Konten Cemeeh Politisi Receh*
Muhammad Nasir
Main-mainlah ke media sosial dan lihat akun-akun politisi Indonesia. Banyak ditemukan pesan-pesan receh, bernada olok-olok, dangkal dan cendrung menunjukkan rendahnya kadar moral dan intelektual. Tak heran, banyak netizen yang kemudian menyerbu postingan politisi itu, meninggalkan komentar pro dan kontra. Kontennya dapat berupa cemeeh terhadap orang-orang , komunitas, agama, atau gagasan tertentu.
Media sosial sepertinya memang dunia artificial, semu dan palsu. Bisa jadi pesan receh dan olok-olok dari politisi itu mungkin sekadar main-main atau mungkin juga memiliki tujuan tertentu. Hanya saja, meski itu hanya “dunia bauru-uru”, istilah Bobby Lukman Piliang, seorang pegiat media sosial, konten remeh bin receh itu dapat pula diukur kadar kepatutan dan kepantasan untuk menyiarkannya ke media sosial. Apalagi, politisi sebenarnya bukanlah pekerjaan receh dan remeh temeh. Politisi adalah persona publik yang terikat etika politik dan mesti memiliki integritas yang baik.
Politisi merupakan aktor penting dalam sistem politik Indonesia. Perilaku politisi akan mencerminkan bagaimana sistem dan budaya politik Indonesia. Politisi yang baik secara ideal mencerminkan adanya budaya politik yang baik. Sebaliknya politisi yang buruk juga mencerminkan budaya politik yang buruk pula. Sebagai pengecualian, politisi yang baik mungkin dapat hadir dalam budaya politik yang buruk dan politisi buruk mungkin tidak berterima dalam budaya politik yang baik.
Franz Magnis Suseno, dalam bukunya Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (1994), menuliskan bahwa etika politik di sini selain terkait dengan perilaku elit politik, tapi juga terkait pandangan tentang manusia dan kekuasaan, serta sangat terkait dengan hukum dan kekuasaan. Menurutnya, fungsi etika politik adalah untuk mengkritisi legitimasi politik secara rasional, objektif, dan argumentatif, juga sebagai pandangan normatif bagi politisi untuk melaksanakan kekuasaan secara bermartabat.
Tentang konten cemeeh
Cemeeh adalah kosa kata Minangkabau yang sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI, cemeeh diartikan sebagai perbuatan berupa ejekan, hinaan dan cemooh. Dalam kultur masyarakat manapun, mencemooh, mengejek dan menghina merupakan perbuatan yang tidak sopan dan tidak beretika.
Terkait postingan yang berisi konten cemeeh dan olok-olok yang dibahas pada awal tulisan ini, dapat dinilai sebagai sebuah perbuatan tercela dan tidak patut. Apalagi jika menggunakan kata-kata umpatan, kata-kata kotor, kasar, ucapan jorok, sumpah serapah, caci-maki, tidak senonoh, sadis dan rasis. Ungkapan-ungkapan itu dalam kultur bahasa Indonesia adalah ungkapan bahasa yang secara sosial bersifat ofensif, menghina, menistakan, atau merendahkan orang lain.
Dikaitkan dengan pendapat Suseno tentang etika politik, konten cemeeh dan olok-olok para politisi itu menunjukkan kadar rasionalitas, objektifitas, dan kemampuan argumentatifnya. Rasionalitas menjadi alat untuk menakar kemampuan penggunaan akal budinya. Objektifitas adalah kerangka berpikir yang menunjukkan kematangan mental dan emosialnya sehingga ia dapat berkonsentrasi pada substansi objek yang ia pikirkan tanpa perasaan atau emosi. Sementara, kemampuan argumentatif adalah kecakapan menyampaikan pendapat disertai dengan data dan fakta yang nyata.
Politisi yang suka melakukan tindakan cemeeh dan olok-olok dapat disebut sebagai politisi receh, rese, remeh temeh yang menyampaikan gagasan secara bagarebeh tebeh. Garebeh tebeh dalam bahasa Minang berarti tidak rapi. Varian lainnya adalah garosoh posoh (terburu-buru). Terma garebeh tebeh menunjukkan cara berpikir yang tidak sistematis dan asal-asalan. Garosoh posoh menunjukkan cara berpikir yang oversimplikasi dan asal bunyi. Oleh sebab itu, politisi receh adalah sejenis politisi “muncung buruk” yang gemar menyampaikan pesan yang superfisial (tidak berbobot), dangkal, tidak substansial dan cenderung mengada-ada.
Fenomena politik cemeeh dan olok-olok yang marak di akun media sosial politisi itu, menunjukkan kegagalannya dalam berpikir dan menampilkan sikap mental yang baik. Setidaknya, perbuatan itu menunjukkan ketiadaaan niat untuk mendidik dan mencerdaskan publik. Apalagi jika itu ditujukan untuk mengeksploitasi emosi massa lewat pernyataan cemeeh dan olok-olok.
Krisis Kewibawaan
Kewibawaan (charismatic) merupakan salah satu syarat kepemimpinan. Pemimpin kharismatik menurut Al Mawardy, pemikir politik Islam dalam bukunya Adab al Dunya wa al Din (1879 M) menyebut enam sendi dalam menegakkan negara. Salah satunya adalah penguasa kharismatik. Menurutnya, kekuasaan yang berwibawa terlahir dari pemimpin yang bijak. Seorang pemimpin atau penguasa harus mempunyai kharisma berwibawa, dan dapat diteladani. Dengan wibawanya, ia punya otoritas yang melekat pada dirinya yang dapat menjadi pemersatu bagi aspirasi-aspirasi masyarakat yang berbeda.
Konten cemeeh dan olok-olok para politisi tersebut tentu berpotensi menurunkan wibawa, kharisma dan otoritas dirinya sebagai tokoh publik. Apalagi bila konten itu membuat masyarakat terpecah belah dan saling bermusuhan. Selain cap sebagai politisi receh, jatuhnya wibawa akan membawa kepada ketidak percayaan publik terhadap dirinya. Colcuitt (2007) mengatakan orang dipercaya karena tiga hal, yaitu karena kemampuan, kebajikan (reputasi) dan integritas, ditambah dengan pengaruh situasional yang ada di dunia politik.
Tscannen-Moran & Hoy (2000) mengatakan reputasi politisi dibentuk oleh perilaku politisi (karakteristik personal) dan lingkungan (iklim politik dan media massa). Khusus tentang media sosial, memiliki peran penting dalam pembentukan kepercayaan terhadap politisi. Media menyediakan informasi yang digunakan individu dalam proses terbentuknya kepercayaan. Jangan coba-coba berolok-olok tentang makanan di tengah publik yang sedang lapar, atau berjoget ria saat publik sedang berduka.
Kepercayaan terhadap politisi merupakan kepercayaan interpersonal yang bersifat tipis saja (thin interpersonal trust), kata Khodyakov, (2007). Oleh sebab itu, prilaku personal politisi akan sangat mudah mengubah kepercayaan publik kepada dirinya. Dengan hanya menyediakan batas yang tipis, publik akan mudah memutuskan percaya atau tidak percaya kepada seorang politisi. Syukur saja kalau itu hanya sebatas percaya atau tidak percaya. Andai saja rasa tidak percaya itu berlanjut kepada bentuk tindakan verbal, ia akan dicaci maki. Jika dalam bentukan tidak verbal, mungkin dia akan ditelanjangi publik di keramaian. Ya, sebuah kemungkinan.
*Sudah dipublikasikan di Harian Haluan, 7 Desember 2022