Muhammad Nasir
Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang
Bayangkan sebuah negara yang mengaku menjunjung tinggi toleransi, tetapi secara tidak sadar mendidik warganya untuk melihat bahasa, budaya, bahkan agama kelompok mayoritas sebagai satu-satunya norma nasional. Tidak ada larangan eksplisit bagi minoritas untuk berbeda, namun perbedaan itu terus-menerus dianggap “kurang ideal”, “kurang nasionalis”, atau “kurang cocok” dengan identitas bangsa. Inilah wajah intoleransi diam-diam—ia tidak berteriak, tidak melempar batu, namun menyusup pelan melalui kurikulum sekolah, narasi media, regulasi administratif, dan konstruksi kewarganegaraan. Ironisnya, intoleransi ini justru paling berbahaya karena tidak disadari oleh pelakunya: kelompok etnis mayoritas.
Dalam konteks negara-negara Asia yang multietnis, intoleransi tak disadari menjadi tantangan yang pelik. Ia bukan hanya berwujud prasangka personal, tetapi juga mewujud dalam sistem dan simbol negara. Greenwald dan Krieger (2006) menyebutnya sebagai bentuk unconscious bias, yaitu kecenderungan kognitif yang membuat seseorang—atau sekelompok orang—memihak kelompoknya sendiri tanpa sadar, bahkan saat berniat berlaku adil. Ketika bias ini diadopsi oleh institusi negara dan didukung oleh narasi sejarah yang sepihak, lahirlah bentuk-bentuk diskriminasi yang tidak selalu tampak sebagai penindasan, tetapi justru dibungkus dalam wacana persatuan, keseragaman, dan nasionalisme.
Esai ini bertujuan membongkar mekanisme-mekanisme halus yang digunakan oleh etnis mayoritas dalam mempertahankan dominasi mereka melalui cara-cara yang tampak “normal”. Untuk itu, pembahasan dimulai dengan kerangka teoretis mengenai hegemoni budaya dan bias tak sadar, lalu dilanjutkan dengan analisis terhadap beberapa modus operandi intoleransi terselubung: standarisasi budaya mayoritas, netralitas palsu, dan dalih keamanan nasional. Studi kasus dari beberapa negara Asia—seperti Thailand, Myanmar, India, Cina, Malaysia, dan Indonesia—akan digunakan untuk menunjukkan bagaimana bentuk-bentuk ini bekerja dalam konteks riil. Akhirnya, esai ini akan menutup dengan refleksi teoretis tentang pentingnya membongkar struktur sosial yang tampak netral namun bias, serta mengusulkan arah menuju keadilan kultural yang lebih setara.
Hegemoni dan Bias Tak Disadari
Konsep hegemoni dari Antonio Gramsci (1971) memberi pemahaman penting dalam membedah bagaimana dominasi kultural bekerja secara tak kasatmata. Hegemoni terjadi ketika nilai-nilai kelompok dominan diterima sebagai “normal” atau “alami” oleh seluruh masyarakat, termasuk kelompok tertindas. Dalam konteks ini, etnis mayoritas bukan hanya mendominasi secara kuantitatif, tetapi juga secara simbolik: budaya, bahasa, bahkan sistem nilai mereka menjadi kerangka rujukan dalam kehidupan bernegara. Ini diperkuat oleh teori unconscious bias (Greenwald & Krieger, 2006), yang menjelaskan bagaimana kelompok dominan seringkali tidak menyadari keberpihakan sistemik terhadap kelompok mereka sendiri.
Standarisasi Budaya Mayoritas Sebagai Norma Nasional
Banyak negara Asia menjadikan budaya mayoritas sebagai standar nasional, yang berdampak pada marginalisasi budaya lain. Di Thailand, identitas Thai-Buddha menjadi basis nasionalisme, sehingga Muslim Melayu di Selatan Thailand mengalami tekanan untuk meninggalkan identitas linguistik dan agama mereka (McCargo, 2008). Sementara itu, di Myanmar, konsep “national races” menyingkirkan etnis Rohingya dari hak kewarganegaraan karena tidak dianggap bagian dari sejarah “asli” bangsa Burma (Cheesman, 2017).
Netralitas Palsu dan Bias Representasi
Etnis mayoritas sering menganggap identitas mereka sebagai “netral” atau “umum”, sementara ekspresi budaya minoritas dianggap sebagai “kekhususan”. Di Indonesia, narasi sejarah nasional lebih banyak diwarnai oleh pengalaman Jawa—baik dari segi tokoh sejarah, simbol nasional, maupun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah (Kleden, 2004). Hal ini membuat ekspresi dari luar Jawa sering kali tidak diberi tempat yang setara dalam wacana nasional.
Dalih Persatuan dan Keamanan Nasional
Diskriminasi terhadap minoritas kerap dibungkus dengan alasan “menjaga stabilitas” atau “mencegah radikalisme”. Di Cina, pemerintah menggunakan narasi deradikalisasi untuk membenarkan penahanan massal terhadap etnis Uighur, meskipun banyak laporan internasional menyebutkan bahwa tindakan ini adalah bentuk penindasan sistemik (Zenz, 2019). Dalih keamanan negara digunakan untuk membatasi kebebasan identitas dan ekspresi minoritas.
Pemaksaan Asimilasi
Minoritas sering dipaksa menyesuaikan diri agar “diterima” oleh masyarakat mayoritas. Di Malaysia, kebijakan afirmatif terhadap Bumiputera telah menimbulkan perasaan eksklusi pada warga non-Melayu, terutama dalam pendidikan tinggi dan akses ekonomi (Gomez & Saravanamuttu, 2013). Asimilasi yang dipaksakan ini mengabaikan prinsip multikulturalisme yang sejati.
Studi Kasus di India dan Indonesia
Di India, intoleransi tak disadari hadir dalam bentuk Hinduisasi negara. Meskipun India secara konstitusional adalah negara sekuler, pemerintah yang dipimpin oleh BJP sering mempromosikan simbol dan nilai-nilai Hindu dalam kebijakan pendidikan dan politik. Minoritas Muslim dan Kristen merasa identitas mereka semakin dipinggirkan. Misalnya, kontroversi mengenai larangan jilbab di beberapa sekolah di Karnataka menunjukkan bagaimana simbol religius minoritas dianggap “mengganggu” netralitas publik, sementara simbol mayoritas tidak dipermasalahkan.
Sementara itu, di Indonesia, intoleransi terselubung terlihat dalam narasi kewarganegaraan. Meski konstitusi menjamin kesetaraan warga, masyarakat Tionghoa seringkali masih dianggap “bukan bagian dari pribumi”. Dalam banyak kasus, loyalitas mereka dipertanyakan, dan representasi di media atau politik jarang lepas dari stereotip ekonomi. Diskursus keindonesiaan pun sering kali menyaratkan “kesesuaian” dengan norma mayoritas—baik dalam cara berpakaian, berbicara, hingga beragama.
Menuju Keadilan Kultural
Mengatasi intoleransi terselubung memerlukan kesadaran kritis dari kelompok mayoritas. Ini bukan sekadar soal toleransi antar-individu, tetapi pengakuan terhadap ketimpangan struktural dalam sistem sosial dan politik. Budaya mayoritas perlu membuka ruang bagi pluralitas, bukan dengan mengasimilasi perbedaan, tetapi dengan mengafirmasinya.
Pendidikan multikultural yang reflektif harus menjadi prioritas. Bukan hanya sekadar “menampilkan keberagaman” secara simbolik, tetapi mendorong pembelajaran tentang sejarah, kontribusi, dan perspektif minoritas secara sejajar. Media juga berperan penting dalam menciptakan narasi yang inklusif dan adil.
Dalam kata-kata Bhikhu Parekh (2000), keadilan dalam masyarakat multikultural bukan berarti menghapus perbedaan, tetapi mengelolanya dengan hormat dan kesetaraan. Negara harus menjadi arena di mana semua kelompok merasa aman mengekspresikan identitasnya tanpa takut dihakimi, direpresi, atau dikurangi haknya.
Penutup
Intoleransi yang tak disadari adalah bentuk paling berbahaya dari dominasi etnis mayoritas. Karena tersembunyi di balik “normalitas”, ia tidak memicu perlawanan eksplisit, tetapi terus-menerus melanggengkan ketimpangan. Kesadaran kolektif untuk merefleksikan posisi mayoritas, membongkar bias sistemik, dan membangun struktur sosial yang inklusif menjadi syarat utama bagi masa depan Asia yang adil dan damai.
[22 Desember 2024]
---
*suplemen bacaan Penguatan Moderasi Beragama
Referensi
Cheesman, N. (2017). How in Myanmar “National Races” Came to Surpass Citizenship and Exclude Rohingya. Journal of Contemporary Asia, 47(3), 461–483.
Gomez, E. T., & Saravanamuttu, J. (Eds.). (2013). The New Economic Policy in Malaysia: Affirmative Action, Ethnic Inequalities and Social Justice. NUS Press.
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
Greenwald, A. G., & Krieger, L. H. (2006). Implicit Bias: Scientific Foundations. California Law Review, 94(4), 945–967.
Kleden, I. (2004). Indonesia: Kebudayaan dalam Politik. Kompas.
McCargo, D. (2008). Tearing Apart the Land: Islam and Legitimacy in Southern Thailand. Cornell University Press.
Parekh, B. (2000). Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Harvard University Press.
Zenz, A. (2019). “Brainwashing, Police Guards and Coercive Internment”: Evidence from Chinese Government Documents about the Nature and Extent of Xinjiang’s Detention Campaign. Journal of Political Risk, 7(11).