21 November 2025

Menggambar Hantu Di Kepala

 Muhammad Nasir


Ini adalah Emmanuel Benjamin Gharib, pendeta Kuwait dari Gereja Presbiterian Kuwait dan ketua Gereja Injili Nasional Kuwait. Iseng-iseng saya posting foto ini dengan caption “mari berdamai.” Lalu muncul komentar sadis, umumnya dari non-Muslim: “Ogah. Dasar kadrun Yaman.” Saya balas singkat, “Itu kan pendeta Ben Gharib.” Di sinilah terlihat jelas sebuah fenomena: kesalahpahaman yang berangkat dari framing budaya dan stereotip tentang pakaian.


Fenomena seperti ini memperlihatkan bagaimana simbol visual dapat menjadi jebakan persepsi. Banyak orang tidak sedang melihat sosok yang sebenarnya, tetapi melihat bayangan stereotip yang mereka bawa sebelumnya. Dalam perspektif psikologi sosial, hal semacam ini disebut sebagai schema-driven perception, yaitu ketika informasi baru ditafsirkan berdasarkan kerangka lama yang sudah melekat di kepala (Fiske & Taylor, 2017). 

Latar Arab, pakaian thawb, dan ghutra langsung dibaca sebagai satu identitas tertentu, seolah-olah seseorang hanya bisa menjadi apa yang pakaiannya gambarkan. Padahal di wilayah Teluk, pakaian seperti ini adalah bagian dari budaya, dipakai oleh Muslim, Kristen, dan berbagai kalangan dengan latar profesi yang berbeda. Namun bias visual tidak memberi ruang bagi keragaman itu.

Reaksi kasar yang muncul justru menyingkap persoalan yang lebih besar: orang lebih cepat menilai daripada memahami. Kita hidup di era “scroll cepat”, di mana konteks bukan lagi sesuatu yang dibaca, melainkan sesuatu yang diasumsikan. Dalam kajian komunikasi visual, proses ini dikenal sebagai rapid heuristic processing, penilaian instan yang muncul tanpa verifikasi informasi (Kahneman, 2011). 

Alhasil, seorang pendeta Kristen yang berjasa besar bagi komunitasnya justru diserang dengan label yang tidak ada hubungannya dengan identitasnya. Ini bukan hanya salah paham; ini adalah kegagalan melihat manusia di balik simbol-simbol permukaan.

Stereotip bekerja seperti pintasan kognitif yang malas. Ia membuat orang merasa paham hanya dari tanda-tanda luar, padahal yang dipahami hanyalah prasangka mereka sendiri. Dalam sosiologi budaya, ini disebut stereotype activation, yaitu ketika penanda visual langsung memicu respons otomatis tanpa proses refleksi (Dovidio & Gaertner, 2004). 

Dalam kasus ini, komentar “kadrun” bukan hanya keliru, tetapi juga mengungkap betapa dangkalnya pemahaman sebagian orang tentang budaya, agama, dan keberagaman. Seseorang yang tidak mereka kenal dianggap musuh hanya karena pakaiannya menyerupai “musuh” dalam imajinasi mereka.

Padahal, niat saya dengan caption “mari berdamai” jelas: mengajak sejenak mereda dari polarisasi yang melelahkan. Namun reaksi yang muncul memperlihatkan bahwa sebagian orang masih terjebak dalam “perang simbolik”; di mana pakaian menjadi pemicu emosi, bukan sekadar bagian dari budaya. Dalam kajian antropologi simbolik, pakaian memang bisa menjadi penanda identitas sosial yang kuat (Geertz, 1973). 

Tetapi ketika penanda itu dibaca secara sempit dan penuh kecurigaan, ia berubah menjadi alat untuk menghakimi, bukan memahami. Foto itu akhirnya lebih banyak bercerita tentang mereka yang mengomentarinya, daripada tentang sosok yang ada di dalam gambar.

Situasi ini menegaskan pentingnya literasi budaya dan literasi visual. Tanpanya, kita mudah terpeleset pada penilaian instan yang menyakitkan dan memalukan. Kita lupa bahwa pakaian tidak selalu mencerminkan ideologi; kadang itu hanya tradisi, identitas lokal, keterikatan budaya, atau bahkan sekadar kenyamanan. 

Dalam dunia global yang semakin saling terhubung, kesadaran semacam ini menjadi sangat penting agar kita tidak terjebak pada apa yang disebut Stuart Hall sebagai the politics of representation, yaitu perang makna yang muncul dari cara kita melihat orang lain (Hall, 1997).

Pada akhirnya, kejadian sederhana ini menyampaikan pesan kuat: perdamaian sering kali gagal bukan karena perbedaan agama, tetapi karena prasangka yang kita pelihara sendiri. Foto itu mengajak berdamai, tetapi komentar yang muncul menunjukkan bahwa sebagian dari kita masih harus berdamai terlebih dahulu dengan bias, ketakutan, dan imajinasi negatif yang hidup di kepala masing-masing. 

Sebuah foto kecil berhasil membuka pintu refleksi besar: bahwa kadang yang perlu kita ubah bukan dunia di luar, tetapi cara kita memandangnya.


Daftar Pustaka

Dovidio, J. F., & Gaertner, S. L. (2004). Aversive racism. In M. P. Zanna (Ed.), Advances in experimental social psychology (Vol. 36, pp. 1–51). Academic Press.

Fiske, S. T., & Taylor, S. E. (2017). Social cognition: From brains to culture (3rd ed.). SAGE Publications.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Hall, S. (1997). Representation: Cultural representations and signifying practices. SAGE Publications.

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.


No comments: