Syara’ dalam dalam pengertian umum berarti Agama Islam. Dengan demikian adat orang Minangkabau itu tentu merujuk Agama Islam yang digali dari Al Qur’an dan Hadits. Dalam taraf ini, orang Minangkabau enggan berdebat, pastilah semua dapat disepakati. Meski pada kenyataannya tidak semua adat diambil dari al Qur’an dan hadits.
Pengertian lainnya, Syara’ berarti hukum Islam. Hukum Islam dalam arti yang sempit berarti fikih. Fikih berarti kumpulan fatwa-fatwa yang digali dari sumbernya (al-Qur’an dan Hadits) dengan menggunakan yurisprudensi hukum Islam yang dikenal dengan ilmu ushul-al Fiqh. Jika yang dimaksud dengan syara’ dalam ABS-SBK adalah hukum Islam dalam pengertian fikih, maka adat Minangkabau tentu berdasar pada ketentuan hukum fikih.
Hanya saja, jika orang Minangkabau harus mengkonstruksi adatnya berdasarkan hukum fikih, tentu banyak problemnya. Tahu sama tahu sajalalah, fikih itu banyak mazhabnya. Minimal ada empat mazhab ternama (mazahibul arba’ah) yaitu Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali. Perdebatan panjang akan muncul di sini, hukum fikih mazhab yang mana yang harus dipakai?
Ternyata Syara’ bagi orang tidak sesederhana itu. Sementara lepaskan dulu perbedaan pengertian syara’. ABS-SBK setidak-tidaknya memberi isyarat bahwa orang Minangkabau sedang berupaya membangun gerakan kebudayaan yang diisi semangat keagamaan. Pemerintah Indonesia pun tidak mengkhawatirkan gerakan ABS-SBK sebagai gerakan formalisasi syari’at Islam layaknya gerakan keagamaan yang dicap radikal-fundamentalis. Mungkin saja pemerintah menilai ABS-SBK hanya jargon yang belum punya substansi apa-apa dan belum pula jelas konsep operasionalnya.
Bukan Formalisasi Syara’
Dalam sejarahnya belum ada perjuangan serius ABS-SBK, misalnya mendesak ditelurkannya peraturan daerah yang berisi ketentuan adat yang betul-betul berdasar pada Al-Qur’an dan Hadits. Barangkali saja orang Minangkabau sudah merasa nyaman hidup dalam alam pikir demokrasi dewasa ini. Berbeda dengan gerakan formalisasi syari’at Islam di berbagai daerah yang diusung kelompok umat Islam yang kerap disebut Gerakan Salafi Militan (GSM), terutama setelah era reformasi bergulir.
Pasca Orde Baru GSM melihat peluang dan harapan baru untuk lebih leluasa mengembangkan gerakan formalisasi syari’at Islam. Gerakan itu diawali dengan tuntutan pemberlakuan syari’at Islam termasuk mengembalikan kembali Piagam Jakarta. Pada pemilu 1999, beberapa partai politik (berbasis) Islam acap rembug dan menjadikan isu Piagam Jakarta yang bernuasa formalisasi syariat sebagai tema kampanye bersama.
Tetapi patut dapat diduga, bahwa syari’at yang dimaksud oleh GSM sangat sempit dibanding Syara’/syari’at yang diperjuangkan orang Minangkabau (sebut saja Gerakan ABS-SBK). Syari’at yang diperjuangkan GSM sangat berbaun politik, apalagi diperjuangkan dengan jalur dan untuk tujuan politik. Bandingkan sekilas karakteristik GSM dengan gerakan ABS-SBK di Sumatera Barat yang tidak semata-mata hanya kepentingan kelompok yang beraliran salafy.
Menurut Syafi Anwar dalam M Zaki Mubarak (2007: xvii) ada 4 (empat) karakteristik GSM yaitu: Pertama, GSM cenderung mempromosikan peradaban tekstual (Hadharah al Nash) dalam memahami Al Qur’an. Kedua, GSM itu syari’ah minded, syaria’t itu mesti dijelaskan bentuknya, diformalisasikan, misalnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan, laksana Perda. Ketiga, GSM sangat anti barat, termasuk segala produk-produknya. Keempat, GSM cendrung anti-pluralisme terutama sikap kebencian mendalam terhadap “agama” selain Islam.
Khazanah kebudayaan Minangkabau dibangun dalam semangat “ota” dan dialog yang dialektis. Teks (nash/ Al Qur’an dan Sunnah) bagi orang Minangkabau adalah fondasi Syara’ (syara’ basandi kitabullah). Ternyata dalam menyelesaikan masalah sosial, sengketa adat, dan sebagainya orang Minangkabau tak cukup memadakan pada kitabullah (tekstual).
Contohnya kasus hukum kewarisan (faraidh) yang sudah ada ketentuannya dalam al Qur’an. Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi, pertengahan abad ke-19, secara radikal menyatakan adat Minangkabau tentang kewarisan harus dihapuskan karena bertentangan dengan syara’.
Tetapi pernyataan “Guru Tuo” para ulama Minangkabau tersebut ternyata tidak menjadi agenda utama perjuangan murid-muridnya saat kembali ke Minangkabau. Secara cerdik mereka justru merumuskan kembali konsep harato pusako dan harato pancarian sedemikian rupa agar adat dan syara’ tidak saling berbenturan. Dalam dua kali konferensi elit “Tungku Tigo Sajarangan” tahun 1952 dan 1968 akhirnya didapatkan keputusan; harato pusako diurus secara adat dan harato pancarian diurus secara faraidh (Irhas A. Shamad, 2007:171)
Sejauh ini bukan tak ada indikasi gerakan GSM dalam gerakan ABS-SBK seperti tema-tema formalisasi syari’at, jargon-jargon anti barat dan semangat anti-pulralisme. Tetapi jika disilau lebih jauh, ternyata gerakan tersebut tersambung dengan elemen GSM yang tidak usali (asli) Minangkabau. Tema-tema itu berasal dari gerakan Islam lintasbangsa (transnasional) seperti Hizbut Tahrir, dan kelompok salafy nasional seperti Majelis Mujahidin, Lasykar Jihad. Ada juga beberapa organisasi massa asal Minangkabau yang berterima dengan tema gerakan transnasional tersebut seperti, Komite Penegakan Syari’at Islam dan sebagainya.
Wacana Islam dan adat yang dirumuskan dalam Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK), demikian juga Syara’ Mangato, Adat Mamakai yang kerap dijadikan slogan, dapat dijadikan motor untuk memobilisasi ingatan massa Minangkabau. Ini juga modal sosial di mana kesadaran sosial masyarakat Minangkabau sangat mudah dibangkitkan dengan frasa sentimental “sinergi adat dan agama Islam” di Minangkabau. Syara’ dan adat ibarat aur dengan tebing, saling bersandar keduanya. Bagaimanapun syara’ tetap penting!
Muhammad Nasir
Alumni Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang.
Analis Sejarah Majelis Sinergi Islam dan Tradisi - Indonesia (Magistra-Indonesia) Padang
No comments:
Post a Comment