18 January 2025

Trotoar: Tempat Berbagi dan Berebut Tempat

👤Oleh Muhammad Nasir

💥Tetapi, ketika setiap orang merasa berhak atas ruang yang sama, siapa yang bertanggung jawab mengatur?💥

 

Malam itu, di bawah temaram lampu jalanan Ulak Karang, sebuah trotoar berbisik lirih. Si batu tua, bagian dari trotoar yang sudah ada sejak zaman Belanda, meratapi nasibnya. "Aku dulu adalah saksi langkah-langkah kecil anak-anak sekolah dan para pedagang ikan yang membawa keranjang di pagi hari. Kini, tubuhku malah jadi tempat berdirinya warung kaki lima, gerobak nasi goreng, pecel lele dan tenda rokok," keluhnya.

Bagi warga Padang, trotoar adalah ruang serbaguna. Di sisi Jalan Perintis Kemerdekaan, trotoar tidak hanya menjadi pijakan kaki, tapi juga panggung bisnis kecil-kecilan. Para pedagang, dengan alasan ekonomi, menguasai ruang yang seharusnya menjadi milik pejalan kaki. Namun, siapa yang bisa menyalahkan mereka sepenuhnya? "Kalau kami tidak di sini, mau jualan di mana lagi? Ini kan lebih aman daripada di jalan," ujar Pak Rusli, seorang penjual sate Padang, dengan nada pasrah.

***


Dalam budaya Minangkabau, tanah dan ruang selalu menjadi sumber kehidupan dan simbol adat. Trotoar, meski bukan bagian dari tanah ulayat, sering kali dianggap sebagai ruang publik yang boleh dimanfaatkan bersama. Prinsip “batang kayu basilang,” atau hak bersama atas ruang, terpatri dalam memori kolektif masyarakat. Namun, pemanfaatan ruang ini sering kali melupakan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.

"Di Minangkabau, ada pepatah ‘adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah,’ yang berarti semua aturan adat harus berdasarkan nilai agama. Salah satu nilai itu adalah keadilan. Tapi entah kenapa, di trotoar ini, keadilan itu seperti hilang," ujar Bu Rahmi, seorang pejalan kaki yang mengeluhkan sempitnya ruang untuk berjalan karena tenda pedagang.

Kebiasaan warga kota yang "saling bertoleransi" sering kali malah menjadi alasan untuk membiarkan pelanggaran kecil menjadi besar. Masrial, akademisi dari UIN Imam Bonjol pernah mencatat bahwa dalam budaya Minangkabau, harmoni sering kali diutamakan di atas aturan formal. "Kita cenderung membiarkan sesuatu terjadi asal tidak menimbulkan konflik langsung," katanya. Tetapi, harmoni ini berubah menjadi paradoks ketika warga pejalan kaki harus memilih berjalan di jalan raya demi menghindari trotoar yang penuh sesak.

***

"Apakah Trotoar Itu Milik Semua Orang?"

Kisah ini bukan hanya semata tentang batu-batu trotoar di Padang, tapi juga tentang bagaimana ruang publik diperebutkan. UNESCO pernah menegaskan bahwa ruang publik adalah hak semua warga negara, termasuk pejalan kaki. Tapi di Padang, ruang ini seolah menjadi hak istimewa bagi mereka yang membutuhkan penghidupan instan.

Menurut orang berjabatan di Dinas Perhubungan Kota Padang, hampir 60% trotoar yang masih ada di pusat kota digunakan oleh pedagang kaki lima. Ironisnya, sebagian besar masyarakat menerima hal ini sebagai "normal." "Kami sudah terbiasa. Kalau mau jalan, ya lewat jalan raya saja. Lagipula, trotoar kosong itu kan mubazir," kata seorang warga yang melewati trotoar yang dipenuhi gerobak makanan.

Sepertinya ada pergeseran makna ruang publik dalam budaya kota ini. Trotoar dulunya merupakan bagian dari tatanan kota kolonial yang rapi, di mana masyarakat diajarkan untuk memisahkan ruang pejalan kaki, kendaraan, dan perdagangan. Namun, dalam budaya kota Padang, pergeseran makna ruang publik ini tak terhindarkan. Banyak yang melihat trotoar sebagai simbol fleksibilitas masyarakat kota dalam mencari nafkah.

Namun, fleksibilitas ini sering kali berbenturan dengan prinsip adat Minangkabau tentang "banagari". Dalam tatanan pikiran dalam hidup bernagari, adalah tanggung jawab bersama untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan. Tetapi, ketika setiap orang merasa berhak atas ruang yang sama, siapa yang bertanggung jawab mengatur?

Dalam kenyataannya, trotoar di Padang telah menjadi simbol paradoks pembangunan kota. Pemerintah gencar mempromosikan wisata kota yang nyaman, tetapi mengabaikan kenyamanan pejalan kaki. Bahkan, di kawasan seperti Pantai Padang, trotoar lebih sering menjadi area parkir motor dadakan.

Masalah ini bukan tak mungkin diatasi. Jakarta, misalnya, mulai merancang trotoar ramah pejalan kaki seperti di kawasan Sudirman dan Thamrin. Padang, dengan potensi sejarah dan wisatanya, dapat mengambil inspirasi serupa. Namun, sebelum perubahan itu terjadi, warga Padang harus kembali merefleksikan apa arti trotoar bagi kehidupan kota. Trotoar bukan hanya batu-batu yang disusun untuk dilalui; ia adalah cerminan bagaimana kota ini memperlakukan ruang publik sebagai tempat berbagi, bukan tempat berebut.

Sebagai pemanis, silakan nikmati informasi sederhana tentang eksistensi trotoar kota Padang pada table berikut:



Variabel

Data

Sumber

Ruas Trotoar (2019)

Pada 2019, 8.880,4 meter trotoar akan dibangun di 16 titik, termasuk Jalan Khatib Sulaiman dan Gajah Mada.

Posmetro Padang (2019)

Eksistensi dan Fungsi Trotoar

Trotoar dirancang untuk kenyamanan pejalan kaki dan mendukung visi kota internasional, tetapi sering terganggu oleh pedagang kaki lima.

SumatraZone (2019), Antara News (2021),

Rencana Pengembangan Trotoar (2020-2022)

Pemerintah berencana membangun dan merehabilitasi trotoar untuk meningkatkan estetika dan kenyamanan kota.

Tribun Padang (2020), Sumbar iNews (2022)

Perilaku Warga terkait Trotoar

Warga sering menggunakan trotoar untuk berjualan dan parkir, menyebabkan fungsi trotoar sebagai jalur pejalan kaki terganggu.

Antara News (2021), Investigasi Online (2020)

 

Akhirnya, batu tua di trotoar hanya bisa merenung. "Aku tak lagi menjadi saksi langkah-langkah ringan anak sekolah, melainkan hiruk-pikuk suara pedagang dan klakson kendaraan. Entah sampai kapan aku harus menjadi alas kaki kehidupan yang tak pernah seimbang." Hingga saat itu tiba, si batu tua hanya bisa menunggu sambil terus menopang beban yang semakin berat

 

(Padang, Ujung Desember 2022)

No comments: