Muhammad Nasir
Positivisme konservatif merupakan salah satu fondasi metodologis paling berpengaruh dalam tradisi penulisan sejarah modern. Aliran ini meyakini bahwa sejarah dapat dijelaskan secara ilmiah, objektif, dan empiris, sebagaimana ilmu-ilmu alam (Comte, 1851). Ia lahir pada abad ke-19, ketika sains sedang mengalami kemajuan pesat dan menjadi model bagi semua bentuk pengetahuan. Dalam pandangan positivisme, fakta adalah satu-satunya dasar pengetahuan yang sahih, dan tugas sejarawan adalah menyingkap kebenaran masa lalu berdasarkan bukti yang dapat diverifikasi.
Namun, di balik keteguhan ideal ilmiah itu, positivisme konservatif juga menyisakan sejumlah persoalan metodologis, terutama ketika pendekatan ini diterapkan dalam konteks penelitian mahasiswa tingkat sarjana (S1). Tulisan ini akan mengulas warisan pemikiran positivisme konservatif, kritik terhadap batasan temporal dan peristiwa, serta tantangan yang muncul dalam praktik penulisan sejarah bagi sejarawan pemula.
Warisan Positivisme Konservatif dalam Historiografi
Positivisme dalam sejarah berakar pada pemikiran Auguste Comte (1798–1857) yang meyakini bahwa masyarakat, seperti alam, tunduk pada hukum-hukum yang dapat diamati secara empiris. Menurut Comte (1851), ilmu pengetahuan sejati adalah ilmu yang berpijak pada observasi dan hubungan sebab-akibat yang dapat diuji. Sejarah, dengan demikian, seharusnya dipahami sebagai hasil dari perkembangan rasional manusia yang bergerak dari tahap teologis, menuju metafisik, dan akhirnya ke tahap positif atau ilmiah.
Gagasan Comte menemukan bentuk metodologisnya dalam karya Leopold von Ranke (1795–1886), sejarawan Jerman yang dianggap sebagai bapak positivisme konservatif. Semboyannya yang terkenal wie es eigentlich gewesen (menuliskan sejarah sebagaimana adanya) menjadi prinsip dasar penulisan sejarah ilmiah. Ranke menolak segala bentuk spekulasi filosofis dan berpendapat bahwa tugas sejarawan bukanlah menilai masa lalu, melainkan memahaminya (Ranke, 1885). Ia mengandalkan dokumen resmi, arsip diplomatik, dan catatan kronologis untuk membangun narasi sejarah yang seakurat mungkin.
Penerus Ranke seperti Heinrich von Sybel dan Heinrich von Treitschke turut memperkuat tradisi ini. Meskipun Treitschke kadang memanfaatkan sejarah untuk memperkuat nasionalisme Jerman, keduanya menegaskan pentingnya objektivitas dan kritik sumber (Iggers, 1997). Di Inggris, Lord Acton (1902) membawa semangat yang sama melalui proyek Cambridge Modern History, dengan keyakinan bahwa sejarah harus ditulis “seperti ilmuwan, bukan pengkhotbah.”
Dari Prancis, Charles-Victor Langlois dan Charles Seignobos memperkuat dimensi metodologis positivisme konservatif melalui karya monumental Introduction aux études historiques (1898). Mereka menegaskan bahwa “tidak ada sejarah tanpa dokumen” (pas de documents, pas d’histoire), menekankan tiga tahap kerja utama sejarawan: pengumpulan dokumen, kritik eksternal dan internal, serta sintesis fakta. Bagi mereka, objektivitas dapat dicapai jika sejarawan menjaga jarak dari nilai moral dan ideologis.
Positivisme konservatif dengan demikian menjadi tradisi yang menempatkan fakta dan dokumen sebagai pusat. Ia menolak penilaian moral, menghindari interpretasi filosofis, dan berfokus pada verifikasi empiris. Dalam banyak hal, aliran ini menjadi dasar disiplin sejarah modern terutama dalam studi politik, diplomasi, dan militer yang menuntut ketelitian faktual (Howell & Prevenier, 2001).
---
Kritik terhadap Positivisme Konservatif
Meskipun memberikan fondasi metodologis yang kuat, positivisme konservatif juga menuai banyak kritik. Salah satu kritik paling tajam datang dari E.H. Carr (1961), yang menilai bahwa “fakta sejarah tidak pernah berbicara sendiri; sejarawanlah yang membuatnya berbicara.” Kritik ini menyoroti dua masalah utama: batasan temporal dan batasan peristiwa.
Dalam paradigma positivistik, waktu sejarah dianggap linear, terukur, dan dapat diurutkan dengan presisi kronologis. Masa lalu diperlakukan sebagai sesuatu yang selesai, dapat direkonstruksi dari awal hingga akhir melalui arsip yang tersusun rapi. Namun, pandangan ini menimbulkan ilusi tentang waktu yang koheren, seolah sejarah mengalir secara lurus tanpa celah (Carr, 1961). Dalam kenyataan, waktu sejarah sering kali tidak linier; ia berlapis-lapis dan tumpang-tindih antara memori, pengalaman, dan makna (Nora, 1989).
Pembatasan temporal yang terlalu ketat membuat banyak sejarawan, khususnya mahasiswa terjebak dalam pandangan bahwa sejarah adalah urusan tanggal dan peristiwa. Misalnya, penelitian tentang “Pemberontakan PRRI 1958” yang hanya difokuskan pada tahun 1958 gagal melihat akar sosial, ekonomi, dan budaya yang berlangsung jauh sebelumnya, serta dampaknya terhadap politik lokal di tahun-tahun setelahnya. Dengan demikian, waktu historis yang kompleks direduksi menjadi sekadar kronologi peristiwa (Braudel, 1958).
Masalah kedua ialah batasan peristiwa (event boundaries). Dalam positivisme konservatif, peristiwa sejarah dianggap sebagai unit analisis yang otonom, berdiri sendiri, dan tidak terikat secara langsung dengan konteks sosial atau budaya di sekitarnya. Pendekatan ini memang memudahkan penyusunan narasi faktual, tetapi mengabaikan jejaring makna yang melingkupi setiap peristiwa (Burke, 2001). Akibatnya, sejarah tampak seperti katalog fakta tanpa kedalaman relasi.
Pendekatan ini juga berdampak pada proses belajar dan penelitian mahasiswa. Ketika peristiwa dipahami secara terpisah, mahasiswa cenderung berpikir dalam pola sebab-akibat sederhana: A menyebabkan B, lalu B menyebabkan C. Padahal hubungan historis sering kali bersifat spiral, bukan linear. Perubahan sosial pada masa Orde Baru, misalnya, tidak dapat dijelaskan hanya dari kebijakan ekonomi tahun tertentu, melainkan juga dari struktur kekuasaan dan persepsi masyarakat tentang stabilitas (Kuntowijoyo, 2003).
Batasan temporal dan peristiwa yang kaku akhirnya menimbulkan bias terhadap sejarah kaum elit, karena hanya mereka yang meninggalkan jejak dokumentasi resmi. Kehidupan rakyat kecil, perempuan, dan komunitas lokal sering kali luput dari catatan sejarah formal (Burke, 2001). Dari sinilah muncul dorongan bagi pendekatan baru seperti sejarah sosial, sejarah mentalitas, dan sejarah memori yang berusaha melampaui keterbatasan positivistik (Febvre, 1941).
---
Tantangan bagi Mahasiswa S1 yang Menulis Skripsi
Pendekatan positivistik tetap memiliki nilai penting dalam melatih ketelitian dan kejujuran akademik, terutama bagi mahasiswa tingkat sarjana. Namun, jika diterapkan secara kaku, aliran ini juga menghadirkan sejumlah tantangan metodologis dan praktis.
1. Tantangan Interpretasi Fakta
Mahasiswa sering menganggap bahwa fakta adalah sesuatu yang “ditemukan,” bukan ditafsirkan. Dalam paradigma positivisme konservatif, sejarawan hanya perlu “melaporkan” masa lalu sebagaimana adanya. Padahal, sebagaimana ditegaskan Carr (1961), setiap fakta baru menjadi fakta sejarah ketika ia dimaknai dalam konteks tertentu.
Mahasiswa yang bersandar penuh pada positivisme konservatif sering gagal menyadari bahwa penulisan sejarah juga merupakan proses interpretatif. Kalaupun ada upaya menafsirkan justru cendrung menghadirkan interpretasi suka-suka dan semena-mena.
2. Tantangan Teoritis dan Kritis
Pendekatan ini menolak teori besar atau kerangka interpretatif yang dapat menjelaskan hubungan antarfakta. Akibatnya, mahasiswa sering menulis sejarah yang sangat deskriptif tetapi miskin analisis. Mereka mampu menyajikan urutan peristiwa, tetapi tidak menjelaskan makna sosial atau politik di baliknya.
Dalam konteks pendidikan sejarah modern, kemampuan reflektif dan interpretatif justru menjadi salah satu indikator kedewasaan akademik. Bahwa salah satu kecakapan abad 21 yang dibebankan kepada mahasiswa adalah kemampuan berpikir kritis (critical thinking) yang satu di antara cirinya adalah kemampuan menganalisis dengan menggunakan teori.
3. Tantangan Akses terhadap Sumber
Salah satu kesulitan paling nyata ialah menemukan sumber yang memadai. Prinsip utama positivisme konservatif “tidak ada sejarah tanpa dokumen” akan menghadapi kendala serius. Ketika mahasiswa harus meneliti tema-tema yang belum terdokumentasi dengan baik. Banyak peristiwa lokal, tradisi budaya, dan kehidupan sosial masyarakat kecil tidak memiliki jejak arsip yang lengkap. Mahasiswa sering kali harus menghadapi kenyataan bahwa dokumen yang mereka butuhkan tersebar di arsip daerah, koleksi pribadi, atau bahkan belum dikatalogkan secara resmi. Kalaupun ada, nun jauh di Leiden sana.
Selain itu, faktor biaya dan waktu juga menjadi penghalang. Penelitian sejarah berbasis arsip membutuhkan akses perjalanan, fotokopi dokumen, dan waktu pembacaan yang panjang. Bagi mahasiswa S1, keterbatasan logistik ini sering membuat mereka hanya bergantung pada sumber sekunder. Akibatnya, ideal positivistik untuk menemukan “fakta murni” menjadi sangat sulit diwujudkan di tingkat praktik.
---
Positivisme konservatif telah memberikan landasan kuat bagi tradisi historiografi modern, terutama dalam hal ketelitian metodologis, disiplin sumber, dan semangat ilmiah. Namun, seperti diingatkan oleh Carr (1961), sejarah tidak berhenti pada fakta. Ia bergerak di antara fakta dan interpretasi, antara dokumen dan makna.
Dalam konteks pembelajaran sejarah di perguruan tinggi, pendekatan ini tetap penting sebagai latihan dasar berpikir ilmiah, tetapi perlu dilengkapi dengan kesadaran reflektif bahwa waktu dan peristiwa sejarah tidak pernah sederhana. Masa lalu bukanlah entitas yang beku dalam arsip, melainkan pengalaman yang hidup dan berlapis, yang senantiasa dihidupkan kembali melalui penelitian dan penulisan.
Oleh karena itu, bagi sejarawan muda, tantangannya bukan sekadar meniru Ranke atau Comte, tetapi melampaui mereka — dengan tetap menjaga disiplin empiris sambil membuka diri terhadap kompleksitas waktu, memori, dan makna dalam sejarah manusia. [10/10/2025]
---
Daftar Rujukan
Braudel, F. (1958). Histoire et sciences sociales: La longue durée. Annales. Histoire, Sciences Sociales.
Burke, P. (2001). What is Cultural History? Cambridge: Polity Press.
Carr, E. H. (1961). What is History? London: Penguin.
Comte, A. (1851). Cours de philosophie positive. Paris: Bachelier.
Febvre, L. (1941). Le problème de l’incroyance au XVIe siècle: La religion de Rabelais. Paris: Albin Michel.
Howell, M., & Prevenier, W. (2001). From Reliable Sources: An Introduction to Historical Methods. Ithaca: Cornell University Press.
Iggers, G. G. (1997). Historiography in the Twentieth Century: From Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge. Hanover: Wesleyan University Press.
Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nora, P. (1989). Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire. Representations, 26, 7–24.
Ranke, L. von. (1885). The Theory and Practice of History. London: Routledge.
No comments:
Post a Comment