Refleksi Diri 74 Tahun HMI
Oleh Muhammad Nasir
Sejak musim twibbon-twibonize dimulai, saya juga ikut meramaikan. Segera saya pilih foto terbaik agar match dengan desain grafis, warna dan terlihat eye catching. Betapa senangnya hati, dan bertambah semangat untuk hidup bila ada kolega yang berkomentar, wah, keren, mantabbb, makin ganteng abangku dan lain-lain. Terserahlah, mereka serius mengatakannya atau hanya respon sambil tidur-tiduran dan mengangkat kaki tinggi-tinggi ke dinding. Tapi, perasaan yang paling halus pasti dapat mendeteksi, mana pujian yang serius dan mana pula yang asal-asalan.
Beberapa hari yang lalu saya juga pasang twibbonize Dies Natalis 74 tahun HMI di akun facebook saya. Komentar-komentar seperti itu juga muncul. Termasuk barisan ikon like, share dan urut emoticon aneka ekspresi. Mudah-mudahan semua respon itu sesuailah dengan apa yang tertampilkan di layar.Tapi yang membuat saya harus merenung adalah sebuah komentar di luar media sosial dari seorang teman, yang notabene juga pernah mengecap asin manis, pahit getir selama di HMI. Katanya, “Apa masih ada yang patut dibanggakan di HMI?” Saya tercenung sejenak. Saya berpikir ingin memukulnya keras-keras sampai ia terjengkang. Tapi apa daya, tubuh saya yang kecil tak memungkinkan untuk itu. Sayang sekali zaman-zaman olah kanuragan sudah lewat, discontinued. Jika zaman itu masih ada, saya akan memukul seraya melambari tangan saya dengan ajian Segoro Geni agar tubuhnya hangus dan hitam menjadi arang.
Bagi saya pertanyaan seperti itu sama menyakitkan dengan pertanyaan: “apa lagi yang bisa diharapkan dari Islam atau apalagi yang bisa diharapkan dari Indonesia?” Tapi syukurlah kesadaran saya segera pulih. Mungkin saja ia sedang bersedih, sedang kecewa atau sedang lupa cara berpikir. Jujur saja, berwaktu-waktu yang lalu saya juga pernah berpikiran serupa itu pula.