Muhammad Nasir
Kok anok kalian, bara den tabayia? Kata bapak di sudut lapau dengan suaranya yang berat. Dari tadi, orang tua itu diam saja. Matanya terpicing-picing tanggung. Arti kalimat bapak itu tak lebih ”jika kalian bisa diam, berapa uang yang harus saya bayarkan? Ajiib. Untuk diam pun harus dibayar.
Jangan gembira dulu! Maksud sebenarnya dari kalimat bapak itu versi Betawi-nya adalah, “lu pade bisa diem nggak?” gitu choy!
Tapi, jujur saja, penggalan situasi di atas sudah cukup langka. Peristiwa dramatik itu hanya terjadi di masyarakat kebudayaan yang homogen dan tingkat keintiman sosial yang amat rapat. Kebetulan, kalimat bapak tua tadi berasal dari masyarakat kebudayaan Minangkabau.
Sedikit saya beri ulasan, peristiwa di atas adalah teguran yang diberikan kepada sekumpulan pelapau yang terlalu larut dalam percakapan yang bising dan tak berkesudahan. Tak berujung pangkal bak ketiak ular. Ungkapan itu adalah kiasan, beliaupun tak benar-benar ingin membayar segala pihak yang terlibat dalam pembicaraan yang bising itu. Sebenarnyalah, iya sedang tidak nyaman dengan perkembangan percapakan itu dan mulai agak marah.
Namun, kalimat yang sama bisa memiliki arti yang berbeda. Misalnya, saat sekelompok mahasiswa terlibat dalam pembicaraan yang hangat dan santai. Salah satu di antara mereka sedang dijadikan banca’an, dijadikan bahan kelakar dan gurauan. Lalu yang djadikan bahan kelakar itu berucap, “Kok anok kalian, bara den tabayia?” Nah, tebaklah apa maknanya. Biasanya kalimat itu diungkapkan dengan bahagia. Intinya, bicaralah terus tentang diriku. Aku amat menikmatinya.
Itulah sepenggal fragmen sebagai ilustrasi pembuka jalan tulisan ini.
Menyampaikan sesuatu dengan terang-terangan, bukak kulik tampak isi bukanlah kebiasaan dan karakter masyarakat Minangkabau. Jika ingin menyampaikan nasehat atau teguran biasanya dalam berbagai bentuk kiasan (kieh), metafora atau sindiran. Itulah sisa-sisa kearifan yang dimiliki masyarakat Minangkabau yang diharapkan terus terjaga sepanjang masa.
Bagi orang Minangkabau yang tak pandai berkias memilih kata, maka berhentilah jadi orang Minangkabau, atau sekalian berhenti juga jadi manusia. Termasuk jika ia sama sekali tidak faham dan tidak mempan dengan berbagai kiasan dan sindiran. Maka jadi kepuyuk sajalah. Sebab, kata pepatah manusia tahan kias, binatang tahan palu.
Jadi, Kok anok kalian, bara den tabayia? adalah ungkapan kiasan (kieh) yang menuntut kearifan dan ketajaman rasa untuk memahaminya. Apalagi kalau anda masih mau mengaku orang Minangkabau. tak paham jua, sudah patut pula anda digado dengan palu.
Kieh sebagai maxim kesantunan berbahasa
Kieh dalam konteks keahlian berbahasa adalah bentuk kesantunan berbahasa orang Minangkabau, kata Profesor Oktavianus (2013) ahli bahasa dari Universitas Andalas Padang. Geoffrey Leech (1983) mendefinisikan kesantunan sebagai strategi untuk menghindari konflik yang dapat diukur hasrat berkata-kata yang berpotensi menghadirkan situasi konflik.
Kemampuan berkias juga menunjukkan kemampuan menjaga harga diri masing-masing pihak agar terhindar dari konflik. Sudah lazim, bilamana konflik sering berawal dari kesalahpahaman dalam pemakaian bahasa.
Simaklah, makna terdalam dari petuah Minang ini, kok mangecek maagak-agak (jika berbicara dengan diksi seperlunya), pikia dulu kalau bakato (berpikir dulu sebelum bicara), tapi usah katokan nan tapikia (tak semua yang terpikirkan harus dikatakan), sabab luko di pisau tampak darah (sebab, lukaterkena pisau tampak darahnya), duo tigo taweh panawa (hanya butuh dua tiga tawas penawar luka), tapi luko di lidah sulik ubeknyo (tapi luka karena ucapan lidak sulit diobati)
Oleh karena itu masyarakat Minangkabau dalam berkomunikasi sangat dianjurkan untuk berhati-hati seperti ungkapan bakato siang caliak-caliak, bakato malam danga-dangaan. Artinya, lihat situasi dulu sebelum berbicara.
Nah, ini kan ndak! Akhirnya, lama-lama habis jua keahlian berkias di Minangkabau ini. Beberapa waktu belakangan beberapa politisi [asal] Minangkabau mulai tak pandai berkias-berkata-kata. Main sembur terlongsong kata. Ketek-gadang sama saja. Datar saja negeri ini di matanya.
Mungkin ia belum membaca Kaba Cinduamato. Meski itu fiksi, namun tak ada salahnya memakai sifat rajo (orang besar) dalam berkata-kata, yaitu cadiak candokio (cerdik cendikia), arif budiman, tahu di ujuang [kieh] kato sampai (tahu kata kiasan), himaik bicaro (hemat berbicara), barani karano bana (berani berkata atas nama kebenaran), lapang dado (lapang dada, tak mudah emosi, tak asal ngegas kata anak milenial).
Sebagai “orang gadang” Minangkabau tak patutlah para politisi itu bicara seperti sarok balai, kotor dan berserakan. Apalagi bila ia bicara dan disebar di media publik. Isi bicara dan cara menyampaikan akan dinilai oleh publik. Salah bicara di tengah balai, bisa-bisa ditegur bapak yang saya ceritakan di atas tadi. Kok anok kalian, bara den tabayia? Jika tak paham juga, kemungkinan lainnya orang gadang semacam itu bisa kena tubo. [*]
bakaba.co 28 Dsember 2019 |
Kok anok kalian, bara den tabayia? Kata bapak di sudut lapau dengan suaranya yang berat. Dari tadi, orang tua itu diam saja. Matanya terpicing-picing tanggung. Arti kalimat bapak itu tak lebih ”jika kalian bisa diam, berapa uang yang harus saya bayarkan? Ajiib. Untuk diam pun harus dibayar.
Jangan gembira dulu! Maksud sebenarnya dari kalimat bapak itu versi Betawi-nya adalah, “lu pade bisa diem nggak?” gitu choy!
Tapi, jujur saja, penggalan situasi di atas sudah cukup langka. Peristiwa dramatik itu hanya terjadi di masyarakat kebudayaan yang homogen dan tingkat keintiman sosial yang amat rapat. Kebetulan, kalimat bapak tua tadi berasal dari masyarakat kebudayaan Minangkabau.
Sedikit saya beri ulasan, peristiwa di atas adalah teguran yang diberikan kepada sekumpulan pelapau yang terlalu larut dalam percakapan yang bising dan tak berkesudahan. Tak berujung pangkal bak ketiak ular. Ungkapan itu adalah kiasan, beliaupun tak benar-benar ingin membayar segala pihak yang terlibat dalam pembicaraan yang bising itu. Sebenarnyalah, iya sedang tidak nyaman dengan perkembangan percapakan itu dan mulai agak marah.
Namun, kalimat yang sama bisa memiliki arti yang berbeda. Misalnya, saat sekelompok mahasiswa terlibat dalam pembicaraan yang hangat dan santai. Salah satu di antara mereka sedang dijadikan banca’an, dijadikan bahan kelakar dan gurauan. Lalu yang djadikan bahan kelakar itu berucap, “Kok anok kalian, bara den tabayia?” Nah, tebaklah apa maknanya. Biasanya kalimat itu diungkapkan dengan bahagia. Intinya, bicaralah terus tentang diriku. Aku amat menikmatinya.
Itulah sepenggal fragmen sebagai ilustrasi pembuka jalan tulisan ini.
Menyampaikan sesuatu dengan terang-terangan, bukak kulik tampak isi bukanlah kebiasaan dan karakter masyarakat Minangkabau. Jika ingin menyampaikan nasehat atau teguran biasanya dalam berbagai bentuk kiasan (kieh), metafora atau sindiran. Itulah sisa-sisa kearifan yang dimiliki masyarakat Minangkabau yang diharapkan terus terjaga sepanjang masa.
Bagi orang Minangkabau yang tak pandai berkias memilih kata, maka berhentilah jadi orang Minangkabau, atau sekalian berhenti juga jadi manusia. Termasuk jika ia sama sekali tidak faham dan tidak mempan dengan berbagai kiasan dan sindiran. Maka jadi kepuyuk sajalah. Sebab, kata pepatah manusia tahan kias, binatang tahan palu.
Jadi, Kok anok kalian, bara den tabayia? adalah ungkapan kiasan (kieh) yang menuntut kearifan dan ketajaman rasa untuk memahaminya. Apalagi kalau anda masih mau mengaku orang Minangkabau. tak paham jua, sudah patut pula anda digado dengan palu.
Kieh sebagai maxim kesantunan berbahasa
Kieh dalam konteks keahlian berbahasa adalah bentuk kesantunan berbahasa orang Minangkabau, kata Profesor Oktavianus (2013) ahli bahasa dari Universitas Andalas Padang. Geoffrey Leech (1983) mendefinisikan kesantunan sebagai strategi untuk menghindari konflik yang dapat diukur hasrat berkata-kata yang berpotensi menghadirkan situasi konflik.
Kemampuan berkias juga menunjukkan kemampuan menjaga harga diri masing-masing pihak agar terhindar dari konflik. Sudah lazim, bilamana konflik sering berawal dari kesalahpahaman dalam pemakaian bahasa.
Simaklah, makna terdalam dari petuah Minang ini, kok mangecek maagak-agak (jika berbicara dengan diksi seperlunya), pikia dulu kalau bakato (berpikir dulu sebelum bicara), tapi usah katokan nan tapikia (tak semua yang terpikirkan harus dikatakan), sabab luko di pisau tampak darah (sebab, lukaterkena pisau tampak darahnya), duo tigo taweh panawa (hanya butuh dua tiga tawas penawar luka), tapi luko di lidah sulik ubeknyo (tapi luka karena ucapan lidak sulit diobati)
Oleh karena itu masyarakat Minangkabau dalam berkomunikasi sangat dianjurkan untuk berhati-hati seperti ungkapan bakato siang caliak-caliak, bakato malam danga-dangaan. Artinya, lihat situasi dulu sebelum berbicara.
Nah, ini kan ndak! Akhirnya, lama-lama habis jua keahlian berkias di Minangkabau ini. Beberapa waktu belakangan beberapa politisi [asal] Minangkabau mulai tak pandai berkias-berkata-kata. Main sembur terlongsong kata. Ketek-gadang sama saja. Datar saja negeri ini di matanya.
Mungkin ia belum membaca Kaba Cinduamato. Meski itu fiksi, namun tak ada salahnya memakai sifat rajo (orang besar) dalam berkata-kata, yaitu cadiak candokio (cerdik cendikia), arif budiman, tahu di ujuang [kieh] kato sampai (tahu kata kiasan), himaik bicaro (hemat berbicara), barani karano bana (berani berkata atas nama kebenaran), lapang dado (lapang dada, tak mudah emosi, tak asal ngegas kata anak milenial).
Sebagai “orang gadang” Minangkabau tak patutlah para politisi itu bicara seperti sarok balai, kotor dan berserakan. Apalagi bila ia bicara dan disebar di media publik. Isi bicara dan cara menyampaikan akan dinilai oleh publik. Salah bicara di tengah balai, bisa-bisa ditegur bapak yang saya ceritakan di atas tadi. Kok anok kalian, bara den tabayia? Jika tak paham juga, kemungkinan lainnya orang gadang semacam itu bisa kena tubo. [*]