Oleh Muhammad Nasir
Pagi-pagi sekali, kabut asap sudah menyungkup kota. Memeluk erat-erat warga agar tetap bertahan dalam kemalasan. Berdiam dalam rumah dan bilik pribadi sekiranya lebih aman dari pada menghisap jerebu yang menyesakkan dada. Kabut asap dapat memperburuk asma dan penyakit paru kronis lain, seperti bronkitis kronik, kata orang ahli.
Engku Emir el Majanin sepagi itu sudah bersiap-siap. Memilih baju paling pantas untuk berpikir santuy. Setelan sarung asli negeri Wakanda, baju kaos polos dan kemeja lengan pendek yang semua kancingnya sengaja dibuka.
“Ini sekadar menutupi bahwa aku ini orang gila,” batin Engku Majanin.
Setelah berkaca sepuasnya, Engku Majanin tersenyum tipis.
Semakin lama gila, ia merasa semakin bersih dan cemerlang. Ia kemudian berjalan ke teras dan duduk menatap bukit yang berselendang kabut.
“Gawat Engku, semalam ada lagi orang gila yang masuk!” kata seorang pria kepada Engku Majanin.
Engku Majanin menoleh sesaat kepada orang itu. Usai tersenyum tipis ia hanya menjawab, “Apakah yang engkau cemaskan? Bukankan ini adalah tempat bagi orang-orang gila?”
“Benar Engku, aku baru sadar bahwa ini adalah rumah sakit jiwa,” jawab pria itu sambil terkekeh.
“Engkau macam tak tahu saja. Orang yang baru gila biasanya memang begitu. Belagak, merasa sok paten, petantang petenteng. Aku yang sudah lama gila, biasa-biasa saja kok,” kata Engku Majanin
“Iya pula engku. Agaknya, orang baru kaya, baru berkuasa, baru berilmu dan baru beragama juga begitu. Merasa paling kaya, paling berkuasa, paling berilmu dan paling takwa. Hahaha…”
“Husy…kemana pula perginya itu. Marah mereka nanti,” balas Engku Majanin.
“Tapi benar juga katamu, merasa paling gila itu memang meresahkan. Begitu juga merasa paling kaya, paling berkuasa, paling berilmu dan paling beragama.” Engku Majanin sepertinya sepakat dengan pendapat pria itu.
“Sepertinya engku, saya dapat membuat kesimpulan, bahwa kata kunci kegilaan itu adalah “merasa paling” dan “perbuatan meresahkan,” benar begitu engku?” pria itu meminta pendapat Engku Majanin.
“Terserah kau lah, buyung. Aku mau minum obat dulu!” jawab Engku Majanin seadanya.
Anda yang merasa waras pasti bisa bayangkan bagaimana suasana yang terbangun dalam percakapan itu. Bagaimana setting tempat yang pas dan apa properti yang tersedia di area teras percakapan itu. Bagi anda yang ingin membuat film pendek, bisa menggambarkan percakapan itu sifilmis mungkin.
***