31 May 2025

Kontroversi Ijazah Jokowi: Algoritma Media Sosial versus Memori Kolektif

Muhammad Nasir


Isu keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo menjadi salah satu kontroversi politik yang berulang muncul di ruang publik. Meski berbagai lembaga resmi seperti Universitas Gadjah Mada, Komisi Pemilihan Umum, dan Mahkamah Agung telah memberikan klarifikasi yang membenarkan keaslian dokumen tersebut, isu ini tetap bergaung, terutama melalui platform media sosial. Peristiwa ini menandai pertemuan antara dua kekuatan simbolik dalam masyarakat digital kontemporer: algoritma sebagai pengatur arus informasi dan memori kolektif sebagai penentu resonansi sosial terhadap narasi.


Algoritma dan Politisasi Arus Informasi

Media sosial tidak lagi sekadar platform komunikasi, melainkan telah menjadi infrastruktur algoritmik yang membentuk lanskap pengetahuan sehari-hari. Algoritma media sosial seperti Facebook, X (dahulu Twitter), atau YouTube bekerja berdasarkan prinsip keterlibatan (engagement-based curation), di mana konten yang memicu emosi atau kontroversi mendapat distribusi lebih luas (Tufekci, 2015; Gillespie, 2014). Dengan demikian, isu seperti kontroversi ijazah menjadi sangat “bernilai” secara algoritmik, bukan karena validitas faktualnya, tetapi karena potensinya dalam menghasilkan klik, komentar, dan perdebatan.

Dalam kerangka ini, algoritma menjadi aktor epistemik baru yang berperan dalam menyaring, menonjolkan, bahkan membentuk persepsi atas apa yang dianggap penting atau layak diperbincangkan (Bucher, 2018). Konten yang bersifat emosional lebih disukai oleh sistem, sehingga isu-isu yang telah selesai secara administratif dapat terus dimunculkan kembali dalam format baru. Ini bukan semata karena ada niat manipulatif, melainkan karena struktur algoritmik menyukai narasi yang membuka ruang konflik interpretasi.

Lebih jauh, algoritma beroperasi dalam ruang digital yang membentuk efek gema (echo chamber) dan penguatan keyakinan (confirmation bias), di mana pengguna lebih banyak terpapar informasi yang selaras dengan preferensi atau prasangka mereka sendiri (Pariser, 2011). Dalam konteks ini, narasi tentang kejanggalan ijazah dapat berfungsi bukan sebagai pencarian fakta, tetapi sebagai peneguhan posisi politik.

Memori Kolektif dan Ketegangan Sosial

Namun, pengaruh algoritma tidak bekerja sendirian. Resonansi isu ini juga berkaitan erat dengan memori kolektif; sebuah konsep yang menjelaskan bagaimana kelompok sosial mengingat masa lalu secara bersama dalam kerangka nilai dan identitas mereka (Halbwachs, 1992). Memori kolektif tidak hanya bersandar pada bukti faktual, tetapi juga pada apa yang dianggap bermakna dan simbolik oleh komunitas tertentu.

Dalam masyarakat yang mengalami transformasi cepat, ketidakpastian sosial dan jarak antara negara dan warga dapat melahirkan krisis kepercayaan terhadap institusi formal. Di sinilah memori kolektif memainkan peran penting: ia menyediakan ruang alternatif bagi interpretasi terhadap sejarah, sering kali dalam bentuk narasi-narasi yang menantang legitimasi kekuasaan. Seperti dijelaskan oleh Pierre Nora (1989), ketika ruang-ruang ingatan sosial melemah, masyarakat mulai menciptakan lieux de mémoire, yaitu tempat-tempat simbolik yang menyimpan perasaan kehilangan terhadap keaslian sejarah.

Dalam kasus ini, narasi tentang kejanggalan ijazah menjadi semacam tanda tanya kolektif, bukan hanya tentang dokumen itu sendiri, tetapi tentang cara masyarakat menilai relasi antara elite dan rakyat, antara pusat dan pinggiran, antara fakta dan otoritas. Oleh karena itu, sekalipun sudah ada klarifikasi, cerita itu tetap hidup karena menjawab kebutuhan sosial tertentu, yaitu kebutuhan untuk memaknai ketimpangan dan kecurigaan terhadap proses politik.

Tantangan Historis dalam Era Digital

Di persimpangan antara logika algoritmik dan struktur memori sosial ini, sejarah menghadapi tantangan epistemologis baru. Pengetahuan historis yang selama ini ditopang oleh disiplin, arsip, dan verifikasi sumber, kini harus bersaing dengan narasi-narasi singkat, emosional, dan mudah viral. Dalam konteks inilah muncul apa yang disebut sebagai post-truth condition, di mana “kebenaran” dikalahkan oleh “efektivitas afektif” dari suatu narasi (McIntyre, 2018).

Tantangan ini bersifat ganda. Pertama, tantangan metodologis: bagaimana sejarah sebagai disiplin tetap mempertahankan integritas verifikatifnya dalam lanskap informasi yang semakin tersaturasi oleh opini dan fragmentasi narasi. Kedua, tantangan komunikatif: bagaimana sejarah dapat tetap relevan di tengah format-format baru penyampaian informasi yang serba instan, visual, dan penuh kompetisi makna.

Sebagaimana ditunjukkan oleh José van Dijck (2013), budaya algoritmik telah menciptakan kondisi di mana memori individu dan kolektif tidak lagi berbasis pengalaman langsung atau institusi sosial semata, tetapi juga disusun melalui filter, arsip digital, dan rekombinasi data yang terjadi terus-menerus. Sejarah sebagai praktik sosial kini bergulat dengan semacam “memori otomatis” yang diproduksi ulang oleh mesin, bukan oleh pengalaman komunitas.

Dalam dunia seperti ini, kredibilitas sejarah bukan hanya ditentukan oleh kebenaran arsip, tetapi juga oleh kemampuannya menavigasi jaringan digital dan membangun kepercayaan sosial. 

Oleh karena itu, sejarah kontemporer perlu menyadari bahwa narasi bukan lagi sekadar hasil penulisan, tetapi juga hasil distribusi—dan distribusi itu kini dikendalikan oleh logika yang sama sekali berbeda dari logika ilmiah.

Bagaimana Kelak Sejarah Jokowi Ditulis? 

Dalam beberapa dekade mendatang, penulisan sejarah tentang Presiden Joko Widodo kemungkinan besar akan menampakkan tiga lapisan narasi yang saling bertaut tetapi juga saling bersaing. 

Di satu sisi, sejarah ilmiah akan tetap berupaya menyusun narasi berdasarkan dokumen resmi, wawancara terverifikasi, dan arsip institusional. Ia akan menekankan disiplin verifikasi sumber serta kehati-hatian dalam menafsirkan konteks politik dan sosial masa pemerintahan Jokowi. Namun, sejarah ilmiah ini akan menghadapi tantangan distribusi dan resonansi. 

Di luar kalangan akademik, akses dan minat terhadap sejarah yang berbasis disiplin semakin tergeser oleh narasi populer yang lebih cepat, visual, dan mudah dikonsumsi.

Sementara itu, algoritma digital akan terus mereproduksi versi-versi sejarah yang tidak selalu konsisten dengan kaidah historiografi. Melalui media sosial, video pendek, dan konten-konten opini, narasi tentang Jokowi akan muncul dalam bentuk mosaik: ada yang mengagungkan, ada yang mencurigai, dan ada pula yang menjadikan citranya sebagai simbol politik baru. Sejarah yang dibentuk oleh algoritma tidak akan tunduk pada kronologi atau sumber primer, tetapi pada logika keterlibatan (engagement). Di sini, narasi yang viral bisa menjadi lebih berpengaruh daripada narasi yang benar secara faktual. Sejarah menjadi arena kontestasi performatif, bukan lagi ruang interpretasi akademik semata.

Dalam lanskap seperti ini, memori kolektif akan menjadi semacam jembatan antara pengalaman sosial dan narasi historis. Ia tidak selalu faktual, tetapi memiliki daya tahan simbolik. Jokowi mungkin akan dikenang secara berbeda oleh kelas sosial yang berbeda, oleh generasi yang berbeda, dan oleh komunitas yang memiliki relasi emosional berbeda terhadap negara. Bagi sebagian kalangan, ia mungkin akan ditulis sebagai presiden yang sederhana dan membumi; bagi yang lain, sebagai simbol dari ketegangan antara elite lama dan kemunculan populisme baru. 

Penulisan sejarah Jokowi di masa depan, karenanya, tidak hanya ditentukan oleh arsip, tetapi juga oleh pertarungan legitimasi antara mesin, memori, dan metodologi.


Referensi

Bucher, T. (2018). If... Then: Algorithmic Power and Politics. Oxford University Press.

Gillespie, T. (2014). The Relevance of Algorithms. In T. Gillespie, P. Boczkowski, & K. Foot (Eds.), Media Technologies: Essays on Communication, Materiality, and Society. MIT Press.

Halbwachs, M. (1992). On Collective Memory. Trans. Lewis A. Coser. University of Chicago Press.

McIntyre, L. (2018). Post-Truth. MIT Press.

Nora, P. (1989). Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire. Representations, (26), 7–24.

Pariser, E. (2011). The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You. Penguin.

Tufekci, Z. (2015). Algorithmic Harms Beyond Facebook and Google: Emergent Challenges of Computational Agency. Colorado Technology Law Journal, 13(203), 203–218.

van Dijck, J. (2013). The Culture of Connectivity: A Critical History of Social Media. Oxford University Press.

No comments: