👤Oleh Muhammad Nasir
💥Tetapi, ketika setiap orang merasa berhak atas ruang yang sama, siapa yang bertanggung jawab mengatur?💥
Malam itu, di bawah temaram lampu jalanan Ulak Karang, sebuah trotoar berbisik lirih. Si batu tua, bagian dari trotoar yang sudah ada sejak zaman Belanda, meratapi nasibnya. "Aku dulu adalah saksi langkah-langkah kecil anak-anak sekolah dan para pedagang ikan yang membawa keranjang di pagi hari. Kini, tubuhku malah jadi tempat berdirinya warung kaki lima, gerobak nasi goreng, pecel lele dan tenda rokok," keluhnya.
Bagi
warga Padang, trotoar adalah ruang serbaguna. Di sisi Jalan Perintis
Kemerdekaan, trotoar tidak hanya menjadi pijakan kaki, tapi juga panggung
bisnis kecil-kecilan. Para pedagang, dengan alasan ekonomi, menguasai ruang
yang seharusnya menjadi milik pejalan kaki. Namun, siapa yang bisa menyalahkan
mereka sepenuhnya? "Kalau kami tidak di sini, mau jualan di mana lagi? Ini
kan lebih aman daripada di jalan," ujar Pak Rusli, seorang penjual sate
Padang, dengan nada pasrah.
***
Dalam
budaya Minangkabau, tanah dan ruang selalu menjadi sumber kehidupan dan simbol
adat. Trotoar, meski bukan bagian dari tanah ulayat, sering kali dianggap
sebagai ruang publik yang boleh dimanfaatkan bersama. Prinsip “batang kayu
basilang,” atau hak bersama atas ruang, terpatri dalam memori kolektif masyarakat.
Namun, pemanfaatan ruang ini sering kali melupakan keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
"Di
Minangkabau, ada pepatah ‘adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah,’ yang
berarti semua aturan adat harus berdasarkan nilai agama. Salah satu nilai itu
adalah keadilan. Tapi entah kenapa, di trotoar ini, keadilan itu seperti
hilang," ujar Bu Rahmi, seorang pejalan kaki yang mengeluhkan sempitnya
ruang untuk berjalan karena tenda pedagang.
Kebiasaan
warga kota yang "saling bertoleransi" sering kali malah menjadi
alasan untuk membiarkan pelanggaran kecil menjadi besar. Masrial, akademisi
dari UIN Imam Bonjol pernah mencatat bahwa dalam budaya Minangkabau, harmoni
sering kali diutamakan di atas aturan formal. "Kita cenderung membiarkan
sesuatu terjadi asal tidak menimbulkan konflik langsung," katanya. Tetapi,
harmoni ini berubah menjadi paradoks ketika warga pejalan kaki harus memilih
berjalan di jalan raya demi menghindari trotoar yang penuh sesak.
***
"Apakah
Trotoar Itu Milik Semua Orang?"
Kisah
ini bukan hanya semata tentang batu-batu trotoar di Padang, tapi juga tentang
bagaimana ruang publik diperebutkan. UNESCO pernah menegaskan bahwa ruang
publik adalah hak semua warga negara, termasuk pejalan kaki. Tapi di Padang,
ruang ini seolah menjadi hak istimewa bagi mereka yang membutuhkan penghidupan
instan.
Menurut
orang berjabatan di Dinas Perhubungan Kota Padang, hampir 60% trotoar yang
masih ada di pusat kota digunakan oleh pedagang kaki lima. Ironisnya, sebagian
besar masyarakat menerima hal ini sebagai "normal." "Kami sudah
terbiasa. Kalau mau jalan, ya lewat jalan raya saja. Lagipula, trotoar kosong
itu kan mubazir," kata seorang warga yang melewati trotoar yang dipenuhi
gerobak makanan.
Sepertinya
ada pergeseran makna ruang publik dalam budaya kota ini. Trotoar dulunya
merupakan bagian dari tatanan kota kolonial yang rapi, di mana masyarakat
diajarkan untuk memisahkan ruang pejalan kaki, kendaraan, dan perdagangan.
Namun, dalam budaya kota Padang, pergeseran makna ruang publik ini tak
terhindarkan. Banyak yang melihat trotoar sebagai simbol fleksibilitas
masyarakat kota dalam mencari nafkah.
Namun,
fleksibilitas ini sering kali berbenturan dengan prinsip adat Minangkabau
tentang "banagari". Dalam tatanan pikiran dalam hidup bernagari, adalah
tanggung jawab bersama untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan. Tetapi, ketika
setiap orang merasa berhak atas ruang yang sama, siapa yang bertanggung jawab
mengatur?
Dalam
kenyataannya, trotoar di Padang telah menjadi simbol paradoks pembangunan kota.
Pemerintah gencar mempromosikan wisata kota yang nyaman, tetapi mengabaikan
kenyamanan pejalan kaki. Bahkan, di kawasan seperti Pantai Padang, trotoar
lebih sering menjadi area parkir motor dadakan.
Masalah
ini bukan tak mungkin diatasi. Jakarta, misalnya, mulai merancang trotoar ramah
pejalan kaki seperti di kawasan Sudirman dan Thamrin. Padang, dengan potensi
sejarah dan wisatanya, dapat mengambil inspirasi serupa. Namun, sebelum
perubahan itu terjadi, warga Padang harus kembali merefleksikan apa arti
trotoar bagi kehidupan kota. Trotoar bukan hanya batu-batu yang disusun untuk
dilalui; ia adalah cerminan bagaimana kota ini memperlakukan ruang publik
sebagai tempat berbagi, bukan tempat berebut.
Sebagai
pemanis, silakan nikmati informasi sederhana tentang eksistensi trotoar kota
Padang pada table berikut:
Variabel |
Data |
Sumber |
Ruas Trotoar (2019) |
Pada 2019, 8.880,4 meter trotoar akan dibangun di 16 titik, termasuk
Jalan Khatib Sulaiman dan Gajah Mada. |
Posmetro Padang (2019) |
Eksistensi dan Fungsi Trotoar |
Trotoar dirancang untuk kenyamanan pejalan kaki dan mendukung visi
kota internasional, tetapi sering terganggu oleh pedagang kaki lima. |
SumatraZone (2019), Antara News (2021), |
Rencana Pengembangan Trotoar (2020-2022) |
Pemerintah berencana membangun dan merehabilitasi trotoar untuk
meningkatkan estetika dan kenyamanan kota. |
Tribun Padang (2020), Sumbar iNews (2022) |
Perilaku Warga terkait Trotoar |
Warga sering menggunakan trotoar untuk berjualan dan parkir,
menyebabkan fungsi trotoar sebagai jalur pejalan kaki terganggu. |
Antara News (2021), Investigasi Online (2020) |
Akhirnya,
batu tua di trotoar hanya bisa merenung. "Aku tak lagi menjadi saksi
langkah-langkah ringan anak sekolah, melainkan hiruk-pikuk suara pedagang dan
klakson kendaraan. Entah sampai kapan aku harus menjadi alas kaki kehidupan
yang tak pernah seimbang." Hingga saat itu tiba, si batu tua hanya bisa
menunggu sambil terus menopang beban yang semakin berat
(Padang, Ujung Desember
2022)
No comments:
Post a Comment