01 August 2008

TENTANG ANJAL; Tangkap dan Pantisosialkan!

Muhammad Nasir
Peneliti Magistra Indonesia

Beribu maaf penulis sampaikan kepada kaum moralis, yang berjuang tentang anak dan kemanusiaan. Apa yang penulis ungkapkan dalam judul diatas hanya sebatas strategi pemetaan anak jalanan. Lebih dari itu, sebagai upaya mencari akar permasalahan fenomena anjal ini dan kemudian menentukan dari mana solusi anjal ini dimulai.

Di perempatan jalan Diponegoro seorang anak datang kepada penulis, "mintak pitih untuk bali nasi da !", ujarnya memelas. "Maaf diak, uda sadang indak bapitih kini”, penulis mencoba berkilah. Masya Allah, sebagai balasannya penulis dihadiahi satu caruik yang terlalu fasih dan terlalucepat diserap anak seusianya. Berlalu lima menit kemudian, aksi berikutnya tertuju pada seorang ibu pejalan kaki, jawaban yang sama dari ibu itu, menolak. Reaksinya adalah, melempari ibu tersebut dengan tutup botol minuman.

Itu hanya sebagian kecil dari suramnya garis hidup anjal di kota Padang ini. Orang pandai mengatakan bahwa apa yang diserap anak dalam usia dini akan sulit dilupakan, bahkan bisa menjadi sel yang akan terus berkembang menjadi akar dan batang yang kokoh. Prilaku kriminal yang dilakukan anak jalanan yang seusia lima sampai tujuh tahun, sebagaimana peristiwa diatas, bukan tidak mungkin menjadi awal dari peristiwa kriminal yang akan terus berkembang sesuai dengan pertambahan usia dan postur tubuhnya. Kalau ini tidak cepat ditanggapi, untuk beberapa waktu kedepan, jangan terlalu susah mencari sumber bencana sosial ini. Anjal, salah satunya.

Dari catatan investigasi relawan sebuah organisasi sosial beberapa waktu yang lalu dengan lokasi pasar, terminal angkutan umum dan pelabuhan, berdasarkan time lines hidup pekerja di sektor tersebut semisal agen liar, makelar dan pelaku premanisme, 42 % diantaranya telah melewati kehidupan sebagai anjal. Bukan bermaksud memberi stigma bagi pekerja sektor ini sebagai sarang criminalism, namun sektor ini termasuk titik rawan tindak kriminal dari berbagai level baik ringan ataupun berat. Sepertinya catatan ini cukup menjadi justifikasi bahwa persoalan anjal akan membawa dampak sosial yang cukup luas dan memprihatinkan.

Tentang penangkapan ini, penulis tawarkan sebagai shock teraphy bagi semua pihak yang terlibat langsung dalam aksi lapangan anak jalanan ini, seperti orang tua anjal bos-bos kecil yang mempekerjapaksakan mereka. Yang ingin dilihat adalah sejauh mana rasa kasihan dan sayang mereka terhadap anak yang dieksploitir, dan sejauh mana tanggungjawab bos-bos kecil yan mempekerjapaksakan mereka. 

Kasihan anjal. Ya, memang kasihan. Tapi sebagai bagian dari upaya pencerahan masa depan anak Indonesia, tidak ada salahnya jika perlakuan yang sedikit keras diberlakukan. Sepinya aktivitas penanggulangan dan salah kaprahnya pemerintah serta beberapa lembaga sosial bekerja demi anjal atas nama proyek, justru melanggengkan keberadaan anjal. 

Belajar dari pengalaman rumah singgah yang diproyekkan beberapa waktu yang lalu, yang dianggap sebagai program yang manusiawi, ternyata tidak banyak membantu. Rumah singgah ternyata tidak lebih sebagai transit bahkan lubang baru bagi anjal untuk mendapatkan uang dan makan gratis. Setelah itu kembali ke jalan.

Bukan sekedar tangkap

Tawaran penulis, tentu bukan sekedar pick and pocket, bawa dan simpan. Tetapi mengasingkan mereka dari komunitas yang berpengaruh buruk terhadap mereka serta memberikan program pendidikan dan rehabilitasi mental bagi anjal ini. Intinya asramakan dan beri pendidikan. 

Negara punya pengalaman semisal men-Sukarami-kan PSK. Negara harus membiayai program ini dan periharalah mereka. Atau jalan lainnya, bagaimana jika program Pendidikan Anak Dini Usia (PADU).

Tentang kompensasi BBM, alangkah baiknya dana ini digunakan untuk mengatasi kesenjangan bertajuk Anjal ini. Selain sasarannya jelas, persoalan yang diatasipun termasuk masalah prioritas di Negara ini. 
Memang, lebih sulit melakukan pendekatan kepada orang tua anjal dibanding kepada anjal itu sendiri. 

Kemungkinan untuk merubah kepribadian mereka masih terbuka dan sangat mungkin. Rasanya mustahil anak seusia mereka (4-10 tahun) ini betul-betul memikirkan uang sebagai kebutuhan dasar mereka. Silakan kaji, apa motivasi mereka untuk ikut serta mencari uang ke jalanan. 

Anak-anak seusia itu mempunyai keinginan bermain yang tinggi, dan kebetulan aktivitas bermain mereka adalah jalanan atau sektor ekonomi lainnya yang berpotensi menyeret mereka ke dunia gelap, criminalism. 

Sekali lagi mohon maaf kepada moralis untuk usul penangkapan ini. Tetapi lihatlah di RTH Imam Bonjol sana, orang tua anjal ini tidur-tiduran di atas rumput, di bawah naungan pohon rindang, sementara anak-anaknya bergelantungan dari angkot ke angkot seraya bernyanyi; “… hati yang gundah lamaran kerja ditolak…”. Mungkinkah anak seusia itu melamar kerja ?.
 
Wallahu a’lam bi al shawab

1 comment:

Anonymous said...

apo kaba bang? lai sehat? raun-raun la ka blog ambo. qolbi.wordpress.com.