Kabau Nan Tigo Kandang
Muhammad Nasir
Kabau Nan Tigo Kandang adalah julukan atau ejekan (pejoratif) yang diberikan kepada
orang-orang Salo, Magek dan Koto Baru (SMK) pada masa bonanza
perdagangan kopi dan akasia di akhir abad ke-18, menjelang revolusi kaum Padri
di daerah Agam Tuo (Oud Agam).
Istilah ini
dapat ditemukan dalam naskah beraksara Arab Melayu yang ditulis oleh Mat Tjing
atau Fakih Saghir (1823). Naskah itu berjudul “Alamat Keterangan daripada
saya Faqih Saghir Tuanku Sami’ Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo adanya, Wallahul
Huda ila Sabiilil Irsyad.” Julukainn ini juga dapat ditemukan dalam
buku Cristine Dobbin berjudul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan
Islam dan Gerakan Paderi (2008).
Julukan ini tidak akan dibahas berpanjang-panjang, kecuali hanya sebagai
penunjuk -begitu benarlah adanya- suasana persaingan antar nagari di Luhak
nan Tangah pada masa itu. Ketiga
nagari itu dianggap lemah. Namun faktor Islam dan kebangkitan ekonomi membuat
orang-orang di nagari tersebut menjadi “bagak” dan menjadi pendukung utama
revolusi Tuanku nan Renceh bersama nagari Kamang dan Bukik.
Tulisan ini sudah dimuat di
Dalam sejarah perlawanan di Onderafdeling Oud Agam ini,
nagari-nagari yang disebut di atas menjadi penting. Sejak revolusi Padri
gelombang pertama dan kedua (1803-1830) hingga Perlawanan Pajak alias Perang
Belasting (1908), daerah tersebut selalu tersebut dalam beberapa scene peristiwa.
Tak pula berlebihan jika nagari-nagari itu disebut
basis perlawanan terhadap kolonial Belanda di Agam Tuo.
Namun, siapa sangka kemajuan dalam pertanian dan perdagangan kopi dan
akasia itulah yang melepaskan masyarakat
nagari tersebut dari 'penjajahan' kata-kata oleh nagari-nagari
tetangganya yang maju lebih dahulu. Jejak-jejak kejayaan akasia itu sekarang
masih terlihat. Generasi sekarang melihatnya hanya sebatas tumbuhan semak liar.
Padahal ada sejarah nenek moyang mereka di situ.
Selain efek perdagangan dan pertanian tersebut, ternyata hadirnya
kesadaran melaksanakan agama Islam ikut berpengaruh besar menaikkan moral
mereka. Cristine Dobbin secara gamblang menulis faktor Islam dalam kebangkitan
moral masyarakat Minangkabau, termasuk nagari SMK yang disebut di atas. Dobbin
menulis, "Sekarang, sebagai Islam yang baik, mereka merasa lebih unggul
secara sosial dan moral dibanding dengan tetangga mereka."
Agaknya sejarah Minangkabau dibangun dari konflik. Sejak era Datuak
Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang, era Minangkabau Timur (abad ke-7),
era Pantai Timur hingga Pagaruyuang (abad ke-14) dan era Pantai Barat (abad
ke-17). Konflik tersebut berpengaruh hingga membentuk Minangkabau hingga
menjadi apa.
Pada era yang disebut di atas konflik lebih kental beraroma politik dan
ekonomi perdagangan. Kecuali konflik antara Datuak Katumanggungan dan Datuak
Parpatiah nan Sabatang yang melahirkan konsep pemerintahan kelarasan Adat, era
tersebut mungkin dapat terlokalisir sebatas daerah rantau dan tidak membawa
pengaruh besar terhadap struktur sosial di daerah Darek Minangkabau. Di
antara penyebabnya, persaingan di rantau justru menghadapi kelompok pesaing
dari luar etnis Minangkabau.
Lain halnya dengan konflik di daerah Luhak atau Darek
(daerah inti Minangkabau). Meski menyerempet tema politik, ekonomi dan agama,
konflik dan persaingan justru terjadi di antara masyarakat Minangkabau sendiri.
Lazimnya persaingan lego sakandang, semangat persaingan justru
digerakkan oleh perasaan bangga karena dapat mengungguli nagari sekitar dalam
banyak hal.
Sebagaimana disitir oleh Cristine Dobbin dalam pembukaan tulisan di
atas, salah satu dampak persaingan tersebut justru berpengaruh terhadap
hubungan antar nagari. Sepertinya menarik untuk mencigap agak sepintas,
seperti apa potret persaingan antar nagari tersebut.
Persaingan Harga Diri
Pertama persaingan dalam ekonomi. Menurut ahli ekonomi, persaingan
ekonomi adalah adu strategi para penjual yang sama-sama berusaha mendapatkan
keuntungan, pangsa pasar, dan jumlah penjualan. Para penjual biasanya berusaha mengungguli
persaingan dengan membedakan harga, produk, distribusi dan promosi.
Menurut cara pikir Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations
(1776), pedagang yang mampu menghadirkan komoditas yang paling bernilai
tinggi dan strategi yang efisien pasti akan beruntung.
Namun, persaingan antar nagari di Minangkabau bukan seperti itu. Bukan
soal komoditi unggulan ataupun soal keahlian berdagang. Sepertinya persaingan
yang dimaksud adalah soal kebanggaan dan harga diri (pride) yang
disebabkan perolehan atas nilai uang (price).
Dalam kasus nagari Kabau Nan Tigo Kandang di atas, hukum pride and
price berlaku. Untuk beberapa waktu. nagari SMK berada di bawah
bayang-bayang kejayaan ekonomi nagari-nagari tetangganya. Akhirnya mereka
beroleh gelar Kabau Nan Tigo Kandang! Sayangnya tak ada penjelasan yang
memadai tentang asal usul munculnya istilah ini.
Kebanggaan dan harga diri sepertinya sudah menjadi ciri khas daripada
masyarakat matriarchat Minangkabau. Merasa diri rendah dan hina, bagi orang Minangkabau
adalah gejala-gejala masyarakat tertindas, yaitu masyarakat patriarchat. Namun,
apakah ini sebuah penyakit ada baiknya ini diperiksa dalam filosofi
orang Minang itu sendiri.
Dalam falsafah materialisme Minangkabau menurut A.A. Navis (1984) remaja
laki-laki disuruh agar kuat mencari harta kekayaan guna memperkokoh dan
meningkatkan martabat keluarga atau kaum kerabat agar setara dengan orang lain.
Seperti tersirat dalam pantun:
Apo gunonyo kabau
batali/Usah dipauik di pamatang/Pauikan sajo di tangah padang/Apo gunonyo badan mancari/Iyo pamaga sawah jo ladang /Nak membela sanak
kanduang
Orang Minang, tulis Mardianto, Dosen
Universitas Negeri Padang (2009) menganggap semua orang pada prinsipnya adalah
sama. Mempunyai potensi kemampuan yang
sama. Bila orang lain mampu
melakukan maka kita pun pasti dapat juga meraih hal yang sama. Jikok di urang bisa baa kok di awak indak?, demikian prinsip
orang Minang. Prinsip inilah yang melahirkan budaya kompetitif dan persaingan agar dapat meraih
prestasi dan kedudukan yang sama dengan orang lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, julukan Kabau Nan Tigo Kandang dan rasa
bangga yang berlebih-lebihan merupakan sebuah penyimpangan dari tuntunan adat
dan kebudayaan Minangkabau sendiri. Meskipun demikian, apa yang terjadi pada
masa itu mesti juga dipahami dalam ukuran sifat manusia. Manusia yang sering
alpa mengamalkan nilai-nilai baik dari kebudayaannya.
Dalam kasus lain misalnya, orang Minang akan sangat terhina apabila
dikatakan sebagai orang yang tidak beradat. Apa lagi setelah Islam masuk ke
Minangkabau, masyarakat Minang menselaraskan dasar agama Islam ke dalam konsep
dasar adatnya dan menjadikan Adat Basandi Syara', Syara' Basandi
Kitabullah landasan filosfis adatnya. Mereka akan marah
dikatakan tidak beragama. Meskipun mereka acap dengan sadar melanggarnya!
Ups...!
No comments:
Post a Comment