09 May 2025

Silindik Basangkak Batu

Muhammad Nasir

Pengamat  Burung

                    Silindik basangkak batu,
                    sangkak tasangkuik di batang palam,
                    takikik galak urang nan tahu,
                    galak tabasuik urang nan paham

 

  Dulu waktu saya Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Pasaman saya sangat sering mendengar kicauan burung Silindik. Saya KKN di Desa Salibawan Mapun di Kecamatan Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman, tahun 1999. Desa itu terletak di pertengahan jalan raya Lubuk Sikaping–Rao. Saya mendapat posko di dusun daerah Mapun, beberapa kilo dari jalan raya. Untuk sampai ke Mapun saya harus melewati jembatan gantung yang disebut oleh masyarakat setempat dengan "rajang atau rojang".

Tetapi yang menarik bukan rajangnya yang panjang melintasi sungai Batang Sumpu. Tetapi suara kicauan burung yang kemudian saya tahu sebagai burung Silindik (serindit). Dan, ternyata bagaimana saya melewati rajang itu hampir mirip dengan gaya burung Silindik itu: bergoyang-goyang dan kadang sedikit merangkak pada bagian yang sedikit menegangkan.

        Dari situlah saya mulai memperhatikan lebih serius si burung Silindik (loriculus). Burung kecil berwarna hijau terang ini memiliki semburat merah di bagian kepala atau leher, tergantung spesiesnya. Suaranya yang nyaring dan ritmenya yang khas menjadi penanda kehadirannya, walau tubuhnya kecil dan sering luput dari pandangan. Ia biasa hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil, beterbangan dari satu dahan ke dahan lain di hutan tropis dataran rendah hingga ke pohon-pohon dekat pemukiman. Keunikannya tak hanya pada suara, tapi juga sifatnya yang aktif, gesit, dan setia kawan.

Silindik sangat menyukai buah-buahan, terutama ara dan mangga matang. Saat menemukan pohon yang lebat buahnya, ia akan kembali berulang kali, bahkan mengajak burung lain. Ia cenderung menetap di kawasan yang dianggapnya aman dan nyaman, dan hanya pergi jika ada gangguan besar. Burung ini juga dikenal memiliki “suara peringatan” saat merasa terancam, yang memicu kewaspadaan burung lain.

Yang menarik, Silindik tidak agresif tapi juga bukan penakut. Ia tahu kapan bersembunyi dan kapan muncul. Geraknya lincah di udara, sulit ditangkap meski bermain di pohon-pohon sekitar rumah. Ia cerdas mencari tempat hinggap aman, tampak seperti selalu “berstrategi” dengan naluri tajam. Karena sering berinteraksi, Silindik terlihat memiliki rasa kolektivitas yang kuat: saling memanggil, menunggu, bahkan seolah berdiskusi sebelum terbang bersama.

Di Dusun Mapun, saya akhirnya melihat Silindik dari dekat. Tapi sudah dalam sangkar. Sangkar unik itu menyerupai tabung bulat telur yang digantung horizontal, terbuat dari bilah bambu yang diraut halus. Desainnya indah dan fungsional. Di dalamnya, seekor Silindik kecil bersinar dengan warna hijaunya yang mencolok. Meski terkurung, ia tampak tetap lincah dan bermain seperti biasa.

Hal yang membuat saya tertegun adalah caranya bergerak dalam sangkar. Ia tidak tampak stres atau pasrah seperti burung baru ditangkap. Justru seolah menikmati ruangnya. Ia berputar, hinggap, lalu melompat ringan ke sisi lain. Bilah-bilah bambu menjadi semacam labirin yang terus mengaktifkan tubuhnya. Kadang ia tidur dalam posisi terbalik, seperti kelelawar kecil, menggantung dan memejamkan mata, pemandangan ganjil sekaligus memukau, seolah ia sendiri yang memilih cara istirahatnya.

Kegembiraan kecil Silindik dalam sangkar itu membuat saya berpikir bahwa mungkin ia tak merasa dikurung sepenuhnya. Atau, ia adalah makhluk yang cepat menyesuaikan diri. Ia tetap berkicau, merawat bulu, dan sesekali menyapa dunia luar dengan lirikan matanya yang tajam. Sangkar yang membatasi langkahnya tak memadamkan vitalitasnya.

Saya juga perhatikan, Silindik tak mudah terkejut. Ketika didekati, ia tak panik membentur jeruji. Ia hanya bergeser sedikit, tetap menatap, seolah mencoba mengenali sebelum bereaksi. Sikapnya ini membuat banyak orang merasa sedang berhadapan dengan makhluk yang tenang dan bijak, bukan burung liar yang terkurung.

Beberapa warga percaya bahwa Silindik adalah burung yang “tahu diri”: tak sembarangan berkicau, tak membuang tenaga sia-sia. Saat pagi, ia menyambut matahari dengan nyanyian, lalu tenang di siang terik, dan kembali aktif menjelang sore. Saat diberi makan, ia tidak rakus, hanya mematuk perlahan, seakan tahu waktunya makan.

Begitulah Silindik dalam sangkar. Tetap indah, lincah, dan punya dunia kecil sendiri. Ia tak berubah menjadi makhluk duka, malah menunjukkan daya adaptasi yang luar biasa. Dalam ruang sempit, ia menciptakan ruang geraknya sendiri. Lengkung bambu bukan pagar, tapi jalur untuk terus bergerak, tidur, bermain, dan berkicau. Sebuah kehidupan kecil yang tetap berwarna, meski tak lagi bebas di dahan hutan.

Namun dalam bentuknya yang menyedihkan, Silindik dalam sangkar juga bisa dilihat sebagai ornamen. Ia menjadi bagian dari dekorasi rumah besar bernama kekuasaan, digantung di sudut beranda sebagai hiasan bunyi saat tamu datang. Ia bersuara ketika diminta, diam ketika disuruh. Tampak sibuk, tapi tak ke mana-mana. Terlihat berdaya, padahal sekadar bagian dari tata letak. Bahkan suara nyaringnya bisa menjadi pengalih dari kebusukan di balik dinding rumah.

 

Ketika dilepas liar

Mungkin karena jumlahnya yang cukup banyak, orang-orang Mapun sering melepasliar Silindik bila ada gejala yang mengkhawatirkan. Misalnya, meminjam lirik lagu Perjalanan Franky and Jane (1978) “gejala sakit yang tak terobati.” Silindik kemudian dilepaskan ke alam liar, dengan harapan ia dapat menemukan obatnya sendiri, atau alam akan menjadi dukun yang akan memulihkan penderitaan Silindik. Kata orang Mapun, “biasanya, ia akan sembuh di alam, dan akan kemali lagi setelah pulih.”

 Itulah bagian yang paling menarik adalah ketika Silindik dilepaskan ke alam bebas. Burung kecil yang tampak lemah gemulai ketika sakit di sangkar, namun kembali tenang, lentur menjadi makhluk yang Kembali sangat hidup. Ia terbang cepat, zigzag di antara pepohonan, seperti sedang merayakan kembali ruang tanpa batas yang kini terbuka di hadapannya. Tapi ia tidak langsung pergi jauh. Justru, banyak Silindik yang dilepas setelah lama dalam sangkar akan tetap berputar-putar di sekitar rumah, seakan ingin berpamitan atau menandai bahwa ia belum sepenuhnya ingin meninggalkan tempat yang pernah menjadi rumahnya.

Ia sama sekali tidak menunjukkan trauma atau ketakutan. Ia seperti burung yang telah menyerap dua dunia; dunia dalam sangkar dan dunia di lar sana. Dan kini tahu bagaimana hidup di antaranya. Saat dilepas, Silindik bukan burung yang kebingungan atau panik mencari arah. Ia tampak tahu ke mana harus pergi, dan kapan harus kembali. Kadang, burung itu justru hinggap sebentar di atap rumah atau dahan dekat jendela, memperhatikan sekeliling dengan tatapan siaga, sebelum akhirnya terbang lebih jauh, menyelinap di balik semak atau pucuk bambu.

Dalam pengamatan orang-orang yang gemar memelihara Silindik, burung ini termasuk yang setia pada wilayahnya. Jika ia merasa nyaman dengan satu lingkungan, besar kemungkinan ia akan kembali, atau minimal berputar-putar di kawasan yang sama. Itulah mengapa banyak pemilik burung Silindik yang sengaja membiarkan pintu sangkar terbuka setelah sekian waktu, sebagai bentuk ‘percobaan’ apakah Silindik yang mereka pelihara akan kabur atau tetap kembali. Dan seringkali, Silindik kembali, atau minimal tetap berkeliaran di tempat yang sama. Keputusan untuk menetap atau pergi seolah menjadi hak penuh si burung, dan manusia hanya bisa menunggu dengan harap-harap cemas.

Yang lebih mencengangkan lagi, Silindik yang terbiasa dilepas-liar kadang menunjukkan kecerdasan sosial. Ia datang di waktu yang kira-kira sesuai, tidak mengganggu, dan bahkan kadang menyapa dengan kicauan pendek sebelum bertengger di dahan yang biasa ia kunjungi. Kesan bahwa ia “mengetahui waktu” dan “mengenali tempat” membuat Silindik punya tempat tersendiri di hati banyak orang tua di kampung. Mereka menyebutnya sebagai burung yang tahu adat, tahu kapan bersuara, tahu kapan diam.

Dalam dunia yang luas, Silindik memang tidak bisa disebut sebagai burung yang hebat secara fisik. Ia kecil, tak bersenjata, dan mudah diserang predator. Namun justru karena itu, ia mengembangkan cara bertahan hidup yang lebih halus dengan kelincahan, dengan sinyal-sinyal suara, dengan kebiasaan mengenali tempat dan waktu. Ia bukan penakluk wilayah, tapi penjaga harmoni. Ia hidup bukan dengan menantang, tapi dengan menyesuaikan diri, sambil tetap menjadi dirinya sendiri: lincah, nyaring, dan cantik.

Dari sangkar hingga hutan, dari bilah bambu hingga ranting bebas, Silindik menunjukkan konsistensi dalam satu hal: ia adalah burung yang tahu bagaimana menyesuaikan diri dengan ruangnya, namun tidak kehilangan esensinya. Ia tetap Silindik, entah terkurung atau dilepaskan. Dan itulah yang membuatnya istimewa. Yang satu membentuk ruang makna dalam keterbatasan, yang lain justru menikmati ruang terbatas sebagai zona nyaman, menghindar dari ujian di luar sangkar. Burung hias, bukan penjaga harmoni.

Ketika Silindik dilepas ke hutan dan ia kembali dengan sukarela, di sanalah makna dirinya diuji. Apakah ia kembali karena cinta pada tempat, atau karena takut pada luasnya dunia? Apakah ia tetap bersuara karena punya pesan, atau karena sudah dilatih untuk berkicau saja? Ibarat pemimpin sejati, sepertinya Silindik yang cerdas, tahu bahwa sangkar bisa menjadi tempat singgah, bukan tempat tinggal abadi. Ia tahu kapan harus kembali ke hutan, dan kapan harus kembali ke rumah tanpa kehilangan siapa dirinya.

Maka dalam masyarakat Mapun-Salibawan yang paham simbol, Silindik bukan hanya burung. Ia adalah alegori hidup tentang bagaimana seharusnya pemimpin bergerak di antara ruang kuasa dan ruang publik. Ia bukan burung gagah, bukan elang penjaga langit. Tapi dalam tubuh kecilnya, tersimpan pelajaran besar: tentang setia, tentang suara, tentang tahu waktu, dan tentang cara menjadi pemimpin tanpa harus menaklukkan, cukup dengan memahami irama dan menjaga keseimbangan.

 

Duapuluh Enam Tahun Kemudian..

Hari ini, setelah 26 tahun kemudian, saya melihat burung ini lagi di kedai Poultry Shop di daerah Kubu, Marapalam Kota Padang. Saya hanya membeli pakan ikan. Tetapi, karena di sana juga menjual aneka burung berkicau, burung hias serta aneka ungags, saya memilih nongkrong lebih lama. Menghilangkan stress dari kerja rutinitas yang makin lama makin menjemukan. Saat itulah saya mendengar kicauan Silindik, yang semula saya kira kicauan burung lovebird.

“Ini jantan dan ini yang betina,” kata bapak pemilik kedai itu. Saya langsung menanyakan, apa perbedaannya selain jenis kelamin. Bapak itu menjawab, “yang jantan lebih atraktif dan berbunyi nyaring. Lebih senang berinteraksi dengan manusia.” Yang betina, “sepertinya ia lebih senang merawat bulu dan berbunyi bila sedang terganggu,” terang bapak itu.  

Aih, yang jelas, bacalah tulisan ini dengan benar, tak perlu pula pikiran anda travelling ke mana-mana.  Apalagi pasaran kini sedang panas. [09/05/2025]


 

 

Upward Effect Burung Pipit

Oleh: Muhammad Nasir

              

Dalam percaya diri yang berlebihan, kita bisa menjadi bagian dari kekerasan

Seekor burung pipit terbang tinggi di atas awan. itu penerbangan paling penting dalam sejarah hidupnya. Ketika ia merasa dirinya seperti seekor elang. Tidak ada keraguan, hanya keheningan dan keyakinan yang dibangun dari imajinasi tentang dirinya sendiri. Dalam penerbangan itu, ia bertemu seekor burung besar. Mereka terbang beriringan, tanpa tegur sapa. Masing-masing hanyut dalam pikirannya sendiri.

 

Angin mulai kencang. Pipit mulai sesak napasnya. Tapi ia berusaha tenang. Ia ingat ucapan Tan Kari, filosof multidimensi: semakin tinggi pohon, semakin kencang terpaan angin. Burung besar itu melirik. Wajah pipit tampak lelah dan cemas. Tapi burung besar itu pura-pura tidak tahu. Ia pun membuka percakapan;

 

"Hei, burung cantik, siapa namamu?"

"Saya elang," jawab pipit mantap.

"Mau ke mana?" tanta burung besar itu lagi.

"Tak ada. Sekadar memantau wilayahku. Perjalanan dinas biasa" jawab pipit, suaranya terputus-putus ditiup angin. "...dan mencari area selera yang viral. Katanya, ada ayam muda blasteran Hongkong dan Kamboja." terang pipit dengan sedikitb jumawa.

 

Burung besar melirik sejenak, lalu bertanya lagi, "Kalau begitu, kau pasti tahu di mana padi mulai menguning?"

 

"Tentu saja tahu. Padi itu makananku sehari-hari," jawab pipit.

"Baik. Maukah kau antar aku ke sana? Nanti aku beri seekor ayam muda." lanjut burung besar itu.

 

Pipit setuju. Mereka menukik bersama ke arah persawahan yang mulai menguning. Pipit hinggap di tangkai padi yang merunduk, lalu mulai menikmati bulir-bulir padi. Burung besar itu menepati janji. Seekor ayam muda sedang mencicipi padi di tepi pematang. Tanpa banyak usaha, ia jadi incaran. Sekejap saja ia sudah ada di cengkaraman burung besar.

 

Pipit mendengar suara gaduh. Anak-anak ayam panik, induknya berteriak, "Awas, ada elang! Berlindung!"

 

Pipit menatap bangkai ayam muda itu. Masih hangat. Tetapi burung besar sudah terbang tinggi, menghilang di balik awan.

 

Ia kembali melanjutkan makannya. Diam. Tidak lagi merasa tenag. Setiap ia menelan butiran padi, ia selalu terngiang, “awas ada elang!”

***

 

Cerita di atas mungkin tak lebih hanya dongeng kecil saja. Karangan yang terlintas begitu saja, setelah mendengar lirik lagu “Elang” dari Dewa 19 yang popular tahun 1999. Lagu yang mengekspresikan kerinduan akan kebebasan dan cinta yang tak terbalas. Entah iya, entah tidak. Itu menurut saya saja. Tapi di dalam cerita yang saya reka ini, saya ingin menyampaikan sebuah peta keadaan yang lebih luas dari sekadar dunia unggas.


Pipit adalah rakyat kecil yang ingin terbang tinggi dengan mengenakan jubah kekuasaan. Ia tidak cukup kuat, tidak cukup siap, tapi cukup percaya diri. Elang, sebagaimana lazimnya dalam narasi kekuasaan, adalah figur kuasa yang tidak pernah benar-benar butuh kawan, tapi sangat lihai memilih alat. Begitulah kira-kira.


Tetapi di zaman di mana halusinasi bisa dikemas menjadi narasi ini, kisah seekor pipit bisa tampil seperti elang di dunia maya. Pipit yang tak punya cakar, tapi merasa bisa ikut mencakar. Yang tak punya sayap kuat, bisa menumpang badai opini. Tapi tetap saja, ketinggian bukan hanya soal kemauan, tapi juga daya tahan. 


Ayam muda adalah rakyat biasa. Tak tahu menahu soal permainan di udara. Ia menjadi korban dari kesepakatan yang tak pernah ia dengar. Ia dibayar untuk kepercayaan yang tak pernah ia jual. Ia hilang dalam kebisingan yang tak sempat ia ikuti. Sementara, induk ayam mewakili mereka yang kenyang pengalaman, tapi kadang tak berdaya juga menghadapi kenyataan yang datang tiba-tiba. mengasuh mereka yang belum berpengalaman, adalah tantangan nyata.   

 

Dalam lanskap politik kita, buzzer dan opini liar berperan seperti pipit: mereka mencari posisi, ingin dianggap tinggi, ikut dalam narasi besar, tapi tak sadar sedang menjadi petunjuk jalan bagi kekuasaan yang tak pernah berniat berbagi. Dan rakyat? Mereka ada di pematang. Menjadi korban yang dibungkus dengan narasi pembangunan dan hadiah-hadiah kecil. Induk ayam, kadang-kadang hanya bisa mengelus dada pada saat peringatan tidak dapat diterima sebagai sebuah nasehat.

 

Saya jadi ingat kutipan tulisan Friedrich Nietzsche (1878). Kira kira, ia mengatakan "keyakinan palsu adalah musuh yang lebih berbahaya bagi kebenaran daripada kebohongan." Pipit yang mencoba meyakini dirinya sebagai elang, dan keyakinan palsunya itu memang cukup untuk membawanya ikut terbang tinggi. Tetapi itu ternyata tidak cukup untuk menyelamatkannya dari realitas, sesak napas dan keadaan yang dipaksa-paksakan, menghejan-hejan tuah. 


Mungkin induk pipit juga pernah mengingatkan, bahwa "bohong jika ada pipit yang mengaku dapat menjadi elang dengan segala kualitasnya." Tetapi nasihat dan peringat seperti ini mana mempan bagi mereka yang dikuasai halusinasi dan diopok-opok oleh keyakinan palsu.

 

Mungkin dalam kalam konteks kekuasaan, gaya pipit itu serupa dengan keadaan yang sering tersua. Seseorang kadang memang butuh usaha dan semangat untuk naik, tetapi ia lupa menyiapkan kesadaran akan posisi. Mungkin ia Bahagia dengan keadaan itu, tetapi mungkin kebahagiaan itu palsu. Karena, kebahagian itu bukan semata perasaan saja, tetapi tentu saja berakar dari keadaan yang nyata.

 

Inilah mungin maksud perkataan Bung Hatta. "Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat." Kemerdekaan adalah jembatan emas, bukan tempat tinggal, tapi jalan untuk dilewati dengan sadar dan bijak. Mencermati kata Bung Hatta ini, bahwa apa yang sebenar nyata dari kebahagiaan itu adalah kemakmuran yang nyata, bukan halusinasi.

 

Di lapisan masyarakat, banyak pipit yang dibujuk menjadi pemandu oleh burung besar. Mereka diberi panggung, dibayar dengan eksistensi, bahkan diberi upah materi. Tapi yang sesungguhnya terjadi: mereka mengantar burung kuasa menuju mangsa. Sesudah itu, mereka kembali makan padi, kadang lebih sedikit dari sebelumnya.

 

Cerita ini bukan untuk menyindir siapa-siapa. Tapi untuk mengingatkan, bahwa dalam politik, keinginan untuk terbang tinggi tanpa sadar diri sering kali membawa kita menjadi kaki dari peristiwa yang tak kita kendalikan. Dalam diam, kita bisa menjadi alat. Dalam percaya diri yang berlebihan, kita bisa menjadi bagian dari kekerasan.

 

Sebab kekuasaan, sebagaimana elang dalam cerita, tak pernah benar-benar ingin ditemani. Ia hanya ingin diarahkan, lalu meninggalkan jejak yang sunyi: bangkai ayam muda, dan seekor pipit yang akhirnya hanya makan padi, dengan rasa yang tak lagi sama.

 

Artinya, elang sejati takkan menyuruh pipit untuk berburu, sebab ia tahu poisisi, bahwa yang kuat sebenarnya tak butuh perantara; tetapi kadang yang lemah bagi elang hanya dibutuhkan sebagai alat. Agar kekuasaan terlihat lebih epic dan dramatis.

[90/05/2025]

 

07 May 2025

Romansa Padepokan Silat dalam Komik 1980'an

Muhammad Nasir

Pembaca Komik di Pasar Raya Padang akhir abad ke-20


Padepokan adalah pusat ilmu bela diri yang menjadi jantung cerita rakyat dan komik silat Indonesia era 1980-an. Dalam kisah-kisah epik seperti Jaka Sembung karya Djair Warni atau Panji Tengkorak karya Hans Jaladara, padepokan sering menjadi sasaran penyerangan, baik oleh padepokan saingan yang haus ilmu sakti maupun oleh pasukan kerajaan yang khawatir akan munculnya pemberontakan. Dengan latar Jawa abad ke-11 hingga 14, masa kejayaan kerajaan Hindu-Buddha seperti Kediri, Singhasari, dan Majapahit, cerita-cerita ini memadukan romantisme dunia persilatan dengan dinamika sejarah. Namun, apa konteks sejarah di balik narasi penyerangan padepokan ini? Apakah padepokan benar-benar menjadi ancaman bagi kerajaan, atau ini sekadar drama fiksi yang memikat hati pembaca?


03 May 2025

Menulis: Menjaga Api Kesarjanaan

Muhammad Nasir

Beberapa hari lalu, saya mengobrol santai fi tangga masjid kampus dengan seorang mahasiswa menjelang ia wisuda. Obrolan itu basa-basi saja pada awalnya, tapi perlahan berubah menjadi curhat penuh kegelisahan. Ia mengaku merasa belum siap meninggalkan kampus.

"Saya baru merasakan nikmatnya berpikir saat menyusun skripsi, Pak,” katanya. "Itu seperti meningalkan seseorang selagi sayang sayangnya," timpalnya.

Ia bercerita bagaimana penelitian dan keterlibatannya dalam kegiatan akademik bersama dosen membuatnya seperti menemukan dunia baru, dunia yang selama ini terasa jauh, tiba-tiba akrab dan menantang.

"Sepertinya saya terlambat, mengapa pengalaman itu tidak datang di awal perkuliahan?"

Jleb...! 

Lalu ia menghela napas dan menambahkan dengan nada yang agak menggebu: “Keinginan saya, saya ingin lebih serius menikmati dunia akademik selagi saya merasa on fire, Pak. Saya tidak ingin kehilangan momentum.”

Saya senang mendengar semangat itu. Tapi realitas segera datang menyusul: “Ya, tapi saya sadar, hidup butuh uang. Kalau bekerja, pasti saya tidak cukup waktu untuk belajar. Mungkin saya akan kehilangan momentum, saat semangat belajar sedang menyala-nyala.”

Ia pun bercerita tentang tempat tinggalnya di kampung yang jauh dari akses buku dan kegiatan ilmiah: “Kampung saya jauh, Pak. Sulit mendapatkan akses ke buku atau kegiatan ilmiah.”

Saya bisa merasakan kegalauannya. Maka, saya mencoba menjawab dengan sedikit perenungan: “Dunia ilmiah bukan hanya kampus. Dunia ilmiah adalah dunia berpikir yang melibatkan aktivitas mendengar, berbicara, mengamati, membaca, dan yang penting: menulis.”

Kalimat itu saya sampaikan bukan hanya untuk menenangkan hatinya, tapi juga untuk mengingatkan diri saya sendiri, bahwa menjaga semangat berpikir itu memang tidak mudah. Bahkan bisa dibilang sulit dan lucu, seperti tugas seorang penjaga lilin dalam cerita rakyat babi ngepet.

Ya, jika anda tahu cerita rakyat itu. Seekor babi ngepet berkeliaran di malam hari mencari uang dengan ilmu hitam, tapi kesaktiannya bergantung pada satu hal: ada seseorang di rumah yang menjaga lilin tetap menyala. Kalau lilinnya padam? Babi ngepet jadi manusia biasa dan ketahuan warga. 

Nah, dalam dunia akademik, semangat berpikir itu seperti si babi ngepet: bisa berjalan, bisa menghasilkan, bisa menjelajah dunia pemahaman, tapi hanya kalau apinya terus menyala. Dan menulis adalah cara kita menjaga lilin itu tetap menyala.

Menulis adalah bentuk perlawanan terhadap lupa. Ia menahan ide agar tidak lenyap. Ia mencatat kegelisahan, menyimpan pertanyaan, bahkan menertawakan kebingungan. Di tengah dunia pascawisuda yang penuh tuntutan kerja dan rutinitas, menulis bisa menjadi jalan sunyi untuk tetap berpikir waras.

Saya mengenal banyak alumni yang tidak lanjut S2, tapi menulis secara konsisten. Mereka tidak hanya bertahan, tapi berkembang. Menulis membuat mereka tetap terlibat dalam percakapan ilmiah, meski tak lagi duduk di kelas atau hadir dalam seminar. Sebaliknya, saya juga tahu beberapa orang bergelar tinggi, tapi kehilangan kebiasaan menulis dan perlahan kehilangan gairah ilmiahnya.

Jadi, kalau kamu baru lulus dan merasa akan kehilangan dunia ilmu, jangan panik. Jangan langsung merasa terbuang dari jagat akademik. Ambil buku catatan kecil. Tulis satu halaman saja setiap hari. Tentang apapun. Tentang kegelisahanmu. Tentang apa yang kamu baca. Tentang obrolan di angkot. Itu semua bisa jadi bahan berpikir. Dan yang penting: kamu sedang menjaga lilinmu tetap menyala.

Karena seperti dalam cerita babi ngepet itu, kadang kita tidak tahu kapan dunia akan tiba-tiba jadi gelap. Tapi kalau kita tetap menulis, kita punya cahaya sendiri. Kecil memang, seperti lilin. Tapi cukup untuk membuat kita tetap jadi manusia berpikir.

Ia merenung dan tersenyum senyum kecil. Saya tepuk pundaknya dan berkata:

"Jika kamu ga' suka cerita metafora babi ngepet, cari saja cerita inspiratif lainnya." 

Senyum yang mengembang jadi tawa ringan. Percakapan berakhir dengan bertukar nomor telpon. Selamat wisuda, jadilah sarjana! 

01 May 2025

Dino Patti Djalal: Etos Hidup dan Kejujuran Berpendapat

Muhammad Nasir


Di tengah krisis iklim dan polarisasi global, dunia membutuhkan pemimpin berbasis pengetahuan. Namun, politik Indonesia sering kehilangan cendekiawan yang mencerdaskan wacana publik. 

Dr. Dino Patti Djalal, diplomat dan pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), menawarkan kepemimpinan visioner. Saya pernah berharap ia jadi prototipe politisi-akademisi, minimal wakil presiden. Sayangnya, politik Indonesia kurang ramah pada orang pintar. Ini nenmendorong Dino berkisar ke jalur lain.

Dino lahir pada 10 September 1965 di Beograd, Yugoslavia, dari keluarga diplomat Minangkabau. Ayahnya, Hasjim Djalal, diplomat senior, mewariskan tradisi diplomasi khas Minangkabau. Dino adalah pewaris sah budaya ini, sejalan dengan Haji Agus Salim dan Mohammad Hatta. Seperti Sutan Sjahrir dan Tan Malaka, ia kuasai diplomasi dengan intelektualitas.

Pengalaman lintas budaya membentuk pandangan dunianya sejak dini. Dino kecil bersekolah di SD Muhammadiyah dan SMP Al Azhar di Indonesia. Penugasan ayahnya ke Amerika Serikat membawanya lulus dari McLean High School, Virginia. Ia meraih gelar sarjana ilmu politik dari Universitas Carleton, Kanada. Gelar master diperoleh dari Universitas Simon Fraser, Kanada, di bidang serupa. Doktor dari London School of Economics and Political Science (LSE) diraih pada 2000.

Karier diplomatiknya dimulai pada 1987 di Kementerian Luar Negeri Indonesia. Ia bertugas di London, Dili, dan Washington, D.C., tangani isu Timor Timur. Sebagai Duta Besar untuk Amerika Serikat (2010–2013), ia perkuat hubungan bilateral. Ia jadi juru bicara presiden era Susilo Bambang Yudhoyono selama enam tahun. Puncaknya, ia menjabat Wakil Menteri Luar Negeri pada 2014.

Warisannya termasuk Kongres Diaspora Indonesia, menghubungkan jutaan warga diaspora Indonesia di seluruh dunia. Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), yang ia dirikan pada 2015, berhasil meluncurkan Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP), forum terbesar dunia. Kini, FPCI hadir di 50 universitas, jangkau ribuan pemuda dengan diskusi global. 

Inisiatif ini tunjukkan intelektualitas Dino berdampak nyata. Namun, ia memilih jalur di luar politik elektoral. Dino aktif mengedukasi pemuda via Modernisator dan Generation-21, gerakan pemberdayaan. Ia bisa ubah ide kompleks jadi narasi sederhana.

Penerima Bintang Jasa Utama 2010 ini fokus pemberdayaan masyarakat. Meski punya kapasitas besar, ia hindari politik formal.
Pilihan ini tentu mengungkapkan adanya tantangan bagi cendekiawan di Indonesia, yaitu budaya politik Indonesia yang mengutamakan pragmatisme ketimbang substansi. Poloitik praktis yang menuntut retorika, kompromi, dan dana besar, sering menolak logika cendekiawan.

Misalnya, tahun 2022, Dino menuai bully dari netizen akibat cuitannya pada 2022. Kejujuran berpendapatnya sering tak diterima panggung politik. Pada tahun 2022 itu, cuitan Dino tentang misi Jokowi ke Rusia-Ukraina dipelintir warganet. Ia dituduh kritis berlebihan, dituduh pro-Barat oleh publik. Klarifikasinya nyaris tidak didengar, justru memperkuat anggapan bahwa politik Indonesia sulit terima orang pintar. Cendekiawan kerap jadi sasaran ketimbang panutan.

Sistem politik yang penuh patronase partai, juga sulit ditembus cendekiawan. Dino lebih memilih FPCI dan Indonesian Diaspora Network (IDN) untuk membangun pengaruh independen. Melalui FPCI ia menginisiasi Indonesia Net-Zero Summit yang nenyoroti isu iklim global. Meski inisiatif itu efektif, politik yang recehan dan pragmatis tidak dapat mengambil manfaat dari even itu. 

Itulah sebabnya, mengapa kebijakan pemerintah terkesan kurang ilmiah, didominasi populisme dan polarisasi. Absennya cendekiawan memperparah kekosongan intelektual di politik. Indonesia kehilangan momentum mencerdaskan wacana publik.
Bayangkan Dino sebagai gubernur, membawa visi global ke pemerintahan. Membiarkan cendekiawan menua tanpa terlibat lebih dalam adalah kerugian pemerintah dan masyarakat. Sayangnya, literasi publik yang rendah jadi akar masalah tambahan. 

Banyak orang Indonesia sulit menghargai intelektualitas karena literasi rendah. UNESCO tahun 2021 mencatat tingkat literasi dewasa Indonesia hanya 62%. BPS (2023) menyebut bahwa akses pendidikan tinggi cuma 9% dari jumlah penduduk. Kesenjangan pendidikan membuat cendekiawan dianggap elitis.

Pendidikan yang tak merata juga turut memperkuat budaya politik pragmatis. Kemendikbud (2022) melaporkan 60% sekolah dasar tak punya perpustakaan. Sekolah terpencil kekurangan guru dan fasilitas. Ini berkontribusi membatasi akses ke dunia pengetahuan.

Media sosial, dengan narasi simplistik, perparah gap literasi. Kontroversi cuitan Dino tunjukkan kecendrungan publik yang cepat salah tafsir. Literasi rendah membuat orang pintar seperti Dino kerap disalahpahami. Warganet lebih mudah terpancing emosi ketimbang memahami argumen.

Budaya Minangkabau Dino, yang kaya diplomasi, tak cukup dihargai. Tradisi intelektualnya, yang sejalan dengan Sjahrir dan Hatta, terabaikan. Indonesia butuh publik yang lebih terliterasi untuk dapat menghargai cendekiawan. Reformasi politik harus kurangi patronase, buka ruang meritokrasi. Kampanye literasi nasional bisa menjembatani gap pengetahuan di antara netizen +62.



26 April 2025

Waspada Penipuan Digital!

 "Hampir saja kami tertipu… ada oknum mengaku dari Dukcapil Kota Padang, namanya Deni Yudistira. Dia tahu identitas saya termasuk NIK. Dia menginformasikan bahwa data saya untuk transformasi KTP cetak menjadi KTP Digital sudah sampai di Dukcapil. Saya dibimbing memproses pembuatan KTP Digital hingga dua tahapan. Pada tahapan ketiga baru terasa ada keganjilan. Alhamdulillah, kontak yang diberikan ternyata milik orang lain yang kemudian memberi tahu bahwa Deni Yudistira adalah penipu dan sudah banyak korbannya."

Postingan Abi Danil di Group WhatsApp, Sabtu, 26 April 2025


Demikian keluhan yang disampaikan oleh Danil M Caniago, warga Padang yang juga seorang pengajar di perguruan tinggi, yang akrab dipanggil mahasiswanya dengan sebutan Abi Danil. Ia membagikan kisah tersebut di sebuah grup WhatsApp, bukan semata untuk mencurahkan kekesalan, melainkan sebagai peringatan agar siapa pun lebih waspada. Di tengah laju digitalisasi administrasi negara, pengalaman ini menjadi penanda penting bahwa kemajuan teknologi tidak selalu berbanding lurus dengan keamanan.

Transformasi administrasi kependudukan menuju bentuk digital, termasuk penerapan Identitas Kependudukan Digital (IKD), sesungguhnya merupakan langkah modern yang pantas disambut. Namun, seperti air jernih yang bisa keruh dalam wadah berlubang, teknologi tanpa sistem keamanan yang kokoh malah membuka celah baru bagi kejahatan. Kasus yang dialami Abi Danil memperlihatkan bahwa di balik semangat transformasi, praktik lapangan masih banyak yang dijalankan secara bagarebeh tebeh — serampangan dan asal-asalan — tanpa prosedur pengamanan yang ketat dan teruji.