tan Malaka di hati orang
Indonesia dan Minangkabau khususnya lebih patut dipikirkan.
Perlukah meletakkan seseorang
di posisi kanan, kiri, tengah dan sebagainya dalam konteks gerakan kemerdekaan
Indonesia? Ada yang menjawab penting dengan alasan agar kita lebih mudah
mengenali seorang tokoh melalui kecendrungan politik dan ideologinya. Ada juga
yang menganggap tidak penting, karena pemosisian itu justru akan menzalimi dan
menenggelamkan ketokohan seseorang.
Agaknya, kedua opini di atas
ada benarnya dan bisa diterima. Alasan pertama menjadi penting mengingat
peminggiran alasan ini berakibat kaburnya cara pandang generasi yang dibesarkan
historigrafi “sekolahan” sehingga hanya dapat mengenali tokoh-tokoh dari kulit
luarnya saja. Akhirnya apresiasi terhadap ketokohan seseorang berkurang karena
tidak ada cita rasa istimewa yang diperdapat melalui pengetahuannya tentang
seorang tokoh.
Tentang alasan kedua, agaknya
dipengaruhi oleh trauma amburadulnya historiografi nasional –terutama orde
baru- yang menghapuskan beberapa tokoh hanya karena berhaluan kiri, ekstrim
kanan atau berseberangan dengan syahwat penguasa. Termasuk Tan Malaka yang
sedang dibincang ini.
Oleh karena generasi sekarang
dibesarkan ingatannya oleh historiografi yang zalim, maka sepantasnya pula
ingatan itu diperiksa kembali melalui pembacaan intensif terhadap karya-karya
besar Tan Malaka yang untuk saat ini tidak begitu sulit diperoleh. Booming buku Tan Malaka rasanya sudah
cukup memadai untuk memeriksa kembali ingatan tersebut. Belum lagi ketersediaan
bahan digital di internet. Oleh sebab itu maqam yang paling logis untuk Tan
Malaka saat ini adalah di dunia akademis.
Karya-karya Tan Malaka dari
dahulu hingga sekarang mungkin saja telah diterapkan aktivis pergerakan pemuda
sebagai buku “how to” perjuangan.
Tetapi sepertinya itu belum cukup, karena dunia akademis kitapun masih alergi
menjadikan karya Tan Malaka yang sarat muatan akademis sebagai referensi.
Terakhir ini saya telah memeriksa beberapa silabus matakuliah filsafat umum dan
filsafat ilmu namun tidak ada buku Tan Malaka di sana, misalnya, Madilog yang
beberapa bagiannya merupakan subtopik dari mata kuliah tersebut.
PENUTUP
Setiap orang Minang yang
berniat hendak turun di Jalan Tan Malaka akan selalu menyebut “Tan Malaka, Kiri!”
Ado Tan Malaka?, kata sang sopir.
Tan Malaka, kiri!
Tan Malaka, pinggir!
Tan
Malaka ciek!
Bukan hanya itu, bagi orang
Sumatera Barat, semua pahlawan yang dijadikan nama jalan selalu saja dicap
“Kiri”. Sekian
Magistra Indonesia, April 2010
Paper, disampaikan pada acara Pemutaran Film dan Diskusi Selopanggung
Goes to Padang Hari Rabu, 14/4/10 di Aula Fakultas Adab IAIN Imam
Bonjol pukul 09.00 WIB s/d selesai
[i]
Istilah Minangkabau untuk menyebutkan potongan kain, gunting sisa kain bahan
dasar pakaian
[ii] Menghapal merupakan kebiasan yang menuai
kritik dari Tan Malaka meskipun tidak terlu ekstrim. Menurutnya, menghapal itu
tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan bodoh, mekanis seperti mesin.
Agaknya seperti itulah kerja mesin historiografi Orde Baru dalam memproduksi
ingatan tentang tokoh dan orang-orang besar Indonesia. Lihat: Tan Malaka, Madilog
(Jakarta: LPPM Tan Malaka, 2008), h.12
[iii]
Rudol Mrazek, Tan Malaka, (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 1999), h. 49
[iv]
Kena kutuk sehingga menderita sakit dan sengsara.
No comments:
Post a Comment