05 July 2025

Apa “Arti Bersama” Sumatera Tengah bagi kita?

Oleh Muhammad Nasir

Muncullah agak-agak saya tentang Kaukus Azali Sumatera Tengah sebagai wahana berpikir kolektif dan mendorong dialog lintas wilayah, berbasis akar sejarah, budaya, dan ekonomi, tanpa perlu menunggu atau menciptakan provinsi baru.


Sekitar tahun 2022 muncul wacana pembentukan Provinsi Sumatera Tengah. Gagasan  yang lama terpendam itu digemakan kembali melalui gerakan pemekaran wilayah. Gagasan ini berembus dari Dharmasraya, Sumatera Barat, yang diajukan lewat surat tertanggal 27 Oktober 2022 oleh H. Zulfikar Atut Dt. Penghulu Besar, tokoh masyarakat setempat (harianhaluan.com, 2023

Surat bernomor 01/X/IPST‑2022 itu mengusulkan penggabungan tujuh wilayah dari tiga provinsi: Kuantan Singingi (Riau), Dharmasraya, Sijunjung, Solok Selatan (Sumbar), serta Kerinci, Sungai Penuh, dan Bungo (Jambi), dengan populasi sekitar 1,85 juta jiwa dan luas 23.170 km². Ibukotanya direncanakan di Sungai Rumbai, Dharmasraya (detik.com. 2022).

Usulan tersebut menuai respons beragam. Gubernur Riau Syamsuar menolak keras karena tidak berasal dari satu provinsi asal dan menolak “mencaplok” Kuansing (detik.com. 2022). Sementara Gubernur Jambi Al Haris menganggapnya sah saja sebagai aspirasi, tapi menegaskan pemekaran masih dalam moratorium kecuali untuk Papua (sumsel.inews.id, 2022) Di DPR, Guspardi Gaus juga mencatat bahwa moratorium pemekaran masih berlaku (pontas.id, 2022) 

Sementara itu, Lembaga Melayu Riau (LMR) menyoroti bahwa wacana itu mengabaikan akar sejarah Riau sendiri yang dahulu pernah terpisah dari Sumatera Tengah dan berkembang sebagai provinsi mandiri (riaupagi.com, 2022).

04 July 2025

Refleksi Kecil tentang Komunikasi Bimbingan Skripsi

Muhammad Nasir 
(Pembimbing Skripsi)


Saya sudah Jelaskan pada bimbingan sebelumnya. Mengapa masih belum paham juga? Kok kamu masih tanya? -The Best Quote of Doskil Amat

 

Bimbingan skripsi bukan hanya soal topik, teori, atau metodologi. Ia bisa menjelma menjadi drama kecil dalam dunia akademik kita. Dosen merasa sudah menjelaskan dengan sangat gamblang, mahasiswa merasa belum benar-benar paham. Mahasiswa pulang dengan catatan setengah ragu, lalu datang kembali dengan revisi yang justru membuat dosen terheran: "Lho, kemarin kan sudah saya bilang, kenapa malah kamu balik lagi? Capek saya menjelaskannya!"

Situasi seperti ini bukan asing. Bahkan bisa dikatakan menjadi pola yang berulang di banyak kampus. Di satu sisi, kita ingin proses akademik berjalan lancar, profesional, dan mendidik. Tapi di sisi lain, komunikasi antar manusia, apalagi dengan relasi kuasa yang tidak seimbang seperti dosen dan mahasiswa, sering kali penuh tafsir, prasangka, atau kebingungan. Komunikasi akademik kita rentan bias.

Bukan berarti dosen tidak peduli. Banyak dari mereka ingin membantu, bahkan merasa sudah cukup sabar. Tapi bentuk komunikasi lisan yang terjadi secara cepat dan kadang terburu-buru membuat pesan yang disampaikan tidak selalu diterima utuh. Mahasiswa mencatat, tapi tidak benar-benar menangkap maksud. Sementara dosen menganggap apa yang diucapkannya sudah cukup terang.

29 June 2025

Keluarga Hiroshi dan Shinnosuke Nohara Hari Ini

Muhammad Nasir

 

 

Kalau kita bicara soal teori sosiologi keluarga, biasanya yang muncul adalah nama-nama seperti Talcott Parsons dengan fungsionalismenya, atau Pierre Bourdieu dengan teori habitus dan kapitalnya. Tapi mari kita istirahat sejenak dari tumpukan jurnal akademik itu dan menengok kehidupan sehari-hari keluarga Shinnosuke Nohara dari serial kartun Crayon Shinchan. Meski tampil dengan gaya humor nyeleneh dan ekspresi wajah yang absurd, keluarga ini sesungguhnya adalah cermin dari keluarga kelas menengah urban yang kompleks dan… sangat manusiawi.


Keluarga Nohara terdiri dari lima orang: Hiroshi sang ayah, Misae sang ibu rumah tangga, Shinnosuke Nohara alias Shinchan yang berusia 5 tahun, adiknya Himawari, dan anjing mereka, Shiro. Ini adalah representasi klasik dari struktur keluarga inti modern (nuclear family), sebagaimana dijelaskan Parsons (1955) bahwa keluarga inti memfasilitasi mobilitas geografis dan ekonomi di masyarakat industrial. Dalam model ini, ayah berfungsi sebagai pencari nafkah (instrumental role) dan ibu berperan dalam pemeliharaan emosional (expressive role).

Namun, dalam keseharian keluarga Nohara, fungsi ini tidak selalu berjalan mulus. Hiroshi seringkali pulang dalam keadaan lelah dan frustrasi akibat beban kerja yang berat. Suatu cerminan dari kehidupan salaryman Jepang pascaperang (Allison, 1994). Di sisi lain, Misae tampil sebagai figur sentral dalam mengelola ekonomi rumah tangga, mengasuh anak-anak, sekaligus menjadi “penegak hukum” domestik yang paling ditakuti.

Dengan sendal jepitnya yang melegenda, Misae bukan hanya simbol dari figur ibu rumah tangga, tapi juga pemegang otoritas moral dan sosial dalam keluarga. Di sinilah teori habitus Bourdieu (1977) menjadi relevan. Praktik sosial [baca kesumukan harian] Misae dibentuk oleh struktur sosial yang ia warisi, tetapi juga ia ubah melalui tindakannya sehari-hari: dari belanja diskon sampai mendidik anak dengan suara tinggi.

21 June 2025

Frasa Superlatif dalam Retorika Sejarah: Manipulasi Pengetahuan Sejarah

Muhammad Nasir
Pengajar Sejarah UIN Imam Bonjol Padang


Sejarah bukanlah cermin pasif atas masa lalu, melainkan konstruksi naratif yang dibentuk oleh pilihan-pilihan bahasa, struktur cerita, dan retorika         —Hayden White (1973)


Sejarah nasional yang diklaim sebagai official history di banyak negara, termasuk Indonesia, kerap terjebak dalam bias subjektif dan narasi yang tidak proporsional, terutama ketika menuliskan peran tokoh-tokoh (tepatnya: pelaku sejarah) dalam sejarah bangsa. Akibatnya, historiografi yang seharusnya berfungsi sebagai rekonstruksi kritis atas masa lalu, justru berubah menjadi semacam buku profil organisasi, yang lebih bertujuan mengukuhkan identitas simbolik dan kebanggaan institusional ketimbang menjelaskan kompleksitas historis secara analitis.

Dalam konteks ini, penggunaan frasa dan kata superlatif seperti “tokoh paling berjasa,” “putra terbaik bangsa,” atau “pemimpin tak tergantikan” menjadi ciri khas buku sejarah nasional yang memperlihatkan kecenderungan glorifikasi daripada pencarian kebenaran historis. Bahwa historigrofi secara ilmu bertujuan mencari kebenaran ilmiah tentang masa lalu.

Salah satu contoh yang mencolok dari fenomena tersebut dapat ditemukan dalam ungkapan: “Joko Widodo adalah salah satu putra terbaik di antara putra-putra terbaik lainnya yang dimiliki bangsa ini.” Pernyataan seperti ini tampaknya ingin memberikan penghormatan, tetapi secara linguistik dan semantik menimbulkan dua persoalan berupa: redundansi dan implikasi hirarkis yang tidak logis.

Ungkapan tersebut merupakan bentuk pleonasme, yakni pengulangan makna yang tidak perlu. Karena jika seseorang sudah dikatakan sebagai "salah satu yang terbaik", maka dia sudah termasuk dalam kelompok yang dimaksud. Penambahan “di antara putra-putra terbaik lainnya” tidak memperkuat makna, tetapi justru membuatnya berputar-putar secara retoris (Kridalaksana, 2001).

Selain dari segi kebahasaan, persoalan ini juga menyentuh pada aspek konseptual dari makna “terbaik” dalam bentuk jamak. Superlatif pada dasarnya merupakan bentuk yang bersifat absolut—ia menunjukkan satu-satunya yang paling menonjol dalam suatu kategori. Maka, frasa seperti "terbaik di antara yang terbaik lainnya" menciptakan hirarki di dalam hirarki, yang pada akhirnya menimbulkan kontradiksi semantik dan logis. Dengan demikian, kita melihat bahwa bahasa yang digunakan dalam retorika sejarah tidak sekadar memuat informasi, melainkan juga mencerminkan cara berpikir tentang sejarah itu sendiri.

15 June 2025

LPDP: Antara Finansial, Reputasi, dan Nasionalisme

Muhammad Nasir

Non Awardee LPDP


Ini bukan jalur bebas hambatan seperti tol Hutama Karya. Ini sirkuit Catalunya: penuh tikungan, tekanan, dan kecepatan. Butuh mental, strategi, dan konsistensi.

—tankari 


Mau tahu berapa penerimaan bulanan atau tahunan awardee LPDP luar negeri? Pertanyaan itu kerap muncul dengan nada penasaran, seolah ingin mengintip rahasia dapur para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di universitas-universitas terbaik dunia. Maka mari kita buka secara lugas. Rata-rata awardee LPDP luar negeri menerima dana hidup bulanan sebesar USD 1.500 hingga 2.500 tergantung kota dan negara tujuan. 

Misalnya, di London seorang awardee bisa mendapat sekitar GBP 1.200–1.500 per bulan, setara sekitar Rp 25–30 juta. Di New York, angka itu bisa mencapai USD 2.000 per bulan atau sekitar Rp 30 juta. Dalam setahun, angka itu berarti berkisar Rp 300 hingga 450 juta. Jumlah itu belum termasuk biaya kuliah penuh, tiket pesawat PP, visa, asuransi kesehatan, dana buku, tunjangan tesis/disertasi, bahkan dana kedatangan yang setara dua bulan living allowance. 

Jika semua dikalkulasi secara kasar, satu orang awardee bisa mengelola fasilitas pembiayaan negara hingga lebih dari setengah miliar rupiah per tahun.


13 June 2025

Papan Bunga untuk Pak Saridjo

 Muhammad Nasir


Masih terngiang-ngiang di sepanjang jalan percakapan orang-orang di rumah Pak David tadi. Antara ingin ketawa atau mendongkol aku. Ketawa, karena memang itu pantas untuk bahan tertawaan. Mendongkol karena itulah kenyataan yang harus kuhadapi: bekerja total demi penghasilan pada orang yang sebenarnya tidak benar-benar aku senangi. Bukan karena ia buruk, tetapi karena terlalu sulit berakrab-akrab dengannya. 

Hanya karena itu adalah mata air yang harus kujaga, agar kehidupan keluargaku terus berlanjut.

Pak Saridjo bukan orang baru dalam dunia kekuasaan. Ia memulai karier sebagai kepala seksi bidang pertanian di kantor kecamatan, lalu naik perlahan menjadi camat, kepala dinas, hingga dua periode menjadi anggota DPRD kabupaten. 

Meski tak pernah terlalu menonjol, ia dikenal rajin hadir dalam rapat dan pandai berbaur dengan siapa saja. Rekam jejaknya bersih, atau setidaknya, tak tercemar secara resmi. Namanya lumayan harum di kalangan generasi tua yang masih percaya pada idealisme awal reformasi.

"Mengapa Pak Saridjo masih ingin menjabat?"

"Mungkin karena ia butuh papan bunga yang banyak di hari kematiannya!"