31 May 2020

KABAU NAN TIGO KANDANG


Kabau Nan Tigo Kandang 
Muhammad Nasir

Kabau Nan Tigo Kandang adalah julukan atau ejekan (pejoratif) yang diberikan kepada orang-orang Salo, Magek dan Koto Baru (SMK) pada masa bonanza perdagangan kopi dan akasia di akhir abad ke-18, menjelang revolusi kaum Padri di daerah Agam Tuo (Oud Agam).

Istilah ini dapat ditemukan dalam naskah beraksara Arab Melayu yang ditulis oleh Mat Tjing atau Fakih Saghir (1823). Naskah itu berjudul “Alamat Keterangan daripada saya Faqih Saghir Tuanku Sami’ Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo adanya, Wallahul Huda ila Sabiilil Irsyad.” Julukainn ini juga dapat ditemukan dalam buku  Cristine Dobbin berjudul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi (2008).

Julukan ini tidak akan dibahas berpanjang-panjang, kecuali hanya sebagai penunjuk -begitu benarlah adanya- suasana persaingan antar nagari di Luhak nan Tangah pada masa itu. Ketiga nagari itu dianggap lemah. Namun faktor Islam dan kebangkitan ekonomi membuat orang-orang di nagari tersebut menjadi “bagak” dan menjadi pendukung utama revolusi Tuanku nan Renceh bersama nagari Kamang dan Bukik.

Tulisan ini sudah dimuat di


Dalam sejarah perlawanan di Onderafdeling Oud Agam ini, nagari-nagari yang disebut di atas menjadi penting. Sejak revolusi Padri gelombang pertama dan kedua (1803-1830) hingga Perlawanan Pajak alias Perang Belasting (1908), daerah tersebut selalu tersebut dalam beberapa scene peristiwa. Tak pula berlebihan jika nagari-nagari itu disebut basis perlawanan terhadap kolonial Belanda di Agam Tuo.

Namun, siapa sangka kemajuan dalam pertanian dan perdagangan kopi dan akasia itulah yang  melepaskan masyarakat nagari tersebut dari 'penjajahan' kata-kata oleh nagari-nagari tetangganya yang maju lebih dahulu. Jejak-jejak kejayaan akasia itu sekarang masih terlihat. Generasi sekarang melihatnya hanya sebatas tumbuhan semak liar. Padahal ada sejarah nenek moyang mereka di situ.

Selain efek perdagangan dan pertanian tersebut, ternyata hadirnya kesadaran melaksanakan agama Islam ikut berpengaruh besar menaikkan moral mereka. Cristine Dobbin secara gamblang menulis faktor Islam dalam kebangkitan moral masyarakat Minangkabau, termasuk nagari SMK yang disebut di atas. Dobbin menulis, "Sekarang, sebagai Islam yang baik, mereka merasa lebih unggul secara sosial dan moral dibanding dengan tetangga mereka."

Agaknya sejarah Minangkabau dibangun dari konflik. Sejak era Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang, era Minangkabau Timur (abad ke-7), era Pantai Timur hingga Pagaruyuang (abad ke-14) dan era Pantai Barat (abad ke-17). Konflik tersebut berpengaruh hingga membentuk Minangkabau hingga menjadi apa.

Pada era yang disebut di atas konflik lebih kental beraroma politik dan ekonomi perdagangan. Kecuali konflik antara Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang yang melahirkan konsep pemerintahan kelarasan Adat, era tersebut mungkin dapat terlokalisir sebatas daerah rantau dan tidak membawa pengaruh besar terhadap struktur sosial di daerah Darek Minangkabau. Di antara penyebabnya, persaingan di rantau justru menghadapi kelompok pesaing dari luar etnis Minangkabau.

Lain halnya dengan konflik di daerah Luhak atau Darek (daerah inti Minangkabau). Meski menyerempet tema politik, ekonomi dan agama, konflik dan persaingan justru terjadi di antara masyarakat Minangkabau sendiri. Lazimnya persaingan lego sakandang, semangat persaingan justru digerakkan oleh perasaan bangga karena dapat mengungguli nagari sekitar dalam banyak hal.

Sebagaimana disitir oleh Cristine Dobbin dalam pembukaan tulisan di atas, salah satu dampak persaingan tersebut justru berpengaruh terhadap hubungan antar nagari. Sepertinya menarik untuk mencigap agak sepintas, seperti apa potret persaingan antar nagari tersebut.

Persaingan Harga Diri
Pertama persaingan dalam ekonomi. Menurut ahli ekonomi, persaingan ekonomi adalah adu strategi para penjual yang sama-sama berusaha mendapatkan keuntungan, pangsa pasar, dan jumlah penjualan. Para penjual biasanya berusaha mengungguli persaingan dengan membedakan harga, produk, distribusi dan promosi.

Menurut cara pikir Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776), pedagang yang mampu menghadirkan komoditas yang paling bernilai tinggi dan strategi yang efisien pasti akan beruntung.
Namun, persaingan antar nagari di Minangkabau bukan seperti itu. Bukan soal komoditi unggulan ataupun soal keahlian berdagang. Sepertinya persaingan yang dimaksud adalah soal kebanggaan dan harga diri (pride) yang disebabkan perolehan atas nilai uang (price).

Dalam kasus nagari Kabau Nan Tigo Kandang di atas, hukum pride and price berlaku. Untuk  beberapa waktu. nagari SMK berada di bawah bayang-bayang kejayaan ekonomi nagari-nagari tetangganya. Akhirnya mereka beroleh gelar Kabau Nan Tigo Kandang! Sayangnya tak ada penjelasan yang memadai tentang asal usul munculnya istilah ini.

Kebanggaan dan harga diri sepertinya sudah menjadi ciri khas daripada masyarakat matriarchat Minangkabau. Merasa diri rendah dan hina, bagi orang Minangkabau adalah gejala-gejala masyarakat tertindas, yaitu masyarakat patriarchat. Namun, apakah ini sebuah penyakit ada baiknya ini diperiksa dalam filosofi orang Minang itu sendiri.

Dalam falsafah materialisme Minangkabau menurut A.A. Navis (1984) remaja laki-laki disuruh agar kuat mencari harta kekayaan guna memperkokoh dan meningkatkan martabat keluarga atau kaum kerabat agar setara dengan orang lain. Seperti tersirat dalam pantun:
Apo gunonyo kabau batali/Usah dipauik di pamatang/Pauikan sajo di tangah padang/Apo gunonyo badan mancari/Iyo pamaga sawah jo ladang /Nak membela sanak kanduang

Orang Minang, tulis Mardianto, Dosen Universitas Negeri Padang (2009) menganggap semua orang pada prinsipnya adalah sama. Mempunyai potensi kemampuan yang sama. Bila orang lain mampu melakukan maka kita pun pasti dapat juga meraih hal yang sama. Jikok di urang bisa baa kok di awak indak?, demikian prinsip orang Minang. Prinsip inilah yang melahirkan budaya kompetitif dan persaingan agar dapat meraih prestasi dan kedudukan yang sama dengan orang lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, julukan Kabau Nan Tigo Kandang dan rasa bangga yang berlebih-lebihan merupakan sebuah penyimpangan dari tuntunan adat dan kebudayaan Minangkabau sendiri. Meskipun demikian, apa yang terjadi pada masa itu mesti juga dipahami dalam ukuran sifat manusia. Manusia yang sering alpa mengamalkan nilai-nilai baik dari kebudayaannya.

Dalam kasus lain misalnya, orang Minang akan sangat terhina apabila dikatakan sebagai orang yang tidak beradat. Apa lagi setelah Islam masuk ke Minangkabau, masyarakat Minang menselaraskan dasar agama Islam ke dalam konsep dasar adatnya dan menjadikan Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah landasan filosfis adatnya. Mereka akan marah dikatakan tidak beragama. Meskipun mereka acap dengan sadar melanggarnya! Ups...!

No comments: