20 January 2025

Sungai: Dari Tempat Mandi ke Tempat Sampah

 Muhammad Nasir

👉 yang hilang adalah rasa hormat kita pada apa yang seharusnya dijaga


Dulu, sungai adalah pusat kehidupan. Di kota Padang, sungai seperti Batang Arau menjadi saksi bisu aktivitas warga yang penuh harmoni dengan alam. Anak-anak melompat dari batu besar ke air yang jernih. sekarang batu besar sudah tidak ada, kecuali turab pendidinding sungai. Suara tawa mereka bercampur dengan gemericik air. Para ibu mencuci pakaian di pinggir sungai sambil berbagi cerita. "Dulu, kalau kami mandi di Batang Kuranji, airnya sejuk dan bersih. Bahkan, kami bisa melihat ikan berenang di bawah," ujar seorang warga tua yang mengenang masa kecilnya dengan mata berkaca-kaca.

Namun, cerita ini kini hanya tersisa dalam memori kolektif masyarakat. Sungai yang dulu menjadi tempat bermain dan sumber kehidupan kini berubah menjadi saluran limbah. Air jernih telah digantikan oleh air keruh, penuh dengan sampah plastik dan bau tak sedap.

Perubahan fungsi sungai tidak terjadi secara instan, melainkan melalui proses panjang yang seiring dengan perkembangan kota. Modernisasi membawa perubahan besar pada cara masyarakat berinteraksi dengan sungai. Ketika dahulu sungai dianggap sebagai “urang tuo” yang dihormati, kini ia hanya dianggap saluran buangan.


“Dulu, sungai itu sumber rezeki. Sekarang, malah jadi sumber penyakit,” kata Bu Siti, yang berjaga lontong di tepi Batang Arau. "Sampah plastik, limbah rumah tangga, semuanya dibuang ke sungai. Orang tidak lagi peduli," tambahnya dengan nada getir.

Perubahan ini juga menunjukkan bagaimana memori kolektif masyarakat tentang sungai perlahan memudar. Apa yang dulu dianggap sakral, kini menjadi sesuatu yang biasa saja. Melempar kantong sampah tidak lagi sebuah ketakutan akan mengenai kepala anak dubilih.

***

Memori kolektif adalah ingatan bersama yang menghubungkan masyarakat dengan masa lalu mereka. Dalam kasus sungai di Padang, memori kolektif ini menyimpan cerita tentang hubungan yang erat antara manusia dan alam. Sejarawan lingkungan William Cronon pernah berkata, “The landscapes we create and destroy are often mirrors of ourselves.” Pernyataan ini terasa relevan ketika kita melihat bagaimana sungai, cerminan kebudayaan kita, kini menjadi tempat pembuangan.

Bagi generasi yang lebih muda, sungai bukan lagi tempat bermain atau mandi, tetapi lebih sering dipandang sebagai masalah kota. “Kalau lewat dekat sungai, baunya saja sudah bikin pusing,” kata Rian, seorang pelajar SMP. Ia tak pernah tahu bagaimana indahnya sungai pada masa lalu, karena sungai yang dikenalnya adalah sungai yang penuh sampah.

 Sungai yang "bersahabat" dengan Sampah

Ironisnya, warga kota seolah telah menerima kondisi ini sebagai hal yang wajar. Sampah plastik, sandal bekas, bahkan kasur yang mengapung di sungai kini menjadi pemandangan sehari-hari. Sungai yang dulunya menjadi tempat berbagi kehidupan kini hanya berbagi keluhan.

“Kalau sungai ini bisa bicara, mungkin dia akan bertanya, ‘Apa salahku sampai aku diperlakukan begini?’” canda Pak Ujang, nelayan pancing manual (hand fishing) di Batang Arau. Di balik tawa kecilnya, ada rasa sedih karena penghasilan dari menangkap ikan semakin menurun akibat polusi.

Namun, harapan belum sepenuhnya hilang. Di beberapa tempat, seperti kawasan Lubuk Minturun, komunitas lokal mulai melakukan gerakan pembersihan sungai. Mereka mengajak warga untuk menghidupkan kembali memori kolektif tentang sungai sebagai sumber kehidupan. “Kami ingin anak-anak kami tahu bahwa sungai itu berharga. Kalau kita tidak mulai sekarang, kapan lagi?” ujar Ibu Ratna, warga setempat yang terlihat well educated. Baginya, Lubuk Minturun yang bagi orang sekarang dikenal sebagai destinasi wisata masa kini,  tetapi untuk dirinya sendiri adalah wisata ke masa lalu yang aduhai.

Upaya ini juga didukung oleh beberapa program pemerintah yang mulai menggiatkan kampanye kebersihan sungai. Namun, tanpa partisipasi aktif masyarakat, semua program ini hanya akan menjadi formalitas belaka.

Menghidupkan Kembali Memori Kolektif

Menghidupkan kembali memori kolektif tentang sungai berarti mengajarkan generasi muda tentang nilai-nilai lama yang pernah dipegang oleh nenek moyang mereka. Sungai adalah warisan bersama, bukan sekadar saluran pembuangan. Dengan mengingat kembali cerita-cerita lama tentang sungai, kita bisa memulihkan hubungan yang harmonis dengan alam.

Akhirnya, seperti yang dapat dikatakan adalah rasa hormat kita pada apa yang seharusnya dijaga. Kini, pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan membiarkan sungai terus menjadi tempat sampah, atau menghidupkan kembali memori kolektif untuk menjadikannya sumber kehidupan seperti dulu?

 

Sungai Bangek, 2023

No comments: