17 August 2019

ISLAMISASI MINANGKABAU


ISLAMISASI MINANGKABAU
Oleh: Muhammad Nasir
muhammadnasir@uinib.ac.id

Draft Cover Buku 
Islamisasi Minangkabau semestinya adalah teori-teori yang dibangun oleh para sejarawan tentang masuknya Islam ke Minangkabau, Penyebaran dan perkembangannya. Namun, sejauh ini belum ada literatur yang mengulasnya secara lengkap sebagai sastu kesatuan teori tentang Islamisasi Minangkabau. Informasi tentang konversi masyarakat Minangkabau ke dalam agama Islam, bagaimana agama Islam dikembangkan dan diajarkan serta bagaimana dinamikanya ketika berhadapan dengan adat Minangkabau masih terpisah-pisah sesuai dengan topik pembahasan dan minat para sejarawan.

Teori merupakan suatu hipotesis yang didasarkan pada analisis hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta. Pernyataan teori umumnya hanya diterima secara "sementara" dan bukan merupakan pernyataan akhir yang konklusif. Teori tentang masuknya Islam ke Minangkabau pada dasarnya belum tersusun secara rapi dan sistematis. Namun bukan berarti bahwa upaya untuk mengungkapkan sejarah masuknya Islam ke Minangkabau belum disusun sama sekali. Sudah ada banyak pendapat yang mengungkapkan sejarah awal masuknya Islam ke Minangkabau disertai dengan seperangkat asumsi dan fakta-fakta yang ditulis oleh sejarawan atau penulis yang concern pada studi kebudayaan Minangkabau. Berikut akan dihimpun beberapa asumsi dasar yang pada umumnya disepakati oleh para sejarawan dan penulis tentang Minangkabau yang akan menjadi kerangka pijakan penyusunan teori Islamisasi Minangkabau:


1. Sejarah masuknya agama Islam ke Minangkabau sejalan dengan sejarah Masuknya Islam ke Nusantara (Indonesia), yaitu proses yang berlangsung antara abad ke-7 masehi hingga abad ke-13 masehi. Setidaknya ada beberapa teori yang populer yang mengatakan:

Pertama,Teori Arab atau Teori Makkah.  
Islam sudah hadir di Indonesia sejak abad ke-7 masehi dan berasal dari Arab sesuai dengan hasil Seminar Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963 dan Seminar di Langsa, Aceh tanggal 25-30 September 1980 (M Sanusi Latief, 1988). Teori ini dibangun dengan asumsi bahwa semenjak abad ke-7 masehi kawasan Indonesia sudah ramai dengan aktivitas perdagangan internasional yang melibatkan para pedagang muslim dari berbagai negara, di antaranya dari Arab yang pada waktu itu berada dalam kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus. Selain itu, Khalifah Bani Umayyah pernah berkirim surat mengajak raja Sriwijaya Sri Maharaja Srindra Lokita Warman untuk memeluk agama Islam.

Hamka (1982) sebagai salah satu pemrasaran mengajukan bukti bahwa sekitar tahun 674 masehi sudah ditemukan sekelompok pedagang Arab muslim yang menetap di wilayah sumatera. M.D Mansoer (1970) juga menulis bahwa wilayah Minangkabau Timur pernah mengalami masa pengaruh perkembangan agama Islam (sunnah) antara tahun 670-730 masehi. Teori ini juga dikenal dengan teori Makkah. Selain penulis lokal Indonesia tersebut, teori ini juga pernah disampaikan oleh penulis asing yang juga menyatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Arab yang memiliki semangat untuk menyebarkan Agama Islam ke seluruh belahan dunia. 

Di antara penulis  yang mengusung teori ini adalah Van Leur, Anthony H. Johns, T.W Arnold. Bukti yang diajukan oleh pengusung teori ini adalah:
a. Pada abad ke 7 Masehi, di Pantai Timur Sumatera memang telah terdapat perkampungan Islam khas dinasti Ummayyah, Arab.
b. Madzhab yang populer kala itu khususnya di Samudera Passai adalah madzhab Syafii yang juga populer di Arab dan Mesir.
c.  Adanya penggunaan gelar Al Malik pada raja-raja Samudera Pasai yang hanya lazim ditemui pada budaya Islam di Mesir.

Kedua, Teori Gujarat
Teori Gujarat mengatakan Islam Masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13 masehi. Dalam teori ini dikatakan bahwa masuknya Agama Islam ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Gujarat, India. Tokoh yang mendukung teori ini adalah Snouck Hurgronje (193) dan J.Pijnapel. Mereka berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi bersama dengan hubungan dagang yang terjalin antara masyarakat Nusantara dengan para pedagang Gujarat yang datang.
teori ini dibangun berdasarkan dua hal:
a. Kurangnya fakta yg menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebarannya ke Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dgn India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur tengah – Eropa.

Beberapa bukti yang mendukung teori ini diantaranya batu nisan Sultan Samudera Pasai Malik As-Saleh tahun
1297 yang bercorak khas Islam Gujarat, catatan Marcopolo bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang  memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yg menyebarkan ajaran Islam, serta adanya warna tasawuf pada aliran Islam yang berkembang di Indonesia.

Akan tetapi ada beberapa kelemahan dari teori tersebut diantaranya masyarakat Samudra Pasai menganut mazhab Syafi’i, sementara masyarakat Gujarat lebih banyak menganut mazhab Hanafi dan saat islamisasi Samudra Pasai, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu.

Ketiga,Teori Persia.
Teori Persia ini menyatakan bahwa masuknya Agama Islam ke Indonesia berasal dari Persia. Pencetus sekaligus pendukung Teori Persia adalah Umar Amir Husen dan Hoesein Djajadiningrat, mereka mengatakan bahwa Agama Islam yang masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi adalah Agama Islam yang dibawa oleh kaum Syiah, Persia.

Terdapat beberapa bukti yang mendukung teori ini diantaranya kesamaan budaya Islam Persia dan Islam Nusantara seperti adanya peringatan Asyura dan peringatan Tabut, kesamaan ajaran Sufi, penggunaan istilah persia untuk mengeja huruf Arab, ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik, adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik (Leren adalah nama salah satu pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen & PA Hussein Jayadiningrat), kesamaan seni kaligrafi pada beberapa batu nisan, serta bukti maraknya aliran Islam Syiah khas Iran pada awal masuknya Islam di Indonesia.

Karena banyaknya bukti yang mendukung teori ini, teori ini sempat menjadi teori masuknya Islam ke Indonesia yang paling benar oleh sebagian sejarahwan. Namun ternyata teori ini juga memiliki kelemahan. Bila dikatakan bahwa Islam masuk pada abad ke 7, maka kekuasaan Islam di Timur Tengah masih dalam genggaman Khalifah Umayyah yang berada di Damaskus, Baghdad, Mekkah, dan Madinah. Jadi tidak memungkinkan bagi ulama Persia untuk menyokong penyebaran Islam secara besar-besaran ke Nusantara.

Keempat, Teori Cina
Teori China merupakan teori yang baru-baru ini berkembang, teori ini menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia karena dibawa perantau Muslim China yang datang ke Nusantara. Tokoh yang mencetuskan teori ini adalah Slamet Mulyana dan Sumanto Al Qurtuby. Beberapa bukti yang diajukan untuk mendukung teori ini di antaranya:
a. Fakta adanya perpindahan orang-orang muslim China dari Canton ke Asia Tenggara, khususnya Palembang pada abad ke 879 M.
b. Adanya masjid tua beraksitektur China di Jawa.
c.  Raja pertama Demak yang berasal dari keturunan China (Raden Patah).
d. Gelar raja-raja demak yang ditulis menggunakan istilah China.
e. Serta catatan China yang menyatakan bahwa pelabuhan-pelabuhan di Nusantara pertama kali diduduki oleh para pedagang China.

Kelima, Teori Maritim
Teori Maritim ini menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kemampuan umat Islam dalam menjelajah samudera. Tidak dijelaskan darimana asal Islam yang berkembang di Indonesia, yang jelas menurut teori ini, masuknya Islam di Indonesia terjadi di sekitar abad ke-7 Masehi. Tokoh yang mencetuskan teori ini ialah sejarawan asal Pakistan, N.A. Baloch (1977).

Beberapa teori yang diajukan di atas pada umumnya mengajukan bahwa waktu awal kedatangan Islam ke Indonesia adalah pada abad ke-7 masehi. tampa mengenyampingkan arti, argumen dan bukti-bukti yang diajukan oleh banyak teori tersebut, dapat dikatakan bahwa proses pengenalan Islam berbagai wilayah Nusantara (Indonesia) berlangsung dalam proses yang beragam terhitung sejak abad ke-7 hingga abad ke-13 masehi. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa Minangkabau sebagai salah satu wilayah nusantara berada dalam narasi Islamisasi Islam di nusantara. Namun, sejarah kedatangan Islam ke Minangkabau meskipun berada dalam rentang waktu yang telah disebutkan dalam teori-teori di atas tentu saja memiliki karakter khusus sesuai dengan level mobilitas warga Minangkabau dalam wilayah-wilayah sibuk nusantara (terutama pulau sumatera) itu. 

2. Jalur masuknya Islam ke Minangkabau.
Sejarah masuknya Islam ke Minangkabau menempuh dua jalur, yaitu: pertama jalur Pantai Timur Sumatera yang berkisar antara abad ke-7 masehi hingga Abad ke-13 masehi. Kedua, Jalur Pantai Barat Sumatera yang berlangsung sekitar abad ke-13 hingga abad ke-16 masehi. Dari segi wilayah, kedua jalur tersebut dapat menjelaskan kehadiran Islam di Minangkabau.
Pertama, Jalur Pantai Timur.
Dalam berbagai sumber sejarah, tertulis bahwa Masyarakat Minangkabau pertama kali terlibat dalam mobilitas perdagangan antara negara di pantai timur Sumatera. MD Mansoer dkk (1971) menuliskan bahwa periode ini disebut dengan periode Minangkabau Timur yang berlangsung antara abad ke-7 masehi hingga pertengahan abad ke-14 (1350 masehi). Pada periode inilah disebutkan sebagai jalur pertama penyebaran agama Islam ke Minangkabau, terutama ke wilayah Darek (Luhak).
Kedua, Jalur Pantai Barat.
Pantai barat merujuk kepada wilayah perairan atau pesisir barat pulau Sumatera yang membentang dari Aceh hingga ke ujung pulau di selat Sunda. Pantai Barat Sumatera mengalami masa sibuk dan kemajuan perdagangan sejak masa kerajaan Samudera Pasai (1267-1521). Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345.  
Kejayaan kerajaan Samudera Pasai di Pantai Barat Sumatera ini dilanjutkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam (1496 - 1903). Kerajaan/ Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh terlibat besar dalam proses Islamisasi Minangkabau, terutama melalui diplomasi politik dengan kerajaan Pagaruyung. Selain melalui jalur politik, Aceh yang sudah memiliki lembaga pendidikan yang bagus menjadi magnet bagi pelajar-pelajar muslim asal Minangkabau untuk menuntut ilmu ke Aceh. Di antara pelajar asal Minangkabau yang cemerlang adalah Syekh Burhanuddin (lahir tahun 1646 di Sintuk, Sintuk Toboh Gadang, Kabupaten Padang Pariaman - meninggal 20 Juni 1704 pada umur 58 tahun). Syekh Burhanuddin adalah ulama yang berpengaruh di daerah Minangkabau sekaligus ulama yang berperan menyebarkan Islam di kalangan keluarga Kerajaan Pagaruyung. Selain faktor politik dan pendidikan di atas, kejayaan perdagangan pantai barat Sumatera ini membuat interaksi antara pedagang musli dari berbagai negara memberi jalan lempang sosialisasi (dakwah) Islam kepada warga pesisir barat Minanagkabau. Bahkan dalam sebuah ungkapan adat Minangkabau disebutkan bahwa Adat Manurun, Syara’ Mandaki, adalah sebuah sinyal massifnya pengembangan ajaran Islam melalui jalur pesisir Barat ini.  

3. Fase Islamisasi Minangkabau

Islamisasi Minangkabau berlangsung dalam beberapa fase, yaitu:

Pertama, fase kedatangan dan pengenalan agama Islam (abad ke-7 hingga 13 masehi).
Fase ini merupakan simpulan terhadap tahapan pengenalan Islam kepada masyarakat Minangkabau sebagaimana disinggung pada teori-teori di atas. Fase ini lebih cendrung mengarah kepada wilayah pantai timur Sumatera. Fase ini terlihat pasif, karena tidak terlihat gejala dakwah Islam yang terstruktur, terlembaga secara baik. Kecuali ada satu catatan tentang Syekh Burhanuddin Kuntu di Kampar (timur Minangkabau) pada abad ke-12 masehi. Syekh Burhanuddin disebutkan lahir di Mekkah pada tahun 1111 M atau 530 H dan Wafat di Kuntu pada 1191 M atau 610 H. Beliau menyiarkan agama Islam di Batu Hampar, Sumatra Barat pada 1141 - 1151 M, pada 1151 - 1156 ia tinggal di Kumpulan Bonjol, Sumatra Barat kemudian berpindah lagi ke Pariaman pada rentang waktu 1156 - 1171. Berdasarkan usaha yang dilakukan Syekh Burhanuddin Kuntu tesebut, dapat disebut bahwa masa ini merupakan akhir fase penyebaran agama Islam yang pasif, sekaligus awal penyiaran Islam secara aktif dan intensif.

Kedua, Fase penyebaran yang intensif.
Fase intensifikasi penyebaran agama Islam ke Minangkabau (abad ke-13 hingga abad ke-17 M) merujuk pada periode penyebaran Islam melalui pantai barat Sumatera. Sebagaimana sudah diulas dalam pembahasan penyebaran Islam Jalur Pantai Barat di atas, maka fase ini ditandai dengan intensifnya penyebaran Islam oleh Kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Kedua kerajaan ini tercatat agresif dan memiliki misi penyiaran Islam yang kuat terhadap wilayah-wilayah yang berada dalam kekuasaannya, termasuk terhadap kerajaan-kerajaan yang berinteraksi secara politik dan ekonomi dengan kedua kerajaan tersebut.  

Di zaman itulah hidup UIama-ulama Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin Samatrani dan penentang fahamnya Abdur Rauf Singkel dan Syekh Nuruddin Ar Raniri. Ulama-ulama tersebut tercatat memiliki murid yang berasal dari penjuru Sumatera yang belajar agama Islam sekaligus menyebarkan agama Islam sepulangnya belajar dari ulama-ulama tersebut. Salah satunya Syekh Burhanuddin Ulakan yang berasal dari Minangkabau.

Di wilayah Minangkabau sendiri, puncak fase ini adalah sepulangnya Syekh Burhanuddin Ulakan dari Aceh. Setelah tiga puluh tahun menuntut ilmu di Aceh, Syech Burhanuddin kembali ke tempat asalnya, Minangkabau, untuk menyebarkan ajaran Islam di sini. Pada tahun 1680, ia kembali ke Ulakan dan mendirikan surau di Tanjung Medan yang terletak di kompleks seluas sekitar 4 hektar. Di sana, ia menyebarkan ajaran Islam sekaligus mengembangkan Tarekat Syattariyah. Surau ini menjadi magnet bagi penuntut ilmu dari berbagai daerah Minangkabau. Murid-murid Syekh Burhanuddin ini pada akhirnya mengembangkan pola penyebaran dan pendidikan Islam di daerah asal mereka. Sejak masa itu, surau-surau tempat pengajaran agama Islam mulai tersebar di nagari-nagari di Minangkabau.

Ketiga, Fase pengajaran dan pelembagaan pengajaran agama Islam di Minangkabau
Semenjak kepulangan Syekh Burhanuddin abad ke-17 hingga akhir abad ke-19 masehi, agama Islam hadir dalam bentuk yang lebih maju dan terajarkan dengan rapi, yaitu melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam berbasis surau yang didirikan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin di wilayah Darek. Fase ini kemudian hari dijadikan sebagai penanda dengan ungkapan adat Minangkabau Syara’ Mandak,dengan arti bahwa ajaran syara’ (agama) bergerak mendaki dari wilayah pesisir pantai Minangkabau ke daerah dataran tinggi (darek atau luhak) Minangkabau.
Keempat, Fase Pemurnian dan pembaharuan (akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-20).

Fase ini merupakan fase terpenting integrasi antara agama Islam dan Adat Minangkabau. Kehadiran surau-surau pengajaran agama Islam di Minangkabau pasca-Syekh Burhanuddin memberi andil besar munculnya ulama-ulama yang memegang kendali atas pengajaran Islam di daerahnya masing-masing. Kesadaran beragama mulai tumbuh dan para ulama tersebut mulai melirik dan mengkritik praktik beragama masyarakat muslim Minangkabau yang masih bercampur dengan ajaran-ajaran lama serta praktik-praktik adat yang tak sesuai dengan ajaran Islam. Fase ini dibagi kepada dua periode:

a. Periode Pembaharuan Gelombang Pertama
Periode pembaharuan ajaran Islam gelombang pertama dimulai sejak revolusi Paderi (1803-1838) yang digagas Tuanku nan Renceh (1780-1825) serta disokong oleh tiga orang ulama Minang yang pulang dan Mekkah pada tahun 1803 M, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Gerakan ini mengusung agenda pemurnian (purifikasi) agama Islam, kritik adat dan kebiasaan lama yang mereka anggap tidak sesuai, dan mendesak masyarakat untuk melakukan kewajiban formal agama Islam. Revolusi ini menyulut terjadinya perang saudara antara Kaum Padri (kelompok pendukung) dan Kaum Adat (kelompok penentang) gerakan tersebut.

Perang ini yang diawali masalah konflik adat dan agama akhirnya berubah menjadi peperangan melawan penjajahan Belanda. Beberapa literatur juga menyebut periode ini dengan Gerakan pembaharuan Islam gelombang pertama di Minangkabau.  Corak gerakan pembaharuan gelombang pertama ini terlihat militeristik yang mengandaikan terjadinya kontak fisik dan kontak senjata antara kelompok yang bertikai.

b. Periode Pembaharuan Gelombang Kedua
Pembaharuan tahap kedua ini dilaksanakan oleh murid-murid Syekh Ahrnad Khatib Minangkabawi yang baru pulang dari Mekkah. Kondisi sikap keberagamaan dan tradisi yang sudah turun temurun yang tidak dapat dirobah kembali mendapat tantangan dari kelompok pembaharu. Pembaharuan tahap kedua tampil dengan corak yang berbeda dengan yang dilakukan oleh gerakan Paderi. Gerakan Paderi lebih cenderung mengedepankan corak militerisme, tetapi pembaharuan tahap dua lebih kepada pergolakan inteletual. Hal ini dapat dilihat dengan dimunculkannya majalah-majalah, diadakannya perdebatan umum, dibentuknya organisasi-organisasi masyarakat dan didirikannya sekolah-sekolah yang bercorak modern.

Tokoh-tokoh yang memotori pembaharuan tahap kedua ini ialah empat orang yang baru pulang dari Mekkah yaitu, Haji Muhammad Djamil Jambek, Haji Abdullah Ahmad, Haji Abdul Karim Amrullah, dan Haji Muhammad Thaib Umar. Meskipun demikian, pembaharuan gelombang kedua ini bukanlah monopoli kelompok pembaharu yang domotori oleh tokoh-tokoh tersebut. Sebagai gerakan intelektual ini merupakan dialektika antara dua kelompok intelektual yang dipopulerkan oleh literatus sebagai Kaum Tua dan kaum Muda.  

Taufik Abdullah dalam disertasinya School and Politics:  Kaum Muda Movement In West Sumatera (1971) menyebutkan istilah Kaum Tua dan Kaum Muda dipopulerkan tahun 1906 oleh Datuk Sutan Maharadja seorang jurnalis di Padang. Ia menyebut diri dan kelompoknya dengan Kaum Muda dan melabeli lawannya dengan Kaum Kuno atau Kaum Tua.

Sementara Sanusi Latief (1988) dalam disertasinya  mengemukakan bahwa Kaum Muda adalah sebutan untuk tokoh-tokoh yang merupakan murid dari Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi, ulama asal Minangkabau yang menjadi pengajar dan Imam di Masjidil Haram, Mekah. Istilah Kaum Muda menurut Sanusi terinspirasi dari gerakan Kaum Muda Turki (Turki Muda) yang dipimpin oleh Anwar Pasya. Sementara Kaum Tua adalah kelompok status quo yang bertahan dalam tradisional yang berseberangan gagasan dengan Kaum Muda.

Mestika Zed (2002) Profesor Sejarah Universitas Negeri Padang menyebunya sebagai fase kedua revolusi intelektual yang terjadi di Minangkabau setelah gerakan Paderi. Adapun agenda yang menjadi spirit perdebatan Kaum Tua dan Kaum Muda tersebut secara umum berkisar sekitar persoalan ijtihad dan modernisme. Dalam persoalan Ijtihad, perdabatan di antaranya mengambi tema antara lain: tentang antara keharusan mengikuti mazhab dengan keharusan menghadapi persoalan modern dengan ijtihad baru. Sementara dalam persoalan modernism, secara umum terpengaruh dengan gagasan modernisme dan reformisme Islam yang disebarkan oleh Muhammad Abduh. Sementara dalam kaitannya dengan Islam dan Adat Minangkabau, perdebatan Kaum Tua dan Kaum Muda berkisar tentang persoalan-persoalan yang belum terselesaikan setelah masyarakat Minangkabau menerima Islam sebagai identitas barunya.

4. Faktor yang memudahkan penyebaran Islam di Minangkabau
M. Sanusi Latief (1988) menulis beberapa faktor yang memudahkan penebaran Islam di Minangkabau, yaitu:

a. Perdagangan
Kehadiran pedagangan Minangkabau dalam perdagangan antar negara di pantai timur Sumatera membuat mereka bergaul akrab dengan pedagang muslim dari Arab, Persia dan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengenalan islam ke wilayah darek Minangkabau dilakukan oleh para pedagang asal Minangkabau sendiri. Dengan demikian pengenalan Islam dapat dilakukan dengan cara damai dan kekeluargaan dengan aktor islamisasinya adalah pedagang pribumi Minangkabau itu sendiri.

b. Adat Minangkabau
Saat ajaran Islam di Minangkabau, para peyebar agama Islam hanya menemukan pengaruh adat yang kuat, dan tidak ditemukan rintangan dari penganut agama Budha dan Hindu. Dapat dikatakan bahwa agama masyarakat Minangkabau yang sebenarnya adalah adat mereka sendiri dan dapat diduga bahwa masyarakat Minangkabau bukanlah penganut ajaran Budha dan Hindu yang taat.

c.  Ajaran Islam
Ajaran Islam menghormati adat-istiadat selama tidak melanggar prinsip-prinsip ajaran agama Islam. hal Ini membuat ajaran Islam akrab dengan adat Minangkabau. Selain itu, ajaran Islam dianggap cocok dengan adat Minangkabau, di antaranya ajaran Islam yang demokratis yang mengajarkan musyawarah dan mufakat, agama Islam tidak mengenal kasta dalam masyarakat serta mengahargai wanita sebagaimana adat Minangkabau menghargai wanita sebagai unsur penting kebudayaan matrilinial

d. Penyiaran Islam yang persuasif dan natural
Penyiaran Islam ke masyarakat adat dilakukan secara persuasif melalui aktor dari dalam masyarakat itu sendiri. Selain itu, penyiaran Islam dilaksakan natural, mengikuti alur kehidupan masyarakat Minangkabau itu sendiri.

No comments: