Muhammad Nasir
"Fanatisme mazhab tanpa ilmu adalah kebodohan yang
dibungkus kesalehan."- Yusuf al-Qaradawi (w. 2022) dalam al-Sahwah
al-Islamiyyah
Pak, mengapa
masalah khilafiyah yang sepertinya sudah selesai dibahas dan ditulis dalam
berjilid-jilid kitab oleh ulama dan cendekiawan hebat di abad ke-9 masih saja
dipertentangkan orang zaman sekarang? tanya seorang mahasiswa. Anda, benar. Tetapi,
yang mempertentangkan itu bukan Anda yang sudah tercerahkan, ‘kan? Tetapi orang
minim literasi, a-historis dan tidak bijaksana.
Pertanyaan itu
muncul setelah berdiskusi panjang tentang sejarah perbedaan pendapat dalam Islam,
di kelas kuliah Teosofi, Prodi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Imam Bonjol Padang, sekitar tahun 2019. Pertanyaan itu mungkin
terkesan sederhana, tetapi sangat penting untuk dijawab.
Sejak era para imam
mujtahid seperti Abu Hanifah (w. 767 M), Malik bin Anas (w. 795 M), al-Syafi‘i
(w. 820 M), dan Ahmad bin Hanbal (w. 855 M), dunia Islam sudah kaya dengan
dialektika hukum dan teologi. Perbedaan ini tidak lahir dari ruang hampa,
melainkan dari metode ijtihad, konteks sosial-budaya, dan interaksi dengan
sumber-sumber pengetahuan yang beragam. Bahkan dalam banyak kasus, perbedaan
itu sudah mereka dokumentasikan dan sepakati batas-batasnya sehingga tetap
menjadi bagian dari kekayaan khazanah, bukan pemicu perpecahan.
Namun, di abad
ke-21, kita justru melihat fenomena aneh: perdebatan yang seharusnya berada di
ruang akademis dan kitab klasik, kembali dibawa ke ranah publik dengan nada
saling menyesatkan. Orang-orang menghidupkan kembali polemik lama tanpa
memahami landasan epistemologisnya, bahkan seringkali memotong kutipan atau
mengutip tanpa konteks.