Cerpen Muhammad Nasir
“Aku tak percaya Arthas maju,”
kata Ghory, sambil meluruskan tanduknya yang bengkok. “Ia bahkan tak bisa
menjaga barak utara tanpa membuat kekacauan!”
“Setidaknya Arthas tegas,” sahut Reksa. “Bandingkan dengan Ballot, yang lebih sibuk membangun citra daripada bekerja. Setiap keputusan selalu dia tunda hanya untuk membuat survei!”
“Aku lebih khawatir pada Buyung Oke,” sela Saitoni, yang biasanya pendiam. “Dia bilang ingin reformasi. Tapi reformasi apa? Memasang pendingin ruangan di sini?”
“Hahahaha…”
Tawa sinis meledak di antara mereka, meski beberapa wajah tampak khawatir. Pemilihan kali ini dianggap penting karena Kepala Penjaga Neraka yang baru akan memegang kendali ribuan tahun ke depan. Atau malah lebih, tergantung kemauan Lucifer.
“Hei, kalian semua, diamlah! Debat akan segera dimulai!” seru moderator di mimbar debat.
Gemuruh ota lebah segera berhenti. Terlihat di tengah aula berpola ladam kuda itu, ada tiga kandidat berdiri. Arthas, tinggi dan kekar, dengan mata menyala seperti bara. Ballot, ramping dan berpenampilan licin, memegang buku catatan kecil. Dan Buyung Oke, bertubuh kecil tapi bersuara lantang, dengan senyum yang tampak lebih sering dipakai untuk menyembunyikan ketidakpastian.
Arthas dikenal sebagai penjaga paling disiplin dan tak kenal kompromi di Neraka. Ia memiliki reputasi sebagai algojo tanpa ampun yang mampu menyelesaikan tugas paling berat tanpa keluhan. Namun, di balik kegagahannya, ia kerap dianggap terlalu kaku dan kurang fleksibel dalam menghadapi perubahan. Ballot, sebaliknya, adalah sosok yang mempesona dengan kata-kata manis dan pidato yang memukau. Ia sering menggunakan retorika dan data survei untuk memengaruhi rekan-rekannya, meskipun banyak yang mencibir bahwa tindakannya sering lebih sedikit dibandingkan janjinya. Sementara itu, Buyung Oke adalah penjaga baru dengan ambisi besar. Ia penuh ide-ide inovatif dan sangat percaya pada teknologi serta manajemen modern, tetapi ia kerap kesulitan meyakinkan rekan-rekannya karena usianya yang muda dan pengalamannya yang minim.
Moderator mempersilakan masing-masing untuk berbicara. “Secara berurutan, penyampaian pokok pikiran akan dimulai dari Arthas, kemudian Ballot dan terakhir Buyung Oke.” Tetapi terserah kalianlah. Kalian sudah ada di mimbar debat, lakukan dengan cara kalian sendiri!”
“Hmm… baiklah. Saya duluan, kata Arthas. “Seperti yang dikatakan Machiavelli dalam The Prince, ‘Lebih baik ditakuti daripada dicintai.’ Neraka membutuhkan pemimpin yang kuat dan berani mengambil keputusan sulit. Saya berjanji akan meningkatkan efisiensi siksaan dan menghapus keluhan berlebihan dari para tahanan!”
Ballot tersenyum sinis. “Machiavelli? Sungguh kuno. Saya lebih terinspirasi oleh John Stuart Mill yang masuk surga. Dia berkata, ‘Kebebasan individu adalah kunci untuk kebahagiaan kolektif.’ Saya akan memastikan setiap penjaga punya hak suara dalam menentukan kebijakan siksaan. Demokrasi di Neraka adalah masa depan kita.”
Buyung Oke tertawa kecil. “Sungguh filosofis kalian. Tapi Neraka ini butuh perubahan nyata, bukan sekadar teori. Dengarkan apa yang dikatakan Peter Drucker, ahli manajemen. ‘Efisiensi adalah melakukan hal dengan benar; efektivitas adalah melakukan hal yang benar.’ Kita terlalu lama terjebak dalam rutinitas kuno. Saya akan membawa inovasi, termasuk pelatihan ulang untuk para penjaga.”
Arthas menepuk meja besi di depannya, suaranya menggema di aula. "Kuno? Kau menyebut Machiavelli kuno, Ballot? Neraka bukanlah surga kecil di mana kebahagiaan individu menjadi prioritas. Kita berurusan dengan jiwa-jiwa terkutuk yang hanya bisa dikendalikan melalui rasa takut. Jika kau beri mereka hak suara, kau tahu apa yang akan terjadi? Kekacauan total! Kita bukan demokrasi; kita adalah institusi hukuman."
Ballot menyeringai, mengangkat buku catatannya. "Kekacauan, kau bilang? Justru dengan melibatkan semua penjaga, kita akan mendapatkan stabilitas. Kau pernah baca pendapat Rousseau? Katanya, ‘kemauan umum tidak pernah salah.’ Bahkan di Neraka, jika kita melibatkan semua elemen, kita bisa menciptakan harmoni. Lagipula, siapa yang memberimu hak untuk menjadi despot di sini, Arthas? Ini bukan abad kegelapan lagi."
Buyung Oke menggelengkan kepala, melemparkan tatapan iba ke kedua lawannya. "Kalian terlalu sibuk berdebat soal filsafat, padahal masalah sebenarnya ada di lapangan. Lihat saja data kinerja kita. Siksaan di lantai empat sering terlambat karena manajemen logistik yang buruk. Kau, Arthas, hanya berbicara tentang menakut-nakuti. Dan kau, Ballot, hanya peduli survei dan teori. Sedangkan aku? Aku punya rencana nyata. Kita butuh algoritma baru untuk mendistribusikan beban kerja!"
Arthas tertawa keras. "Algoritma? Jadi kau ingin kita berubah jadi perusahaan teknologi? Apa selanjutnya, Buyung? Neraka sebagai startup? Kita mencatat siksaan dalam aplikasi dan memberikan bonus jika para penjaga memenuhi target bulanan?"
Ballot memanfaatkan momen itu untuk menyerang. "Lihat, Arthas, bahkan kau tahu bahwa metode Buyung tidak masuk akal. Tapi kau juga lupa satu hal: orang seperti kau adalah alasan mengapa Neraka ini tidak berkembang. Semua hanya soal kekuasaan, bukan efisiensi atau inklusivitas."
Buyung Oke menyela dengan suara yang mulai naik. "Kau bicara tentang inklusivitas, Ballot, tapi kau tidak punya ide bagaimana cara melaksanakannya! Aku mungkin ingin inovasi, tapi setidaknya aku punya solusi, bukan hanya retorika!"
Perdebatan berubah menjadi hujan kata-kata yang saling menyerang. Semua kandidat mulai berbicara bersamaan, suara mereka bercampur menjadi kekacauan. Para penjaga yang menonton tampak bingung—beberapa bahkan mulai memandang pintu keluar, berharap gemuruh Lucifer muncul untuk menyelesaikan ini.
Namun, moderator, sosok abu-abu berjubah netral, mengangkat tangannya. "Cukup!" katanya dengan nada datar. "Kalian semua berbicara tentang efisiensi, kebebasan, dan inovasi, tapi kalian lupa satu prinsip mendasar dari keberadaan Neraka."
Ketiga kandidat terdiam, menunggu dengan waspada.
"Prinsip itu adalah," lanjut moderator dengan nada absurd, "bahwa Neraka adalah tempat di mana logika mati, dan ironi hidup. Jadi, siapapun yang menang, kalah, atau abstain... sebenarnya tidak penting. Kalian juga lupa, bahwa Sokrates yang tersohor itu sekarang sedang berdebat di lantai tujuh dengan kaum sophis penyuka lubang matahari. Ia sendiri sudah sampai ke tahap keyakinan. Katanya, ‘Aku tahu bahwa aku tidak tahu mengapa aku di sini!’"
Hening sejenak melanda aula sebelum ledakan tawa dan kebingungan menyelimuti ruangan. Perdebatan, seperti semua hal di Neraka, hanya menghasilkan absurditas.
Sorak-sorai bercampur ejekan memenuhi ruangan. Para penjaga terpecah, sebagian terkesima oleh janji-janji, sebagian lain sinis.
“Debat kedua akan kita lakukan tiga
kali dua puluh empat jam setelah ini. Debat hari saya kira cukup!” Moderator
menyudahi acara debat dengan efektif dan efisien.
***
Menjelang keluar aula
debat, Ghory dan Reksa berdebat panas. Sepertinya keduanya pendukung hardline
dari kandidat kepala penjaga neraka.
“Arthas jelas pemimpin sejati!” ungkap Ghory. Ia terlihat amat terkesan.
“Tapi Ballot lebih modern dan inklusif,” bantah Reksa.
“Tunggu dulu!” seru Saitoni. “Kalian lupa ini Neraka? Kepala Penjaga seharusnya tidak terlalu baik. Kita perlu seseorang seperti Buyung Oke, yang tidak ragu membuat keputusan pragmatis!”
Tiba-tiba, gemuruh besar mengguncang aula. Dari lantai muncul retakan yang memuntahkan api, dan sosok besar dengan sayap hitam raksasa muncul. Itu Lucifer, Sang Penguasa Neraka.
“Diam kalian semua!” suaranya menggema seperti badai. “Kalian terlalu sibuk bertengkar soal siapa yang akan menang, tapi lupa bahwa kalian semua adalah alatku. Pemimpin baru akan dipilih bukan dari janji, tapi dari siapa yang paling mampu mengintimidasi kalian. Dan itu... akan aku putuskan sendiri!”
Dengan satu gerakan, Lucifer menunjuk Arthas. “Kamu menang. Tapi ingat, satu kesalahan kecil, dan kau akan menjadi yang pertama merasakan siksaan terbaruku.”
Arthas meneguk ludah, sementara para penjaga bersorak. entah karena takut, entah karena lega pemilihan telah selesai.
Di sudut, Ballot dan Buyung Oke bertukar pandang. “Kurasa,” kata Buyung Oke dengan senyum tipis, “kita harus menunggu kesempatan berikutnya.”
“Dan mempersiapkan diri lebih baik,” tambah Ballot.
Di Neraka, sama saja seperti di dunia, politik terlihat seperti permainan kekuasaan.
Padang, 31 Desember 2024
No comments:
Post a Comment