Muhammad Nasir
Pengamat Burung
sangkak tasangkuik di batang palam,
takikik galak urang nan tahu,
galak tabasuik urang nan paham
Tetapi
yang menarik bukan rajangnya yang panjang melintasi sungai Batang Sumpu. Tetapi
suara kicauan burung yang kemudian saya tahu sebagai burung Silindik
(serindit). Dan, ternyata bagaimana saya melewati rajang itu hampir mirip
dengan gaya burung Silindik itu: bergoyang-goyang dan kadang sedikit merangkak
pada bagian yang sedikit menegangkan.
Dari
situlah saya mulai memperhatikan lebih serius si burung Silindik (loriculus). Burung kecil
berwarna hijau terang ini memiliki semburat merah di bagian kepala atau leher,
tergantung spesiesnya. Suaranya yang nyaring dan ritmenya yang khas menjadi
penanda kehadirannya, walau tubuhnya kecil dan sering luput dari pandangan. Ia
biasa hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil, beterbangan dari satu dahan
ke dahan lain di hutan tropis dataran rendah hingga ke pohon-pohon dekat
pemukiman. Keunikannya tak hanya pada suara, tapi juga sifatnya yang aktif,
gesit, dan setia kawan.
Silindik
sangat menyukai buah-buahan, terutama ara dan mangga matang. Saat menemukan
pohon yang lebat buahnya, ia akan kembali berulang kali, bahkan mengajak burung
lain. Ia cenderung menetap di kawasan yang dianggapnya aman dan nyaman, dan
hanya pergi jika ada gangguan besar. Burung ini juga dikenal memiliki “suara
peringatan” saat merasa terancam, yang memicu kewaspadaan burung lain.
Yang
menarik, Silindik tidak agresif tapi juga bukan penakut. Ia tahu kapan
bersembunyi dan kapan muncul. Geraknya lincah di udara, sulit ditangkap meski
bermain di pohon-pohon sekitar rumah. Ia cerdas mencari tempat hinggap aman,
tampak seperti selalu “berstrategi” dengan naluri tajam. Karena sering
berinteraksi, Silindik terlihat memiliki rasa kolektivitas yang kuat: saling
memanggil, menunggu, bahkan seolah berdiskusi sebelum terbang bersama.
Di Dusun
Mapun, saya akhirnya melihat Silindik dari dekat. Tapi sudah dalam sangkar.
Sangkar unik itu menyerupai tabung bulat telur yang digantung horizontal,
terbuat dari bilah bambu yang diraut halus. Desainnya indah dan fungsional. Di
dalamnya, seekor Silindik kecil bersinar dengan warna hijaunya yang mencolok.
Meski terkurung, ia tampak tetap lincah dan bermain seperti biasa.
Hal yang
membuat saya tertegun adalah caranya bergerak dalam sangkar. Ia tidak tampak
stres atau pasrah seperti burung baru ditangkap. Justru seolah menikmati
ruangnya. Ia berputar, hinggap, lalu melompat ringan ke sisi lain. Bilah-bilah
bambu menjadi semacam labirin yang terus mengaktifkan tubuhnya. Kadang ia tidur
dalam posisi terbalik, seperti kelelawar kecil, menggantung dan memejamkan mata,
pemandangan ganjil sekaligus memukau, seolah ia sendiri yang memilih cara
istirahatnya.
Kegembiraan
kecil Silindik dalam sangkar itu membuat saya berpikir bahwa mungkin ia tak
merasa dikurung sepenuhnya. Atau, ia adalah makhluk yang cepat menyesuaikan
diri. Ia tetap berkicau, merawat bulu, dan sesekali menyapa dunia luar dengan
lirikan matanya yang tajam. Sangkar yang membatasi langkahnya tak memadamkan
vitalitasnya.
Saya juga
perhatikan, Silindik tak mudah terkejut. Ketika didekati, ia tak panik
membentur jeruji. Ia hanya bergeser sedikit, tetap menatap, seolah mencoba
mengenali sebelum bereaksi. Sikapnya ini membuat banyak orang merasa sedang
berhadapan dengan makhluk yang tenang dan bijak, bukan burung liar yang
terkurung.
Beberapa
warga percaya bahwa Silindik adalah burung yang “tahu diri”: tak sembarangan
berkicau, tak membuang tenaga sia-sia. Saat pagi, ia menyambut matahari dengan
nyanyian, lalu tenang di siang terik, dan kembali aktif menjelang sore. Saat
diberi makan, ia tidak rakus, hanya mematuk perlahan, seakan tahu waktunya
makan.
Begitulah
Silindik dalam sangkar. Tetap indah, lincah, dan punya dunia kecil sendiri. Ia
tak berubah menjadi makhluk duka, malah menunjukkan daya adaptasi yang luar
biasa. Dalam ruang sempit, ia menciptakan ruang geraknya sendiri. Lengkung
bambu bukan pagar, tapi jalur untuk terus bergerak, tidur, bermain, dan
berkicau. Sebuah kehidupan kecil yang tetap berwarna, meski tak lagi bebas di
dahan hutan.
Namun
dalam bentuknya yang menyedihkan, Silindik dalam sangkar juga bisa dilihat
sebagai ornamen. Ia menjadi bagian dari dekorasi rumah besar bernama kekuasaan,
digantung di sudut beranda sebagai hiasan bunyi saat tamu datang. Ia bersuara
ketika diminta, diam ketika disuruh. Tampak sibuk, tapi tak ke mana-mana.
Terlihat berdaya, padahal sekadar bagian dari tata letak. Bahkan suara
nyaringnya bisa menjadi pengalih dari kebusukan di balik dinding rumah.
Ketika
dilepas liar
Mungkin
karena jumlahnya yang cukup banyak, orang-orang Mapun sering melepasliar
Silindik bila ada gejala yang mengkhawatirkan. Misalnya, meminjam lirik lagu
Perjalanan Franky and Jane (1978) “gejala sakit yang tak terobati.” Silindik
kemudian dilepaskan ke alam liar, dengan harapan ia dapat menemukan obatnya sendiri, atau alam akan menjadi dukun yang akan memulihkan penderitaan
Silindik. Kata orang Mapun, “biasanya, ia akan sembuh di alam, dan akan kemali
lagi setelah pulih.”
Itulah bagian yang paling menarik adalah
ketika Silindik dilepaskan ke alam bebas. Burung kecil yang tampak lemah
gemulai ketika sakit di sangkar, namun kembali tenang, lentur menjadi makhluk
yang Kembali sangat hidup. Ia terbang cepat, zigzag di antara pepohonan,
seperti sedang merayakan kembali ruang tanpa batas yang kini terbuka di
hadapannya. Tapi ia tidak langsung pergi jauh. Justru, banyak Silindik yang
dilepas setelah lama dalam sangkar akan tetap berputar-putar di sekitar rumah,
seakan ingin berpamitan atau menandai bahwa ia belum sepenuhnya ingin
meninggalkan tempat yang pernah menjadi rumahnya.
Ia sama
sekali tidak menunjukkan trauma atau ketakutan. Ia seperti burung yang telah
menyerap dua dunia; dunia dalam sangkar dan dunia di lar sana. Dan kini tahu
bagaimana hidup di antaranya. Saat dilepas, Silindik bukan burung yang
kebingungan atau panik mencari arah. Ia tampak tahu ke mana harus pergi, dan
kapan harus kembali. Kadang, burung itu justru hinggap sebentar di atap rumah
atau dahan dekat jendela, memperhatikan sekeliling dengan tatapan siaga,
sebelum akhirnya terbang lebih jauh, menyelinap di balik semak atau pucuk
bambu.
Dalam
pengamatan orang-orang yang gemar memelihara Silindik, burung ini termasuk yang
setia pada wilayahnya. Jika ia merasa nyaman dengan satu lingkungan, besar
kemungkinan ia akan kembali, atau minimal berputar-putar di kawasan yang sama.
Itulah mengapa banyak pemilik burung Silindik yang sengaja membiarkan pintu
sangkar terbuka setelah sekian waktu, sebagai bentuk ‘percobaan’ apakah
Silindik yang mereka pelihara akan kabur atau tetap kembali. Dan seringkali, Silindik
kembali, atau minimal tetap berkeliaran di tempat yang sama. Keputusan untuk
menetap atau pergi seolah menjadi hak penuh si burung, dan manusia hanya bisa
menunggu dengan harap-harap cemas.
Yang
lebih mencengangkan lagi, Silindik yang terbiasa dilepas-liar kadang
menunjukkan kecerdasan sosial. Ia datang di waktu yang kira-kira sesuai, tidak
mengganggu, dan bahkan kadang menyapa dengan kicauan pendek sebelum bertengger
di dahan yang biasa ia kunjungi. Kesan bahwa ia “mengetahui waktu” dan
“mengenali tempat” membuat Silindik punya tempat tersendiri di hati banyak
orang tua di kampung. Mereka menyebutnya sebagai burung yang tahu adat, tahu
kapan bersuara, tahu kapan diam.
Dalam
dunia yang luas, Silindik memang tidak bisa disebut sebagai burung yang hebat secara
fisik. Ia kecil, tak bersenjata, dan mudah diserang predator. Namun justru
karena itu, ia mengembangkan cara bertahan hidup yang lebih halus dengan
kelincahan, dengan sinyal-sinyal suara, dengan kebiasaan mengenali tempat dan
waktu. Ia bukan penakluk wilayah, tapi penjaga harmoni. Ia hidup bukan dengan
menantang, tapi dengan menyesuaikan diri, sambil tetap menjadi dirinya sendiri:
lincah, nyaring, dan cantik.
Dari
sangkar hingga hutan, dari bilah bambu hingga ranting bebas, Silindik
menunjukkan konsistensi dalam satu hal: ia adalah burung yang tahu bagaimana
menyesuaikan diri dengan ruangnya, namun tidak kehilangan esensinya. Ia tetap
Silindik, entah terkurung atau dilepaskan. Dan itulah yang membuatnya istimewa.
Yang satu membentuk ruang makna dalam keterbatasan, yang lain justru menikmati
ruang terbatas sebagai zona nyaman, menghindar dari ujian di luar sangkar.
Burung hias, bukan penjaga harmoni.
Ketika
Silindik dilepas ke hutan dan ia kembali dengan sukarela, di sanalah makna dirinya
diuji. Apakah ia kembali karena cinta pada tempat, atau karena takut pada
luasnya dunia? Apakah ia tetap bersuara karena punya pesan, atau karena sudah
dilatih untuk berkicau saja? Ibarat pemimpin sejati, sepertinya Silindik yang
cerdas, tahu bahwa sangkar bisa menjadi tempat singgah, bukan tempat tinggal
abadi. Ia tahu kapan harus kembali ke hutan, dan kapan harus kembali ke rumah tanpa
kehilangan siapa dirinya.
Maka
dalam masyarakat Mapun-Salibawan yang paham simbol, Silindik bukan hanya burung. Ia
adalah alegori hidup tentang bagaimana seharusnya pemimpin bergerak di antara
ruang kuasa dan ruang publik. Ia bukan burung gagah, bukan elang penjaga
langit. Tapi dalam tubuh kecilnya, tersimpan pelajaran besar: tentang setia,
tentang suara, tentang tahu waktu, dan tentang cara menjadi pemimpin tanpa
harus menaklukkan, cukup dengan memahami irama dan menjaga keseimbangan.
Duapuluh Enam
Tahun Kemudian..
Hari ini,
setelah 26 tahun kemudian, saya melihat burung ini lagi di kedai Poultry Shop
di daerah Kubu, Marapalam Kota Padang. Saya hanya membeli pakan ikan. Tetapi,
karena di sana juga menjual aneka burung berkicau, burung hias serta aneka ungags,
saya memilih nongkrong lebih lama. Menghilangkan stress dari kerja rutinitas
yang makin lama makin menjemukan. Saat itulah saya mendengar kicauan Silindik,
yang semula saya kira kicauan burung lovebird.
“Ini
jantan dan ini yang betina,” kata bapak pemilik kedai itu. Saya langsung
menanyakan, apa perbedaannya selain jenis kelamin. Bapak itu menjawab, “yang
jantan lebih atraktif dan berbunyi nyaring. Lebih senang berinteraksi dengan manusia.”
Yang betina, “sepertinya ia lebih senang merawat bulu dan berbunyi bila sedang
terganggu,” terang bapak itu.
Aih, yang jelas, bacalah tulisan ini dengan benar, tak perlu
pula pikiran anda travelling ke mana-mana. Apalagi pasaran kini sedang panas. [09/05/2025]