Muhammad Nasir
Masyarakat harus arif bahwa pertarungan sekarang bukanlah semata-mata pertarungan 3 pasang calon menuju kursi RI-1 dan RI-2. Di balik itu ada pertarungan tersembunyi di dalam tubuh tim pendukung masing-masing calon presiden. Itu belum terungkap ke "alam nyata". Jika hal ini tidak diungkap dan diwaspadai, maka jangan-jangan apa yang disebut Yudi Latif sebagai "Koalisi Tuna Nilai" (Kompas, 28/04/ 2009) bebar-benar nyata adanya.
Tiga orang calon presiden sudah menyampaikan sebagian visi dan misinya dalam debat calon presiden (selanjutnya ditulis capres) yang ditayangkan langsung oleh beberapa stasiun televisi Jum'at (18/06/2009) yang lalu. Secara umum penampilan para calon lebih dari cukup untuk menarik garis pembanding di antara ketiga calon. Namun, apakah peristiwa itu dapat mengubah opini masyarakat sekaligus memengaruhi grafik dukungan terhadap masing-masing calon?
Selain itu, sedikit yang dapat disimpulkan, semua yang telah disampaikan jika itu memang orisinil hasil olah pikir dan pembacaan yang komprehensif dari para calon presiden tersebut, maka itu tidak lebih sekedar repetisi dari pendapat-pendapat yang sudah terlontar sebelumnya dari para pakar, pengamat dan penulis-penulis dalam dan luar negeri.
Dan jika itu tidak orisinil, maka tim masing-masing calon sudah berhasil 'mendandani' calon pemimpin negeri ini dengan berbagai isu yang dianggap penting. Artinya, secara tidak langsung, capres kita merupakan konstruksi multidimensi dan ekslopedi berjalan bagi para tim suksesnya.
Setelah itu, debat capres akan diselenggarakan dua episode lagi dan debat capres juga akan berlangsung selama dua episode. Formalnya, debat sebagai seremonial kampanye yang melibatkan kontestan langsung pemilihan presiden oleh Komisi Pemilihan Umum cukup baik untuk pembelajaran demokrasi di negeri ini.
Soal lainnya, adakah materi debat para capres itu merupakan isu bersama, saripati pergumulan ide dan agenda perjuangan partai-partai pendukungnya?
Ke mana Suara Parpol Koalisi?
Bagaimanapun, para capres adalah fragmentasi kepentingan-kepentingan politik elit, dan lebih lanjut hasil fragmentasi ini akan diuji oleh rakyat dalam pemilihan langsung presiden dan wakil presiden.Seandainya yang disampaikan oleh capres dalam debatnya itu merupakan kerangka pikir untuk membangun bangsa ke depan, maka hal ini akan mendapat tantangan berat dari elit politik yang mengusungnya.
Presiden bukanlah semata-mata kepala pemerintahan dan kepala negara. Tetapi lebih dari itu, presiden adalah kepala dan pengusung segala kepentingan politik yang tersebar di antara partai-partai pendukungnya. Betapa tidak, sebelumnya sebelum koalisi dibangun oleh partai-partai pendukung, pembicaraan tentang koalisi partai di parlemen sudah mengapung meskipun belum tuntas dibicarakan.
Konsekuensinya, betapun bagus dan indahnya pandangan masing capres tentang masa depan bangsa akan segera berhadapan dengan kepentingan partai-partai pendukung di parlemen. Mau-tidak mau, pandangan dan 'calon' kebijakan presiden ke depan mesti menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan partai pendukung.
Paling tidak pemenang pilpres mendatang akan dihadapkan pada soal-soal perbedaan orientasi politik, ideologi dan pembagian kekuasaan. Hal ini disebabkan masih sumir-nya peran, karakter dan agenda partai pendukung dalam materi debat yang dipertontonkan secara luas.
Agak riskan membayangkan bahwa kedudukan presiden akan menguat pasca helat demokrasi 2009 ini. Selain partai Demokrat yang perolehan suaranya melebihi duapuluh persen, dua kontestan lain akan berhadapan dengan persoalan bagi-bagi kekuasaan jika memenangkan pemilihan. Partai Demokrat-pun juga belum tentu aman jika memenangkan pemilihan.
Bagi partai pendukung Megawati Soekarno Putri-Prabowo Subijanto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto, persoalan ideologi mungkin saja sudah selesai. Rata-rata partai pendukung mereka berasal dari blok nasionalis. Lain halnya dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Tantangan pasangan presiden incumbent ini mungkin lebih berat.
Sebagaimana diketahui, SBY-Boediono diusung oleh Partai Demokrat bersama beberapa Partai berbasis Islam dan partai-partai kecil lainnya bertarif nol hingga satu koma persen. Konfigurasi partai pendukung SBY ini jauh lebih rumit dan rentan konflik berbasis ideologi. Belum lagi konflik bertajuk pembagian kekuasaan.
Perlu ditampilkan
Kontestasi pemilihan presiden tidak semata-mata didasari oleh capaian 20 persen suara saat partai pemilu legislatif. Tetapi juga didasari kesepakan koalisi beberapa parpol untuk memperoleh 20 persen suara sebagai syarat pencalonan presiden. Artinya ada banyak kepentingan yang dikompromikan menjelang pendaftaran calon.
Jika kompromi itu atas nama kepentingan, maka sudah pasti ada konsekuensi dan kompensasi atas kompromi tersebut. Begitu juga jika kompromi itu atas nama agenda perjuangan partai. Maka juga sudah pasti agenda-agenda tersebut tertompang pada calon presiden yang didukungnya.
Berdasarkan hal ini, masyarakat sangat memerlukan kejelasan dan keterusterangan dari masing-masing calon presiden serta tim suksesnya. Agak sulit menerima logika bahwa apapun yang disuarakan oleh calon presiden dalam materi debatnya adalah untuk kepentingan bangsa.
Oleh sebab itu jika ada pertanyaan tentang apa saja kepentingan-kepentingan yang dirangkum dalam koalisi harus dijelaskan supaya masyarakat tidak hanya terpesona oleh performance capres. Begitu juga jika ada agenda-agenda perjuangan partai politik yang tergabung dalam koalisi yang ditompangkan kepada capres, juga harus dikemukakan secara gamblang.
Ringkasnya, dengan mengesampingkan kepentingan kampanye, masing-masing pasangan calon harus mau dan mampu mengungkapkan fakta di balik dukungan parpol. Semuanya demi prinsip "transparansi dan akuntabilitas" yang sedang getol-getolnya dikampanyekan oleh masing-masing capres.
dimuat di : http://psik-indonesia.org/home.php?page=fullnews&id=109
06 July 2009
Musyawarah : Garis Debat Demokrasi*
Oleh Muhammad Nasir
Mâ lâ yudraku kulluhu la yutraku kulluhu
tidak bisa dapat semuanya, jangan dibuang semuanya
-Kaidah Ushul Fiqh-
Demokrasi lahir dari debat. Namun di Indonesia seperti ada garis yang hilang dalam perdebatan demokrasi antara kelompok pro-demokrasi dan kelompok anti-demokrasi. Wacana-wacana debat beterbangan, simpangsiur kian kemari tanpa arena dan garis yang pasti laksana tawuran. Ya, perdebatan itu nyaris menyerupai tawuran!
Garis tersebut adalah saling kesepahaman akan argument masing masing kelompok dan ruang bersama di mana nilai mashlahat dan manfaat masing-masing argument dapat ditempatkan. Akibat hilangnya garis tersebut, muncul sikap sinis dan saling ejek di dalam diri masing-masing peserta debat. Sungguh kurang produktif.
Debat sangat penting dilakukan dan demokrasi membutuhkan perdebatan. Dalam sebuah perdebatan eksplorasi dilakukan sangat ketat dan argumen-argumen brilian dipertarungkan. Secara ‘boros’ kontestan debat pasti akan mengeluarkan pemikiran terbaiknya untuk memenangkan “kebenaran”.
Kepada kontestan debat
Dalam dialektika debat demokrasi, setiap kontestan debat mesti juga menegaskan posisinya masing-masing dan menyatakan sikapnya terhadap opini kontestan lain. Hal ini berguna untuk mengatur traffic debat agar tidak keluar dari target pencarian solusi.
Justru yang mengkhawatirkan saat ini adalah pertarungan supremasi teori yang berarti satu teori harus mengalahkan teori yang lain. Dalam praktek, suatu praktek politik harus menggantikan atau menghapus praktek yang lain. Dalam hal ini perdebatan berlangsung dalam logika Nasikh wal Mansukh (ada yang menghapus dan ada yang dihapus).
Debat yang berlangsung dalam semangat nasikh wal mansukh itu berpotensi melahirkan sikap fundamentalisme dan radikalisme. Fundamentalisme, secara konseptual dan semangat yang dianutnya berupaya menafikan kelompok yang lain dan sebesar mungkin menghindar dari kompromi.
Iklim debat mesti didukung oleh satu pemahaman bersama akan titik tolak debat. Dalam konteks Indonesia, titik tolak perdebatan itu mestinya praktek demokrasi yang sedang dijalankan di negara ini. Artinya arah debat nantinya menuju pada satu penilaian, apakah demokrasi yang sedang dipraktekkan hari ini sudah memenuhi harapan serta akomodatif untuk seluruh elemen bangsa.
Kemudian jika ternyata hasilnya kurang memuaskan, apakah harus ada perbaikan terhadap konsep dan penerapan demokrasi atau malah menggantinya dengan sistem yang lain.
Oleh sebab itu, debat demokrasi tidak harus semata-mata diletakkan dalam konteks proses politik, tetapi secara moderat dijadikan sebagai upaya mencari kemashlahatan dan asas manfaat dari teori-teori yang diajukan kontestan perdebatan.
Garis tersebut harus dipertegas lagi dengan membangun lajur-lajur yang harus ditempuh oleh masing-masing kontestan debat dalam memajukan teorinya dan lajur-lajur alternatif di mana secara bersama-sama para kontestan menyimpan mashlahat dan manfaat dari perdebatan tersebut.
Lajur alternatif yang dimaksud adalah Indonesia itu sendiri yang secara empiris sangat terbuka terhadap masukan-masukan yang berharga dari kelompok prodemokrasi dan kelompok antidemokrasi. Lihat saja, bagaimana kedua kelompok tersebut hidup berdampingan (coexistence), meski dalam waktu-waktu tertentu terjadi ketegangan antara ke dua belah pihak.
Sengaja dibahasakan sebagai alternatif, mengingat sejauh ini Indonesia sudah terlalu jauh ditinggalkan oleh anak bangsanya sendiri. Biasanya, alternatif sebagai jalan ketiga, cendrung disukai. Sekedar penegas: lajur alternatif itu adalah musyawarah.
Kaidah Ushul Fikih yang mendahului tulisan ini dapat saja dijadikan sebagai keranjang untuk mengumpulkan hasil debat. Mâ lâ yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Artinya, jika tidak bisa mendapatkan semuanya, jangan dibuang semuanya.
Peran Negara
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kenyataan dan benar-benar ada. Bukti adanya didukung oleh perdebatan-perdebatan mengenai masa depan negara ini. Segala puja dan caci maki juga sering teralamat ke negara ini.
Negara adalah arus moderat yang menjadi titik temu (melting point)semua ide-ide dalam perdebatan. Oleh sebab itu, daya serap negara terhadap hasil perdebatan-perdebatan yang terjadi di antara warga negara harus tinggi.
Jika demokrasi berarti partisipasi, maka debat demokrasi merupakan bentuk partisipasi warga dalam membangun tatanan hidup bernegara yang lebih baik. Konsekuensinya, dalam membangun iklim partisipasi yang baik, negara harus mampu menjadi penjaga garis agar debat tidak keluar dari koridor bernegara.
Partisipasi yang baik adalah bentuk keterlibatan warga negara terhadap hal-hal yang diperlukan dan menjadi kebutuhan bersama (common need). Partisipasi yang buruk adalah bila peserta debat mengutamakan kepentingan sepihak yang parsial dan mengabaikan pihak lain.
Lagi-lagi, kaidah Ushul Fikih sebagaimana ditulis pada awal tulisan ini sepertinya layak dijadikan dasar berpikir. Negara dapat saja mengakomodir hasil-hasil perdabatan itu meski sedikit mengandung kebenaran namun dapat diterapkan untuk semuanya.
Penolakan (negasi) bahkan ketidakawasan (awareless) negara terhadap wacana yang berkembang dalam perdebatan justru menjadi indikasi negara yang tidak demokratis. Adalah suatu kesombongan saat semua warga negara sedang berdebat tentang kebaikan negara, tentang bagaimana negara ini harus diurus, sementara negara menutup kuping; acuh tak acuh! (Padang,13/06/2009)
*Draft diskusi Magistra Indonesia- Padang. Topik: Etika dan Asesoris Demokrasi
Mâ lâ yudraku kulluhu la yutraku kulluhu
tidak bisa dapat semuanya, jangan dibuang semuanya
-Kaidah Ushul Fiqh-
Demokrasi lahir dari debat. Namun di Indonesia seperti ada garis yang hilang dalam perdebatan demokrasi antara kelompok pro-demokrasi dan kelompok anti-demokrasi. Wacana-wacana debat beterbangan, simpangsiur kian kemari tanpa arena dan garis yang pasti laksana tawuran. Ya, perdebatan itu nyaris menyerupai tawuran!
Garis tersebut adalah saling kesepahaman akan argument masing masing kelompok dan ruang bersama di mana nilai mashlahat dan manfaat masing-masing argument dapat ditempatkan. Akibat hilangnya garis tersebut, muncul sikap sinis dan saling ejek di dalam diri masing-masing peserta debat. Sungguh kurang produktif.
Debat sangat penting dilakukan dan demokrasi membutuhkan perdebatan. Dalam sebuah perdebatan eksplorasi dilakukan sangat ketat dan argumen-argumen brilian dipertarungkan. Secara ‘boros’ kontestan debat pasti akan mengeluarkan pemikiran terbaiknya untuk memenangkan “kebenaran”.
Kepada kontestan debat
Dalam dialektika debat demokrasi, setiap kontestan debat mesti juga menegaskan posisinya masing-masing dan menyatakan sikapnya terhadap opini kontestan lain. Hal ini berguna untuk mengatur traffic debat agar tidak keluar dari target pencarian solusi.
Justru yang mengkhawatirkan saat ini adalah pertarungan supremasi teori yang berarti satu teori harus mengalahkan teori yang lain. Dalam praktek, suatu praktek politik harus menggantikan atau menghapus praktek yang lain. Dalam hal ini perdebatan berlangsung dalam logika Nasikh wal Mansukh (ada yang menghapus dan ada yang dihapus).
Debat yang berlangsung dalam semangat nasikh wal mansukh itu berpotensi melahirkan sikap fundamentalisme dan radikalisme. Fundamentalisme, secara konseptual dan semangat yang dianutnya berupaya menafikan kelompok yang lain dan sebesar mungkin menghindar dari kompromi.
Iklim debat mesti didukung oleh satu pemahaman bersama akan titik tolak debat. Dalam konteks Indonesia, titik tolak perdebatan itu mestinya praktek demokrasi yang sedang dijalankan di negara ini. Artinya arah debat nantinya menuju pada satu penilaian, apakah demokrasi yang sedang dipraktekkan hari ini sudah memenuhi harapan serta akomodatif untuk seluruh elemen bangsa.
Kemudian jika ternyata hasilnya kurang memuaskan, apakah harus ada perbaikan terhadap konsep dan penerapan demokrasi atau malah menggantinya dengan sistem yang lain.
Oleh sebab itu, debat demokrasi tidak harus semata-mata diletakkan dalam konteks proses politik, tetapi secara moderat dijadikan sebagai upaya mencari kemashlahatan dan asas manfaat dari teori-teori yang diajukan kontestan perdebatan.
Garis tersebut harus dipertegas lagi dengan membangun lajur-lajur yang harus ditempuh oleh masing-masing kontestan debat dalam memajukan teorinya dan lajur-lajur alternatif di mana secara bersama-sama para kontestan menyimpan mashlahat dan manfaat dari perdebatan tersebut.
Lajur alternatif yang dimaksud adalah Indonesia itu sendiri yang secara empiris sangat terbuka terhadap masukan-masukan yang berharga dari kelompok prodemokrasi dan kelompok antidemokrasi. Lihat saja, bagaimana kedua kelompok tersebut hidup berdampingan (coexistence), meski dalam waktu-waktu tertentu terjadi ketegangan antara ke dua belah pihak.
Sengaja dibahasakan sebagai alternatif, mengingat sejauh ini Indonesia sudah terlalu jauh ditinggalkan oleh anak bangsanya sendiri. Biasanya, alternatif sebagai jalan ketiga, cendrung disukai. Sekedar penegas: lajur alternatif itu adalah musyawarah.
Kaidah Ushul Fikih yang mendahului tulisan ini dapat saja dijadikan sebagai keranjang untuk mengumpulkan hasil debat. Mâ lâ yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Artinya, jika tidak bisa mendapatkan semuanya, jangan dibuang semuanya.
Peran Negara
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kenyataan dan benar-benar ada. Bukti adanya didukung oleh perdebatan-perdebatan mengenai masa depan negara ini. Segala puja dan caci maki juga sering teralamat ke negara ini.
Negara adalah arus moderat yang menjadi titik temu (melting point)semua ide-ide dalam perdebatan. Oleh sebab itu, daya serap negara terhadap hasil perdebatan-perdebatan yang terjadi di antara warga negara harus tinggi.
Jika demokrasi berarti partisipasi, maka debat demokrasi merupakan bentuk partisipasi warga dalam membangun tatanan hidup bernegara yang lebih baik. Konsekuensinya, dalam membangun iklim partisipasi yang baik, negara harus mampu menjadi penjaga garis agar debat tidak keluar dari koridor bernegara.
Partisipasi yang baik adalah bentuk keterlibatan warga negara terhadap hal-hal yang diperlukan dan menjadi kebutuhan bersama (common need). Partisipasi yang buruk adalah bila peserta debat mengutamakan kepentingan sepihak yang parsial dan mengabaikan pihak lain.
Lagi-lagi, kaidah Ushul Fikih sebagaimana ditulis pada awal tulisan ini sepertinya layak dijadikan dasar berpikir. Negara dapat saja mengakomodir hasil-hasil perdabatan itu meski sedikit mengandung kebenaran namun dapat diterapkan untuk semuanya.
Penolakan (negasi) bahkan ketidakawasan (awareless) negara terhadap wacana yang berkembang dalam perdebatan justru menjadi indikasi negara yang tidak demokratis. Adalah suatu kesombongan saat semua warga negara sedang berdebat tentang kebaikan negara, tentang bagaimana negara ini harus diurus, sementara negara menutup kuping; acuh tak acuh! (Padang,13/06/2009)
*Draft diskusi Magistra Indonesia- Padang. Topik: Etika dan Asesoris Demokrasi
Retorika : Demokrasi dan Tirani
Oleh: Muhammad Nasir
Efek pidato akan baik, bila yang berpidato adalah orang baik juga…
The good man speaks well.
-Cicero-
Sejak zaman dulu, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Cara memperoleh kemenangan politik pun tak lepas dari retorika., yaitu melalui talk it out (membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Cara pertama erat kaitannya dengan demokrasi, cara kedua erat kaitannya dengan tirani.
Indonesia pernah mengalami kedua-duanya. Zaman revolusi Indonesia melahirkan ahli retorika seperti HOS Tjokroaminoto, Ir. Soekarno, Muchtar Lutfi dan sebagainya. Pada zaman Orde Baru, hampir tak terdengar ahli retorika yang terkait dengan masalah politik.
Zaman reformasi ini retorika kembali menjadi populer. Retorika kembali menjadi andalan dalam memperoleh kemenangan politik, meski tak sedikit rakyat yang tidak percaya (lagi) dengan retorika. Termasuk pada parade retorika yang baru saja dialami rakyat Indonesia, yaitu kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden.
Masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) sejatinya adalah masa-masa retorika. Retorika (rethoric) biasanya disinonimkan dengan seni atau kepandaian berpidato, sedangkan tujuannya adalah, menyampaikan fikiran dan perasaan kepada orang lain agar mereka mengikuti kehendak kita. Dalam pengertian ini, semua pikiran sudah diungkapkan, tinggal mengikuti kehendak si empu retorika di bilik suara.
Benar saja, retorika berhubungan dengan suara. Muara retorika ternyata juga berhubungan dengan perolehan suara. Maka siapa saja yang terhanyut dengan retorika kampanye pilpres, akan segera mengganjarnya dengan suara (dalam arti vote).
Hanya saja, masalah akan segera muncul jika para pemilih (the voters) menyandarkan pilihannya pada semata-mata retorika belaka. Dalam konteks kampanye, retorika tidak lebih hanya bagian dari bentuk komunikasi massa.
Menurut Kenneth Burke, bahwa setiap bentuk-bentuk komunikasi adalah sebuah drama. Karenanya seorang pembicara hendaknya mampu ‘mendramatisir’ keadaan khalayaknya (dramaturgical theory). Jangan-jangan retorika yang berhamburan pada masa kampanye pilpres kemaren, tidak lebih hanya drama.
Menurut Aristoteles, retorika memuat tiga bagian inti yaitu Ethos (ethical); karakter pembicara yang dapat dilihat dari cara ia berkomunikasi, Pathos (emotional); perasaan emosional khalayak yang dapat dipahami dengan pendekatan “psikologi massa”, dan Logos (logical) yaitu pemilihan kata atau kalimat atau ungkapan oleh pembicara.
Ketiga bagian itu sudah disampaikan dengan baik oleh ketiga pasang calon. Rakyat sudah disuguhi tontonan yang menarik dalam tiga seri debat (?) capres dan dua kali debat cawapres. Masalahnya, tiba-tiba pesan-pesan tersebut menjadi kacau balau dengan kehadiran terma propaganda sebagai bagian penting dari kampanye.
Perangkap Retorika
Propaganda itu muncul dalam bentuk jargon. Semuanya bentuk propaganda yang digunakan pasangan calon merupakan jargon yang disukai rakyat. Pasangan Megawati Sukarno Putri-Prabowo Subiyanto mengusung tema ”Pro Rakyat”. Rakyat mana yang tidak suka pemimpinnya pro rakyat?
Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mengusung tema ”lanjutkan!”. Siapa yang tidak suka melanjutkan pembangunan bangsa ini? Kecuali maksudnya adalah melanjutkan kepemimpinan SBY. Opini rakyat masih terbelah.
Sementara Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto dengan tegas mengusung tema ”Lebih cepat lebih baik.” Tema ini juga disukai rakyat. Rakyat mana yang tidak ingin taraf hidupnya membaik lebih cepat?
Jika dalam hal ini semua pasangan calon adalah baik, maka pemilihan umum presiden dan wakil presiden mendatang akan kehilangan konteksnya. Partisipasi rakyat dalam pemilu tidak lebih hal yang mubazir. Mengapa presiden tidak diperoleh melalui undian saja?
Iklan capres dan cawapres yang disajikan dengan bahasa yang indah-indah itu ibarat lagu-lagu populer ABG yang enak didengar (easy listening), tetapi kering dari cita rasa seni dan bahkan mudah pergi (easy going)
Akhirnya, propaganda yang digencarkan oleh tim pemenangan pasangan capres dan cawapres harus diwaspadai. Pesan yang disampaikan dalam kampenya yang lalu tidak cukup ditangkap dengan indra pendengaran belaka, karena itu tidak lebih perangkap retorika. Dikhawatirkan perangkap retorika itu berubah menjadi tirani baru bagi rakyat selama lima tahun ke depan.
Termasuk jargon pemilih cerdas sebagaimana diiklankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terasa menyentuh urat logika rakyat. Rakyat diminta cerdas menentukan pilihan. Sekilas terlintas kesan ”jangan salah pilih” muncul menohok tiga pasang calon yang tengah bertarung. Memangnya ada apa dengan tiga pasang calon tersebut? Adakah di antara mereka yang kurang pantas menjadi presiden?
Mengenang ucapan Cicero sebagaimana diungkap di awal tulisan ini, “Efek pidato akan baik, bila yang berpidato adalah orang baik juga.”Oleh sebab itu saat minggu tenang tiba, tiba pula saatnya menginap-renungkan apa-apa yang sudah dibicarakan oleh calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia periode 2009-2014.
Semuanya dapat dilakukan dengan membandingkan apa yang diucapkan pasangan capres dan cawapres selama berpidato dan membandingkan data dan fakta yang terungkap selama kampanye. Itulah demokrasi, memenangkan orang yang pandai beretorika, meyelamatkan orang yang punya jiwa dan logika. (04/07/2009)
Muhammad Nasir
Analis Sejarah Magistra Indonesia - Padang
Efek pidato akan baik, bila yang berpidato adalah orang baik juga…
The good man speaks well.
-Cicero-
Sejak zaman dulu, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Cara memperoleh kemenangan politik pun tak lepas dari retorika., yaitu melalui talk it out (membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Cara pertama erat kaitannya dengan demokrasi, cara kedua erat kaitannya dengan tirani.
Indonesia pernah mengalami kedua-duanya. Zaman revolusi Indonesia melahirkan ahli retorika seperti HOS Tjokroaminoto, Ir. Soekarno, Muchtar Lutfi dan sebagainya. Pada zaman Orde Baru, hampir tak terdengar ahli retorika yang terkait dengan masalah politik.
Zaman reformasi ini retorika kembali menjadi populer. Retorika kembali menjadi andalan dalam memperoleh kemenangan politik, meski tak sedikit rakyat yang tidak percaya (lagi) dengan retorika. Termasuk pada parade retorika yang baru saja dialami rakyat Indonesia, yaitu kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden.
Masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) sejatinya adalah masa-masa retorika. Retorika (rethoric) biasanya disinonimkan dengan seni atau kepandaian berpidato, sedangkan tujuannya adalah, menyampaikan fikiran dan perasaan kepada orang lain agar mereka mengikuti kehendak kita. Dalam pengertian ini, semua pikiran sudah diungkapkan, tinggal mengikuti kehendak si empu retorika di bilik suara.
Benar saja, retorika berhubungan dengan suara. Muara retorika ternyata juga berhubungan dengan perolehan suara. Maka siapa saja yang terhanyut dengan retorika kampanye pilpres, akan segera mengganjarnya dengan suara (dalam arti vote).
Hanya saja, masalah akan segera muncul jika para pemilih (the voters) menyandarkan pilihannya pada semata-mata retorika belaka. Dalam konteks kampanye, retorika tidak lebih hanya bagian dari bentuk komunikasi massa.
Menurut Kenneth Burke, bahwa setiap bentuk-bentuk komunikasi adalah sebuah drama. Karenanya seorang pembicara hendaknya mampu ‘mendramatisir’ keadaan khalayaknya (dramaturgical theory). Jangan-jangan retorika yang berhamburan pada masa kampanye pilpres kemaren, tidak lebih hanya drama.
Menurut Aristoteles, retorika memuat tiga bagian inti yaitu Ethos (ethical); karakter pembicara yang dapat dilihat dari cara ia berkomunikasi, Pathos (emotional); perasaan emosional khalayak yang dapat dipahami dengan pendekatan “psikologi massa”, dan Logos (logical) yaitu pemilihan kata atau kalimat atau ungkapan oleh pembicara.
Ketiga bagian itu sudah disampaikan dengan baik oleh ketiga pasang calon. Rakyat sudah disuguhi tontonan yang menarik dalam tiga seri debat (?) capres dan dua kali debat cawapres. Masalahnya, tiba-tiba pesan-pesan tersebut menjadi kacau balau dengan kehadiran terma propaganda sebagai bagian penting dari kampanye.
Perangkap Retorika
Propaganda itu muncul dalam bentuk jargon. Semuanya bentuk propaganda yang digunakan pasangan calon merupakan jargon yang disukai rakyat. Pasangan Megawati Sukarno Putri-Prabowo Subiyanto mengusung tema ”Pro Rakyat”. Rakyat mana yang tidak suka pemimpinnya pro rakyat?
Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mengusung tema ”lanjutkan!”. Siapa yang tidak suka melanjutkan pembangunan bangsa ini? Kecuali maksudnya adalah melanjutkan kepemimpinan SBY. Opini rakyat masih terbelah.
Sementara Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto dengan tegas mengusung tema ”Lebih cepat lebih baik.” Tema ini juga disukai rakyat. Rakyat mana yang tidak ingin taraf hidupnya membaik lebih cepat?
Jika dalam hal ini semua pasangan calon adalah baik, maka pemilihan umum presiden dan wakil presiden mendatang akan kehilangan konteksnya. Partisipasi rakyat dalam pemilu tidak lebih hal yang mubazir. Mengapa presiden tidak diperoleh melalui undian saja?
Iklan capres dan cawapres yang disajikan dengan bahasa yang indah-indah itu ibarat lagu-lagu populer ABG yang enak didengar (easy listening), tetapi kering dari cita rasa seni dan bahkan mudah pergi (easy going)
Akhirnya, propaganda yang digencarkan oleh tim pemenangan pasangan capres dan cawapres harus diwaspadai. Pesan yang disampaikan dalam kampenya yang lalu tidak cukup ditangkap dengan indra pendengaran belaka, karena itu tidak lebih perangkap retorika. Dikhawatirkan perangkap retorika itu berubah menjadi tirani baru bagi rakyat selama lima tahun ke depan.
Termasuk jargon pemilih cerdas sebagaimana diiklankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terasa menyentuh urat logika rakyat. Rakyat diminta cerdas menentukan pilihan. Sekilas terlintas kesan ”jangan salah pilih” muncul menohok tiga pasang calon yang tengah bertarung. Memangnya ada apa dengan tiga pasang calon tersebut? Adakah di antara mereka yang kurang pantas menjadi presiden?
Mengenang ucapan Cicero sebagaimana diungkap di awal tulisan ini, “Efek pidato akan baik, bila yang berpidato adalah orang baik juga.”Oleh sebab itu saat minggu tenang tiba, tiba pula saatnya menginap-renungkan apa-apa yang sudah dibicarakan oleh calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia periode 2009-2014.
Semuanya dapat dilakukan dengan membandingkan apa yang diucapkan pasangan capres dan cawapres selama berpidato dan membandingkan data dan fakta yang terungkap selama kampanye. Itulah demokrasi, memenangkan orang yang pandai beretorika, meyelamatkan orang yang punya jiwa dan logika. (04/07/2009)
Muhammad Nasir
Analis Sejarah Magistra Indonesia - Padang
Subscribe to:
Posts (Atom)