Muhammad Nasir
Tiga terpidana mati pelaku bom Bali I, Amrozi, Mukhlas alias Ali Ghufron, dan Imam Samudera alias Abdul Azis, akhirnya dieksekusi. Sekitar pukul 00.00 Amrozi dkk tewas di depan oleh tiga regu tembak dari Polda Jateng. di perbukitan Nirbaya, Nusakambangan.
Sekarang tinggal mengukur perasaan kita masing-masing, adakah kepuasan, kesedihan, kelegaan atau perasaan lainnya hinggap di dada kita masing-masing. Yang jelas, sebagian keluarga korban Bom Bali I sudah lega, karena tiga orang yang dengan tangannya itu mengakibat sanak saudaranya meninggal sudah dibalas dengan hukuman yang menurut mereka setimpal.
Pertanyaan berikutnya, apakah dengan sendirinya eksekusi mati tersebut telah menjadi indicator keberhasilan perang melawan terorisme? Bagaimana pun Imam samudra cs di mata sebagian warga dunia tidak hanya sebatas pelaku Bom Bali I. Tetapi jauh dari itu, Imam Samudra cs berada dalam satu “narasi absurd” perang melawan terorisme.
Hukuman mati dipandang sebagai semacam “shock therapy” agar kejahatan serupa tidak dilakukan oleh orang lain. Pandangan ini masih dianut sampai sekarang oleh banyak ahli hukum dan filsafat. Dengan menjatuhkan hukuman mati maka dipastikan orang lain akan menjadi jera dan tidak melakukannya.
Tetapi pandangan ini tidak menunjukkan korelasi yang signifikan antara penjatuhan hukuman mati dan berkurangnya tindak kriminalitas yang diancam dengan hukuman mati. Di Indonesia misalnya, hukuman mati yang diberikan kepada pelaku kejahatan narkoba kelas kakap tidak serta merta membuat kejahatan narkoba langsung menurun secara drastis.
Indonesia memang belum aman dari terorisme, utama tentang ”stigma” habitat kaum teroris Islam Asia Tenggara. Masih ada beberapa nama di antaranya Noordin M. Top yang lamban laun akan kembali berkibar namanya dalam ”proyek perburuan teroris”. Bayangkan berapa banyak anggaran negara yang akan tersedot untuk aktivitas ini.
Jangan senang dulu!
Boleh jadi ada yang senang dengan eksekusi mati Imam Samudra CS. Tetapi jauh dan lebih besar dari itu, orang-orang Indonesia harus menyadari bahwa proyek eksekusi itu telah menelan biaya yang amat mahal. Milyaran rupiah habis untuk melenyapkan nyawa 3 orang tersebut. Bayangkan jika uang itu dipakai untuk menghidupkan sekian ratus orang Indonesia yang miskin, pintar, baik, dan tidak sombong.
Artinya, eksekusi mati itu semestinya tidak hanya dilihat dari aspek hukum seperti ”shock terapy”, ”efek jera” ataupun terma lainnya. Tetapi harus dilihat dari segi dampak negatif dari tindakan tersebut.
Sekarang, bolehlah semua umat Islam Indonesia belajar dari pengalaman tersebut. Kekerasan bukanlah strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Apalagi kekerasan itu –pada zaman sekarang ini- sedang dimaknai dengan ”tindakan teror”.
Banyak uang rakyat akan tersedot atas nama perburuan teroris. Kita semua boleh bayangkan berapa banyak uang lagi yang dibutuhkan untuk mencari seorang Noordin M.Top.
Saya yakin ibarat sebuah film Hollywood ataupun Bollywood, kematian Imam Samudra hanyalah kematian tokoh-tokoh tertentu dalam sebuah cerita. Tetapi alur cerita itu sendiri kita nyaris sulit menebaknya. Kapankah sang sutradara memberi tanda bahwa cerita tersewbut akan segera selesai?
Untuk Imam Samudra, Amrozi, Ali Ghufron ” Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un” Kalian bertiga milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Segala amal baik dan buruk anda akan terpulang timbangannya kepada Allah. [MN]
Merdeka Selatan No. 11/ 9 November 2008