Oleh Muhammad Nasir *
Sampai pada waktu-waktu terakhir, hampir tak ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan akal budi pekerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarnya, kewajiban rodi dan bertanam paksa dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sangat sengsara, memadailah. Senanglah hati pemerintah (van Deventer, De Gids, 1908)
Rezim kolonialpun dulunya sempat berpikir untuk mensejahterakan rakyat jajahannya melalui pendidikan dan peningkatan kualitas akal budi. Agaknya itulah bentuk keresahan Van Deventer, juru bicara pemerintahan Kolonial Belanda yang ia tuangkan dalam tulisannya di Majalah De Gids tahun 1908.
Sebelumnya, van Deventer juga getol menyuarakan pentingnya membalas jasa dan kerja keras rakyat Indonesia untuk mengisi kekosongan pundi-pundi Pemerintah Belanda setelah menghadapi Perang Diponegoro dam Perang Kemerdekaan Belgia.
Dalam majalah yang sama tahun 1899 ia menyatakan sudah sewajarnya pemerintah Belanda membayar mahal kebaikan budi rakyat Indonesia yang “dengan sangat terpaksa” melakukan rodi dan tanam paksa. Kelak, tulisan-tulisannya menjadi pendorong bagi munculnya kebijakan Politik Etis yang berlangsung dari 1900 -1942.
Politik Etis itu sendiri diberlakukan dalam prinsip menetes ke bawah (trickle down effect) yang wujud dalam trias popular “irigasi, edukasi dan emigrasi”. (Suhartono,1994:16). Hasilnya, fasilitas-fasilitas pengairan untuk menunjang pertanian dibangun, sekolah-sekolah digalakkan, dan masalah kepadatan penduduk sementara waktu menemukan titik terang.
Begitulah sejarah menuliskan bagaimana masyarakat Inonesia di zaman Kolonial diurus oleh penjajahnya. Dalam kaidah La Syukra lil Wajib (tidak perlu berterima kasih untuk yang semestinya harus begitu) Politik Etis memang tidak perlu dikenang sebagai budi baik Kolonial Belanda. Tetapi dibalik itu mesti diambil pelajaran bahwa “jiwa manusia yang baik” dibalik jubah kolonialisme sekalipun pandai berterima kasih untuk manusia lain yang memberikan manfaat kepadanya.
Politik Etis berdampak bagus bagi kemajuan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dengan fasilitas umum yang relative memadai, sekolah-sekolah yang menghasilkan elit baru Indonesia dan transmigrasi yang memungkinkan interaksi antar suku bangsa di Indonesia dengan sendirinya menjadi modal besar untuk kemerdekaan Indonesia.
Bagaimanapun politik etis tetap berasal dalam lingkup kapitalis yang bertujuan mengeruk untung yang sebesar-besarnya dari bumi Indonesia. Dengan kata lain politik etis adalah anak kandung dari Kolonial Belanda itu sendiri. Itulah yang menjadi dorongan bagi kaum pergerakan nasional yang notabenenya juga lahir memanfaatkan peluang politik etis itu sendiri. Kesadaran tersebut pada akhirnya menjadi semangat melawan Politik Etis. Era kebangkitan nasionalpun dimulai!
Sejarah berulang?
Sayangnya, setiap membaca sejarah rakyat Indonesia, kita seakan menyaksikan kondisi yang telah lama tersebut secara realtime. Apakah suasana ketertekanan bangsa Indonesia saat itu masih berlaku hingga sekarang (contemporaire)? Atau mungkin juga, kejadian lama itu kembali terulang (cyclic)?
Ada banyak persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini saat para elit politik dan pejabat Negara mengalami kekosongan kas dan kemerosotan mental pasca pemilu legislative 9 April 2009 yang lalu.
Di bidang pendidikan, anak-anak sekolah mengalami tekanan hebat akibat konspirasi politik dan kapitalisme dalam kancah Ujian Nasional 2009. Nasib rakyat terabaikan akibat pergeseran agenda pemerintah yang cendrung memperhatikan suksesi kepemimpinan jelang pemilihan presiden 8 Juli 2009. Apakah memang keadaan rakyat tidak sedang sangat sengsara?
Tentang soal yang disebutkan di atas, dalam skala nasional belum menjadi perdebatan yang berarti di kalangan elit politik kita. Harap mafhum, akrobatik pemilu baik legislative maupun presiden begitu menyita waktu dan pikiran pemimpin kita.
Rasanya semua itu tidak adil bila dilihat kewajiban rakyat membayar segala jenis iuran yang menjadi pemasukan negara. Begitu juga partisipasi atau tepatnya mobilisasi rakyat yang mencapai 60 persen dalam Pemilihan Umum 2009 dianggap lebih dari cukup, mengingat point of return yang diterima rakyat juga tak seberapa.
Bila digunakan teorema Mazlish (1966) untuk menganalisa sejarah Indonesia, perjalanan sejarah Indonesia tidak memadai dan tidak dapat dijelaskan dengan semata-mata berpegang dengan pola kausalitas. Lebih lanjut, sejarah bangsa Indonesia selama berabad-abad tidak lebih lingkaran nasib belaka.
Toh, selama berabad-abad, suku-suku bangsa sebelum menjadi Indonesia bahkan saat meng-Indonesia-pun belum memberi sumbangan besar dalam sejarah dunia. Tanpa bermaksud melupakan kebesaran Kutai Kartanegara, Sriwijaya, Pasai, Majapahit dan sebagainya, kita harus mengatakan “itu belum cukup untuk menopang sejarah dunia!”
Saatnya membalas budi
Disadari, pemberitaan media massa begitu dahsyatnya sehingga ingatan kita seolah kembali ke masa-masa penjajahan yang menyengsarakan. Jika demikian adanya, maka dengan pesimis kita akan mengatakan bahwa kebangkitan nasional yang akan berusia 101 tahun secara langsung semakna dengan angka symbol 1-0-1. Kebangkitan nasional (1) – kebangkrutan nasional (0) - kebangkitan nasional (1). Begitulah siklus nasib.
Jika demikian, kita membutuhkan kebangkitan nasional kedua. Kebangkrutan nasional bukanlah menihilkan atau menafikan apa yang sudah dikerjakan anak bangsa selama periode pengisian kemerdekaan. Yang justru menjadi permasalahan adalah mental-mental pejuang para elite nasional justru menjadi penyumbang terbesar kebangkrutan itu.
Rakyat dalam sejarahnya selalu patuh dan loyal kepada negara dan penguasanya. Loyalitas ini disebabkan rasa cinta tanah air dan kuasa memaksa (coercive power) dari para penguasanya. Semua itu adalah alasan historis untuk membayar hutang kepada rakyat.
Sebelum semuanya terlanjur lupa, ada baiknya pemilu 2009 dalam semangat kebangkitan nasional mengupayakan tindakan balas budi kepada rakyat dalam bentuk pengabdian yang sempurna di legislative, dan pengambilan keputusan yang akurat dan pro rakyat di eksekutif. Tidak hanya pelepas hutang yang terkesan asal jadi, tetapi karena balas budi pada rakyat yang selalu patuh.
Dalam suasana “perpecahan dalam tubuh masyarakat” merujuk A.J. Toynbee, dibutuhkan individu-individu kreatif yang lahir dari mesin Pemilu 2009. Seandainya kita tidak juga keluar dari krisis ini, minimal terjadi penghalusan masalah yang diselesaikan dengan cara yang juga lebih halus dan santun.
*Muhammad Nasir,
Peneliti Majelis Sinergi Islam dan Tradisi (Magistra) Indonesia Padang