08 April 2025

Patung Lilin Madame Tussauds

Muhammad Nasir

Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang


Pagi itu aku membuka WhatsApp dengan santai, berharap hanya menemukan ucapan sisa-sisa Idulfitri yang manis dan ringan, atau romansa berita mayor Teddy yang menggemaskan. Tapi pesan yang masuk justru membuatku terdiam. “Maaf Pak, saya masih di kampung, belum bisa hadir kuliah. Mohon dispensasi ya, Pak. Maaf juga belum sempat bikin tugas.” 

Lalu pesan serupa dari beberapa mahasiswa lain: permohonan maaf, permintaan izin, keluhan situasi, dan sedikit harapan agar dosen mereka bisa memahami dan bersimpati. Yang lainnya pesan mohon izin sedang sakit, dan eh... masalah keluarga (sekalian aja masalah rumah tangga, ngab). 

Haha, akhirnya, dua kelas hari ini pun terpaksa batal. Padahal sudah pakai baju baru untuk ngajar hari ini. 

***

07 April 2025

Jebakan Minesweeper Penelitian

Oleh: Muhammad Nasir*


"The more I learn, the more I realize how much I don't know."

— Albert Einstein


Meneliti bagi seorang kandidat Ph.D bukanlah sekadar rutinitas akademik. Ia bukan pula sekadar upaya ‘membayar utang proposal’ kepada dosen pembimbing. Meneliti adalah permainan serius yang memadukan ketegangan, ketekunan, dan ketidakpastian. Bila harus diibaratkan, maka penelitian menyerupai permainan Minesweeper—permainan komputer sederhana yang bisa membuat orang bijak gelisah dan yang gelisah tambah bijak (atau menyerah).


Ketidakpastian sebagai Titik Awal

Langkah pertama dalam riset adalah seperti klik pertama di Minesweeper. Anda tak tahu apa yang terjadi: membuka ruang baru, angka samar, atau langsung—boom—tersingkir dari papan. Tapi bedanya, dalam riset, tidak ada tombol “restart”. Yang ada hanya revisi, re-revisi, dan pertanyaan eksistensial semacam: “Apakah saya sudah berada di jalan yang benar, atau saya sebenarnya sedang menulis laporan perjalanan menuju kehampaan?”


John W. Creswell mengingatkan kita:"

Qualitative research begins with assumptions, a worldview... and the study of research problems inquiring into the meaning individuals or groups ascribe to a social or human problem." 

Artinya: bahkan sebelum meneliti, kita sudah membawa ‘kecurigaan filosofis’ sendiri. Ini bukan soal netralitas, melainkan kejujuran epistemik. Dalam hal ini, peneliti mirip paranormal yang ragu-ragu: merasa melihat sesuatu, tapi masih butuh data untuk meyakinkan dirinya sendiri.


Pola, Probabilitas, dan Intuisi

Dalam Minesweeper, angka-angka muncul seperti kode rahasia. Kita harus menebak di mana ranjau berada. Dalam riset, angka-angka bisa berupa statistik, atau lebih sering: pertanyaan dari dosen penguji. Sama-sama membingungkan, dan salah membaca bisa berakibat fatal terhadap beasiswa maupun harga diri.

Tan Malaka dalam Madilog pernah menulis dengan serius tapi menyentil: 

“Berpikir bebas bukanlah berpikir semaunya.”

Sama seperti dalam Minesweeper, intuisi yang tak dilatih bisa membuat jari gatal membuka kotak yang salah. Intuisi akademik dibentuk dari membaca, berdiskusi, dan kadang menangis pelan saat menyadari bahwa artikel yang kita baca ternyata dari jurnal predator.


Risiko sebagai Bagian dari Proses

Setiap langkah adalah taruhan. Imam Syafi’i menasihati:

“Barangsiapa yang tidak tahan terhadap kepedihan belajar barang sesaat, ia akan menanggung hinanya kebodohan sepanjang hayat.”

Tentu, pada zaman beliau belum ada Google Scholar. Tapi rasa perih ketika membaca metodologi yang tak kita pahami sepenuhnya pasti tak berubah sepanjang sejarah umat manusia.

Kandidat Ph.D bukan hanya pejuang data, tetapi juga pelancong di hutan belantara kutipan. Kadang kita berjalan dengan pasti, kadang kita hanya menebak-nebak—dan kadang kita membuka laptop hanya untuk menatap kursor 45 menit sambil mempertanyakan keputusan hidup.

Namun yang paling menyakitkan bukan kesalahan metode, tetapi saat melihat orang lain yang asal-asalan malah lulus lebih dulu. Tapi tenang, menurut Ibn Khaldun:

 “Kebudayaan yang besar lahir dari usaha yang berat.”

Dan juga, meski tidak dikutip oleh Ibn Khaldun, kita tahu: “Yang cepat belum tentu benar, dan yang lambat belum tentu salah—barangkali hanya terlalu perfeksionis.”


Kita Sedang Mencari Formasi Intelektual

Tujuan utama dari riset bukanlah lulus cepat lalu pergi liburan ke Bali (walau itu menyenangkan), melainkan membentuk karakter intelektual. Bukan hanya soal menemukan jawaban, tetapi menemukan bentuk berpikir kita sendiri.

Riset yang baik adalah seperti humor yang cerdas: tidak langsung terlihat lucu, tapi akan meninggalkan jejak dalam kesadaran pembaca. Kita tidak hanya ingin selesai, kita ingin bermakna. Kita ingin tidak hanya diingat karena disertasi yang tebal, tapi juga karena pemikiran yang menyala—meski pembacanya hanya dua: penguji dan ibu kandung.

Akhirnya, “He who has a why to live can bear almost any how.” —kata Nietzsche

Begitu pula peneliti: yang tahu mengapa ia meneliti, akan bertahan meski menghadapi how yang penuh jebakan, revisi, dan ketidakpastian.

---

Mahasiswa S3 Studi Islam, UIN Imam Bonjol Padang

06 April 2025

Generic Descriptive Intoleransi yang Tak Disadari: Upaya Perumusan Konsep dan Perilaku

Muhammad Nasir

Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang


Pendahuluan

Dalam banyak diskursus publik, intoleransi sering kali dibingkai sebagai sesuatu yang eksplisit: ujaran kebencian, penyerangan terhadap rumah ibadah, pelarangan atribut keagamaan, atau diskriminasi terang-terangan terhadap kelompok minoritas. Pola ini membentuk persepsi umum bahwa intoleransi hanya hadir ketika kekerasan terjadi secara fisik, verbal, atau kebijakan yang secara langsung membatasi hak kelompok lain. Padahal, intoleransi juga dapat beroperasi secara sunyi, melalui mekanisme sosial dan kultural yang tidak kentara, namun berdampak luas dan sistemik.

Intoleransi yang tak disadari muncul dalam bentuk-bentuk yang tidak mudah diidentifikasi: kebijakan yang tampak netral tapi bias, norma sosial yang dianggap universal padahal berasal dari nilai-nilai kelompok dominan, atau praktik-praktik keseharian yang mengecualikan tanpa harus secara terbuka melarang. Karena sifatnya yang tersamar dan sering kali disepakati bersama tanpa resistensi, bentuk intoleransi semacam ini jauh lebih sulit dikenali, diprotes, dan dikoreksi. Ia tidak membunyikan alarm, tetapi justru menetap dalam struktur sosial sebagai bagian dari “kebiasaan baik” atau “kewajaran bersama.”

Intoleransi Semu: Wajah Tersembunyi Dominasi Etnis Mayoritas di Asia

Muhammad Nasir

Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang


Bayangkan sebuah negara yang mengaku menjunjung tinggi toleransi, tetapi secara tidak sadar mendidik warganya untuk melihat bahasa, budaya, bahkan agama kelompok mayoritas sebagai satu-satunya norma nasional. Tidak ada larangan eksplisit bagi minoritas untuk berbeda, namun perbedaan itu terus-menerus dianggap “kurang ideal”, “kurang nasionalis”, atau “kurang cocok” dengan identitas bangsa. Inilah wajah intoleransi diam-diam—ia tidak berteriak, tidak melempar batu, namun menyusup pelan melalui kurikulum sekolah, narasi media, regulasi administratif, dan konstruksi kewarganegaraan. Ironisnya, intoleransi ini justru paling berbahaya karena tidak disadari oleh pelakunya: kelompok etnis mayoritas.

Dalam konteks negara-negara Asia yang multietnis, intoleransi tak disadari menjadi tantangan yang pelik. Ia bukan hanya berwujud prasangka personal, tetapi juga mewujud dalam sistem dan simbol negara. Greenwald dan Krieger (2006) menyebutnya sebagai bentuk unconscious bias, yaitu kecenderungan kognitif yang membuat seseorang—atau sekelompok orang—memihak kelompoknya sendiri tanpa sadar, bahkan saat berniat berlaku adil. Ketika bias ini diadopsi oleh institusi negara dan didukung oleh narasi sejarah yang sepihak, lahirlah bentuk-bentuk diskriminasi yang tidak selalu tampak sebagai penindasan, tetapi justru dibungkus dalam wacana persatuan, keseragaman, dan nasionalisme.

Esai ini bertujuan membongkar mekanisme-mekanisme halus yang digunakan oleh etnis mayoritas dalam mempertahankan dominasi mereka melalui cara-cara yang tampak “normal”. Untuk itu, pembahasan dimulai dengan kerangka teoretis mengenai hegemoni budaya dan bias tak sadar, lalu dilanjutkan dengan analisis terhadap beberapa modus operandi intoleransi terselubung: standarisasi budaya mayoritas, netralitas palsu, dan dalih keamanan nasional. Studi kasus dari beberapa negara Asia—seperti Thailand, Myanmar, India, Cina, Malaysia, dan Indonesia—akan digunakan untuk menunjukkan bagaimana bentuk-bentuk ini bekerja dalam konteks riil. Akhirnya, esai ini akan menutup dengan refleksi teoretis tentang pentingnya membongkar struktur sosial yang tampak netral namun bias, serta mengusulkan arah menuju keadilan kultural yang lebih setara.


Hegemoni dan Bias Tak Disadari

Konsep hegemoni dari Antonio Gramsci (1971) memberi pemahaman penting dalam membedah bagaimana dominasi kultural bekerja secara tak kasatmata. Hegemoni terjadi ketika nilai-nilai kelompok dominan diterima sebagai “normal” atau “alami” oleh seluruh masyarakat, termasuk kelompok tertindas. Dalam konteks ini, etnis mayoritas bukan hanya mendominasi secara kuantitatif, tetapi juga secara simbolik: budaya, bahasa, bahkan sistem nilai mereka menjadi kerangka rujukan dalam kehidupan bernegara. Ini diperkuat oleh teori unconscious bias (Greenwald & Krieger, 2006), yang menjelaskan bagaimana kelompok dominan seringkali tidak menyadari keberpihakan sistemik terhadap kelompok mereka sendiri.


Standarisasi Budaya Mayoritas Sebagai Norma Nasional

Banyak negara Asia menjadikan budaya mayoritas sebagai standar nasional, yang berdampak pada marginalisasi budaya lain. Di Thailand, identitas Thai-Buddha menjadi basis nasionalisme, sehingga Muslim Melayu di Selatan Thailand mengalami tekanan untuk meninggalkan identitas linguistik dan agama mereka (McCargo, 2008). Sementara itu, di Myanmar, konsep “national races” menyingkirkan etnis Rohingya dari hak kewarganegaraan karena tidak dianggap bagian dari sejarah “asli” bangsa Burma (Cheesman, 2017).


Netralitas Palsu dan Bias Representasi

Etnis mayoritas sering menganggap identitas mereka sebagai “netral” atau “umum”, sementara ekspresi budaya minoritas dianggap sebagai “kekhususan”. Di Indonesia, narasi sejarah nasional lebih banyak diwarnai oleh pengalaman Jawa—baik dari segi tokoh sejarah, simbol nasional, maupun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah (Kleden, 2004). Hal ini membuat ekspresi dari luar Jawa sering kali tidak diberi tempat yang setara dalam wacana nasional.


Dalih Persatuan dan Keamanan Nasional

Diskriminasi terhadap minoritas kerap dibungkus dengan alasan “menjaga stabilitas” atau “mencegah radikalisme”. Di Cina, pemerintah menggunakan narasi deradikalisasi untuk membenarkan penahanan massal terhadap etnis Uighur, meskipun banyak laporan internasional menyebutkan bahwa tindakan ini adalah bentuk penindasan sistemik (Zenz, 2019). Dalih keamanan negara digunakan untuk membatasi kebebasan identitas dan ekspresi minoritas.


Pemaksaan Asimilasi

Minoritas sering dipaksa menyesuaikan diri agar “diterima” oleh masyarakat mayoritas. Di Malaysia, kebijakan afirmatif terhadap Bumiputera telah menimbulkan perasaan eksklusi pada warga non-Melayu, terutama dalam pendidikan tinggi dan akses ekonomi (Gomez & Saravanamuttu, 2013). Asimilasi yang dipaksakan ini mengabaikan prinsip multikulturalisme yang sejati.


Studi Kasus di India dan Indonesia

Di India, intoleransi tak disadari hadir dalam bentuk Hinduisasi negara. Meskipun India secara konstitusional adalah negara sekuler, pemerintah yang dipimpin oleh BJP sering mempromosikan simbol dan nilai-nilai Hindu dalam kebijakan pendidikan dan politik. Minoritas Muslim dan Kristen merasa identitas mereka semakin dipinggirkan. Misalnya, kontroversi mengenai larangan jilbab di beberapa sekolah di Karnataka menunjukkan bagaimana simbol religius minoritas dianggap “mengganggu” netralitas publik, sementara simbol mayoritas tidak dipermasalahkan.

Sementara itu, di Indonesia, intoleransi terselubung terlihat dalam narasi kewarganegaraan. Meski konstitusi menjamin kesetaraan warga, masyarakat Tionghoa seringkali masih dianggap “bukan bagian dari pribumi”. Dalam banyak kasus, loyalitas mereka dipertanyakan, dan representasi di media atau politik jarang lepas dari stereotip ekonomi. Diskursus keindonesiaan pun sering kali menyaratkan “kesesuaian” dengan norma mayoritas—baik dalam cara berpakaian, berbicara, hingga beragama.


Menuju Keadilan Kultural

Mengatasi intoleransi terselubung memerlukan kesadaran kritis dari kelompok mayoritas. Ini bukan sekadar soal toleransi antar-individu, tetapi pengakuan terhadap ketimpangan struktural dalam sistem sosial dan politik. Budaya mayoritas perlu membuka ruang bagi pluralitas, bukan dengan mengasimilasi perbedaan, tetapi dengan mengafirmasinya.

Pendidikan multikultural yang reflektif harus menjadi prioritas. Bukan hanya sekadar “menampilkan keberagaman” secara simbolik, tetapi mendorong pembelajaran tentang sejarah, kontribusi, dan perspektif minoritas secara sejajar. Media juga berperan penting dalam menciptakan narasi yang inklusif dan adil.

Dalam kata-kata Bhikhu Parekh (2000), keadilan dalam masyarakat multikultural bukan berarti menghapus perbedaan, tetapi mengelolanya dengan hormat dan kesetaraan. Negara harus menjadi arena di mana semua kelompok merasa aman mengekspresikan identitasnya tanpa takut dihakimi, direpresi, atau dikurangi haknya.

Penutup

Intoleransi yang tak disadari adalah bentuk paling berbahaya dari dominasi etnis mayoritas. Karena tersembunyi di balik “normalitas”, ia tidak memicu perlawanan eksplisit, tetapi terus-menerus melanggengkan ketimpangan. Kesadaran kolektif untuk merefleksikan posisi mayoritas, membongkar bias sistemik, dan membangun struktur sosial yang inklusif menjadi syarat utama bagi masa depan Asia yang adil dan damai.

[22 Desember 2024]

---

*suplemen bacaan Penguatan Moderasi Beragama 


Referensi

Cheesman, N. (2017). How in Myanmar “National Races” Came to Surpass Citizenship and Exclude Rohingya. Journal of Contemporary Asia, 47(3), 461–483.

Gomez, E. T., & Saravanamuttu, J. (Eds.). (2013). The New Economic Policy in Malaysia: Affirmative Action, Ethnic Inequalities and Social Justice. NUS Press.

Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.

Greenwald, A. G., & Krieger, L. H. (2006). Implicit Bias: Scientific Foundations. California Law Review, 94(4), 945–967.

Kleden, I. (2004). Indonesia: Kebudayaan dalam Politik. Kompas.

McCargo, D. (2008). Tearing Apart the Land: Islam and Legitimacy in Southern Thailand. Cornell University Press.

Parekh, B. (2000). Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Harvard University Press.

Zenz, A. (2019). “Brainwashing, Police Guards and Coercive Internment”: Evidence from Chinese Government Documents about the Nature and Extent of Xinjiang’s Detention Campaign. Journal of Political Risk, 7(11).

05 April 2025

Pertarungan Simbolik Otoritas Keagamaan Jawa

Oleh: Muhammad Nasir

Dosen UIN Imam Bonjol Padang


Dalam lanskap keagamaan Islam di Jawa akhir akhir ini, terdapat sebuah dinamika menarik yang terus berulang namun belum banyak dibahas secara terbuka: ketegangan yang muncul antara sebagian kiai dan kelompok habib. Satu sisi memperlihatkan adanya penolakan terhadap tokoh-tokoh habib tertentu, terutama yang tampil dengan retorika keras dan nuansa puritanisme. Di sisi lain, sebagian habib justru dipeluk erat, diberi tempat terhormat dalam forum-forum keagamaan, dan dijadikan panutan spiritual. Fenomena ini tampak kontradiktif, namun sesungguhnya mencerminkan dinamika otoritas keagamaan dalam bingkai kultural Islam Jawa yang kaya dan kompleks.


Secara sosiologis, terdapat dua sumber utama otoritas dalam Islam tradisional di Jawa: otoritas keilmuan dan otoritas keturunan (nasab). Kiai dalam tradisi pesantren membangun otoritas melalui proses panjang: belajar bertahun-tahun, menguasai teks klasik, membangun jaringan sanad keilmuan, serta hidup di tengah masyarakat dengan etos pelayanan keagamaan yang tinggi. Sebaliknya, sebagian habib membawa otoritas berbasis nasab, yakni status mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad, yang secara kultural dan historis memang memiliki tempat khusus dalam khazanah keislaman.


Ketika dua bentuk otoritas ini berjumpa, terutama dalam ruang publik yang sama, muncul potensi ketegangan. Martin van Bruinessen (1999) menyebutnya sebagai bentuk kontestasi otoritas keagamaan, yaitu perebutan legitimasi antara dua figur yang sama-sama mengklaim kewenangan berbicara atas nama Islam. Ketegangan ini bukan hanya menyangkut isu teologis, melainkan juga bersifat simbolik dan politis.

31 March 2025

Hubungan Komunitas Ba'alawi dengan Pemerintah Kolonial: Sebuah Tinjauan Historis

Muhammad Nasir

Komunitas Ba'alawi, keturunan Hadhrami yang menetap di Nusantara, memiliki sejarah panjang dalam interaksinya dengan pemerintah kolonial Belanda. Hubungan ini kompleks dan tidak dapat disederhanakan sebagai bentuk kolaborasi semata. Sebagian individu dalam komunitas ini memiliki hubungan dekat dengan penguasa kolonial, sementara yang lain berperan dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Artikel ini berusaha menelaah aspek-aspek utama dari hubungan tersebut dengan pendekatan historis berbasis literatur akademik.

Peran Individu dalam Hubungan dengan Pemerintah Kolonial

Salah satu tokoh Ba'alawi yang sering dikaitkan dengan pemerintahan kolonial adalah Sayyid Utsman bin Yahya, Mufti Batavia pada abad ke-19. Ia memiliki kedekatan dengan otoritas Belanda dan sering kali mendukung kebijakan mereka, terutama dalam hal penerjemahan dokumen-dokumen Islam dan penafsiran hukum Islam dalam konteks kolonial (Laffan, 2003). Namun, pendekatan Sayyid Utsman bukan tanpa kritik. Beberapa pihak, termasuk komunitas Hadhrami lainnya, menilai bahwa langkahnya cenderung pragmatis demi stabilitas, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk kooptasi oleh penguasa kolonial (Mobini-Kesheh, 1999).

Sikap Pemerintah Kolonial terhadap Komunitas Ba'alawi

Pemerintah kolonial Belanda memiliki kebijakan ambivalen terhadap komunitas Ba'alawi. Di satu sisi, mereka mengakui pengaruh ulama Ba'alawi dalam masyarakat Muslim dan memanfaatkan legitimasi mereka untuk mengontrol umat Islam (Vlekke, 2008). Di sisi lain, mereka juga mencurigai afiliasi Ba'alawi dengan gerakan pan-Islamisme yang berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kekhawatiran ini memuncak ketika pemerintah kolonial mencurigai keterlibatan masyarakat Arab dalam pemberontakan dan pergerakan anti-kolonial (Benda, 1958).

Upaya Emansipasi dan Perjuangan Kemerdekaan

Meskipun terdapat tuduhan kolaborasi, banyak anggota komunitas Ba'alawi yang aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka terlibat dalam organisasi pergerakan seperti Sarekat Islam yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto pada awal abad ke-20 (Noer, 1982). Selain itu, komunitas Ba'alawi juga memainkan peran penting dalam media dan propaganda anti-kolonial, seperti melalui penerbitan surat kabar dan keterlibatan dalam aktivitas politik nasionalis (Van den Berg, 2017).

Dinamika Internal dan Tantangan Identitas

Komunitas Ba'alawi menghadapi tantangan internal dalam mempertahankan identitas mereka di tengah kebijakan kolonial dan dinamika sosial di Nusantara. Beberapa kalangan berupaya mempertahankan stratifikasi sosial berdasarkan nasab, seperti yang terlihat dalam pendirian Rabithah Alawiyah pada 1928 (Mobini-Kesheh, 1999). Namun, generasi muda Ba'alawi yang lebih nasionalis berusaha untuk menegaskan identitas mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia, menolak dikotomi antara keturunan Hadhrami dan pribumi (Suminto, 1985) 

Berdasarkan ulasan di atas, hubungan komunitas Ba'alawi dengan pemerintah kolonial Belanda tidak dapat disederhanakan sebagai bentuk kolaborasi atau oposisi tunggal. Terdapat individu yang berperan sebagai mediator antara komunitas Muslim dan pemerintah kolonial, sementara yang lain terlibat dalam gerakan anti-kolonial. Studi lebih lanjut mengenai dinamika internal komunitas ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana identitas, politik, dan agama berinteraksi dalam sejarah Indonesia.

Daftar Pustaka

  1. Benda, H. J. (1958). The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945. W. Van Hoeve.
  2. Laffan, M. (2003). Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds. Routledge.
  3. Mobini-Kesheh, N. (1999). The Hadhrami Awakening: Community and Identity in the Indian Ocean Diaspora. Cornell University Press.
  4. Noer, D. (1982). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES.
  5. Suminto, A. (1985). Politik Islam Hindia Belanda. LP3ES.
  6. Van den Berg, C. (2017). Hadhramis in Indonesia: Identity and Politics in a Southeast Asian Diaspora. Brill.
  7. Vlekke, B. H. M. (2008). Nusantara: A History of Indonesia. Harvard University Press.