Muhammad Nasir
👉 yang hilang adalah rasa hormat kita pada apa yang seharusnya dijaga
Dulu,
sungai adalah pusat kehidupan. Di kota Padang, sungai seperti Batang Arau
menjadi saksi bisu aktivitas warga yang penuh harmoni dengan alam. Anak-anak
melompat dari batu besar ke air yang jernih. sekarang batu besar sudah tidak ada, kecuali turab pendidinding sungai. Suara tawa mereka bercampur dengan
gemericik air. Para ibu mencuci pakaian di pinggir sungai sambil berbagi
cerita. "Dulu, kalau kami mandi di Batang Kuranji, airnya sejuk dan
bersih. Bahkan, kami bisa melihat ikan berenang di bawah," ujar seorang
warga tua yang mengenang masa kecilnya dengan mata berkaca-kaca.
Namun,
cerita ini kini hanya tersisa dalam memori kolektif masyarakat. Sungai yang
dulu menjadi tempat bermain dan sumber kehidupan kini berubah menjadi saluran
limbah. Air jernih telah digantikan oleh air keruh, penuh dengan sampah plastik
dan bau tak sedap.
Perubahan
fungsi sungai tidak terjadi secara instan, melainkan melalui proses panjang
yang seiring dengan perkembangan kota. Modernisasi membawa perubahan besar pada
cara masyarakat berinteraksi dengan sungai. Ketika dahulu sungai dianggap
sebagai “urang tuo” yang dihormati, kini ia hanya dianggap saluran buangan.
“Dulu,
sungai itu sumber rezeki. Sekarang, malah jadi sumber penyakit,” kata Bu Siti, yang
berjaga lontong di tepi Batang Arau. "Sampah plastik, limbah rumah tangga,
semuanya dibuang ke sungai. Orang tidak lagi peduli," tambahnya dengan
nada getir.
Perubahan
ini juga menunjukkan bagaimana memori kolektif masyarakat tentang sungai
perlahan memudar. Apa yang dulu dianggap sakral, kini menjadi sesuatu yang
biasa saja. Melempar kantong sampah tidak lagi sebuah ketakutan akan mengenai
kepala anak dubilih.
***
Memori
kolektif adalah ingatan bersama yang menghubungkan masyarakat dengan masa lalu
mereka. Dalam kasus sungai di Padang, memori kolektif ini menyimpan cerita
tentang hubungan yang erat antara manusia dan alam. Sejarawan lingkungan
William Cronon pernah berkata, “The landscapes we create and destroy are
often mirrors of ourselves.” Pernyataan ini terasa relevan ketika kita
melihat bagaimana sungai, cerminan kebudayaan kita, kini menjadi tempat
pembuangan.
Bagi
generasi yang lebih muda, sungai bukan lagi tempat bermain atau mandi, tetapi
lebih sering dipandang sebagai masalah kota. “Kalau lewat dekat sungai, baunya
saja sudah bikin pusing,” kata Rian, seorang pelajar SMP. Ia tak pernah tahu
bagaimana indahnya sungai pada masa lalu, karena sungai yang dikenalnya adalah
sungai yang penuh sampah.
Sungai yang "bersahabat" dengan Sampah
Ironisnya,
warga kota seolah telah menerima kondisi ini sebagai hal yang wajar. Sampah
plastik, sandal bekas, bahkan kasur yang mengapung di sungai kini menjadi
pemandangan sehari-hari. Sungai yang dulunya menjadi tempat berbagi kehidupan
kini hanya berbagi keluhan.
“Kalau
sungai ini bisa bicara, mungkin dia akan bertanya, ‘Apa salahku sampai aku
diperlakukan begini?’” canda Pak Ujang, nelayan pancing manual (hand fishing)
di Batang Arau. Di balik tawa kecilnya, ada rasa sedih karena penghasilan dari
menangkap ikan semakin menurun akibat polusi.
Namun,
harapan belum sepenuhnya hilang. Di beberapa tempat, seperti kawasan Lubuk
Minturun, komunitas lokal mulai melakukan gerakan pembersihan sungai. Mereka
mengajak warga untuk menghidupkan kembali memori kolektif tentang sungai
sebagai sumber kehidupan. “Kami ingin anak-anak kami tahu bahwa sungai itu
berharga. Kalau kita tidak mulai sekarang, kapan lagi?” ujar Ibu Ratna, warga
setempat yang terlihat well educated. Baginya, Lubuk Minturun yang bagi
orang sekarang dikenal sebagai destinasi wisata masa kini, tetapi untuk dirinya sendiri adalah wisata ke
masa lalu yang aduhai.
Upaya ini juga didukung oleh beberapa program pemerintah yang mulai menggiatkan kampanye kebersihan sungai. Namun, tanpa partisipasi aktif masyarakat, semua program ini hanya akan menjadi formalitas belaka.
Menghidupkan
Kembali Memori Kolektif
Menghidupkan
kembali memori kolektif tentang sungai berarti mengajarkan generasi muda
tentang nilai-nilai lama yang pernah dipegang oleh nenek moyang mereka. Sungai
adalah warisan bersama, bukan sekadar saluran pembuangan. Dengan mengingat
kembali cerita-cerita lama tentang sungai, kita bisa memulihkan hubungan yang
harmonis dengan alam.
Akhirnya,
seperti yang dapat dikatakan adalah rasa hormat kita pada apa yang seharusnya
dijaga. Kini, pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan membiarkan sungai
terus menjadi tempat sampah, atau menghidupkan kembali memori kolektif untuk
menjadikannya sumber kehidupan seperti dulu?
Sungai Bangek, 2023
No comments:
Post a Comment