Oleh Muhammad Nasir
Ahli geologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Danny Hilman Natawijaya pada Acara Kajian Kebencanaan digelar Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar Selasa lalu, menyebutkan adanya potensi gempa berkekuatan 8,9 SR berpusat di Pulau Sipora dan Siberut, Kab. Kepulauan Mentawai. Setelah diberitakan media massa, hasil penelitian ini membuat ribut masyarakat Sumatera Barat. (antara-sumbar.com, 13/10/2010)
Dalam setiap penelitian selalu saja terjadi pro-kontra akan derajat kepercayaan atau kebenaran dari hasil penelitian. Bagaimanapun, sebuah penelitian dalam ukuran keilmuan merupakan ikhtiar akademik dalam mencapai kebenaran. Kebenarannya pun di sebut dengan kebenaran ilmiah.
Ukuran kebenaran yang dicapai dalam sebuah penelitian adalah ketika penelitian itu sudah menggunakan kaidah penelitian yang benar dan kebenaran itupun akan segera buyar ketika kebenaran baru hasil penelitian yang lain yang mementahkan hasil penelitian sebelumnya. Oleh sebab itu, sangat jelas bahwa kebenaran yang dihasilkan oleh sebuah penelitian, menurut penganut teori relativisme, misalnya penelitian tentang potensi gempa sumbar 8,9 SR baru-baru ini sangat relatif.
Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relatif dilihat dari penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya (Feyerabend, 1983: 156). Artinya, menyikapi kebenaran akan benar tidaknya prediksi 8,9 SR, kita boleh memilih percaya atau tidak. Meskipun demikian, penghargaan terhadap sebuah penelitian sebagai sebuah ikhtiar mencari kebenaran tetaplah harus dihargai.
Hanya saja, sangat disayangkan, di balik pro-kontra dan kecemasan sebagian pihak atas informasi hasil penelitian tersebut menyimpan semangat anti ilmu pengetahuan, sebuah ciri masyarakat jahiliah. Sangat ironis jika dibandingkan dengan filosofi yang dianut oleh masyarakat Minangkabau, alam takambang manjadi guru.
Salah satu indikator adanya semangat anti ilmu, atau setidak-tidaknya melupakan ilmu itu sendiri antara lain secara acak penulis ambil pada penggalan dialog di rubrik Palanta, Harian Singgalang (Jum’at, 15/10/2010); urang-urang nan picayo jo ramalan-ramalan atau katonyo hasil penelitan soal gampo tu siriak. Benarkah masyarakat Sumbar sedang dikuasai ramalan-ramalan gempa, atau sedang disajikan menu hasil penelitian tentang potensi gempa?
Agaknya, batasan-batasan antara ramalan dengan hasil penelitian mulai agak kabur. Adakalanya ramalan disebut hasil penelitian, dan ada kalanya hasil penelitian divonis sebagai ramalan. Lalu, jika hasil penelitian dianggap ramalan, atau disebut sebagai “kabar pertakut”, apakah sebaiknya hasil penelitian itu disimpan saja atau malah tidak usah diteliti-teliti lagi?
Tepat apa yang dikatakan Mira Elfina, M.Si, Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas "Penelitian LIPI tentang potensi gempa dahsyat yang akan terjadi di Sumbar, bukanlah teror yang harus ditakuti masyarakat."(Antara,14/10/2010).
Hemat penulis, penelitian tentang potensi gempa sangat perlu dilakukan agar kita dapat mengenal lebih baik bumi tempat tinggal kita, terutama dari segi potensi-potensi bencananya. Dalam kaidah orang Minangkabau yang bernada preventif, “maminteh sabalun anyuik”. Hasil penelitian itu misalnya jika diterapkan untuk masyarakat pesisir pantai, sesuai dengan maksud ungkapan “kok takuik dihondoh galombang, jan barumah di tapi pantai.”
Filosofi masyarakat berilmu
Ungkapan alam takambang jadi guru sudah sangat akrab di telinga orang Minangkabau. Alam bagi orang Minangkabau bukan hanya sekedar tempat lahir dan tempat hidup akan tetapi lebih dari itu juga sebagai sarana pembelajaran diri yang merupakan sikap reaktif orang minangkabau terhadap lingkungannya.
Tidak sedikit orang Minangkabau yang menamakan ungkapan ini dengan filsafat. Filsafat ialah teori yang mendasari alam fikiran manusia dalam hidup dan dalam melakukan kegiatan. Hanya saja, adakah filsafat ini benar-benar hidup dalam masyarakat, terutama menyikapi hasil penelitian lembaga/ orang manapun yang berkaitan dengan prediksi gempa?
Meneliti potensi gempa berarti kegiatan mempelajari gejala alam. Tujuannya adalah agar orang Minangkabau tahu di “rantiang nan ka mancucuak” atau “dahan nan ka maiimpok.” Jika benar orang Minangkabau sekarang sekarang mempelajari filosofi itu, pastilah hasil prediksi yang berbasis penelitian itu diapresiasi setinggi langit.
Lalu, bagaimana seharusnya masyarakat Minangkabau saat ini dalam menyikapi aneka prediksi gempa yang mungkin terjadi di ranah Minang? Jika orang Minagkabau mengklaim diri sebagai masyarakat yang sudah cerdas atau masyarakat berilmu, maka tidakan dan sikapnya terhadap hasil sebuah penelitian haruslah sikap masyarakat berilmu (kowledge society). Terutama sekali sikap itu harus ditunjukkan oleh para tokoh Minangkabau di berbagai level “Tigo Tungku Sajarangan”. Jangan asal bunyi atau “asal mangango”.
Apakah Knowledge Society itu? Menurut Peter F. Drucker (1994), knowledge society adalah sebuah masyarakat dari berbagai organisasi dimana secara praktis setiap tugas tunggal akan dilakukan dalam dan melalui sebuah organisasi. Ciri-ciri masyarakat berpengetahuan adalah: mempunyai kemampuan akademik, berpikir kritis, berorientasi kepada pemecahan masalah, mempunyai kemampuan untuk belajar meninggalkan pemikiran yang lama-lama dan belajar lagi untuk hal-hal yang baru, mempunyai keterampilan pengembangan individu dan sosial.(Manuwoto, 2005).
Terakhir, jika orang Minangkabau mengaku 100% Islam, setidak-tidaknya harus paham pula maksud ayat, "kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85). Nah, bagaimana ilmu yang diberi Allah Cuma sedikit itu bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Muhammad Nasir
Peneliti Magistra Indonesia/
Alumni Pascasarjana IAIN IB Padang