15 August 2025

Perang Paderi dalam Tinjauan Fikih Siyasah

 Muhammad Nasir

Pengajar Sejarah Minangkabau UIN Imam Bonjol Padang


Perang Paderi yang terjadi di Minangkabau pada awal abad ke-19 merupakan salah satu babak penting dalam sejarah sosial-politik Indonesia. Konflik ini bermula dari perbedaan pandangan antara kelompok yang mengedepankan pemurnian ajaran Islam dan kelompok yang mempertahankan adat sebagai bagian integral dari identitas Minangkabau. Kaum Paderi terinspirasi dari semangat pembaruan yang mereka temui saat menunaikan ibadah haji di Mekkah dan Madinah, sedangkan Kaum Adat berpegang pada tradisi yang telah mengakar kuat dalam sistem sosial, termasuk pola kekerabatan matrilineal.

Perselisihan tersebut pada awalnya bersifat internal dan terbatas di wilayah Minangkabau. Namun, ketegangan meningkat hingga memunculkan pertikaian bersenjata. Situasi semakin kompleks ketika Belanda ikut campur, awalnya atas undangan sebagian pihak yang menginginkan penyelesaian konflik, namun kemudian intervensi itu berujung pada perluasan kontrol kolonial. Akhirnya, perang ini berkembang menjadi konflik yang memadukan dimensi agama, adat, politik, dan perjuangan melawan penjajahan.



12 August 2025

Mengapa Debat Masalah Khilafiyah Tidak Pernah Usai?

Muhammad Nasir

 

"Fanatisme mazhab tanpa ilmu adalah kebodohan yang dibungkus kesalehan."- Yusuf al-Qaradawi (w. 2022) dalam al-Sahwah al-Islamiyyah

 

  

Pak, mengapa masalah khilafiyah yang sepertinya sudah selesai dibahas dan ditulis dalam berjilid-jilid kitab oleh ulama dan cendekiawan hebat di abad ke-9 masih saja dipertentangkan orang zaman sekarang? tanya seorang mahasiswa. Anda, benar. Tetapi, yang mempertentangkan itu bukan Anda yang sudah tercerahkan, ‘kan? Tetapi orang minim literasi, a-historis dan tidak bijaksana.

Pertanyaan itu muncul setelah berdiskusi panjang tentang sejarah perbedaan pendapat dalam Islam, di kelas kuliah Teosofi, Prodi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang, sekitar tahun 2019. Pertanyaan itu mungkin terkesan sederhana, tetapi sangat penting untuk dijawab.


Sejak era para imam mujtahid seperti Abu Hanifah (w. 767 M), Malik bin Anas (w. 795 M), al-Syafi‘i (w. 820 M), dan Ahmad bin Hanbal (w. 855 M), dunia Islam sudah kaya dengan dialektika hukum dan teologi. Perbedaan ini tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari metode ijtihad, konteks sosial-budaya, dan interaksi dengan sumber-sumber pengetahuan yang beragam. Bahkan dalam banyak kasus, perbedaan itu sudah mereka dokumentasikan dan sepakati batas-batasnya sehingga tetap menjadi bagian dari kekayaan khazanah, bukan pemicu perpecahan.

Namun, di abad ke-21, kita justru melihat fenomena aneh: perdebatan yang seharusnya berada di ruang akademis dan kitab klasik, kembali dibawa ke ranah publik dengan nada saling menyesatkan. Orang-orang menghidupkan kembali polemik lama tanpa memahami landasan epistemologisnya, bahkan seringkali memotong kutipan atau mengutip tanpa konteks.