10 September 2024

Di Bawah Kuasa Neraka

 Muhammad Nasir

 

Bias bara api neraka semakin menyala. Bertingkah dengan suara jeritan samar di kejauhan. Dinding neraka menanyangkan baya-bayang dua sosok hitam bergoyang-goyang. Tetapi pemilik bayangan itu, satunya berwajah garang dengan kulit merah menyala dan tanduk melengkung ke belakang. Mirip dengan sosok yang digambar oleh buku siksa neraka yang pupoler tahun 1980-1990an. Dialah Zaalfash, kepala neraka. Ia telah memimpin ribuan jiwa menuju siksaan abadi selama ribuan tahun.

Di hadapannya, seorang pria tua. Duduk santai menyilanhgkan tangan di dada. Ia tampak tenang namun penuh perhitungan dan berbahaya. Mantan Kepala Biro Politik Partai Keranjang Kuning, Tuan Dr. (HC). Anantakana. Mereka berdua duduk di meja panjang yang dikelilingi kobaran api.

Sepertinya kedua sosok itu sedang berpikir, atau mungkin juga sedang berdebat panas. Saya yang sedang jalan-jalan pagi di surga mengintip mereka dari celah rimbunan semak firdaus  yang wangi dan lembut. Saya sepertinya hanya mendengar potongan percakapan mereka di pertengahan saja. Entah sejak kapan dan apa asal mulanya.

 

“Dosa adalah keniscayaan, sebuah takdir. Tapi itu datang dari kelemahan manusia,” kata Zaalfash. Ia mengetuk-ngetuk ujung jarinya ke meja neraka. Setiap ketukan jarinya ke meja yang memercikkan bara. Dengan tatapan sinis ia melirik Tuan Dr (HC). Anantakana. “Manusia lemah, tamak, dan mudah tergoda. Kekuatan dosa berasal dari kehendak bebas mereka yang selalu gagal digunakan dengan bijak. Begitu banyak yang datang ke sini akibat ketidakmampuan mengendalikan diri.”

Tuan Dr. (HC). Anantakana, menatap balik. Dengan raut wajah yang tenang dan tanpa tergesa, ia kemudian menyilangkan tangannya. Ia tersenyum tipis, seolah menyimpan argumen yang sudah lama ia persiapkan.

“Zaalfash, kau terlalu meremehkan manusia. Dosa bukan murni lahir dari kelemahan mereka. Dosa, pada dasarnya, adalah konstruksi sosial. Sebagai mantan Kepala Biro Politik, aku paham betul bagaimana kekuasaan bekerja. Banyak orang berdosa karena dipaksa oleh keadaan yang tak adil, sistem yang rusak, dan manipulasi kekuasaan.”

Zaalfash mendengus keras, matanya menyala lebih terang dari sebelumnya. 

"Konstruksi sosial? Kau berbicara seolah manusia tidak punya pilihan! Setiap individu bisa memilih antara baik dan jahat. Sistem sosial hanyalah alasan yang dibuat oleh mereka yang tidak mau bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri."

Dr. (HC). Anantakana menggeleng. “Sistem itu menciptakan situasi di mana pilihan tidak sesederhana itu. Ketika orang hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan yang memaksa, ketika mereka terjebak dalam kemiskinan atau ketidakadilan, apa yang kau sebut pilihan itu menghilang. Itulah yang aku pelajari selama bertahun-tahun dalam politik. Orang-orang tidak berdosa karena mereka ingin. Mereka berdosa karena mereka harus.”

Zaalfash tertawa sinis. “Politikmu, kekuasaanmu, semuanya hanyalah alat untuk mengendalikan lebih banyak orang! Kau memutarbalikkan kenyataan untuk membenarkan tindakanmu. Itulah dosa terbesar manusia; membenarkan tindakan buruk dengan alasan moral palsu!”

Kini giliran Dr. (HC). Anantakana yang tertawa, suaranya rendah dan penuh makna. “Apakah kau lupa siapa yang sering kali menarik tali kekuasaan? Bukankah dosa terbesar selalu dirancang oleh mereka yang berada di puncak, termasuk dirimu? Kau, Zaalfash, adalah kepala neraka. Tugasmu memastikan dosa terus ada. Tanpa dosa, apa artinya kau?”

Zaalfash membeku, wajahnya menegang. "Aku tidak menciptakan dosa. Aku hanya menghukum yang melakukannya!"

“Tapi tidakkah kau mengerti,” kata Dr. (HC). Anantakana lembut namun tegas, “bahwa tanpa dosa, neraka tak ada artinya? Kau terjebak dalam lingkaran yang tak ada akhirnya, sama seperti para politisi yang bermain dalam permainan kekuasaan. Dan itulah sumber dari dosa sesungguhnya: kebutuhan untuk mempertahankan tatanan, agar neraka selalu penuh dan kekuasaan selalu bertahan."

Percakapan memanas, hingga kobaran api di sekitar mereka tampak lebih liar. Zaalfash mulai merasa bahwa perdebatan ini tidak seperti yang ia harapkan. Pria tua ini lebih licik dari yang terlihat. Tapi Zaalfash bukanlah sosok yang menyerah begitu saja.

“Kau lupa satu hal, Dr. (HC). Anantakana,” Zaalfash berkata dengan suara berbisik namun tajam, “manusia bisa melawan sistem. Mereka punya kemampuan untuk memberontak, untuk memilih jalan kebaikan meski dikelilingi oleh kekejaman. Apa yang kau sebut tekanan sosial itu hanyalah alat bagi mereka yang lemah untuk menyalahkan nasib. Dosa tetaplah dosa. Dan manusia akan selalu memilih jalan yang salah jika diberi kesempatan.”

Dr. (HC). Anantakana tersenyum tipis, dan tiba-tiba suasana terasa mendingin sejenak, meski api masih membara. “Kau bicara seolah neraka adalah akhir dari segalanya. Padahal, Zaalfash, kau dan aku sama-sama tahu bahwa neraka hanyalah perpanjangan dari dunia. Jika dosa itu memang tak terhindarkan, maka yang seharusnya disalahkan bukanlah manusia—melainkan sistem yang membuat dosa menjadi satu-satunya jalan."

Zaalfash menatap Dr. (HC). Anantakana dengan pandangan tak percaya. Mantan kepala politik itu memang ahli dalam berdebat. Bahkan, kobaran api neraka, ia masih menganggap argumennya tidak akan tergoyahkan. Tapi sebelum Zaalfash bisa membalas, suara lonceng besar menggema di kejauhan, tanda bahwa perdebatan hari itu harus berakhir.

“Waktu kita habis,” kata Zaalfash dengan suara dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Ia semakin paham, para politisi pendosa memang kerap membuatnya geram.

Dr. (HC). Anantakana berdiri, merapikan jasnya yang terlihat tak terganggu oleh panasnya neraka. “Mungkin begitu,” katanya dengan senyum licik. “Tapi ingatlah ini, Zaalfash, dosa tak pernah sesederhana yang kau kira. Di sini, di neraka ini, semuanya tampak jelas. Tapi di dunia di luar sana, asal-usul dosa jauh lebih rumit daripada sekadar pilihan individu.”

Zaalfash menggeram pelan, tapi tak berkata apa-apa lagi. Dr. (HC). Anantakana, dengan langkah ringan, berbalik meninggalkan ruang debat itu, seolah tak pernah merasa kalah—meski berada di tengah neraka.

***

 

Setelah perdebatan tadi, yang tampak begitu panas, Zaalfash kembali ke ruang pribadinya. Sebuah gua berlapis api dan lava yang bergelembung. Tempat itu gelap, kecuali cahaya merah yang samar-samar dari celah dinding batu. Duduk di atas singgasananya yang terbuat dari tulang-tulang manusia, Zaalfash membenamkan dirinya dalam pikiran yang belum selesai.

“Dr. (HC). Anantakana...” ia berbisik, namanya terdengar bagaikan racun di mulutnya. “Pria itu bicara seperti dunia berada di bawah kendalinya. Konstruksi sosial? Manipulasi kekuasaan?” Zaalfash tertawa dingin. “Semua yang dia katakan seolah-olah manusia tidak pernah bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri. Mereka hanya boneka yang diatur oleh kekuatan di luar kendali mereka, sementara kenyataannya mereka selalu bisa memilih.”

Zaalfash mengepalkan tangannya, api menyala dari sela-sela jari-jarinya. Ia memandang api itu, seolah menemukan jawabannya di sana. "Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa dosa adalah pilihan. Aku tidak peduli seberapa keras dia mencoba menyalahkan sistem, atau berbicara tentang kekuasaan yang memaksa. Pada akhirnya, semua jiwa yang ada di sini memilih jalannya sendiri. Itulah keadilan yang sesungguhnya."

Tapi jauh di dalam hatinya, sesuatu mengusik. Bisakah memang semua manusia seburuk itu? Apa mungkin yang dikatakan Dr. (HC). Anantakana ada benarnya? Mungkinkah sistem di dunia manusia memang telah begitu rusak sehingga dosa menjadi tak terhindarkan?

Zaalfash mendengus keras, mengusir pikiran itu. “Tidak, dosa adalah milik mereka. Mereka yang memilih neraka ini. Dan aku hanya menjalankan hukuman yang layak bagi mereka.”

Di sisi lain dari neraka, Dr. (HC). Anantakana duduk di ruangnya yang dingin dan terbuat dari batu abu-abu keras. Meski tempat itu gelap, tidak ada api yang berkobar. Ruang itu tenang, hampir terasa seperti ruang meditasi, cocok untuk seorang mantan politikus yang terbiasa dengan permainan pikiran.

Dr. (HC). Anantakana tersenyum tipis, mengenang perdebatan tadi. “Zaalfash benar-benar keras kepala,” pikirnya. “Dia masih terpaku pada gagasan bahwa dosa itu murni pilihan individu. Seolah-olah tidak ada kekuatan yang lebih besar dari diri manusia. Tapi aku tahu lebih baik. Aku telah melihat bagaimana kekuasaan bekerja, bagaimana sistem dan struktur menciptakan dosa bahkan sebelum manusia sadar akan pilihan mereka."

Ia terdiam sejenak, mengingat berbagai strategi yang pernah ia gunakan untuk memanipulasi kekuatan politik. “Manusia tidak berdosa karena ingin,” gumamnya. “Mereka berdosa karena mereka didorong oleh keadaan yang lebih besar dari mereka. Sama seperti aku dulu, ketika setiap keputusan yang aku buat selalu terkait dengan kepentingan yang lebih besar—kepentingan yang tak bisa aku kendalikan sepenuhnya.”

Dr. (HC). Anantakana memandang langit-langit ruangnya, memikirkan rencana untuk pertemuan mereka berikutnya. “Aku harus memperjelas kepadanya bahwa dosa bukanlah sekadar pilihan personal, melainkan hasil dari permainan kekuasaan yang terus menerus. Jika Zaalfash menganggap dirinya sebagai penguasa dosa, maka dia harus memahami bagaimana dosa diciptakan di dunia nyata. Jika tidak, dia akan selalu terjebak dalam kesalahpahaman yang sama.”

Dalam benak Dr. (HC). Anantakana, gagasan debat berikutnya mulai terbentuk. Dia akan membawa bukti-bukti lebih kuat tentang bagaimana sistem sosial menciptakan ketidakadilan, memaksa manusia berbuat dosa. Ia harus menyusun strategi yang lebih tajam, lebih kuat, untuk menggoyahkan keyakinan Zaalfash.

Zaalfash, di sisi lain, juga mulai menyusun rencana. Dia akan menantang Dr. (HC). Anantakana dengan bukti bahwa meskipun sistem bisa membentuk manusia, setiap individu tetap bertanggung jawab atas tindakan mereka. Pada perdebatan berikutnya, ia akan menunjukkan bahwa dosa pada dasarnya adalah tanggung jawab pribadi, bukan produk struktur sosial semata.

Keduanya, terpisah oleh ruang dan api, merencanakan langkah selanjutnya. Debat itu, pada akhirnya, bukan hanya tentang asal-usul dosa, tapi juga tentang dua pandangan dunia yang tak terjembatani—antara kehendak bebas dan tekanan sosial, antara tanggung jawab pribadi dan kekuasaan sistemik.

Mereka tahu, pertemuan berikutnya akan lebih panas dan intens dari yang pernah ada. Beberapa sesi akan berlangsung secara terbuka, apalagi Dr. (HC). Anantakana berniat mengundang beberapa pengikut setia dan para influencernya selama di dunia.

Yang saya tak habis pikir, mengapa Dr. (HC). Anantakana mendapatkan ruangan dingin di neraka, antara kobaran api menyala dan kebun-kebun surga. Apakah ia masih berpolitik hingga ke neraka.

Saya hanya bisa mengucek-ngucek mata. Begitu mata kembali nyalang, saya melihat tali tali air mengalir deras dari atap dapur tetangga yang menjorok ke halaman belakang saya. [10/9/2024]

 

No comments: