Muhammad Nasir
Sekretaris Yayasan Tarbiyah Islamiyah Sumbar
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) adalah organisasi Islam yang lahir dan tumbuh dalam kultur Minangkabau yang tenang, berwibawa, dan penuh kehati-hatian. Dalam sejarahnya, Perti berjodoh dengan tradisi Sunni Syafi’i yang ihtiyath (berhati-hati) dalam memahami hukum, berlandaskan pada prinsip kehati-hatian yang menolak sikap tergesa-gesa. Watak ini membuat Perti tampil layaknya air tenang, penuh kedalaman, namun kadang justru dianggap tidak cukup menghanyutkan arus perubahan. Padahal, ketenangan tidak boleh ditafsirkan sebagai kelambanan, apalagi kebekuan.
Zaman terus berubah. Musim berganti. Pendidikan, dakwah, dan kerja-kerja sosial sebagai core issues Perti harus tetap menyesuaikan diri dengan dinamika zaman. Pepatah Minang mengingatkan: “sakali aia gadang, sakali tapian barubah”—sekali air membesar, sekali tepian berganti. Artinya, perubahan adalah keniscayaan, dan organisasi yang lahir dari rahim masyarakat Minangkabau ini dituntut untuk mampu membaca arah zaman, agar tidak ditinggalkan oleh generasinya.
Surau dan Tradisi Keulamaan
Salah satu akar kekuatan Perti terletak pada tradisi surau. Sejak abad ke-17, surau telah menjadi institusi pendidikan dan pusat transmisi ilmu keislaman di Minangkabau, tempat berlangsungnya pengajaran kitab kuning, tarekat, serta pembinaan adab dan akhlak (Dobbin, 1983). Surau bukan hanya lembaga keagamaan, tetapi juga lembaga sosial yang membentuk pola pikir dan kepribadian masyarakat Minangkabau. Perti lahir dengan membawa spirit surau itu: mengintegrasikan pendidikan agama dengan kehidupan sosial, serta menjadikan ulama sebagai pusat otoritas moral.
Namun, realitas abad ke-21 berbeda. Modernisasi pendidikan dan globalisasi pengetahuan menempatkan surau tradisional di persimpangan jalan. Kitab kuning yang dulu menjadi sumber utama pengajaran kini harus bersanding dengan literatur akademik kontemporer, teknologi digital, dan wacana global. Bahkan, otoritas ulama sebagai pemegang kebenaran tunggal mulai dipertanyakan oleh generasi muda yang terbiasa dengan budaya kritis media sosial (Azra, 2004).
Di titik ini, Perti dituntut untuk menghadirkan tafsir baru atas tradisi keulamaan. Tarekat yang dulu menjadi ruang spiritual harus dipahami kembali sebagai potensi besar dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual generasi muda. Kitab kuning yang dahulu hanya dipelajari dengan metode bandongan atau sorogan bisa diperkaya dengan pendekatan blended learning, sehingga tidak tercerabut dari tradisi namun tetap relevan dengan kebutuhan zaman.
Tantangan Abad ke-21
Kehidupan abad ke-21 ditandai oleh percepatan perubahan sosial, teknologi digital, globalisasi ekonomi, dan krisis lingkungan. Di Indonesia, perkembangan Internet of Things, kecerdasan buatan, serta media sosial telah mengubah pola komunikasi dan gaya hidup masyarakat. Generasi muda Minangkabau kini hidup dalam ruang virtual, lebih dekat dengan gawai daripada surau.
Fakta empiris menunjukkan, lebih dari 77% penduduk Indonesia telah terhubung dengan internet pada 2023 (APJII, 2023). Akses digital ini menciptakan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, dakwah dan pendidikan Islam dapat menjangkau audiens yang lebih luas melalui platform digital. Di sisi lain, banjir informasi juga melahirkan disinformasi dan radikalisasi yang kerap bersembunyi di balik retorika agama.
Fenomena ini sejalan dengan konsep “digital natives” yang diperkenalkan oleh Prensky (2001), yakni generasi yang sejak lahir telah berinteraksi dengan teknologi digital, sehingga memiliki cara belajar, berkomunikasi, dan memahami dunia yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi Perti abad ke-21 termasuk di dalamnya: mereka mencari ilmu melalui YouTube, berdiskusi di forum daring, dan belajar kitab tidak hanya di surau fisik, tetapi juga melalui aplikasi digital.
Di sisi lain, lembaga-lembaga riset global menunjukkan perbedaan orientasi religius antar-generasi. Pew Research Center (2018) mencatat adanya “age gap in religion” di banyak negara, di mana generasi muda cenderung kurang terikat pada ritual tradisional dibanding generasi tua. Meski konteks Indonesia berbeda, gejala ini juga terasa: semakin banyak anak muda yang menginginkan pendekatan agama yang lebih relevan dengan isu-isu kontemporer, seperti lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan keadilan sosial.
Langkah Konkret Perti
Sebagai organisasi keagamaan dan sosial, Perti perlu mengembangkan strategi konkret untuk menjawab tantangan-tantangan itu. Pertama, dalam bidang pendidikan, Perti harus menghidupkan kembali tradisi surau dengan format baru. Surau abad ke-21 tidak semata bangunan fisik, melainkan juga digital surau yang bisa menjadi ruang belajar daring. Campbell dan Tsuria (2021) menyebut fenomena ini sebagai digital religion, yaitu praktik keagamaan yang berlangsung di ruang digital, baik dalam bentuk pengajaran kitab online, kajian via Zoom, maupun komunitas virtual yang memelihara identitas keagamaan.
Kedua, dalam bidang dakwah, Perti harus memperkuat literasi digital ulama dan da’i. Tradisi retorika khutbah di mimbar masjid perlu disandingkan dengan kemampuan berdakwah melalui media sosial, podcast, atau kanal YouTube. Hal ini sesuai dengan temuan Howe dan Strauss (2000) tentang karakteristik generasi milenial—dan kini generasi Z—yang lebih mudah terhubung melalui media digital interaktif daripada komunikasi satu arah. Dengan cara ini, ulama Perti tetap dapat menjaga otoritas moralnya di ruang publik baru yang kini diperebutkan oleh berbagai ideologi.
Ketiga, dalam bidang sosial, Perti dapat mengembangkan gerakan filantropi yang berbasis komunitas. Tradisi gotong royong Minangkabau dan semangat badoncek (patungan) bisa diadaptasi menjadi platform crowdfunding digital untuk membiayai pendidikan anak-anak yatim, bantuan kesehatan, maupun penanggulangan bencana. Nurmandi dan Kim (2020) menunjukkan bahwa inovasi digital dalam filantropi Islam di Indonesia telah meningkatkan partisipasi publik dalam kegiatan sosial, memperluas jangkauan bantuan, dan memperkuat legitimasi organisasi Islam di mata generasi muda.
Keempat, dalam bidang keulamaan, Perti perlu memfasilitasi integrasi tarekat dengan psikologi modern. Ritual zikir, khalwat, dan suluk dapat dilihat bukan sekadar ibadah ritual, tetapi juga sebagai praktik penguatan kesehatan mental, ketenangan jiwa, dan resiliensi spiritual. Hal ini relevan dengan kebutuhan generasi muda yang sering mengalami krisis identitas dan tekanan psikologis akibat kompetisi global.
Menyemai Tradisi, Menyongsong Masa Depan
Perti memiliki modal historis dan kultural yang kuat. Surau, kitab kuning, tarekat, dan tradisi ulama adalah warisan yang tidak boleh ditinggalkan. Namun warisan ini tidak boleh diperlakukan sebagai museum, melainkan harus dihidupkan kembali dengan tafsir baru. Kekuatan tradisi harus berjalan seiring dengan kecakapan abad ke-21: literasi digital, kolaborasi lintas disiplin, kemampuan komunikasi global, dan kepekaan terhadap isu lingkungan.
Dalam perspektif ini, generasi Perti Sumatera Barat abad ke-21 tidak boleh terjebak pada nostalgia, tetapi harus menjadikan tradisi sebagai energi pembaruan. Tradisi ibarat akar yang menjaga identitas, sementara kecakapan abad ke-21 adalah cabang dan daun yang tumbuh merespons cahaya zaman. Tanpa akar, pohon akan tumbang; tanpa cabang dan daun, pohon tidak akan berkembang.
Dengan demikian, Perti dipanggil untuk menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara surau tradisional dengan ruang digital, antara kitab kuning dengan literatur modern, antara tarekat dengan psikologi kontemporer. Ketenangan Perti bukanlah kelambanan, melainkan kedalaman yang memberi arah. Seperti air tenang yang menghidupi sawah dan ladang, Perti harus menjadi aliran yang memberi kehidupan bagi masyarakat Minangkabau di era global.
---
Daftar Bacaan
APJII. (2023). Laporan Survei Internet APJII 2023. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.
Azra, A. (2004). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana.
Campbell, H. A., & Tsuria, R. (2021). Digital Religion: Understanding Religious Practice in Digital Media. London: Routledge.
Dobbin, C. (1983). Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847. London: Curzon Press.
Howe, N., & Strauss, W. (2000). Millennials Rising: The Next Great Generation. New York: Vintage Books.
Nurmandi, A., & Kim, S. (2020). Islamic philanthropy and digital innovation in Indonesia. Journal of Islamic Accounting and Business Research, 11(9), 2009–2027.
Pew Research Center. (2018). The Age Gap in Religion Around the World. Washington, DC: Pew Research Center.
Prensky, M. (2001). Digital natives, digital immigrants. On the Horizon, 9(5), 1–6.
No comments:
Post a Comment