Kilas Balik Islam di Indonesia
Islam di Indonesia sudah berlangsung lama. Ada 4 (empat) teori yang dapat dikemukakan terkait upaya pengukuran “usia” agama Islam (Islamisasi) di Indonesia, yaitu teori India, teori Arab, teori Persia dan teori China. Semua teori tersebut di samping mendasarkan teori-teorinya pada waktu kedatangan dan penyebaran Islam di Nusantara, juga memberi petunjuk akan keragaman asal-usul dan unsur pembentuk karakter Islam di Indonesia.
Jika dihitung dari segi waktu, semua teori tersebut mengemukakan argumen waktu kedatangan Islam bermula dari abad ke-7 M hingga abad ke-13 M. dengan demikan Islam di Indonesia sudah berumur sekitar 14 abad atau setidak-tidaknya 8 abad.
Selain itu yang patut diapresiasi berkaitan dengan proses pembentukan bangsa Indonesia adalah pendapat yang menyatakan bahwa kehadiran Islam di Nusantara menjadi suatu tanda bagi permulaan sejarah Indonesia modern. Setidaknya itu dapat dibaca dari buku karya M.C Ricklefs yang meletakkan kedatangan Islam sebagai awal modernisasi Indonesia. [1]
Tetapi yang lebih penting dari wacana berapa lama Islam memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat Indonesia, ada suatu kesepakatan akademis dari para sejarawan, bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur damai. Islam masuk ke Indonesia tidak melalui jalur penaklukan atau melalui jalan kekerasan bersenjata.
Islam di Indonesia sejak kehadirannya telah melewati beberapa fase sejarah yang menarik untuk disimak. Melalui pengematan yang cermat terhadap karakter khusus yang melekat pada setiap fase, akan dapat dilihat perubahan-perubahan dan kesinambungan (changes and continuity) yang berlaku umum dalam sejarah sosial Islam di Indonesia.
Beberapa fase yang pernah dilewati antara lain fase di mana Islam disebarkan oleh para pedagang Muslim dan diterima sebagai agama baru masyarakat Nusantara (cikal bakal Indonesia), fase terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara dan fase pelembagaan Islam. [2]
Fase kedatangan dan perkembangan Islam tersebut pada sisi yang lain telah membentuk suatu komunitas berbasis agama baru di Indonesia yaitu komunitas Islam atau sering juga disebut masyarakat Islam atau umat Islam. Hal ini jarang tersebut sebelumnya untuk mengidentifikasi komunitas berbasis agama lainnya seperti komunitas Buddha atau Komunitas Hindu.
Sementara pada fase kerajaan-kerajaan Islam diwarnai oleh konflik politik yang khas. Konflik politik tersebut dapat dilihat dari kontestasi dagang hingga peperangan melawan dominasi Eropa (Inggris, Spanyol, Belanda dan Potugis). Selain itu konflik juga berlangsung antara sesama kerajaan Islam terutama dalam hal perebutan pengaruh politik dan dominasi ekonomi. Tidak jarang kepentingan politik ekonomi mengalahkan kepentingan agama. Dalam hal ini tidak jarang terjadi persekutuan antara kerajaan Islam dengan kekuatan-kekuatan bangsa Eropa. [3] Pada fase ini pula penjajahan menjadi masalah yang hampir merata di seluruh Nusantara. Bahkan di sekitar abad ke-19 dan 20 dunia Islam pada umumnya berada dalam kungkungan kolonialisme.
Fase yang lain, yaitu fase Pelembagaan Islam dapat dilihat dari pembentukan institusi sosial Islam. Fase ini merupakan awal kesadaran berbangsa dan bernegara, saat kekuatan senjata sebagai strategi utama dalam menghadapi penjajahan mengalami kebuntuan. Pilihan yang mungkin saat itu antara lain memperkuat masyarakat Islam dalam naungan berbagai organisasi massa Islam yang marak didirikan. Persamaan nasib berbagai suku bangsa di Nusantara diyakini mendorong persatuan yang kelak berubah menjadi gerakan nasionalisme. Islam dalam hal ini memiliki peranan yang besar mengingat hanya agama Islamlah yang memiliki pemeluk yang hampir merata di seluruh nusantara. Komunikasi atas nama seagama diyakini sebagai perekat nasionalisme yang ampuh.
Fase pembentukan kelembagaan Islam ini tidak dapat dihindarkan dari pengeruh gerakan pembaharuan Islam di Timur Tengah pada abad ke 19 hingga puncaknya di awal abad ke 20. Berbagai organisasi sosial Islam mulai dari Jami’at Khair, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al-Irsyad (organisasi kaum keturunan Arab), Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) dan sebagainya mulai bermunculan. Menjelang kemerdekaan, organisasi-organisasi ini memainkan peranan yang penting dalam mendorong perubahan.
Selain beberapa fase di atas, menjelang kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 berbagai perdebatan muncul dalam rangka menyambut kemerdekaan. Tema perdebatan penting di antaranya mengenai dasar negara Indonesia yang kelak diproklamasikan. Perdebatan tersebut berlangsung antara kelompok pejuang berhaluan nasionalis dengan kelompok pejuang Islam. Akhirnya perdebatan itu sementara dapat diselesaikan dengan baik dalam semangat kompromi untuk keutuhan Indonesia sebagai negara baru. Tetapi kompromi politik tersebut tidak serta merta menyelesaikan akar masalah perdebatan tersebut, yaitu masalah ideologi dan keadilan bagi umat Islam.
Pascakemerdekaan, terutama masa pemerintahan Presiden Soekarno yang dikenal dengan masa Orde Lama, umat Islam mulai mengahadapi tantangan sebagai bagian dari bangsa dan negara yang merdeka. Tantangan terbesar antara lain masalah ideologi dan peran politik umat Islam dalam dinamika ketatanegaraan. Pada masa ini umat Islam seringkali bersentuhan dengan masalah politik, kekuasaan, pemerintahan dan negara. [4] Masalah ideologi yang tak terseselesaikan itu muncul dalam bentuk peristiwa Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo di Jawa Barat yang mengusung ide pembentukan Negara Islam Indonesia, [5] yang berlangsung antara tahun 1948-1962. [6] Diikuti oleh gerakan serupa di Aceh pimpinan Daud Beureueh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.
Selain itu umat Islam juga dihadapkan pada keharusan menerima koalisi ideologis yang terdiri dari ideologi Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom). Tetapi dalam perkembangannya, koalisi ideologis ini gagal diterapkan karena faktor ketidakseimbangan dan ketidakadilan Soekarno (Nasionalis) yang ternyata lebih dekat kepada kepentingan ideology Komunisme yang diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menjelang kejatuhan Presiden Soekarno, kekuatan umat Islam dengan segala plus minusnya berhadapan dengan situasi sejarah yang penuh misteri, membingungkan, penuh huru hara dan chaos. Kekuatan Islam yang diboncengi tentara terlibat pembantaian pengikut PKI.
Ironisnya, umat Islam yang berjasa menumbangkan ideologi komunisme dan berhasil meruntuhkan rezim Orde Lama dan menjadi kekuatan utama mendukung Orde Baru justru mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari pemerintahan Presiden Soeharto. Rezim Orde Baru yang totaliter dan paranoid menganggap kekuatan politik umat Islam sebagai hal yang membahayakan kekuasaan.
Rezim kekuasaan seringkali pragmatis terhadap umat Islam. Sikap ini berangkat dari keinginan untuk mempertahankan kekuasaannya. Untuk itu, rezim kekuasaan sering melakukan manuver apa saja, adakalanya merangkul adakalanya memberangus kekuatan Islam.
Dari situlah rezim Soeharto mengidap ketakutan terhadap kekuatan Islam politik (Islamophobia) sehingga melakukan langkah-langkah represif dengan cara mendepolitisasi Islam, minimal meminggirkan Islam terutama pada sepuluh tahun pertama Orde Baru. Puncaknya adalah terjadi pengasastunggalan ideologi yaitu Ideologi Pancasila. [7]
Menjelang kejatuhannya, tepatnya awal tahun 1990 Soeharto mencoba meraih simpati umat Islam dengan cara mengendorkan tekanan terhadap umat Islam. Bahkan sebisa mungkin Soeharto ingin merangkul umat Islam. Hal tersebut dapat dilihat dalam maneuver politik Soeharto dengan mendukung sepenuhnya berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 5 Desember 1990. Soeharto melaui ICMI telah membawa Islam dan kaum Muslimin ke "tengah" (moderat), dan tidak lagi berada di pinggiran seperti sebelumnya.
Menurut Azyumardi Azra, ICMI juga telah menjadi katalisator bagi kemunculan lembaga-lembaga baru Islam, seperti Bank Muamalat Indonesia, MAN Insan Cendekia. Selanjutnya ICMI juga telah mendorong terjadinya proliferasi berbagai institusi baru seperti Takaful, Dompet Dhuafa, serta unit-unit pemberdayaan ekonomi rakyat lainnya. [8] Kemesraan umat Islam dengan pemerintah Orde Baru tidak berlangsung lama. Gerakan reformasi yang didukung aktivis prodemokrasi pada tahun 1998 segera merubah pola hubungan umat Islam dengan pemerintah.
Bacaan
[1] Baca MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern,terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1993)
[2] Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1988), h. 55-58
[3] Nor Huda, Islam Nusantara, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ar Ruz Media, 2007) , h. 79
[4] Marzuki Wahid (editor), Jejak-jejak Islam Politik, Sinopsis Sejumlah Studi Islam di Indonesia, (Jakarta: Ditpertais, 2004), h. 247
[5] Ibid., h. 151
[6] DI/TII pimpinan Kartosuwiryo praktis selesai setelah ia dieksekusi pada 5 September 1962. Tetapi studi terakhir mengemukakan bahwa ideology dan tujuan yang diusung DI/TII tidak berhenti hingga di situ. Beberapa kajian menempatkan organisasi Islam kontemporer yang dituduh melakukan tindakan makar dan aksi terror mulai dari Komando Jihad hingga Jama’ah Islamiyah merupakan metamorphosis dari DI/TII.
[7] Hal ini dapat dibaca dalam kajian M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
[8] “ICMI Mantapkan Peran Pemberdayaan Masyarakat”, Suara Karya (Jakarta), Sabtu, 17 April 2010
No comments:
Post a Comment