ISLAMISASI
MINANGKABAU
Oleh: Muhammad Nasir
muhammadnasir@uinib.ac.id
muhammadnasir@uinib.ac.id
Draft Cover Buku |
Islamisasi
Minangkabau semestinya adalah teori-teori yang dibangun oleh para sejarawan
tentang masuknya Islam ke Minangkabau, Penyebaran dan perkembangannya. Namun,
sejauh ini belum ada literatur yang mengulasnya secara lengkap sebagai sastu
kesatuan teori tentang Islamisasi Minangkabau. Informasi tentang konversi
masyarakat Minangkabau ke dalam agama Islam, bagaimana agama Islam dikembangkan
dan diajarkan serta bagaimana dinamikanya ketika berhadapan dengan adat
Minangkabau masih terpisah-pisah sesuai dengan topik pembahasan dan minat para
sejarawan.
Teori merupakan suatu hipotesis yang didasarkan pada analisis hubungan
antara fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta. Pernyataan
teori umumnya hanya diterima secara "sementara" dan bukan merupakan
pernyataan akhir yang konklusif. Teori tentang masuknya Islam ke Minangkabau
pada dasarnya belum tersusun secara rapi dan sistematis. Namun bukan berarti
bahwa upaya untuk mengungkapkan sejarah masuknya Islam ke Minangkabau belum disusun
sama sekali. Sudah ada banyak pendapat yang mengungkapkan sejarah awal masuknya
Islam ke Minangkabau disertai dengan seperangkat asumsi dan fakta-fakta yang
ditulis oleh sejarawan atau penulis yang concern pada studi kebudayaan
Minangkabau. Berikut akan dihimpun beberapa asumsi dasar yang pada umumnya disepakati
oleh para sejarawan dan penulis tentang Minangkabau yang akan menjadi kerangka pijakan
penyusunan teori Islamisasi Minangkabau:
1. Sejarah masuknya agama Islam ke Minangkabau sejalan dengan sejarah Masuknya
Islam ke Nusantara (Indonesia), yaitu proses yang berlangsung antara abad ke-7
masehi hingga abad ke-13 masehi. Setidaknya ada beberapa teori yang populer
yang mengatakan:
Pertama,Teori Arab atau Teori Makkah.
Islam sudah hadir di Indonesia sejak abad
ke-7 masehi dan berasal dari Arab sesuai dengan hasil Seminar Masuknya Islam ke
Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963 dan Seminar di Langsa, Aceh tanggal 25-30
September 1980 (M Sanusi Latief, 1988). Teori ini dibangun dengan asumsi bahwa
semenjak abad ke-7 masehi kawasan Indonesia sudah ramai dengan aktivitas
perdagangan internasional yang melibatkan para pedagang muslim dari berbagai
negara, di antaranya dari Arab yang pada waktu itu berada dalam kekuasaan Bani
Umayyah di Damaskus. Selain itu, Khalifah Bani Umayyah pernah berkirim surat mengajak
raja Sriwijaya Sri Maharaja Srindra Lokita Warman untuk memeluk agama Islam.
Hamka (1982) sebagai salah satu pemrasaran
mengajukan bukti bahwa sekitar tahun 674 masehi sudah ditemukan sekelompok
pedagang Arab muslim yang menetap di wilayah sumatera. M.D Mansoer (1970) juga menulis
bahwa wilayah Minangkabau Timur pernah mengalami masa pengaruh perkembangan
agama Islam (sunnah) antara tahun 670-730 masehi. Teori ini juga dikenal dengan
teori Makkah. Selain penulis lokal Indonesia tersebut, teori ini juga pernah
disampaikan oleh penulis asing yang juga menyatakan bahwa proses masuknya Islam
ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Arab yang memiliki semangat untuk
menyebarkan Agama Islam ke seluruh belahan dunia.
Di antara penulis yang mengusung teori ini adalah Van Leur,
Anthony H. Johns, T.W Arnold. Bukti yang diajukan oleh pengusung teori ini
adalah:
a. Pada abad ke 7 Masehi, di Pantai Timur Sumatera memang telah terdapat
perkampungan Islam khas dinasti Ummayyah, Arab.
b. Madzhab yang populer kala itu khususnya di Samudera Passai adalah madzhab
Syafii yang juga populer di Arab dan Mesir.
c. Adanya penggunaan gelar Al Malik pada raja-raja Samudera Pasai yang hanya
lazim ditemui pada budaya Islam di Mesir.
Kedua, Teori Gujarat
Teori Gujarat mengatakan Islam
Masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13 masehi. Dalam teori ini dikatakan bahwa
masuknya Agama Islam ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Gujarat, India. Tokoh
yang mendukung teori ini adalah Snouck Hurgronje (193) dan J.Pijnapel. Mereka
berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi bersama
dengan hubungan dagang yang terjalin antara masyarakat Nusantara dengan para
pedagang Gujarat yang datang.
teori ini dibangun berdasarkan dua hal:
a. Kurangnya fakta yg menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebarannya ke
Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dgn India telah lama melalui jalur Indonesia –
Cambay – Timur tengah – Eropa.
Beberapa
bukti yang mendukung teori ini diantaranya batu nisan Sultan Samudera Pasai
Malik As-Saleh tahun
1297
yang bercorak khas Islam Gujarat, catatan Marcopolo bahwa di Perlak sudah
banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari
India yg menyebarkan ajaran Islam, serta adanya warna tasawuf pada aliran Islam
yang berkembang di Indonesia.
Akan
tetapi ada beberapa kelemahan dari teori tersebut diantaranya masyarakat
Samudra Pasai menganut mazhab Syafi’i, sementara masyarakat Gujarat lebih
banyak menganut mazhab Hanafi dan saat islamisasi Samudra Pasai, Gujarat masih
merupakan Kerajaan Hindu.
Ketiga,Teori
Persia.
Teori
Persia ini menyatakan bahwa masuknya Agama Islam ke Indonesia berasal dari
Persia. Pencetus sekaligus pendukung Teori Persia adalah Umar Amir Husen dan
Hoesein Djajadiningrat, mereka mengatakan bahwa Agama Islam yang masuk ke
Indonesia pada abad ke-7 Masehi adalah Agama Islam yang dibawa oleh kaum Syiah,
Persia.
Terdapat
beberapa bukti yang mendukung teori ini diantaranya kesamaan budaya Islam
Persia dan Islam Nusantara seperti adanya peringatan Asyura dan peringatan
Tabut, kesamaan ajaran Sufi, penggunaan istilah persia untuk mengeja huruf
Arab, ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik, adanya
perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik (Leren adalah nama salah satu
pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen & PA Hussein Jayadiningrat),
kesamaan seni kaligrafi pada beberapa batu nisan, serta bukti maraknya aliran
Islam Syiah khas Iran pada awal masuknya Islam di Indonesia.
Karena
banyaknya bukti yang mendukung teori ini, teori ini sempat menjadi teori masuknya
Islam ke Indonesia yang paling benar oleh sebagian sejarahwan. Namun ternyata
teori ini juga memiliki kelemahan. Bila dikatakan bahwa Islam masuk pada abad
ke 7, maka kekuasaan Islam di Timur Tengah masih dalam genggaman Khalifah
Umayyah yang berada di Damaskus, Baghdad, Mekkah, dan Madinah. Jadi tidak
memungkinkan bagi ulama Persia untuk menyokong penyebaran Islam secara
besar-besaran ke Nusantara.
Keempat,
Teori Cina
Teori
China merupakan teori yang baru-baru ini berkembang, teori ini menyatakan bahwa
Islam masuk ke Indonesia karena dibawa perantau Muslim China yang datang ke
Nusantara. Tokoh yang mencetuskan teori ini adalah Slamet Mulyana dan Sumanto
Al Qurtuby. Beberapa bukti yang diajukan untuk mendukung teori ini di
antaranya:
a. Fakta
adanya perpindahan orang-orang muslim China dari Canton ke Asia Tenggara,
khususnya Palembang pada abad ke 879 M.
b. Adanya
masjid tua beraksitektur China di Jawa.
c. Raja
pertama Demak yang berasal dari keturunan China (Raden Patah).
d. Gelar
raja-raja demak yang ditulis menggunakan istilah China.
e. Serta
catatan China yang menyatakan bahwa pelabuhan-pelabuhan di Nusantara pertama
kali diduduki oleh para pedagang China.
Kelima,
Teori Maritim
Teori
Maritim ini menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara tidak bisa
dilepaskan dari kemampuan umat Islam dalam menjelajah samudera. Tidak
dijelaskan darimana asal Islam yang berkembang di Indonesia, yang jelas menurut
teori ini, masuknya Islam di Indonesia terjadi di sekitar abad ke-7 Masehi.
Tokoh yang mencetuskan teori ini ialah sejarawan asal Pakistan, N.A. Baloch
(1977).
Beberapa
teori yang diajukan di atas pada umumnya mengajukan bahwa waktu awal kedatangan
Islam ke Indonesia adalah pada abad ke-7 masehi. tampa mengenyampingkan arti,
argumen dan bukti-bukti yang diajukan oleh banyak teori tersebut, dapat
dikatakan bahwa proses pengenalan Islam berbagai wilayah Nusantara (Indonesia)
berlangsung dalam proses yang beragam terhitung sejak abad ke-7 hingga abad
ke-13 masehi. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa Minangkabau sebagai
salah satu wilayah nusantara berada dalam narasi Islamisasi Islam di nusantara.
Namun, sejarah kedatangan Islam ke Minangkabau meskipun berada dalam rentang
waktu yang telah disebutkan dalam teori-teori di atas tentu saja memiliki karakter
khusus sesuai dengan level mobilitas warga Minangkabau dalam wilayah-wilayah
sibuk nusantara (terutama pulau sumatera) itu.
2. Jalur masuknya Islam ke Minangkabau.
Sejarah masuknya Islam ke Minangkabau
menempuh dua jalur, yaitu: pertama jalur Pantai Timur Sumatera yang
berkisar antara abad ke-7 masehi hingga Abad ke-13 masehi. Kedua, Jalur
Pantai Barat Sumatera yang berlangsung sekitar abad ke-13 hingga abad ke-16
masehi. Dari segi wilayah, kedua jalur tersebut dapat menjelaskan kehadiran
Islam di Minangkabau.
Pertama, Jalur Pantai Timur.
Dalam berbagai sumber sejarah, tertulis bahwa
Masyarakat Minangkabau pertama kali terlibat dalam mobilitas perdagangan antara
negara di pantai timur Sumatera. MD Mansoer dkk (1971) menuliskan bahwa periode
ini disebut dengan periode Minangkabau Timur yang berlangsung antara abad ke-7
masehi hingga pertengahan abad ke-14 (1350 masehi). Pada periode inilah
disebutkan sebagai jalur pertama penyebaran agama Islam ke Minangkabau,
terutama ke wilayah Darek (Luhak).
Kedua, Jalur Pantai Barat.
Pantai barat merujuk kepada wilayah perairan
atau pesisir barat pulau Sumatera yang membentang dari Aceh hingga ke ujung
pulau di selat Sunda. Pantai Barat Sumatera mengalami masa sibuk dan kemajuan
perdagangan sejak masa kerajaan Samudera Pasai (1267-1521). Kerajaan ini
didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun
1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq
(Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir
Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345.
Kejayaan kerajaan Samudera Pasai di Pantai
Barat Sumatera ini dilanjutkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam (1496 - 1903).
Kerajaan/ Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota
Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah
yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September
1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh terlibat besar
dalam proses Islamisasi Minangkabau, terutama melalui diplomasi politik dengan
kerajaan Pagaruyung. Selain melalui jalur politik, Aceh yang sudah memiliki
lembaga pendidikan yang bagus menjadi magnet bagi pelajar-pelajar muslim asal Minangkabau
untuk menuntut ilmu ke Aceh. Di antara pelajar asal Minangkabau yang cemerlang adalah
Syekh Burhanuddin (lahir tahun 1646 di Sintuk, Sintuk Toboh Gadang, Kabupaten
Padang Pariaman - meninggal 20 Juni 1704 pada umur 58 tahun). Syekh Burhanuddin
adalah ulama yang berpengaruh di daerah Minangkabau sekaligus ulama yang berperan
menyebarkan Islam di kalangan keluarga Kerajaan Pagaruyung. Selain faktor
politik dan pendidikan di atas, kejayaan perdagangan pantai barat Sumatera ini
membuat interaksi antara pedagang musli dari berbagai negara memberi jalan
lempang sosialisasi (dakwah) Islam kepada warga pesisir barat Minanagkabau. Bahkan
dalam sebuah ungkapan adat Minangkabau disebutkan bahwa Adat Manurun, Syara’
Mandaki, adalah sebuah sinyal massifnya pengembangan ajaran Islam melalui
jalur pesisir Barat ini.
3. Fase Islamisasi Minangkabau
Islamisasi
Minangkabau berlangsung dalam beberapa fase, yaitu:
Pertama, fase kedatangan dan pengenalan agama
Islam (abad ke-7 hingga 13 masehi).
Fase
ini merupakan simpulan terhadap tahapan pengenalan Islam kepada masyarakat
Minangkabau sebagaimana disinggung pada teori-teori di atas. Fase ini lebih
cendrung mengarah kepada wilayah pantai timur Sumatera. Fase ini terlihat
pasif, karena tidak terlihat gejala dakwah Islam yang terstruktur, terlembaga
secara baik. Kecuali ada satu catatan tentang Syekh Burhanuddin Kuntu di Kampar
(timur Minangkabau) pada abad ke-12 masehi. Syekh Burhanuddin disebutkan lahir
di Mekkah pada tahun 1111 M atau 530 H dan Wafat di Kuntu pada 1191 M atau 610
H. Beliau menyiarkan agama Islam di Batu Hampar, Sumatra Barat pada 1141 - 1151
M, pada 1151 - 1156 ia tinggal di Kumpulan Bonjol, Sumatra Barat kemudian
berpindah lagi ke Pariaman pada rentang waktu 1156 - 1171. Berdasarkan usaha
yang dilakukan Syekh Burhanuddin Kuntu tesebut, dapat disebut bahwa masa ini
merupakan akhir fase penyebaran agama Islam yang pasif, sekaligus awal
penyiaran Islam secara aktif dan intensif.
Kedua, Fase penyebaran yang intensif.
Fase
intensifikasi penyebaran agama Islam ke Minangkabau (abad ke-13 hingga abad
ke-17 M) merujuk pada periode penyebaran Islam melalui pantai barat Sumatera.
Sebagaimana sudah diulas dalam pembahasan penyebaran Islam Jalur Pantai Barat
di atas, maka fase ini ditandai dengan intensifnya penyebaran Islam oleh
Kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Kedua kerajaan ini
tercatat agresif dan memiliki misi penyiaran Islam yang kuat terhadap
wilayah-wilayah yang berada dalam kekuasaannya, termasuk terhadap kerajaan-kerajaan
yang berinteraksi secara politik dan ekonomi dengan kedua kerajaan
tersebut.
Di
zaman itulah hidup UIama-ulama Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin Samatrani
dan penentang fahamnya Abdur Rauf Singkel dan Syekh Nuruddin Ar Raniri.
Ulama-ulama tersebut tercatat memiliki murid yang berasal dari penjuru Sumatera
yang belajar agama Islam sekaligus menyebarkan agama Islam sepulangnya belajar
dari ulama-ulama tersebut. Salah satunya Syekh Burhanuddin Ulakan yang berasal
dari Minangkabau.
Di
wilayah Minangkabau sendiri, puncak fase ini adalah sepulangnya Syekh
Burhanuddin Ulakan dari Aceh. Setelah tiga puluh tahun menuntut ilmu di Aceh,
Syech Burhanuddin kembali ke tempat asalnya, Minangkabau, untuk menyebarkan
ajaran Islam di sini. Pada tahun 1680, ia kembali ke Ulakan dan mendirikan
surau di Tanjung Medan yang terletak di kompleks seluas sekitar 4 hektar. Di
sana, ia menyebarkan ajaran Islam sekaligus mengembangkan Tarekat Syattariyah.
Surau ini menjadi magnet bagi penuntut ilmu dari berbagai daerah Minangkabau.
Murid-murid Syekh Burhanuddin ini pada akhirnya mengembangkan pola penyebaran
dan pendidikan Islam di daerah asal mereka. Sejak masa itu, surau-surau tempat
pengajaran agama Islam mulai tersebar di nagari-nagari di Minangkabau.
Ketiga, Fase pengajaran dan pelembagaan
pengajaran agama Islam di Minangkabau
Semenjak
kepulangan Syekh Burhanuddin abad ke-17 hingga akhir abad ke-19 masehi, agama
Islam hadir dalam bentuk yang lebih maju dan terajarkan dengan rapi, yaitu
melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam berbasis surau yang didirikan oleh
murid-murid Syekh Burhanuddin di wilayah Darek. Fase ini kemudian hari
dijadikan sebagai penanda dengan ungkapan adat Minangkabau Syara’
Mandak,dengan arti bahwa ajaran syara’ (agama) bergerak mendaki dari wilayah
pesisir pantai Minangkabau ke daerah dataran tinggi (darek atau luhak)
Minangkabau.
Keempat, Fase Pemurnian dan pembaharuan
(akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-20).
Fase
ini merupakan fase terpenting integrasi antara agama Islam dan Adat
Minangkabau. Kehadiran surau-surau pengajaran agama Islam di Minangkabau
pasca-Syekh Burhanuddin memberi andil besar munculnya ulama-ulama yang memegang
kendali atas pengajaran Islam di daerahnya masing-masing. Kesadaran beragama
mulai tumbuh dan para ulama tersebut mulai melirik dan mengkritik praktik
beragama masyarakat muslim Minangkabau yang masih bercampur dengan
ajaran-ajaran lama serta praktik-praktik adat yang tak sesuai dengan ajaran
Islam. Fase ini dibagi kepada dua periode:
a. Periode
Pembaharuan Gelombang Pertama
Periode
pembaharuan ajaran Islam gelombang pertama dimulai sejak revolusi Paderi
(1803-1838) yang digagas Tuanku nan Renceh (1780-1825) serta disokong oleh tiga
orang ulama Minang yang pulang dan Mekkah pada tahun 1803 M, yaitu Haji Miskin,
Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Gerakan ini mengusung agenda pemurnian
(purifikasi) agama Islam, kritik adat dan kebiasaan lama yang mereka anggap
tidak sesuai, dan mendesak masyarakat untuk melakukan kewajiban formal agama
Islam. Revolusi ini menyulut terjadinya perang saudara antara Kaum Padri
(kelompok pendukung) dan Kaum Adat (kelompok penentang) gerakan tersebut.
Perang
ini yang diawali masalah konflik adat dan agama akhirnya berubah menjadi
peperangan melawan penjajahan Belanda. Beberapa literatur juga menyebut periode
ini dengan Gerakan pembaharuan Islam gelombang pertama di
Minangkabau. Corak gerakan pembaharuan gelombang pertama ini
terlihat militeristik yang mengandaikan terjadinya kontak fisik dan kontak
senjata antara kelompok yang bertikai.
b. Periode
Pembaharuan Gelombang Kedua
Pembaharuan
tahap kedua ini dilaksanakan oleh murid-murid Syekh Ahrnad Khatib Minangkabawi
yang baru pulang dari Mekkah. Kondisi sikap keberagamaan dan tradisi yang sudah
turun temurun yang tidak dapat dirobah kembali mendapat tantangan dari kelompok
pembaharu. Pembaharuan tahap kedua tampil dengan corak yang berbeda dengan yang
dilakukan oleh gerakan Paderi. Gerakan Paderi lebih cenderung mengedepankan
corak militerisme, tetapi pembaharuan tahap dua lebih kepada pergolakan inteletual.
Hal ini dapat dilihat dengan dimunculkannya majalah-majalah, diadakannya
perdebatan umum, dibentuknya organisasi-organisasi masyarakat dan didirikannya
sekolah-sekolah yang bercorak modern.
Tokoh-tokoh
yang memotori pembaharuan tahap kedua ini ialah empat orang yang baru pulang
dari Mekkah yaitu, Haji Muhammad Djamil Jambek, Haji Abdullah Ahmad, Haji Abdul
Karim Amrullah, dan Haji Muhammad Thaib Umar. Meskipun demikian, pembaharuan
gelombang kedua ini bukanlah monopoli kelompok pembaharu yang domotori oleh
tokoh-tokoh tersebut. Sebagai gerakan intelektual ini merupakan dialektika
antara dua kelompok intelektual yang dipopulerkan oleh literatus sebagai Kaum
Tua dan kaum Muda.
Taufik
Abdullah dalam disertasinya School and Politics: Kaum Muda Movement
In West Sumatera (1971) menyebutkan istilah Kaum Tua dan Kaum Muda dipopulerkan
tahun 1906 oleh Datuk Sutan Maharadja seorang jurnalis di Padang. Ia menyebut
diri dan kelompoknya dengan Kaum Muda dan melabeli lawannya dengan Kaum Kuno
atau Kaum Tua.
Sementara
Sanusi Latief (1988) dalam disertasinya mengemukakan bahwa Kaum Muda
adalah sebutan untuk tokoh-tokoh yang merupakan murid dari Syekh Ahmad Khatib
al Minangkabawi, ulama asal Minangkabau yang menjadi pengajar dan Imam di
Masjidil Haram, Mekah. Istilah Kaum Muda menurut Sanusi terinspirasi dari
gerakan Kaum Muda Turki (Turki Muda) yang dipimpin oleh Anwar Pasya. Sementara
Kaum Tua adalah kelompok status quo yang bertahan dalam tradisional yang berseberangan
gagasan dengan Kaum Muda.
Mestika
Zed (2002) Profesor Sejarah Universitas Negeri Padang menyebunya sebagai fase
kedua revolusi intelektual yang terjadi di Minangkabau setelah gerakan Paderi.
Adapun agenda yang menjadi spirit perdebatan Kaum Tua dan Kaum Muda tersebut
secara umum berkisar sekitar persoalan ijtihad dan modernisme. Dalam persoalan
Ijtihad, perdabatan di antaranya mengambi tema antara lain: tentang antara
keharusan mengikuti mazhab dengan keharusan menghadapi persoalan modern dengan
ijtihad baru. Sementara dalam persoalan modernism, secara umum terpengaruh
dengan gagasan modernisme dan reformisme Islam yang disebarkan oleh Muhammad
Abduh. Sementara dalam kaitannya dengan Islam dan Adat Minangkabau, perdebatan
Kaum Tua dan Kaum Muda berkisar tentang persoalan-persoalan yang belum
terselesaikan setelah masyarakat Minangkabau menerima Islam sebagai identitas
barunya.
4. Faktor yang memudahkan penyebaran Islam di Minangkabau
M.
Sanusi Latief (1988) menulis beberapa faktor yang memudahkan penebaran Islam di
Minangkabau, yaitu:
a. Perdagangan
Kehadiran
pedagangan Minangkabau dalam perdagangan antar negara di pantai timur Sumatera
membuat mereka bergaul akrab dengan pedagang muslim dari Arab, Persia dan
lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengenalan islam ke
wilayah darek Minangkabau dilakukan oleh para pedagang asal
Minangkabau sendiri. Dengan demikian pengenalan Islam dapat dilakukan dengan
cara damai dan kekeluargaan dengan aktor islamisasinya adalah pedagang pribumi
Minangkabau itu sendiri.
b. Adat
Minangkabau
Saat
ajaran Islam di Minangkabau, para peyebar agama Islam hanya menemukan pengaruh
adat yang kuat, dan tidak ditemukan rintangan dari penganut agama Budha dan
Hindu. Dapat dikatakan bahwa agama masyarakat Minangkabau yang sebenarnya
adalah adat mereka sendiri dan dapat diduga bahwa masyarakat Minangkabau
bukanlah penganut ajaran Budha dan Hindu yang taat.
c. Ajaran
Islam
Ajaran
Islam menghormati adat-istiadat selama tidak melanggar prinsip-prinsip ajaran
agama Islam. hal Ini membuat ajaran Islam akrab dengan adat Minangkabau. Selain
itu, ajaran Islam dianggap cocok dengan adat Minangkabau, di antaranya ajaran
Islam yang demokratis yang mengajarkan musyawarah dan mufakat, agama Islam
tidak mengenal kasta dalam masyarakat serta mengahargai wanita sebagaimana adat
Minangkabau menghargai wanita sebagai unsur penting kebudayaan matrilinial
d. Penyiaran
Islam yang persuasif dan natural
Penyiaran
Islam ke masyarakat adat dilakukan secara persuasif melalui aktor dari dalam
masyarakat itu sendiri. Selain itu, penyiaran Islam dilaksakan natural,
mengikuti alur kehidupan masyarakat Minangkabau itu sendiri.
No comments:
Post a Comment