Muhammad Nasir
Masihkah manusia masa kini mencari pahlawan, ataukah kita kini hanya mencari figur untuk dikagumi sesaat? Pertanyaan ini mengemuka ketika dunia modern begitu ramai oleh citra berupa gambar, narasi, dan simbol yang berlomba merebut ruang kepercayaan publik. Di tengah banjir informasi, manusia tetap membutuhkan sosok yang bisa dijadikan cermin moral, tetapi cara kita menemukan dan menilai mereka telah berubah. Jika dahulu pahlawan lahir dari perang dan perjuangan, kini mereka muncul dari keberanian moral dan ketulusan dalam keseharian.
Sejarah
itu, kata sejarawan R.G. Collingwood (1946), bukan sekadar rekaman peristiwa,
tetapi upaya manusia untuk “memikirkan kembali” tindakan masa lalu di dalam
pikirannya sendiri. Dan juga tidak semata hidup di monumen, melainkan di dalam
ingatan kolektif masyarakat yang terus menafsir ulang nilai-nilainya, kata
Halbwachs (1992). Karena itu, setiap zaman akan selalu melahirkan tafsir baru
tentang siapa yang layak disebut pahlawan. Hari ini, manusia mencari figur yang
mampu mengembalikan rasa percaya di tengah keterasingan sosial dan krisis moral
publik.
Apa
contohnya? Lihatlah, dalam konteks global dapat diingat kemunculan nama-nama seperti
Mahmoud Ahmadinejad di Iran pada awal 2000-an; Evo Morales di Bolivia sejak
masa pemerintahannya tahun 2006 hingga 2019; Barack Obama di Amerika Serikat
pada era kepemimpinannya 2009–2017, hingga Zohran Mamdani, politisi muda
progresif yang muncul di New York pada dekade 2020-an, sekarang (2025) ia
terpilih sebagai Walikota New York. Nama-nama itu menunjukkan bagaimana imaji
kepahlawanan masa kini dibangun di antara kesederhanaan dan keberanian moral.
